01 : Asap Pembakaran
Sepasang kekasih tidak bertemu di suatu tempat. Mereka bersama selama ini.
=====
Pada masa-masa awal, ketika Li Lian Hua turun gunung dan meninggalkan perguruan Qi Mushin, dia percaya pada kesempurnaan. Di masa muda yang penuh semangat, Li Lian Hua memimpikan dunia yang penuh kedamaian dan sukacita. Tidak ada kejahatan, tidak ada ketidakadilan. Dianugerahi bakat luar biasa oleh para dewa, Lian Hua dengan mudah mewarisi seni bela diri teknik tertinggi dan menggemparkan Jianghu dengan kehebatan pedangnya. Dia berkelana untuk membasmi kawanan bajingan tengik, penjahat, kelompok pengacau yang menggunakan seni bela diri untuk menindas kaum lemah. Dalam beberapa kesempatan, dia berhasil mempengaruhi sekte besar untuk membasmi aliran hitam yang terlalu kuat untuk dia musnahkan, dan dalam prosesnya, ia pun terhubung dengan pihak kekaisaran.
Musim gugur yang kelabu di usianya yang kedua puluh tahun, Li Lian Hua merenungi asap hitam yang membubung ke angkasa dari api pembakaran hutan pinus kaki gunung Qingyun. Lolongan dan jeritan bergema memenuhi empat penjuru mata angin. Udara dipenuhi aroma kematian yang kejam. Dia duduk di atas kudanya yang berdiri di dataran yang lebih tinggi, menatap tajam pada pertarungan berdarah di bawah sana. Menikmatinya seakan itu adalah pertunjukan wayang.
Jubah putih, pedang ramping keperakan, dan aura angkuh yang melekat padanya seperti sesuatu yang sulit dihilangkan, penampilan gemerlap dan mata cemerlang oleh semangat, adalah wujud Li Lian Hua kala itu. Kemegahan yang berbanding terbalik dengan kehancuran di kaki bukit, tepat di bawahnya.
"Jika ada neraka di muka bumi, ini dia, ini dia, ini dia," dia berkata dingin, menyapa angin.
Kehancuran Geng Jinyuan, kawanan bandit kejam di Jianghu sudah lama menjadi tujuannya, dan setelah melalui beragam trik dan birokrasi dengan tokoh-tokoh penting, ribuan tentara kerajaan berhasil dikerahkan dan meluluhlantakkan sarang bandit.
Dia mengawasi lagi pertempuran berdarah di bawah sana. Awalnya ia turun tangan dan membasmi sebagian tokoh-tokoh tangguh dalam geng kejam itu, kini ia meninggalkan sisanya di tangan ribuan prajurit. Dia sempat merasakan deru angin berkekuatan sangat hebat, mencerai-beraikan satu batalion dalam sekali hempas. Namun Li Lian Hua bukan tanpa persiapan. Dia sempat mendengar kehebatan sang pimpinan bandit dan menempatkan mata-mata terlebih dulu untuk meracuninya.
Hanya masalah waktu, penjahat tengik itu akan tewas, Li Lian Hua membatin sinis. Seringai keji terwujud di wajah tampan secerah matahari. Hanya akan tersisa gaung namanya yang segera hilang terbawa angin. Tidak ada lagi ketakutan maupun teror dan ancaman.
"Di Feisheng, Di Feisheng," dia menggumam lagi sambil menggelengkan kepala dalam ekpresi prihatin yang pura-pura.
"Tamat sudah riwayatmu. Yang akan tertinggal darimu adalah satu cerita hantu yang seru, dan berujung maut."
Asap hitam meliuk-liuk di angkasa, seperti ular. Cahaya menghilang, kabut asap menelan alam. Dan Li Lian Hua pun bergerak mundur membawa kemenangan yang gemilang.
Ketika jiwa yang hidup meninggalkan tubuhnya. Tubuh itu mati. Tetapi jiwa tetap hidup. Ia tidak mati. Menetap dalam ruang waktu yang tak terbatas dalam ukuran. Itu merupakan satu esensi. Seluruh mahluk di dunia memiliki jiwanya sendiri.
Lalu bagaimana dengan dia?
Hutan itu didekap sunyi. Sementara udara beraroma debu dan asap pembakaran menggantung di atas tanah. Aroma kematian yang naik dari permukaan tanah hitam legam. Di atas sana, hamparan angkasa malam tersaput gumpalan hitam, di mana sang rembulan berlayar dari balik awan-awan yang memencar.
Seorang pria berpakaian hitam berdiri sendirian dalam kebekuan, dan detik berikutnya, kedua kakinya yang gemetar jatuh berlutut di tanah berdebu. Dia mendongak sekilas pada rembulan, menatapnya, seakan melihat pantulan wajahnya di sana. Pucat dan lelah.
Dengan jubah terkoyak dan helaian rambut melekat di satu sisi wajah, dia mengedarkan pandangan ke serata kegelapan. Matanya memerah dan terluka. Memohon dan pasrah.
"Yang Mulia!"
Suaranya menggema di seluruh lembah, memantul, dan perlahan menghilang.
"Yang Mulia, apa kau bisa mendengarku?"
Senyap tak menjawab. Kepak sayap kelelawar menggelepar. Ditingkahi kaok burung gagak di balik rimbun dedaunan. Mata-mata mereka berkilau ganas, menatap pria itu penuh kebencian.
"Yang Mulia!"
Sekian detik terulur dalam keheningan yang mencekam, suara gema tawa tiba-tiba melayang di udara terbawa angin musim gugur. Tawa panjang bernada pahit, tajam menyayat kesunyian. Pria berjubah hitam terkesiap. Serpih dedaunan hangus beriak, serangga menghentikan nyanyiannya, dan hembusan angin seakan mengambang penuh keraguan. Pria itu menahan napas.
"Kau masih hidup?" suaranya kali ini dialiri getar harapan.
Tawa menakutkan itu perlahan memudar, berganti gema suara. Dingin, tenang, penuh wibawa, dan kejam. Suara yang sanggup memukul jantungnya.
"Aku tidak hidup, tidak juga mati. Aku hanya ... berada di sini."
Sepuluh tahun kemudian
Pagi yang berkabut di gunung Qingshan, Li Lian Hua akhirnya mendengar kabar baik dari salah seorang prajurit yang mengawal perjalanan sulit mencari bunga langka Wangchuan. Mereka tengah berlomba mencari obat mujarab untuk penyakit kaisar yang tak kunjung sembuh dalam waktu yang cukup lama. Tabib terbaik di seluruh negeri telah dikerahkan, dan hasilnya belum memuaskan. Seorang ahli pengobatan yang hebat menemukan resep ramuan langka yang diracik dari bunga ajaib bernama Wangchuan. Meramu obat itu tidak mudah, dan mencari bunga Wangchuan lebih sulit lagi.
"Kita akan berpencar di seluruh gunung. Delapan penjuru mata angin. Terus berjuang untuk mendapatkan bunga langka, kita harus menemukannya walaupun harus menghadapi binatang buas dan menggali lubang ular."
Li Lian Hua memimpin satu pasukan yang telah disiapkan di kaki gunung. Semuanya berjumlah hampir lima puluh orang karena gunung Qishan bukanlah gunung yang mudah ditaklukkan. Di bawah pimpinannya, mereka bergerak mantap, penuh semangat pengabdian, siap berkorban dalam misi pencarian.
"Tunggu!"
Suara seorang pria diiringi hentakan kaki kuda mendekat ke arah pasukan. Li Lian Hua satu-satunya yang menunggang kuda, itu pun ia telah turun dari punggung kuda. Memilih berjalan kaki bersama pasukannya. Kini ada orang lain yang tampak cukup berpengaruh dan memiliki tujuan yang pasti. Terlihat dari cara berpakaian dan gerak geriknya.
"Siapa kau?" seru Li Lian Hua.
Pria yang baru datang menarik tali kekang kuda hingga binatang itu berhenti dengan mengeluarkan ringkikan. Dia berusia lebih muda dari Li Lian Hua. Mungkin sekitar dua puluh lima. Jubah putih kehijauan, pedang perak, giok indah tergantung di pinggang dan matanya lebar bercahaya penuh gairah kehidupan. Pria itu melompat turun dari kuda dan menghampiri Li Lian Hua dengan penuh percaya diri.
"Fang Duobing, Tuan Muda Balai Tianji. Ayahku menteri di Kerajaan. Dia khusus memerintahkan aku ikut andil mencari bunga Wangchuan."
Penuh kebanggaan dan wibawa yang jelas dibuat-buat, pria tampan itu memperkenalkan diri.
"Apakah ayahmu tidak mengetahui siapa pemimpin pasukan di gunung Qishan?" Li Lian Hua tersenyum sinis.
"Kupikir dia meragukanku dalam misi ini."
"Tunggu, itu dugaan yang keliru."
Li Lian Hua mengangkat tangan sebagai isyarat agar Fang Duobing berhenti bicara.
"Semua orang ingin berjasa di hadapan kaisar. Tidak ada alasan lain."
Fang Duobing menahan diri di depan sikap angkuh Li Lianhua. "Ayahku tulus ingin membantu. Lagi pula tidak ada ksatria lain. Hanya aku dan kamu."
"Apa sebenarnya yang bisa kaulakukan?" Nada bicara Li Lian Hua jelas meragukan kemampuan sang tuan muda.
Fang Duobing mendekat. Tangannya mencengkram gagang pedang di pinggang dalam setiap langkah.
"Aku ingin tahu bagaimana kehebatan Li Lian Hua yang terkenal di seantero Jianghu, dan menjadi andalan sang kaisar."
Setiap pendekar memiliki harga diri masing-masing, tapi Li Lian Hua tidak pernah membayangkan harganya akan serendah ini hingga pemuda berwajah lugu seperti Fang Duobing berani menantangnya.
Li Lian Hua menyeringai, menggelengkan kepala sedikit. Dia tidak menunjukkan pergerakan apa pun tapi pasukan sudah bergerak mundur tanpa dikomando.
"Sebelum kau kuizinkan bergabung dalam misi pencarian bunga Wangchuan. Aku ingin tahu apa kau mampu menunjukkan padaku kehebatan Balai Tianji," ujarnya datar, diiringi kerlingan misterius.
Tubuh Fang Duobing menegang. Bibirnya terkatup rapat, siap mencabut pedang dari sarungnya.
"Baiklah Tuan Li. Kalau begitu aku tidak akan merasa sungkan lagi. Terimalah keramahanku."
Dia menghirup napas panjang dan mengerahkan tenaga. Tangan kanan menghunus pedang yang diarahkan lurus pada lawan, tangan kiri melindungi dada. Serangan siap dilancarkan.
"Pendekar Li, berhati-hatilah!"
Begitu tangan kanan Fang Duobing bergerak, kakinya menderu dengan ringan. Lompatannya cukup tangkas, bahunya meliuk, mata pedang menyasar bahu Li Lian Hua. Yang diserang sama sekali tidak berusaha menyingkir. Dia menunggu serangan Fang Duobing mengenai pundaknya, mendadak ia memiringkan badan. Kaki kirinya melangkah mundur, dan tangan kirinya terangkat, mengibaskan udara kosong. Serangan balasan yang tampak sederhana, tapi sukar dihentikan dan memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Sabetan pedang Fang Duobing meleset, sementara deru angin tercipta dari kibasan tangan Li Lian Hua. Semuanya terjadi begitu cepat hingga Fang Duobing belum sempat memahami apa pun. Tiba-tiba saja ia mendapati tubuhnya terpental dua tombak ke belakang. Bersalto ringan, kakinya menjejak tanah dan terhuyung ke belakang. Air mukanya seketika berubah. Sebagai Tuan Muda Balai Tianji yang berbangga diri, ia tidak menduga bisa dikalahkan dengan mudah. Bahkan Li Lian Hua hanya perlu mengibaskan satu tangan untuk menjadikannya pecundang. Ekspresi wajah Fang Duobing melongo seperti orang bodoh, mengatur napas dan menyeimbangkan posisi kakinya. Dia berpikir ulang untuk melancarkan serangan kedua. Sementara di sisi lawan, Li Lian Hua hanya mendengus samar. Memutar bola matanya dengan raut wajah terheran-heran.
"Sungguh mengecewakan. Tuan Muda Balai Tianji ternyata hanya seorang yang payah," ujarnya ringan. Menepuk-nepuk bahunya seperti menepis debu.
"Kau ... "
"Sudahlah. Tidak perlu banyak bicara. Aku sudah paham. Kau bisa bergabung dengan kami. Lagi pula hanya mencari bunga, tidak perlu terlalu menunjukkan kemampuan ilmu pedang. Ini hanya masalah keberuntungan."
Fang Duobing memasang wajah cemberut. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Sungguh memalukan. Namun ia bertekad untuk ikut andil mencari bunga Wangchuan dan berjasa demi kaisar.
"Kemampuanmu luar biasa. Aku hanya seorang pemula. Harap maklumi sikapku." Dia menyarungkan lagi pedangnya, mengangguk samar sebagai tanda hormat.
"Aish, hentikan basa-basinya. Mari lekas bergerak. Kita harus temukan bunga langka itu secepatnya."
Selesai bicara, Li Lian Hua memberi isyarat pada pasukan dengan tangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro