Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eighth Cup

  Pagi yang sama, matahari cerah yang sama, dan pertemuan yang kesekian diantara mereka. Simon dan Zhang Zhehan melewatkan satu acara minum kopi lagi bersama di kursi dekat taman. Di antara desir angin dan kicauan burung, satu lagu instrumental piano terdengar di hening pagi.

Nada demi nada mengalun, mengalir lewat udara pagi pukul sembilan yang tenang. Melambat, mengayun kemudian cepat. Lantunan nada penuh cerita, mewakilkan seribu rasa. Tanpa sadar melambungkan pendengarnya pada masa-masa indah penuh kenangan tak terlupakan. Itulah salah satu kekuatan nada keajaiban sebuah lagu.

"Hana's eyes," Zhang Zhehan menggumam. Inderanya masih terfokus pada lantunan nada instrumental piano dari pemutar lagu di dalam kafe, menggema ke seluruh bagian ruangan lewat pengeras suara  aktif.

"Ya?" Simon mengangkat wajahnya yang tertunduk pada cangkir di depan mata.

"Dulu aku sering mendengarnya. Entah aku yang memainkan pianonya atau orang lain. Tapi lagu ini melekat di kepalaku seperti parasit," mata indah Zhang Zhehan menerawang. Kemudian terpejam. Di balik mata yang tertutup bukan kegelapan yang ia temukan melainkan sekelebat bayangan putih, serupa gaun atau selendang seseorang yang melambai-lambai.

Dia melihat gambaran dirinya sendiri, bermain piano, dari tarian jemari terlahir melodi menyentuh, menyeret hantu-hantu kenangan kembali bangkit dari sudut ingatan yang coba ia lupakan. Lantas bayangan putih itu berjalan ringan, melayang, mendekat, menyapanya lembut.

Zhehan...

"Hfftt...." Zhang Zhehan membuka mata dan langsung terbelalak. Mengerjap-ngerjap cepat seiring hembusan nafas berat.

"Zhehan, ada apa?" Simon menatapnya, ketidakpahaman tanpa rasa bersalah.

Zhehan menyesap kopinya menekan guncangan yang tiba-tiba melanda.

"Tidak ada," si empunya paras cantik menggeleng bersemu pucat.
"Aku baik-baik saja."

"Apakah lagu itu mengganggumu?"

"Sama sekali tidak. Ini tidak ada hubungannya dengan lagu. Aku hanya sedikit pusing tiba-tiba," menyesap kopinya lagi, Zhehan melirik kesana kemari dalam gerakan bola mata liar. Bayangan itu hanya ada dalam pikirannya, alam bawah sadar yang terkunci. Tidak ada siapapun serupa sosok itu di kafe tempatnya berada sekarang. Hanya ada sang manager tampan yang mengusik hati dan tidurnya dengan senyuman serupa malaikat.

"Kau tampak berbeda. Apa kau memikirkan hal serius?" Simon masih merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Zhehan menggeleng lagi. Saat itu permainan piano berganti dengan lagu yang lebih lembut dan melamun.

Perlahan ekspresi wajah Zhehan kembali setenang danau di pagi hari.

"Nampaknya kau sangat menyukai permainan piano," Simon kembali berkomentar setelah beberapa lama.

"Lumayan. Aku teringat pernah memainkannya. Tapi aku tidak ingat kapan itu terjadi dan kapan aku berhenti bermain," meskipun membingungkan, jawaban Zhehan terdengar jujur. Tidak ada nada kebohongan di dalam suaranya.

"Alangkah menyenangkan jika bisa melihatmu bermain," tiba-tiba kilasan ide berkelebat dalam benak Simon tentang menempatkan sebuah grand piano di dalam coffeeshop miliknya untuk sesekali menggantikan alunan musik dari jukebox atau radio.

"Aku perlu belajar lagi," Zhehan menyeringai.
"Tapi di rumahku sekarang tidak ada piano. Jika kau menyediakan satu di kafe ini mungkin aku bisa--"

"Itu soal gampang," Simon memotong kalimatnya. Membeli piano sesederhana menjentikkan jari baginya. Itu mungkin tidak ada dalam anggaran tetapi ia akan mengurus masalah itu nanti.

"Aku akan menempatkan satu piano di salah satu sudut kafe, akan ada perubahan dekorasi. Kau harus datang setiap hari dan bermain beberapa lagu untuk pengunjung."

"Aku khawatir tidak bisa datang setiap hari," Zhehan meneguk lagi kopinya sambil melamun.

"Tapi akan kuusahakan datang sesering mungkin dalam sepekan."

"Bagaimana jika aku datang ke rumahmu dan menjelaskan pada kakakmu tentang ini. Akan kuberitahu bahwa kau bekerja untukku sebagai pemain piano."

Zhehan menggeleng tidak setuju, meredupkan cahaya harapan Simon. Mungkin ini terlalu terburu-buru baginya dan ia mencoba untuk mengerti.

"Aku khawatir kakakku akan memberikan banyak aturan menyulitkan," Zhehan mencoba membuatnya terdengar sederhana.

"Baiklah. Kalau begitu kita mulai dengan lebih mudah. Anggaplah kau bermain sebagai hobi dan kesenangan. Ngomong-ngomong, sejak kapan dan di mana kau belajar piano. Apa kau pernah mengambil les musik?"

Zhehan meletakkan cangkir kopi, memutar-mutarnya sejenak sebelum memberikan jawaban yang membuat Simon termenung.

"Aku tidak ingat."

☕☕☕

Rutinitas baru Simon yang paling dia senangi setiap pagi mengalami perubahan satu pekan kemudian tepat ketika piano baru itu tiba dan ditempatkan di dalam kafenya.

Berdiri di depan cermin, memilih kemeja, jas, jam tangan dan sepatu yang cocok. Dia lebih lama mengamati bayangannya yang memukau serta tersenyum lebih banyak. Sang ayah menyadari perubahan kecil tersebut tetapi dia tidak mengatakan apa-apa, ia menganggap itu hal yang lumrah.

Tepat hari minggu di mana piano itu siap dimainkan untuk menghibur, Simon meminta teman lamanya, putra paman Zhao, untuk mengantar ke kafe pagi itu karena ia menaruh mobilnya di bengkel resmi untuk beberapa pergantian aksesoris.

Yuan Zheng diam-diam mengamati perubahan Simon yang semakin tampan dari hari ke hari dan mulai menggodanya.

"Apa yang begitu istimewa dengan hari ini. Kau terlihat lebih tampan dari biasanya." ia tersenyum-senyum sambil mengemudi.

"Tidak ada," Simon melayangkan pandang keluar dimana semak berbunga terpangkas rapi yang selalu ia kagumi berlarian sepanjang tepi jalan berbatasan dengan trotoar.
"Aku menyediakan piano di kafe mulai hari ini. Seseorang akan memainkannya."

Ketika menyebutkan kata seseorang  senyum misterius terkembang di wajahnya. Yuan zheng berdehem curiga.

"Pemain profesional?" ia iseng menyelidik.

"Bukan," Simon masih melihat keluar kaca mobil, menyembunyikan perubahan ekstrim di wajahnya.

"Hanya seorang tamu langganan kami. Dia teman lamaku."

"Teman lama?" Yuan Zheng kagum akan kecepatan aksi Simon dalam berteman.
"Kau belum genap sebulan tiba di Chengdu dan sudah memiliki teman lama," ia terkekeh geli. Menekan klakson dengan kaget saat seorang wanita paruh baya menyebrang tergesa.

"Astaga, kenapa begitu tergesa. Kupikir semua warga kota ini adalah orang yang santai," Yuan Zheng berkomentar tentang si penyebrang jalan.

"Sejujurnya aku tidak ingat," Simon merenung.
"Dia memperkenalkan diri kalau dia adalah temanku waktu sekolah dasar."

"Siapa?" Yuan Zheng menoleh. Ada rona takjub di wajahnya. Bukan hal aneh jika seseorang bertemu kembali dengan teman lama di sekolah dasar,  dia hanya memiliki kecurigaan bahwa Simon mungkin memiliki perasaan khusus dengan melihat caranya bicara.

"Kau terlihat berbeda saat menyebut seseorang itu.  Aku tidak ingat ada anak perempuan cantik waktu kita sekolah dasar," Yuan zheng melanjutkan bicara.
"Kau tidak lupa kan bahwa aku juga sekolah di sekolah dasar yang sama denganmu, Angel Education."

"Hmmm..." gumam Simon.
"Dia memang bukan anak perempuan. Tetapi sangat cantik dan menawan."

"Mana ada," Yuan Zheng tertawa kecil. "Yang benar saja."

"Aku serius."

"Siapa namanya? Aku ingin tahu apa dia sudah cantik sejak sekolah dasar."

"Zhang Zhehan," Simon tersenyum menyebut nama itu. Siapapun bisa menangkap antusiasme dan getaran dalam caranya bicara.

Yuan zheng memperhatikan lampu lalu lintas tetapi masih bisa memikirkan sekilas tentang nama itu.

"Apa dia teman sekelas?"

Simon mengangguk, "Dia bilang begitu."

Yuan Zheng menggumamkan nama itu dua kali dalam upaya mengingat sesuatu. Kemudian dia tertawa tanpa emosi. "Astaga, ingatanku payah sekali. Aku tidak ingat bahwa ada teman sekelas dengan nama itu. Tapi tunggu, mungkin ada satu nama bermarga Zhang. Aku tidak jelas lengkapnya, juga tidak semua kawan akrab denganku."

"Sudah begitu lama. Wajar jika kita tidak ingat," Simon tidak ingin mempermasalahkan kerancuan kenangan yang mereka miliki. Tidak semua orang mencintai kenangan masa di sekolah dasar. Baginya yang terpenting sekarang adalah kehadiran Zhang Zhehan di kafe dan memainkan piano untuknya.  Ralat -- untuk para pengunjung.

"Jika kau punya waktu, kau bisa menemuinya hari ini. Kau akan setuju denganku jika dia pria yang cantik," Simon mengulum senyum di bibir merah sensualnya.

Yuan Zheng melirik jam tangan, tidak langsung menjawab karena fokus pada keramaian jalan hingga akhirnya sampai di depan coffeshop milik Simon yang mulai hidup dengan aktivitas para karyawan.

"Baiklah, aku punya waktu hingga jam sepuluh. Aku harus pergi ke kantor periklanan untuk rapat."

Yuan Zheng teringat pekerjaannya sebagai marketing di satu perusahaan swasta dan target yang dibebankan padanya. Sekilas ia mendengus, mencoba melupakan untuk sejenak dan bersantai di kafe dengan secangkir kopi dan cheese cake.

Dia memarkir mobil di tempat khusus di satu sisi kafe kemudian keduanya turun dari mobil.

"Kapan teman lamamu itu akan tiba di sini?" Yuan Zheng bertanya saat keduanya berjalan beriringan di taman. Tatapan Simon terpaku pada meja kursi di patio di mana ia pertama kali melihat sang tamu cantik.

"Aku sudah bilang padanya untuk datang pukul sembilan."

"Dia dibayar untuk bermain piano di sini?"

Simon mengangkat bahu, ekspresinya bingung. "Aku berniat begitu. Tapi entahlah. Dia mungkin akan tersinggung jika aku membayarnya."

Simon mendorong pintu kaca tebal, mengangguk pada beberapa karyawan yang menyapa. Mereka masuk ke dalam kafe dan duduk di coffee bar.

"Katakan saja pada staffku mau pesan apa. Aku ke ruanganku dulu." Simon menepuk bahu Yuan Zheng dan berlalu ke dalam.

Simon tidak berharap Zhehan datang tepat waktu karena ia tidak terlalu memaksa pada si pria cantik untuk acara main piano yang sejujurnya hanya obsesinya saja. Tetapi dia terkejut sekaligus senang ketika Zhehan benar-benar datang. Dengan penampilan santai seperti biasa dan senyum cerahnya yang menyalakan semangat pagi bagi Simon, dia mulai duduk di belakang piano menjelang pukul sepuluh pagi di saat kafe sudah mulai banyak pengunjung.

Zhang Zhehan memainkan dua hingga tiga lagu bertempo lambat yang sedih dan memukau.

Yuan Zheng masih duduk di coffe bar, tidak melepaskan tatapannya pada mahluk luar biasa dengan jemari lentik menari di atas tuts piano.

Tatapan sang pemain piano begitu pedih, namun sekilas seperti dalam kemenangan, seakan itu adalah tujuannya agar para penikmat permainan pianonya tergugah dan menghampirinya. Simon mendekati Yuan Zheng yang masih terpukau.

"Jadi dia yang bernama Zhang Zhehan?" kali ini ia coba untuk semakin mengetahuinya.

"Ya," Simon menjawab dengan gumaman singkat. Lantas ia penasaran dengan penilaian Yuan Zheng, memutuskan bahwa itu penting buat seseorang untuk memuji penampilan Zhehan.

"Dia keren bukan? Musiknya juga," katanya pada Yuan Zheng.

Yang diajak bicara hanya tersenyum singkat, "Aku ingin tahu," ia bergumam dengan tujuan didengar oleh Simon.
"Jika dia melihatku, atau dia melihatku bicara denganmu, apakah dia akan mengenaliku?"

"Seharusnya ya," Simon melipat bibir.
"Jika dia bisa mengenaliku, mungkin juga dia akan mengenalimu. Tapi jangan terlalu berharap. Kau tahu aku lebih populer darimu waktu di sekolah dasar."

"Sialan..! Ah, tapi kau benar," Yuan Zheng terkekeh pelan.

Selesai memainkan beberapa lagu yang indah, Yuan Zheng bahkan nyaris lupa akan rapatnya. Dia baru akan berpamitan saat Zhehan beranjak dari piano dan melangkah menuju Simon.

"Dia kemari," bisik Simon, dadanya berdesir melihat betapa anggunnya cara Zhehan berjalan.

Yuan Zheng hanya menatap si pria cantik dengan senyum formal yang samar.

Zhang Zhehan balas tersenyum, datar.  Sebagian orang mungkin benci dengan respon seperti itu. Bukan karena senyumnya yang memuakkan tapi justru senyum itu terlalu langka sampai seakan siapa pun bisa merasakan jiwanya yang begitu bebas.

"Bagaimana penampilanku?" Zhehan bertanya lembut pada Simon. Melihat sekilas pada Yuan Zheng dan tidak mengubah ekspresinya sedikit pun.

"Sempurna. Nada-nada yang luar biasa," Simon memuji jujur. Dia tidak mungkin berbohong akan hal itu. Setiap hal kecil dalam diri Zhehan selalu mengundang pujian tulus dari dalam hatinya.

"Aku belum sempat memesan Frappuccino ku," Zhehan berkata lagi lalu tangannya mengarah pada kursi di taman.

"Aku akan berada di tempat biasa."

Simon menyampaikan pesanan minuman Zhehan pada seorang pelayan, dia mengangguk pada si pria cantik dan berkata.

"Aku akan menemanimu di sana."

"Terima kasih."

Zhehan berbalik dan berjalan menuju meja kursi di luar pintu utama, menghadap keindahan taman yang selalu menjadi tempat favoritnya untuk menyendiri.

"Lihat," Yuan Zheng berbisik.
"Dia tidak mengenaliku..."

Simon mengangkat bahu, menepuk lengan kawannya, reaksi yang mengungkapkan bahwa hal itu tidak penting.

"Sudah kubilang aku lebih populer darimu."

"Kau tidak penasaran apakah dia sungguh teman masa kecilmu atau bukan?"

Simon mengangkat alis, "Kupikir itu tidak begitu penting."

"Memang," sahut Yuan Zheng.
"Tidak masalah jika dia jujur. Tapi jika dia berbohong tentang hal kecil itu, paling tidak kau harus tahu apa alasannya."

Simon tertawa ringan, sekali lagi menepuk lengan Yuan Zheng.
"Terkadang tidak banyak mengetahui beberapa hal cukup menenangkan," ia berkata sok filosofis.
"Tidak penting bagiku dia teman lama atau bukan. Yang terpenting saat ini bagiku adalah bahwa kami bisa berteman dan lebih dekat."

Yuan Zheng mendengus, jelas sekali kawannya ini mulai jatuh cinta pada si pria cantik.

"Aku akan mencari album lama kelulusan di sekolah dasar," ia berkata.

"Astaga, kau masih belum selesai?" tegur Simon tidak setuju.

"Aku tidak yakin jika albumnya masih ada. Aku penasaran apa dia benar-benar teman lama kita. Kenapa aku merasa asing.."

Vincent melewati keduanya dengan segelas Frappuccino dalam tray berwarna hijau. Simon menghentikannya sejenak, "Buatkan satu untukku juga."

"Jadi selera anda sama dengannya sekarang?" Vincent balas bertanya dengan maksud bercanda.

Sang manajer tampan hanya tersenyum singkat. Vincent menggelengkan kepala dan terus berjalan meninggalkan Simon dalam pemikirannya sendiri.

Ya, dia jatuh cinta pada si tamu cantik. Pada senyumnya, permainan pianonya, pada Frappuccino nya.

Identitasnya?

Ya, tentu saja itu penting dan ia akan mengetahuinya suatu hari nanti. Saat ini yang ada dalam benaknya ada satu pertanyaan yang mengusik.
Apakah Zhang Zhehan juga memiliki perasaan yang sama?

To be continued
Please vote and comment for Junzhe

Salam Langlangding 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro