Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 ~ Dancing With The Wolves

Di luar serambi, di sebelah timur rumah, terbentang padang rumput, sebagian darinya dilapisi dengan bayangan samar bayangan bulan yang dibuat oleh cabang-cabang pohon besar yang rumit.

Malam di lembah Karnali sangat sunyi. Tidak ada lagi yang keluar rumah pada malam hari. Tidak ada rusa yang berlari, meskipun mereka sering datang untuk merumput di siang hari. Seringkali bayangan berbentuk serigala melesat di bawah sinar bulan, dengan bentuk moncong yang tajam, tetapi pada malam ini, nampaknya mereka berburu di tempat lain.

Wu Xie duduk bersisian dengan Zhang Qiling, memeluk lutut di tepi padang rumput, beberapa meter dari rumah Shen Hao. Melewati hari tanpa aksi heroik maupun rencana hebat, dia mulai merasa tidak berguna. Tangannya bergerak mengambil beberapa batu kerikil, melemparkan satu per satu ke tengah padang rumput keabuan.

"Bagaimana rencana kita esok hari?" tanyanya pada Zhang Qiling. Pemuda itu mendongak menatap rembulan.

"Kita hanya perlu terus berjalan," jawabnya pelan.

"Kau tahu rute keluar dari lembah ini?"

Zhang Qiling tidak langsung menjawab. Sudah lama sekali sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di lembah ini. Ada banyak jalan berliku-liku dan juga perubahan alam serta pergeseran hutan.

"Kau tidak tahu, kan?" gerutu Wu Xie. Meskipun sudah diberitahu berkali-kali bahwa Zhang Qiling menguasai medan di pegunungan dan sekitarnya, ia masih tidak pernah kekurangan hal yang bisa dikhawatirkan, dan ketakutan lain yang menghantui.

"Jangan khawatir," bisik Zhang Qiling.
"Aku yakin kita bisa keluar dari sini."

"Menurutmu, apakah pamanku bisa mencapai tujuan ataukah ia akan tersesat juga seperti kita?"

"Sepertimu," Zhang Qiling meralat.

"Ugh!" Wu Xie menatapnya terheran-heran. "Mengapa kau terdengar seperti menyalahkanku?"

Diam-diam Zhang Qiling merasa geli. Hatinya menghangat saat melihat bagaimana raut wajah Wu Xie tampak kesal dan imut secara bersamaan.

"Tersesat di gunung sudah biasa," suara Zhang Qiling menenangkan. "Bahkan bagi seorang pendaki berpengalaman, itu bisa saja terjadi. Aku harap pamanmu tidak jatuh dalam bahaya."

"Umm, mungkinkah dia bisa tersesat hingga kemari? Walaupun tidak melalui gua hantu itu?"

Zhang Qiling termenung. Benaknya mencetak peta tak kasat mata.
"Seharusnya bisa," ia menjawab.

"Kalau begitu, mungkin aku bisa berhenti mencemaskannya."

"Cemaskan dirimu sendiri," gumam Zhang Qiling.

"Bisa sampai di sini setelah melewati ilusi dan ular raksasa, apalagi yang harus dicemaskan? Nyawaku sepertinya lebih dari selembar." Wu Xie tertawa menghibur diri sendiri.

Zhang Qiling hanya tersenyum tipis tanpa bersuara lagi. Ketika malam kian larut, mereka bergerak masuk dan tidur di gubuk kecil itu, berguling gelisah sementara angin lembah menyapu sisi dinding pondok dengan desahan melankolis ditingkahi derik serangga malam.

*****


Shen Hao membangunkan mereka untuk mengingatkan bahwa hari telah pagi dan cuaca cukup bersahabat untuk melanjutkan perjalanan. Dia tampak bersemangat dan ceria. Mungkin kedatangan tamu tak diundang membawa warna baru dalam hidupnya yang membosankan. Dengan murah hati, pria itu menyediakan sepoci teh panas dan tumis daging untuk sarapan.

Setelah cukup segar dan kuat, Wu Xie dengan tegas memasang ritsleting mantel hingga ke dagu dan menggendong tas ranselnya.

"Hati-hati dengan beruang biru. Sesekali salah satu dari mereka menampakkan diri. Walaupun manusia tidak melakukan apa-apa, mereka kadang bertingkah seolah kita telah mengganggunya," Shen Hao memberitahu pada dua orang pemuda asing yang bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

"Ada hewan semacam itu juga," desis Wu Xie, bosan dengan banyaknya hal yang perlu dikhawatirkan.

"Kalian bisa saja menemukannya, atau mereka menemukan kalian."

"Yang benar saja ..."

"Beberapa cukup berani, tapi jika kalian cukup kuat menghajarnya, mereka akan lari ke dalam hutan." Shen Hao meneruskan sambil tertawa seakan diserang beruang adalah hal yang lucu.

"Benarkah bulunya berwarna biru?" tanya Wu Xie skeptis.

"Tidak ada yang benar-benar melihat mereka dua kali."

Itu artinya siapa pun yang diserang kemungkinan akan mati. Wu Xie menarik nafas panjang. Tidak apa-apa, pikirnya menghibur diri sendiri. Belum tentu mereka akan bertemu beruang biru. Kalaupun cukup sial, ia akan bertarung habis-habisan untuk melindungi dirinya dan juga Zhang Qiling.

"Baiklah. Selamat tinggal. Terima kasih atas perlindungannya," ujar Wu Xie, membungkukkan bahunya sedikit sebagai tanda hormat dan juga berpamitan.

"Hati-hati."

Shen Hao mengamati beberapa lama lagi pada dua pemuda yang berjalan kian jauh, mencari jalan keluar dari lembah Karnali.

Wu Xie dan Zhang Qiling terhuyung-huyung melewati celah pepohonan dan batu-batu besar di mana mata air menyembur dan belukar rimbun di mana koloni ular bisa mengancam setiap waktu. Mereka melewati dataran rendah pertama yang berbatasan dengan hutan rimba lainnya di sisi gunung. Rumah-rumah penduduk Tibet tak terlihat lagi, mereka tertinggal jauh di belakang seolah hanya bagian dari dunia lain.

Beberapa suara binatang hutan mengusik mereka. Kebanyakan adalah kadal besar, kijang liar, dan sesekali ular yang berdesis-desis. Seekor babi hutan berlari sambil menggarukkan telinganya ke batang pohon.

"Xiao ge, kupikir binatang-binatang hutan di sini cukup ramah," komentar Wu Xie, mengamati sekitarnya.

Zhang Qiling menanggapi dengan senyuman hambar. Waktu terus bergulir dan mencapai tengah hari ketika mereka duduk sejenak untuk istirahat dan minum.

"Aku tidak ingin bermalam lagi di hutan," Wu Xie berkata sambil duduk di bawah sebatang pohon, menatap langit dengan mata menyipit.
"Jadi, aku harap kau bisa mengambil rute terpendek untuk segera meninggalkan lembah ini dan kembali ke desa Tingri." Kalimatnya dia tujukan pada Zhang Qiling.

"Apa pun bisa terjadi di alam liar," sahut Zhang Qiling, meneguk air minumnya. "Kuncinya adalah api di malam hari, dan makanan serta minuman di siang hari."

"Ah, sepertinya kau menyukai gagasan romantis bermalam di alam liar bersamaku lagi," celetuk Wu Xie, menyeringai. Namun sejujurnya ia khawatir.

Zhang Qiling cemberut. "Jika kau lebih gesit dan kuat. Mungkin setelah matahari terbenam kita akan tiba di perbatasan desa."

"Aku sangat cepat, kuat, dan pantang menyerah. Kau tahu itu dengan baik. Aku juga mampu melindungimu," kata Wu Xie dengan kepercayaan diri yang mengagumkan.

" ..... "

Kebisuan Zhang Qiling mengirimkan senyum penuh kemenangan di wajah Wu Xie. Setelah setengah jam, ia pun bangkit berdiri, mengulurkan tangan pada Zhang Qiling yang masih duduk bersila di rerumputan.

"Ayo, Xiao ge! Kau masih kuat, bukan?"

Zhang Qiling menatap tangan putih pucat dan tampak rapuh itu, menggenggamnya erat dan berdiri.

Beberapa jam kemudian, tertatih-tatih di jalur terjal, menanjak dan dikepung pepohonan, Wu Xie menyadari bahwa pendapatnya tentang binatang hutan yang ramah sama sekali tidak benar.

Suara-suara geraman melayang dari kejauhan, tumpang tindih dengan suara lainnya seperti teriakan manusia.

"Xiao ge, kau dengar? Sepertinya ada perkelahian di suatu tempat." Wu Xie menegakkan telinganya.
"Haruskah kita ke sana?"

"Mungkin itu suku liar!" Zhang Qiling memperingatkan, gerak-geriknya waspada.

"Dan mungkin saja itu paman ketiga." Wu Xie berlari ke sumber suara.

"Wu Xie!"

*****

Seolah-olah menyadari kehadiran mereka dan menentukan waktu masuk mereka untuk menciptakan drama perkelahian, makhluk-makhluk itu melompat sebagai satu kesatuan, menyerang sekelompok manusia yang mereka anggap sebagai ancaman. Kecepatan gerakan hewan-hewan itu menakjubkan.

Kecepatan mereka dalam menerjang dan kilatan cakarnya mencegah Wu Xie bergerak mendekat. Geraman dari kawanan hewan itu melahirkan bahaya yang dia rasakan dari kejauhan di padang rumput. Dia memastikan ukuran dan kegesitan mereka, dan mengira dia telah melihat hewan buas berbulu subur. Kawanan serigala.

"Astaga! Bukan beruang biru! Itu serigala!" pekik Wu Xie, seolah kecewa karena hewan buas yang mereka temui bukan sosok yang ingin dia lihat.

"Kukira yang ini tidak ramah," desis Zhang Qiling.

"Ah, padahal aku ingin melihat beruang biru."

" .... " Zhang Qiling melirik bingung.

"Itu paman ketiga, Pan Zi, dan yang lainnya!" Wu Xie berseru panik sekaligus antusias.

"Wu Xie! Jangan mendekat!" teriak Zhang Qiling, dalam satu lompatan mendahului kecepatan lari Wu Xie.

Ehh?! Wu Xie mengernyit gusar, merasa heran karena selalu dikalahkan.

"Paman ketiga!!" dia berteriak pada satu dari beberapa pria yang saling menempelkan punggung dan membentuk lingkaran untuk melindungi diri dari serangan binatang buas yang mengancam dengan taring dan liur mereka yang menjijikkan.

"Astaga! Itu dia, bocah nakal!" Wu Sangxing, yang cukup beruntung menemukan jalur di celah bagian salju untuk mencapai lembah Karnali, menatap kesal pada Wu Xie. Ekspresinya jelas marah, tetapi suaranya mengandung kelegaan.

"Mundur!" Pan Zi berseru memperingatkan. Di antara semua, dia paling handal berkelahi hasil pelatihan selama di regu militer.

Empat ekor serigala berlari dengan dua kaki terangkat, siap menerkam. Pergerakan mereka tidak seperti yang dibayangkan. Berkali-kali lebih cepat dari mamalia berkaki empat mana pun di pegunungan ini, meski Pan Zi tidak bisa mengidentifikasi perbedaannya dengan tepat.

Sekelebat bayangan bergabung di tengah arena perkelahian dan menyerang kawanan binatang buas itu dengan babatan pedang. Cahayanya menari dan meliuk-liuk seperti gerakannya yang cepat dengan beberapa salto yang anggun di udara.

"Mundur!" Zhang Qiling memerintahkan pada Wu Sangxing dan dua orang lain yang tampaknya sudah terluka. Menjejakkan kedua kaki dalam satu gerakan ringan setelah menangkis serangan serigala, sikapnya waspada dengan kaki siap bergerak kapan saja. Pan Zi tidak mundur, dia memutuskan untuk membantu Zhang Qiling mengusir hewan liar itu.

"Paman! Sembunyi di tempat aman! Aku akan melindungi kalian!" Wu Xie berlari ke tengah mereka, mengambil sebatang kayu panjang di antara belukar liar, siap menjadi pahlawan.

"Anak nakal! Kemari kau!" pekik Wu Sangxing marah.

Wu Xie tidak sempat menoleh atau membalas teriakan sang paman. Begitu mahluk-mahluk itu melompat lagi untuk menerjang, dia bergegas melawan dengan gerakan memukul yang cepat dan membabibuta. Beberapa pukulan mengenai sasaran, sisanya menebas angin. Bahkan nyaris mengenai Pan Zi.

Zhang Qiling menyerang mereka dengan gerakan paling brutal dan tak terhindarkan. Dalam beberapa detik terdengar lolongan lagi dan lagi, nyaris seperti paduan suara yang tidak harmonis. Sepertinya mereka berhasil menguasai keadaan, tetapi serigala adalah hewan yang cukup pintar. Saat Wu Xie melompat mundur, dan Zhang Qiling menendang salah satunya, sekitar tiga ekor serigala dewasa melakukan penyergapan. Bahkan Wu Xie tidak memiliki cukup akal maupun waktu untuk merasa takut. Dia memukul dan memukul lagi. Sebagian besar---tidak berhasil! Namun dia tidak menyerah.

Serigala lainnya ada di sisinya dalam sekejap mata. Wu Xie merasakan taring tajam merobek celana dan lengan bajunya. Dalam satu detik itu akan merobek kakinya juga. Tapi dia memukul sisi wajah hewan buas itu, menatap matanya. Satu pukulan lagi mengenai kepalanya. Serigala itu mundur dan melompat ke belakang. Saat itu Zhang Qiling memiliki cukup ruang untuk membabatkan pedang lagi dan menusukkannya langsung ke dada hewan itu sebelum ia mencabutnya lagi.

Zhang Qiling melompat mendekati Wu Xie, nafasnya terengah dan kedua pangkal alisnya bertaut ganas.

"Mundurlah, Wu Xie!" bisiknya tegas.

"Tidak!" Darah mulai mengalir dari bahu dan kakinya, tapi Wu Xie belum menyadari luka itu.

"Ini cukup bahaya. Kau tidak takut serigala?"

Wu Xie menyeringai. "Yang aku takutkan adalah serigala berbulu domba."

" .... " Lagi, Zhang Qiling dibuat tidak bisa berkata-kata.

Dua ekor menyerang lagi, namun Zhang Qiling telah siap dengan pedangnya dan kian tidak sabar. Sementara Pan Zi dan Wu Xie mati-matian mencoba menghindari serangan, Zhang Qiling memutuskan membunuh mereka. Beberapa kaki hewan itu patah dan leher tersayat pedang. Darah mengalir di tanah bersalju, dan tubuh-tubuh kuat mereka bertumbangan. Tiga serigala terbaring mati, dua ekor lumpuh secara fatal. Sisanya berlari cepat ke kegelapan hutan menggemakan lolongan penuh kesakitan.

Pan Zi menghembuskan nafas lega. Tangan dan kakinya terluka, mengalirkan darah. Terhuyung-huyung, dia menghampiri Wu Xie, menepuk lengannya dengan puas. "Syukurlah kami menemukanmu. Kau pemuda yang tangguh."

Kemudian ia menghampiri Wu Sangxing dan menjatuhkan diri dekat anggota lainnya. Wu Xie tidak berpikir ia bisa melewati ketakutan ini. Memikirkan kembali serangan ganas kawanan serigala itu, membuat bulu kuduknya berdiri walaupun terlambat. Terhuyung lemas, dia melemparkan batang kayu yang dia gunakan sebagai senjata. Melihat bahwa telapak tangannya tergores dan mengucurkan darah.

"Astaga! Aku tak percaya apa yang kau lakukan," teriak Wu Sangxing dari tempatnya duduk, di dekat batu besar dan belukar lebat.

Wu Xie menoleh, melemparkan senyuman lebar. "Paman ... " sapanya.
Langkahnya terseok-seok menuju sangat paman dan anggota lainnya. Bisa dia rasakan tubuhnya lemas. Kemudian dia menyadari ada beberapa luka cakaran yang cukup dalam di bahu dan lengannya dari serigala kelaparan barusan. Sebenarnya itu bukan masalah besar. Lagipula, cakar-cakar mereka tidak beracun. Tetapi Wu Xie merasakan kelelahan dan lemas akibat banyaknya darah yang mengalir. Nalurinya memerintahkan kakinya untuk berhenti melangkah. Bibirnya mengeluarkan erangan dan beberapa pikiran samar muncul di benaknya bahwa ia sebaiknya berhenti dan membaringkan tubuh kurusnya. Nyatanya dia terus bergerak dan melihat dunia seolah-olah berputar.

"Wu Xie!" Dari arah belakang, Zhang Qiling memeluk tubuhnya, menahan agar tidak jatuh terjerembab ke tanah.

"Aahh, bocah itu! Mengapa selalu merepotkan ... " desah Wu Sangxing tidak paham, sementara ia berjuang menggerakkan pinggang tuanya untuk bergegas menuju Wu Xie yang jatuh pingsan.

*****

Uh, nice effort Wu Xie 😍

To be continued
Please vote 💙💚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro