22
Aku tak bisa tertidur nyenyak malam itu juga. Foto yang ada di kamar Jaeden itu sangat membuatku tidak tenang.
Alhasil, pagi harinya, aku mengantuk. Brandon yang mengejutkanku di sekolah, langsung ku marahi.
"Awas lo!" kataku kesal. Sedetik kemudian aku merasa bersalah telah memarahinya. "Maaf, gue kasar."
"Tumben lo ngantuk," katanya, menatap mataku. "Mata panda lagi."
"Gue gak bisa tidur nyenyak," ujarku. "Ngeselin banget."
"Halu lu gak selesai?"
"Au ah, lo sok tau."
Jaeden melewati kami. Aku melihatnya.
Jaeden, who are you?
"Hei, Jae." Brandon menyapa Jaeden. "Welcome back to school!"
"Hei, Brandon. Thanks," ucap Jaeden. Dia menatapku.
"Hai," sapanya. Aku hanya tersenyum tipis dan pergi. Jaeden memandangku dengan heran.
Ya, dia tak tahu soal tadi malam.
°°°
"Aaron."
Aaron mendongak dan menyahut, "Ya?"
"Hmm, lo tau sesuatu tentang Jaeden gak?" tanyaku.
"Enggak tau," jawabnya singkat. Aku tersenyum masam.
"Thanks."
Aaron kembali fokus membaca bukunya. Lalu, dia melihatku lagi.
"Lo kenapa?"
Aku yang sedang menulis, mendongak menatap Aaron. "Kenapa apanya?"
"Lo kek... gak tenang gitu dari tadi pagi," kata Aaron. "Terus, lo nampak ngantuk banget. Kurang tidur?"
Aku menghela napas dan mengangguk. "Iya. Tidur gue gak nyenyak."
Aaron menandai halaman bukunya, lalu bertanya, "Lagi ada masalah?"
Aku terdiam. Aaron terus menatapku.
Jujur saja, Aaron seperti singa yang ingin menerkamku.
"Iya," jawabku akhirnya.
"Masalah apa?" tanya Aaron.
"Hmm, gue ngerasa..." Aku menunduk. "Gue ngerasa kalau gue pernah ketemu sama Jaeden sebelum pindah."
Jariku bertaut. Aaron kaget, tapi tak berekspresi berlebihan.
"Lo sama Jaeden dulu sahabatan?"
Aku menggeleng. "Enggak. Gue baru kenal sama dia semenjak pindah kesini."
Aaron mengernyitkan dahi dengan bingung. "Jadi?"
"Gue ngerasa kalau ada yang salah sama gue." Aku memegang kepalaku.
Aaron menatap bukunya. Lalu dia memegang tanganku.
"Gue bakal bantu lo," ucapnya. Aku kaget dan menatapnya dengan heran.
Do you know?
Aaron tersenyum.
"Gue bakal tanya sama Jaeden soal itu," katanya. Lalu dia kembali berkata.
"Suatu saat lo bakal tau jawabannya."
Aku menatapnya dan tersenyum.
"Thanks."
°°°
"[Name]!"
Serra, teman klub majalahku, menghampiriku.
"Apa?" tanyaku.
"Buku lo ketinggalan tadi." Serra menjulurkan buku catatanku. Aku menerima buku tersebut.
"Eh, makasih Ser," ucapku. Serra mengangguk dan kembali ke dalam ruangan klub.
Aku berjalan pulang. Hari ini melelahkan sekali. Tak tidur nyenyak, tugas banyak, dan rapat klub.
BUK!
"Shit!"
Shit shit mulu yang keluar.
Sebuah bola terlempar ke kepalaku. Aku merintih dan memegang kepalaku.
"Ni kepala kena terus astaga," gumamku kesal.
"Lo banyak halu!"
"Apaan sih?!"
Tak kusadari, aku berbicara sendiri. Suara tadi berasal dari kepalaku. Tak tahu suara siapa.
"[Name]!" Jaeden menghampiriku dan mengambil bola basket yang dilemparkannya tanpa sengaja tadi.
"Lo kalau main basket hati-hati kenapa sih. Sakit tau," ocehku kesal.
"Maaf," ucap Jaeden.
"Lagian ya, ngapain coba kalian main di halaman. Main di gymnasium kek. Kurang kerjaan banget," ocehku lagi.
"Cerewet banget si [Name]," kata Jack pelan. Aku mendelik dan melotot kepada Jack.
"Sini, Jae!" Finn merebut bola dari tangan Jaeden. Aku bangkit dan berjalan.
Mereka bermain bola di halaman. Saat Finn mengoper bola kepada Noah, Noah malah melempar bola tersebut ke arah kaca sekolah dan...
PRANG!
"NOAH!" Finn memegang kepalanya dengan panik. "LO GIMANA SIH?!"
"MAAF, MAAF. GUE GAK SENGAJA!" Noah panik.
"Bisa kena detensi kita woi!" teriak Wyatt.
"TAU!" seru Finn dan Noah serempak.
"Woi, Jack! Cepet sembunyi! Tampang lo mencurigakan!" kata Wyatt. Jack mengelus dadanya dengan sabar, dan mengikuti Wyatt bersembunyi.
Aku melihat kaca pecah itu dengan panik. Aku melihat sekeliling. Dan sialnya, Mrs Pricill lewat dari koridor belakang.
"Shit! Ayo!" Jaeden menarik tanganku dan membawaku bersembunyi. Teman-temannya yang lain bersembunyi di semak-semak halaman.
Jaeden malah membawaku ke tempat peralatan cleaning service.
"Kok kesini sih?!" tanyaku bingung.
"Gak ada tempat lain," jawabnya. "Udahlah, gak usah protes!"
Aku memutar bola mataku. "Udah gue bilang kan. Bahaya kalau kalian main bola di halaman. Kurang kerjaan banget."
"Ssst!" Jaeden mengacungkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Diem lo cerewet!"
Aku menginjak kaki Jaeden. Dia memekik pelan.
Kami mendengar suara Mrs Pricill di luar.
"ASTAGA! SIAPA YANG MEMECAHKAN KACA INI?!"
Suara menggelegar yang membuat kami hampir jantungan. Bahkan Noah saja sepertinya sudah hampir kejang-kejang saat mendengar suara Mrs Pricill.
Aku dan Jaeden diam di dalam ruangan yang kecil dan sempit ini. Gelap sekali disini. Aku bahkan tak bisa menemukan Jaeden.
"Jae, lu diman—"
"Ssst."
Napas Jaeden terdengar. Dia berdiri tepat di depanku.
DEG
Kami dekat sekali. Bahkan jika Jaeden semakin dekat, kami bisa berciuman.
"Jae, mundur kek," kataku.
"Sempit banget. Kek mana mau mundur," bisiknya.
"Gue gak bisa napas."
"Yaudah sini gue kasih napas buatan."
"Heh!"
"Ssst! Diem!"
Bisa-bisanya dia mau kasih napas buatan.
You know what I mean.
Tak lama kemudian, keadaan sudah aman. Kami keluar dari persembunyian. Sudah lama aku menahan napas.
Aku berkeringat. Kulihat Jaeden yang tampak masih waswas.
"Bye, gue pulang," kataku, berjalan pergi.
"Bye."
°°°
Malam harinya.
Aku duduk di rooftop rumah sebelum makan malam. Kupandang langit malam yang bertabur bintang.
Aku jadi teringat saat Finn menemaniku di taman. Rasanya itu baru terjadi kemarin.
Aku menghela napas. Kenapa aku mengingat Finn lagi. Bukannya aku sudah move on darinya.
"Hei!"
"ASTAGA!"
Nyaris kulempar sandalku. Jaeden tiba-tiba saja muncul. Dia naik ke rooftop kamarku dengan tangga.
"Maaf, ngagetin." Jaeden menahan tawa. Aku memutar bola mata dengan kesal.
Jaeden duduk di sebelah ku. "Lo ngapain?"
"Nunggu Hagrid," jawabku asal. "Lo gak lihat gue ngapain?"
"Lihat bintang."
"Terus kenapa nanya?"
"Basa basi."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Jaeden melihat sekeliling. Pandangannya pun tertuju kepada gitar yang terletak di dekat pintu rooftop.
"Itu punya siapa?" tanya Jaeden, memandang gitar itu.
Aku melihat gitar yang dimaksud Jaeden, dan menjawab, "Punya Dad."
"Boleh gue mainin sebentar gak?" tanya Jaeden. Aku mengangguk. Jaeden pun bangkit berjalan dan kembali dengan gitar di tangannya.
Dia mengetes gitar tersebut. Aku melihatnya. Perlahan, Jaeden menyanyikan sebuah lagu.
Everyone can see
There's a change in me
They all say
I'm not the same kid I used to be
Don't go out and play
I just dream all day
They don't know what's wrong with me
And I'm too shy to say
It's my first love
What I dreaming of
When I go to bed
When I lay my head upon my pillow
Don't know what to do
My first love
Thinks that I'm too young
She doesn't even know
Wish that I could show her what I'm feeling
Cause I'm feeling my first love
Aku mendengar nyanyian Jaeden dengan tenang. Lalu aku bertanya, "Siapa first love lo?"
Jaeden tertawa pelan. "Manusia."
Aku mendengus dan kembali melihat langit. Jaeden memandangku.
"[Name], ceritain masalah lo sama Lila."
Aku mendelik. Jaeden menatapku terus-terusan.
Akhirnya, aku pun menceritakan semuanya kepada Jaeden.
"Kenapa lo baru bilang?" tanya Jaeden lirih.
Aku menunduk, "Gue gak mau lo tau."
"Apa salahnya gue tau?" kata Jaeden. "Gue berhak tau, karena ini juga berhubungan sama gue."
Aku diam. Tak lama kemudian, aku berkata. "Jae, gue mau nanya sama lo."
"Nanya apa?" tanya Jaeden.
Aku menatapnya. Kutarik ujung bibirku. Jaeden menunggu pertanyaanku.
"Lo sebenarnya siap—"
"[Name]! Kenapa kamu belum turun buat makan—"
Mum muncul di ambang pintu rooftop. "Eh, Jaeden."
"Halo, Tan." Jaeden melambaikan tangannya dan tersenyum ramah.
"Halo, Jae." Mum tersenyum. "Kalian berdua ngapain?"
"Gapapa, Mum. Tadi Jaeden nyanyi," jawabku, bangkit dan berjalan ke arah Mum.
"Yaudah. Ayo makan malam," kata Mum. "Jae, ayo ikut makan."
"Eh, gak usah, Tan. Jaeden—"
"Udah gapapa. Ayo makan," kata Mum, tersenyum. Jaeden pun akhirnya mengikuti kami ke bawah.
°°°
Situasi sangat awkward di antara kami. Mum duduk di sebelah ku. Jaeden duduk di sebelah Dad. Kami semua menikmati makanan masing-masing tanpa berbicara.
Setelah makan, Jaeden diajak mengobrol oleh Dad. Dia duduk di sofa dengan Dad. Aku duduk di tangga.
Tak lama kemudian, Jaeden menghampiriku. "Hai."
"Hm." Aku hanya menyahut pelan. Pandanganku masih tertuju kepada buku yang kubaca.
"Gak ada PR kan?" tanya Jaeden. Aku menggeleng.
"Lo kenapa sih?"
"Gapapa."
"Senyum dong."
Aku tersenyum manis dengan paksa. "Gini kan."
"Mirip Annabelle."
"Kurang ajar." Aku mendengus kesal. Jaeden menahan tawa.
"Gue pulang ya," katanya. Aku mengangguk.
"[Name]," panggil Mum. "Anterin dong, Jaeden nya ke depan."
Aku menghela napas sabar, dan menutup bukuku. Aku bangkit dan mengikuti Jaeden keluar.
"Lo ngapain?" tanya Jaeden.
"Nganterin lo ke depan lah," jawabku.
"Ngapain?"
"Disuruh."
Sesampainya di depan rumahku, Jaeden memandangku. "Bye," ucapnya.
Aku melambaikan tangan. "Bye."
Dia tersenyum, lalu pergi. Aku masuk ke dalam rumah.
Lupakan soal kemarin.
·
·
·
eh, maaf kalau ga bikin baper atau gimana ಥ‿ಥ
don't forget to vote and comment !
maaf kalau ada kesalahan (>人<)
see u in the next chapter !
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro