Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 ~ Separation

Malam terakhir di pondok itu, Wu Xie mengajak Zhang Qiling berjalan-jalan di luar. Tidak banyak yang bisa dilihat selain hamparan tanah berumput yang diselimuti lapisan es, dan siluet gunung menjulang dalam kegelapan.

Saat sinar rembulan jatuh di jalur pucat dan temaram, semuanya terlihat indah. Tidak di sini, atau di Hangzhou. Wu Xie mengamati lapisan es di kakinya. Semuanya sama, hamparan salju yang bergelombang seperti ombak yang membeku. Tetapi ia merasa, ada sesuatu yang beda malam ini.

"Besok aku akan pulang," ujar Wu Xie, membuka pembicaraan setelah sekian lama dicekam kebisuan.

"Hmm."

"Haruskah kita foto bersama?"

Malam-malam begini, Zhang Qiling menatap heran.

"Tidak perlu," bisiknya.

"Itu akan menjadi kenang-kenangan," tukas Wu Xie.

"Tidak perlu ada kenang-kenangan. Kau dan aku mungkin tidak akan berjumpa lagi." Kalimat menyakitkan itu diucapkan dengan tenang. Wu Xie sungguh tidak bisa menduga apakah itu serius dari dalam hati atau hanya sikap sok jual mahal saja.

"Mengapa begitu?" cibirnya, sangat tidak setuju. "Paman berencana akan kembali kemari. Dia tidak akan mati dengan tenang sebelum ambisinya tercapai."

"Kau tidak akan dibiarkan bergabung dalam tim. Aku mendengar pamanmu bicara."

"Kau menguping?" Wu Xie memiringkan wajah pada Zhang Qiling.

" .... "

"Hmm, apa kau mengintip juga?"

" .... "

"Kau mengawasi kamarku selama aku pingsan. Itu artinya ... " Wu Xie tertawa tanpa melanjutkan kalimatnya.

Apa-apaan ...?

Zhang Qiling menggeleng perlahan, tidak paham apa yang Wu Xie ocehkan.

"Jadi kau sungguh tidak akan mengingatku lagi?" tanya Wu Xie lagi.

Zhang Qiling terdiam dan menunduk, mengamati lapisan salju pucat kebiruan. Dia tidak tahu apa sebenarnya yang dia inginkan.

"Ugh. Sebenarnya aku kecewa dengan reaksimu. Tapi baiklah." Wu Xie menghembuskan nafas yang diselimuti uap dingin.

Sesekali, pondok dr. Shui menjadi gelap karena generator yang bermasalah. Mereka akan menggunakan pelita sebagai penerangan. Di saat seperti ini, berada di luaran, Wu Xie lebih suka mengandalkan cahaya pucat rembulan yang jatuh di hamparan salju.

Akan tetapi, dalam waktu singkat rembulan tiba-tiba tertutup gumpalan kelabu, dan butiran lembut salju turun lagi, melayang-layang di antara desir angin.

"Turun salju lagi," gumam Wu Xie tercekat.

"Ini tidak lebat."

"Bukan itu masalahnya, Xiao ge. Ini gawat. Kita dalam masalah." Wu Xie menyipitkan mata, lantas menoleh pada Zhang Qiling yang tengah menatapnya lekat-lekat.

"Menikmati hujan salju bersama seseorang, maka cinta keduanya akan terwujud. Apa kau pernah mendengar mitos itu?" tanya Wu Xie.

Zhang Qiling menggeleng bingung. "Aku baru pertama kali mendengarnya."

"Ah, mungkin di desa Tingri itu tidak berlaku. Tetapi di Hangzhou, semua pasangan akan berlarian dalam suasana romantis di bawah salju. Kau harus melihat sendiri kehidupan di sana yang hangat dan penuh warna. Mungkin satu saat, mitos itu akan mempengaruhimu juga."

Ada-ada saja, Zhang Qiling tidak habis pikir apakah orang kota memang selalu berpikiran rumit.

"Sungguh?" tanyanya, mengerutkan pangkal alis.

"Ya!" Wu Xie menyentuhkan kepalanya ke bahu Zhang Qiling sambil tertawa kecil.

"Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk kita. Ini akan kacau. Dua pemuda saling jatuh cinta. Yang satu ceria dan menyenangkan, satu lagi bisu dan membosankan. Ugh, kekacauan besar."

Zhang Qiling terbengong-bengong. Bodohnya lagi, dia mengangguk setuju tanpa penyangkalan, membuat Wu Xie meringis kesal.

"Maafkan aku, Xiao ge. Tapi, aku penasaran apakah kau memiliki gangguan kejiwaan?"

" .... "

"Kau tidak terlihat sedih atau bahagia. Benar-benar berwajah datar." Wu Xie menghela nafas, merapatkan mantelnya untuk menahan hembusan angin dingin. Butiran salju jatuh di rambut dan bahunya, demikian pula yang terjadi pada Zhang Qiling.

"Bagaimana denganmu? Kau terus menerus berubah sikap," komentar Zhang Qiling, menepis butiran salju di anak rambutnya.

"Entahlah. Aku bahkan tak memahami diriku," desah Wu Xie.

"Tetapi malam ini kau seharusnya senang, karena kau akan pulang."

"Ah, kau tak tahu apa-apa. Aku memang senang, tetapi sekaligus merasa bersalah. Itu membuatku sakit kepala." Wu Xie meringis sekilas sebelum akhirnya tersenyum.

Salju yang berjatuhan, membawa kenangan kita bersama. Angin dingin bertiup, memberitahukan bahwa aku akan pergi, dan aku akan kembali sendirian.

Dia memenggal kata hatinya dan berpaling pada sosok tampan yang masih berjalan menatap hampa ke depan.

"Xiao ge," bisiknya. "Kau yakin tidak akan ikut denganku?"

Zhang Qiling menggeleng. Dadanya sesak, menahan pahit yang naik ke tenggorokan.
"Setelah malam ini, kuharap kau tidak memikirkan diriku lagi."

"Kukira ... kau akan menemaniku. Dalam waktu dekat, paman akan melakukan ekspedisi ke barat, menggali makam ratu ular."

"Kita harus berpisah di sini. Tolong jangan libatkan dirimu dalam ekspedisi berbahaya itu."

Wu Xie menghentikan langkah, otomatis Zhang Qiling pun berhenti. Dengan mata berkaca-kaca, Wu Xie melemparkan tatapan penuh tanda tanya pada sepasang mata kelam di depannya.

"Jaga dirimu selama perjalanan," ujar Zhang Qiling lagi.

Wu Xie mengangguk lemas, memaksakan sebuah senyuman di wajahnya. "Mungkin kau tak merasa. Tapi ... kurasa aku akan merindukanmu. Aku mungkin akan mengingatmu, memikirkanmu. Tapi kita tidak akan bisa menanyakan kabar satu sama lain. Itu agak menyedihkan."

"Begitu kau pergi dari tempat ini, semoga kau melupakan tempat ini dan aku. Kembalilah jalani hidupmu sebelumnya dan jaga kesehatanmu. Ilusi dewi pirus, ular raksasa, lembah Karnali dan serigala, semua itu, anggap saja kau sedang bermimpi buruk."

Wu Xie mengangguk lagi, menampilkan seringai pahit.

"Semuanya bukan masalah, selama kau ada di sisiku. Tetapi di Hangzhou, banyak serigala berbulu domba. Itu yang selalu kutakutkan." Wu Xie terkekeh serak, sebelah matanya berkedip imut tanpa maksud menggoda.

Dia mengulurkan tangan untuk mengajak berjabatan, tetapi sebelum Zhang Qiling menyambutnya, dia menarik kembali tangannya.

"Ini tidak romantis. Alih-alih berjabatan tangan, bolehkah aku memelukmu?"

Zhang Qiling termangu. Ketika Wu Xie mendekat dan lengannya terentang, menyelimuti tubuhnya yang tinggi tegap, dia hanya bisa membeku dengan punggung dan bahu bergetar.

"Mungkin suatu hari kita akan bertemu lagi," bisik Wu Xie di telinganya. Di antara desir angin, kepingan salju terpecah, meliuk-liuk di sekitar mereka, menggemakan kesedihan.

"Mungkin juga tidak akan pernah."

*****

"Oke, selesai!" Wu Sangxing mengangkat tubuhnya dari tumpukan tas ransel yang baru saja ia rapikan. Saat itu menjelang tengah hari ketika ia dan anggotanya mulai berkemas. Berhubung perbekalan mereka sudah habis, dan beberapa perlengkapan rusak, beban mereka lumayan berkurang.

"Jadi, kapan kuda-kuda itu tiba di sini?" ia bertanya pada dr. Shui seraya memijat pinggang tuanya.

"Mereka bilang akan mengirim kuda sebelum tengah hari," jawab dr. Shui.
"Mungkin sebentar lagi."

Dua anggota yang terluka telah lumayan pulih meski belum sempurna. Sementara Wu Xie terlihat sebaik sebelumnya, hanya rona wajahnya kurang ceria.

"Wu Xie, kau sudah sehat, bukan? Mengapa wajahmu seredup pelita kehabisan minyak?" Wu Sangxing mengernyit pada sang ponakan.

Yang ditanya nampak tersentak. Namun karena ia menjaga wibawa di depan seseorang, ia berkata santai dengan satu senyum yang dipaksakan.

"Aku baik-baik saja, Paman. Hanya sedang berpikir, bagaimana caranya agar di lain kesempatan kalian bisa melewati ilusi untuk menemukan patung Dewi Pirus."

Wu Sangxing mendengus. "Hanya karena kau tidak bisa mendapatkan patungnya meski sudah masuk gua, bukan berarti aku tidak bisa melaluinya."

"Kau jelas tidak bisa," Wu Xie mencibir, tidak terima diremehkan.

"Ilusi itu, apakah tidak bisa dihindari?" kali ini Pan Zi yang bertanya, tatapannya tertuju pada Zhang Qiling.

Sadar bahwa seseorang bicara padanya, pemuda itu menoleh sekilas dan berkata, "Pasti ada cara. Beberapa perkamen kuno mungkin menjelaskannya."

"Ah, itu bagianmu." Pan Zi melirik Wu Sangxing.

"Akan butuh waktu lama," sela Wu Xie, merenung. "Singkatnya, kau harus bisa mengendalikan entitas gaib di dalam gua."

"Hmm, itu sulit diprediksi. Bisa-bisa aku kerasukan."

"Itu cara paling praktis!" Wu Xie menjentikkan jari, ekspresinya linglung.

"Kesurupan." Telunjuknya mengarah pada Wu Sangxing.

"Bocah nakal, maksudmu aku harus kesurupan dulu supaya berhasil menembus gua?" Wu Sangxing mendelik gusar pada ponakannya tercinta. Tawa lantang Pan Zi mengatasi suasana yang mulai penuh pertentangan itu. Wu Xie yang duduk meringkuk di sudut ruangan hanya balas menyeringai.

Tak lama kemudian, suara ringkikan kuda samar menggema dari kejauhan. Semua anggota sontak menegakkan kepala.

"Mereka sudah datang," ucap dr. Shui.

Melalui jendela, Wu Xie bisa melihat empat ekor kuda dituntun oleh seorang pria lokal.

"Ayo!" Wu Sangxing memeriksa kembali tasnya. Karena dia bukan orang pelit, Wu Sangxing memberikan jumlah uang yang cukup banyak untuk kompensasi perawatan dan perlindungan yang diberikan dr. Shui pada timnya.

"Rencanaku selanjutnya adalah ekpedisi ke barat. Mungkin setelah risetku lebih matang, aku akan kembali untuk menaklukkan puncak Turquoise."

"Semoga berhasil!" dr. Shui terkekeh, menepuk punggung tangan pria itu.

Mereka bergerak ke luar pondok. Beberapa pria mengikat barang di pelana kuda.

"Jika sempat, berkunjunglah ke Hangzhou! Sudah belasan tahun kau tidak datang ke sana. Sepertinya desa Tingri telah mengikatmu," kata Wu Sangxing.

Dr. Shui tertawa kecil. "Aku sudah tua," sahutnya. "Perjalanan jauh akan membuatku loyo."

"Astaga! Memalukan," kekeh Wu Sangxing, lantas mengeluarkan sehelai catatan.
"Ini alamatku. Kau bisa melihat koleksi benda antik milikku yang semakin mengagumkan." Dan memberikan catatan itu pada dr. Shui.

"Kau bekerja keras demi artefak. Tidak heran jika kau sukses dalam bisnis itu."

"Yah, seharusnya dia," telunjuknya terarah pada Wu Xie, "lebih cocok menjaga toko alih-alih bergaya pahlawan di antah berantah."

Wu Xie cemberut, menatapnya penuh kedengkian.

Aah, si tua itu ...

"Anak muda butuh petualangan," timpal dr. Shui bijaksana. "Mereka dipenuhi gairah dan rasa penasaran. Kau dan keponakanmu bisa jadi tim yang kompak."

"Kau dengar itu?!" cetus Wu Xie.

Wu Sangxing mengibaskan tangannya dengan ekspresi skeptis. Dia bicara beberapa patah kata lagi dengan dr. Shui dan mengucapkan selamat tinggal setelah melompat ke atas punggung kuda.

Saatnya mengucapkan kata perpisahan. Pandangan Wu Xie sebeku permukaan danau es ketika menoleh untuk yang terakhir kali pada Zhang Qiling.

"Aku pergi," katanya.

Zhang Qiling mengangguk. "Selamat tinggal."

"Jangan ucapkan selamat tinggal," Wu Xie menggeleng samar.
"Siapa tahu kita akan bertemu lagi."

"Sudahlah! Tak ada yang ingin bertemu denganmu lagi, bocah!" teriak Wu Sangxing, mengacaukan suasana dramatis.

"Aahh, sialan," desis Wu Xie, meringis. Dia tersenyum sekali lagi pada Zhang Qiling kemudian melompat ke atas kuda.

Rombongan itu pergi semakin jauh dan berubah menjadi titik-titik kecil.

"Xiao ge, apa kau baru saja dicampakkan seseorang?" dr. Shui menoleh dan menepuk bahunya ringan.

"Apa? Tidak." Lirikan mata Zhang Qiling yang dingin dan kelam nampak terluka.

"Benarkah? Tetapi, mengapa raut wajahmu menjelaskan perasaan itu."

" .... "

Tawa ringan dr. Shui mengalir bersama angin kala dia berjalan menjauhi Zhang Qiling.

Pemuda tampan itu tertegun, menatap sekilas pada puncak Turquoise yang masih berdiri dengan angkuh. Setiap lekukan tebing terjal, seakan menyeringai padanya.

*****

Akankah Xiao ge dan Wu Xie bertemu lagi?

To be continued
Please vote and comment 💙💚




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro