Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 : Malam Bulan Sabit (2)

Di Feisheng menatap Li Lian Hua beberapa saat. Tawanya sempat tertahan sebelum akhirnya meletus panjang.

"Tidak. Tapi aku melihatmu duduk di atas kuda menikmati pemandangan kobaran api di hutan ini selama penyerangan terhadap geng Jinyuan."

Li Lian Hua tertegun.

"Seharusnya kita bertarung saat itu, tapi kau sangat yakin terhadap jenderal kerajaan dan ribuan pasukannya. Apakah itu kesombongan? Hingga kau tidak berminat bertarung denganku secara langsung?"

"Aku tak ingin mengotori tanganku," sergah Li Lian Hua.

"Itu hal sederhana. Kau hanya perlu mencucinya lagi."

"Aku bukan penjahat sepertimu yang membunuh orang dengan tersenyum."

Di Feisheng memiringkan bibirnya, menampilkan ekspresi pura-pura bingung. "Aku tidak membunuh sembarangan."

"Kau juga merampok!"

"Yah, itu pun tidak kulakukan sembarangan. Dulu aku terbiasa merampok berpeti-peti uang dan emas para pejabat korup. Untuk apa aku mengambil uang kecil atau melenyapkan nyawa orang biasa. Ini penghinaan terhadap ketua bandit."

Li Lian Hua menahan nafas. Matanya menyorot ganas pada Di Feisheng.

"Tidak ada gunanya berdebat denganmu. Kau pandai bersilat lidah," desisnya.

Menerima tanggapan Li Lian Hua, wajah Di Feisheng seketika meringis.
"Ahh ... astaga, aku juga menyesal mengatakan semua ini padamu. Tatapan menuduhmu membuatku sakit gigi."

Li Lian Hua menatap curiga pada sang ketua sekali lagi dan merasa bahwa dia memiliki aura tak terlukiskan. Sesaat, dia tidak terlihat seperti bandit. Namun adakalanya tatapan mata tajam yang dingin membuatnya terlihat seperti penjahat sejati.

"Tetapi mengapa kau tidak merampok benda berharga yang aku bawa bersama kawanku?" Pertanyaan bodoh itu terlontar dari bibir Li Lian Hua serupa bisikan sarat kebingungan.

Di Feisheng mengangkat bahu. "Aku tidak membutuhkannya. Lebih menyenangkan bagiku melihatmu meluncur jatuh ke jurang bersama perampok sial itu."

Gelengan kepalanya diiringi tatapan sendu yang dibuat-buat.

"Aku terharu melihat solidaritasmu terhadap musuh." Di Feisheng kembali mengumandangkan tawa, kali ini lebih pelan. Namun cukup membuat Li Lian Hua merasa terhina dan kesal. Anehnya, ia tidak bisa marah pada sosok unik yang tengah mengoceh di hadapannya.

"Hentikan omong kosongmu," desahnya frustasi. Mendadak kehilangan minat untuk pergi. Sebaliknya, Li Lian Hua memilih duduk di atas batu tidak jauh dari Di Feisheng. Wajah datar dan pucatnya menunduk terserap dalam pusaran pertanyaan.

"Dan ya, hentikan pula tawa sialanmu. Itu membuat pikiranku terganggu," protesnya dengan suara dalam penuh wibawa.

Di Jianghu, ia akan disegani jika sudah menunjukkan ketegasan seperti sekarang. Namun kali ini ia berada di hutan gunung Qingyun yang merupakan sarang bandit serta terjebak situasi yang ganjil. Alih-alih menuruti ucapannya, Di Feisheng malah menyeringai.

"Ah, seandainya pedangmu masih ada di tanganmu, mungkin kau akan menggunakannya untuk melukai wajah dan mulutku."

Kekehan geli mengalir di malam senyap, menguatkan nada ejekan dalam suara si ketua bandit. Seketika Li Lian Hua mendelik, namun tidak sanggup melemparkan gerutuan yang menyesaki benaknya.

"Orang-orang yang mendengar gema tawaku di malam hari biasanya akan berakhir gila atau bahkan kehilangan nyawa akibat tindakan melukai diri sendiri," gumam Di Feisheng, setengah merenung.
"Apa kau tidak takut dengan semua akibat itu?"

Li Lian Hua menatapnya, namun tidak bergerak, juga tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Kemudian setelah terdiam beberapa saat dia bertanya dengan tegas.
"Mengapa aku harus takut? Kau lihat sekarang. Aku baik-baik saja, duduk dan mendengar ocehanmu sepanjang waktu, bahkan setelah mendengar tawamu yang mengganggu."

Tawa panjang Di Feisheng kembali berkumandang. "Aku tidak tahu jika aku sekarang berkawan dengan seorang pahlawan, selain tampan, keberaniannya tak diragukan."

"Lagi pula," sela Li Lian Hua dengan suara rendah, "aku tidak takut dengan kematian. Setiap hari aku terbangun dengan memikirkan cara-cara heroik untuk mati."

"Sungguh mengharukan." Di Feisheng menoleh pada pemuda di sisinya, sorot matanya memancarkan rasa penasaran. "Lalu mengapa kau, seorang pahlawan, berada di sini? Duduk berdua dengan ketua bandit dan memandang bulan. Jika orang lain memergokimu, kau akan menanggung malu."

Mengapa? Ya mengapa?

Li Lian Hua menggemakan pertanyaan itu dalam hening pikiran. Mengapa ia tertarik mengikuti gema suara Di Feisheng, memilih meninggalkan pondok dan menyeret langkah untuk datang kemari, bicara omong kosong dengan pemuda asing.

Dia menatap wajah Di Feisheng yang sekilas nampak begitu kharismatik dan mempesona, lantas menemukan jawaban yang samar-samar. Namun seiring dengan jawaban itu, muncul pertanyaan lain di benaknya.

"Mungkin karena aku melihatmu sebagai sosok yang menarik. Di Feisheng, katakan mengapa kau menjadi ketua bandit? Jika kau tidak mengatakannya sendiri, mungkin aku akan sulit bagiku mempercayai ini."

Di Feisheng hanya mengangkat sebelah bahunya sedikit dan membiarkannya jatuh lagi.

"Itu sudah lama berlalu. Sudah aku katakan padamu, aku tidak sembarangan merampok. Pada tahun-tahun itu, para pejabat korup menindas rakyat kecil. Kekejaman mereka membuatku marah. Ayahku seorang petarung handal dan aku memiliki guru yang hebat. Tapi apa untungnya semua itu? Hidup tidak terlalu ramah pada orang biasa sepertiku dan aku mulai memberontak."

"Jadi, apa kau dan anak buahmu merampok dan membunuh rombongan pejabat yang melintas wilayah ini?"

"Pertanyaanmu tidak tepat," Di Feisheng menjawab dengan tegas.

"Harusnya kau bertanya mengapa aku melakukan itu?"

Ada kilatan di mata gelap itu. Entah kemarahan atau kekecewaan. Sikap santainya hanya ada di permukaan, sementara isi pikirannya masih gelap tak terbaca, demikian Li Lian Hua menyimpulkan.

"Apa pun alasannya, tindakan itu tidak bisa dibenarkan," ia menanggapi.

"Tindakan yang benar," Di Feisheng mengulang kalimat itu dengan bertanya-tanya.

"Kebenaran seperti apa? Bisakah kebenaranmu membuat kesulitan hidup orang lemah menghilang?"

Li Lian Hua mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Aku merampok pejabat kaya korup dan suka menindas, lantas membagikan uangnya pada orang-orang miskin."

"Dan kau membunuh juga?"

Di Feisheng mengangguk santai. Bibirnya mengatup rapat dan tegas, tidak menunjukkam kelemahan.
"Kalau tidak, aku yang akan dibunuh oleh mereka."

"Jadi kau menganggap dirimu pahlawan?" Li Lian Hua menyindir tajam.

"Mereka yang sudah aku tolong, menyebutku pahlawan. Mereka yang aku rampok dan aku binasakan, menyebutku bandit kejam. Siapa di antara mereka yang lebih benar? Bagaimana kau mengatakan pada semua orang, siapa yang benar siapa yang jahat? Bagaimana denganmu yang menggerakkan pasukan untuk membantai puluhan nyawa? Meskipun mereka bandit, tapi tetap manusia, bukan?"

Li Lian Hua tidak bisa menjawab. Wajahnya sebeku batu, sulit menebak apa yang dia pikirkan. Tetapi ada kepedihan terlintas, disusul selapis kesadaran yang lembut menggantikannya.

"Nyatanya, banyak pendekar aliran putih tetap memburu kalian, bukan?"

Seekor kelelawar mengepakkan sayap di atas pucuk pepohonan. Menciptakan desisan di udara. Saat itu, tatapan Di Feisheng mengikuti pergerakan sayapnya.

"Itu takdir buruk yang sulit dihindarkan," gumamannya berubah sendu. Pemandangan hutan pinus gunung Qingyun memenuhi hatinya dengan kerinduan. Aroma masa lalu, dan teman-teman yang pernah dia miliki. Sudah lama sekali ia menyendiri semenjak peristiwa pembantaian itu dan ia telah terlalu lama tenggelam dalam kesunyian yang menyedihkan.

"Kelompok kami binasa, tercerai berai. Tapi aku masih ada di sini. Seseorang tak bisa disebut kesepian sebelum merasakan hidup sendiri selama belasan tahun dan menyaksikan banyak kematian. Keberadaanku sangat samar, hanya bisa dilihat dan disadari sebagian orang. Untuk pertama kalinya selama aku hidup, aku menangkap kilasan rasa tertarik dalam sorot matamu. Aku tahu kau merencanakan pembantaian pada geng Jinyuan tanpa pernah bertemu denganku sebelumnya. Kukira jika kita bertemu, kukira ... mungkin kau akan bersimpati padaku."

Angin semilir menyapu wajah dan rambut mereka berbalut aura kesedihan dan putus asa yang menciptakan suasana kelam dan udara tidak nyaman di hutan ini. Manusia biasa akan sulit untuk bertahan. Li Lian Hua bertanya-tanya bagaimana sang ketua bandit bisa melewati tahun-tahun yang panjang, hidup di bawah naungan langit malam. Meski berhias bulan dan bintang namun tetap saja kelam. Kekuatan seperti apa yang dia miliki hingga tetap waras, dan sebanyak apa kesalahan yang ia perbuat hingga membuatnya terasing. Bagaimana rasanya hidup belasan tahun tanpa sahabat, tanpa keluarga, tanpa cinta.

Entah mengapa Li Lian Hua memikirkan hal-hal melankolis penuh kepahitan yang sama sekali tidak terkait dengan dirinya.

Lama keduanya terdiam, saling melirik tanpa bersuara, sementara cahaya lemah sang rembulan kian meredup ditelan bayang-bayang.

Dicekam keheningan, akhirnya Di Feisheng bersuara, "Aku akan duduk bermeditasi."

Mengukir senyum sangat tipis di sudut bibirnya, Li Lian Hua mengungkapkan persetujuan.

Di Feisheng duduk bersila dan memejamkan mata. Sementara diam-diam Li Lian Hua meliriknya. Menatap wajah pucat kaku sang ketua bandit, dia merasa terjebak dalam jantung misteri. Ketika ia menoleh lagi setelah memalingkan pandangan, mata gelap Di Feisheng menatapnya lembut, kilauan mata, dan senyuman. Semuanya begitu indah bagaikan ilusi.

Tetaplah di sini, Li Lian Hua ...

Suara itu bergema pelan, menyelusup dalam relung pikirannya. Dia bahkan tidak melihat Di Feisheng menggerakkan bibirnya, seakan-akan ada suara gaib merasuki jiwanya.

Kau tidak akan meninggalkan hutan ini. Bersamaku, kau akan hidup dalam ilusi ....

Li Lian Hua menggoyangkan kepala, berupaya mengenyahkan pengaruh bisikan itu. Nyatanya, ia justru mengubah posisi hingga ia pun duduk seperti orang meditasi. Kesadarannya perlahan mulai melayang-layang.

"Kita akan bertemu lagi besok malam di tepi sungai sebelum bulan terbenam."

Bisikan Di Feisheng tidak menghentikan mata Li Lian Hua dari terpejam. Perlahan kesadaran mulai meninggalkannya. Setelah Li Lian Hua terlelap dalam posisi meditasi, sang ketua bandit berlalu tanpa mengatakan apa pun, jubah hitamnya dengan cepat menyatu dalam gelap.
Dan seluruh hutan pun kembali sunyi.

*****

Lagi, api berderak di perapian.

Ketika suara tawa di kejauhan perlahan menghilang, Wang Yan menghela nafas panjang. Dia masih terantai pada ingatan masa lalunya, dan Fang Duobing tidak berani mengusiknya untuk beberapa saat. Meskipun keheningan mulai terasa nyaman dan keduanya mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain, Fang Duobing menemukan bahwa rasa penasarannya tak berujung.

"Setelah kematian bangsawan Jing, lalu apa yang terjadi dengan kelompok kalian?" ia bertanya.

"Serangan terhadap bangsawan Jing pada akhirnya memancing kemurkaaan raja." Wang Yan termenung, kembali melanjutkan kisahnya. "Banyak pendekar aliran putih mendukung serangan besar-besaran terhadap kelompok kami. Pada malam yang sudah ditakdirkan, Ketua terlibat pertempuran sengit dengan salah seorang petarung tangguh. Setelah sepanjang siang kami bertempur melawan ribuan prajurit, seluruh anggota kelompok tewas. Hutan ini digenangi darah dari tubuh anggota kami dan sejumlah besar prajurit kerajaan. Saat malam menjelang, ketua masih bertarung dan melakukan aksi terakhir yang berbahaya."

Kedua pemuda menunggu saat Wang Yan menjeda.

"Tidak banyak yang tahu bahwa selain memiliki tenaga dalam angin poplar yang dahsyat, ketua pun pernah mempelajari ilmu hitam di mana ia mampu memisahkan roh dengan fisiknya saat terdesak. Karena itulah, ketika fisik sudah lelah, ia bisa melanjutkan bertempur hanya dengan rohnya. Rupanya lawan yang nyaris sekarat mengetahui rahasia ilmu ketua. Dia telah menyusun siasat dengan seorang anteknya. Pada saat roh ketua masih bertarung, dengan cara licik, ia menyuruh seorang petarung handal lain untuk menusuk raga ketua."

"Seharusnya itu bukan pertarungan yang adil," komentar Fang Duobing.

"Jadi ketua kalian akhirnya dikalahkan? Mengapa saat pembantaian itu kau bisa selamat?"

Wang Yan tersenyum maklum. Dia sudah tahu bahwa pertanyaan semacam itu akan terlontar pada dirinya. Nada menuduh seakan dengan bisa hidup lebih lama, ia adalah seorang pengkhianat.

"Kelompok kami memiliki satu gua tersembunyi yang bisa digunakan sewaktu-waktu dalam situasi genting. Ketua mendesakku untuk mundur dari pertempuran dan memintaku bersembunyi di gua. Aku melanggar perintahnya untuk pertama kali dan yang terakhir hanya untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana ketua kami dilukai secara curang."

Jeda lagi, saat jiwanya mulai tersandung dan jatuh pada palung kesedihan.

"Aku membawa tubuh ketua pada Tabib Iblis, seorang tetua di kelompok kami. Berharap dia bisa melakukan sesuatu, sayangnya, ketua tidak bisa kembali ke tubuh fananya. Aku tidak paham ilmu seperti apa yang dia pelajari dan apa resiko terburuk dari ilmu itu. Tabib Iblis mengatakan bahwa ini sudah takdir langit. Kejahatan ketua telah merenggut banyak nyawa. Jiwanya telah dikutuk. Tangannya dinodai begitu banyak darah hingga tak ada mata air mana pun bisa mencucinya."

"Me--ngerikan sekali," desis Fang Duobing, seketika merinding.

"Kumandang tawanya terus bergema di malam hari sejak peristiwa berdarah itu. Siapa pun yang cukup sial mendengarnya, ia akan mati, entah itu melukai diri sendiri atau jatuh dan celaka. Beberapa orang yang beruntung tidak sampai kehilangan nyawa, ia akan kehilangan akal. Mereka menceracau tentang melihat seorang pemuda berjubah hitam dengan tangan berlumuran darah, mengejek mereka dengan kumandang tawa panjang yang menakutkan."

Fang Duobing terserap dalam cerita dan seolah bisa mendengar tawa serta membayangkan sosok Di Feisheng yang berkeliaran menghantui hutan dan gunung. Tanpa sadar ia bergidik.

"Seiring berlalunya waktu, tempat ini kian terkenal karena keangkerannya. Komplotan bandit pecundang mulai bermunculan kembali untuk merampok siapa pun yang melintas. Tapi mereka menghindari hutan ini pada malam hari."

"Kau bisa mendengarnya? Lalu mengapa kau tidak mati atau gila?" tanya Fang Duobing.

Wang Yan menggeleng, sorot matanya seketika melembut. "Ketua tidak akan pernah menyakitiku. Dia hanya mencoba menghiburku, aku tahu dia sangat sedih dan kesepian. Aku berada di sini untuk menemaninya."

"Kesetiaanmu sangat mengagumkan.." Fang Duobing menatap Wang Yan dengan penuh simpati dan rasa hormat.

"Jadi, jiwa ketuamu tidak bisa kembali ke tubuhnya, juga tidak bisa pergi ke alam baka dan terjebak di hutan ini?" Pertanyaan Fang Duobing cukup kejam, dan Wang Yan benci karena itu adalah benar.

"Konsep kematian yang aneh," desah Fang Duobing, masih tidak paham akan keganjilan cerita Wang Yan.

Kilatan di mata Wang Yan menunjukkan ketidaksetujuan. Kepalanya menggeleng perlahan.

"Tidak! Ketua tidak mati. Dia hanya berada di sini. Dia menemaniku dalam kegelapan, dan aku menyimpulkan arti setiap desisan dan bisikan."

Bayangan buram tubuh keduanya jatuh di dinding, bergoyang seiring liukan lidah api di tungku perapian.

"Apakah saat ini kau bisa merasakan kehadirannya?" bisik Fang Duobing sedikit tegang.

Wang Yan mengangguk lambat-lambat. Sudah begitu lama tak ada yang bertanya tentang ketuanya. Dia masih terserap dalam kisahnya sendiri. Teringat bagaimana ia menangis atas kehilangan itu. Kehilangan yang memeras air mata kepedihan dari matanya.

"Jangan khawatir, aku memiliki firasat, ia tidak akan mengganggumu," ia menghibur Fang Duobing, meredakan ketegangannya.

Nyatanya, Fang Duobing kembali disergap gelisah. Pintu dan jendela kayu berderit saat tiupan angin menabraknya. Dia menatap hampa ke kegelapan malam di luar sana.

"Aku khawatir akan hal lain," ia berbisik, tidak bisa mengendalikan kecemasan dan ketakutan yang muncul di hatinya.

"Mengapa Senior Li tidak juga kemari?"

Dan pintu berderit lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro