Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 ~ Illusion

Suara berderak itu disusul dengan gemuruh yang hingar bingar. Wajah Wu Xie yang memang sudah pucat kali ini berubah menjadi seputih salju.

"A---apa itu??" gumamnya ngeri.

Wu Sangxing dan anggota tim sama terkejutnya dengan Wu Xie.

Mencondongkan tubuh ke tepi tebing yang berangin, Zhang Qiling melihat ada dua bongkahan es yang retak dan akhirnya longsor.

"Itu sekitar dua puluh meter di bawah," ia berkata pada semua orang. Mulutnya mengeluarkan uap berbentuk pita panjang saat bicara.

Mereka serempak menghembuskan nafas lega.

"Ayo kita lanjutkan!" perintah Wu Sangxing. Dia menyempatkan diri melirik pada Wu Xie, penuh kecurigaan.

"Lain kali jangan bicara sembarangan."

Wu Xie membalas dengan tatapan penuh protes. Tentu saja dia tidak terima. Seolah-olah runtuhan es terjadi karena ia mengatakan sesuatu, bahwa setiap kata yang ia ucapkan memiliki dampak seperti mantra.

Fuhh! Pak tua itu selalu menemukan cara untuk menyudutkan dirinya.

Zhang Qiling menatap Wu Xie sekilas, lantas memutar tubuhnya untuk kembali mendaki sepanjang trek yang semakin keras dan curam.

Mereka akhirnya memasuki titik dengan cuaca ekstrim di pegunungan salju itu. Hampir semua orang mulai mengalami gejala dari ketinggian. Wajah semua orang berubah pucat keunguan dan mata mereka terkadang kacau. Beberapa orang bahkan mulai melihat halusinasi seperti domba biru maupun elang putih. Dinding batu berlapis salju yang megah tampak seperti naga perak yang sangat besar. Tim pendaki seperti semut kecil di antara pegunungan yang keras.

Setelah bermil-mil bagian dari titik awal pendakian, mereka mendekati seribu lima ratus kaki, dan angin dingin meniupkan debu halus ke lembah di belakang mereka. Jalan berliku-liku melintasi batuan gundul. Sebagian trek terkikis menjadi puing-puing. Di atas mereka, jalur anak sungai mengalir jatuh dari salju yang tinggi, mendorong batu menuruni lereng yang sudah diselubungi serpihan es. Suatu kali mereka mendengar suara serupa siulan kawanan binatang jauh di bawah.

Saat mereka naik lebih tinggi, cakrawala di depan mulai memesona. Ladang salju yang berkilauan melalui celah lembah menyerupai gunung yang terisolasi dan membawa gelombang kegembiraan di tengah rasa lelah.

Pada saat mereka tiba di medan yang lumayan luas dan rata, Zhang Qiling memberi isyarat untuk berhenti.

"Hari mulai gelap. Sebaiknya kita beristirahat di sini," ia berkata pada Wu Sangxing.

"Apa kita perlu mendirikan tenda?"

Zhang Qiling mengangguk.
"Terkadang hujan ringan dan dingin bisa turun sewaktu-waktu."

Satu jam kemudian, Wu Xie berbaring di depan tenda dan menikmati pemandangan dari ketinggian. Zhang Qiling meletakkan senjatanya berupa sebilah pedang kemudian duduk di dekat Wu Xie. Mereka tidak bicara, namun keintiman perubahan yang dibawa oleh bisikan angin meningkat di udara yang jernih ini, mengatasi aura tidak wajar yang masih ditumpahkan dari sosok Zhang Qiling.

"Jadi, artefak itu sungguh ada di tempat yang serasa atap dunia?" gumam Wu Xie, menatap langit senja.
Di tempat yang hebat ini, sisa-sisa cahaya matahari masuk melalui celah gumpalan awan, mencipta suasana mistik di pegunungan.

"Semua mitos seharusnya sudah dihapus dari tempat ini sejak lama. Jika tidak, semua pengelana akan melakukan apa pun untuk merampas jejak dari sejarah. Entah itu nyata atau pun legenda."

Zhang Qiling memeluk lutut, menatap kosong ke depan.

Tidak jauh dari mereka, Wu Sangxing kembali membuka peta untuk melihat seberapa dekat mereka dengan tujuan. Butiran es yang jatuh dari dari tebing tinggi bergemerincing seperti hujan. Itu hanya serpihan yang membentuk jalur kecil longsor akibat kerapuhan yang disapu kekuatan angin.

Dari tempat mereka sekarang, Wu Xie bisa melihat samar di lereng gunung yang letaknya berdampingan dengan Turquoise. Mengawasi dengan mata menyipit pada satu titik. Tempat biara-biara orang-orang lama Tibet berjuntaian seperti laba-laba. Tampak begitu dekat dengan Himalaya sampai-sampai orang-orang akan mengira para biarawan itu tentulah bisa menjulurkan tangan dan menyentuh salju.

"Negeri ini terkesan tidak nyata," gumam Wu Xie.
"Begitu penuh dengan kisah-kisah dongeng, dengan para arkeolog gila ambisius yang mencari harta karun dan ramuan awet muda."

Zhang Qiling mendengar ucapan Wu Xie, seperti biasa reaksinya sederhana saja. Hanya lirikan dan anggukan sementara ekspresinya sama sekali tidak berubah. Pikirannya mengembara pada banyak petani dan pekerja ladang di sekitar kaki gunung yang berjalan beriringan sebelum fajar dengan membawa keranjang besar di punggung, menghabiskan sepanjang hari di antara kawanan domba yang merumput dengan putus asa di sabana gundul dan berjuang kembali ke rumah mereka saat matahari terbenam, bersusah payah menaklukkan medan tanah yang tidak rata. Potret kehidupan yang ia lihat sepanjang hidupnya. Sederhana, terisolasi, dan menyedihkan. Ironisnya, keindahan alam membuat semangat mereka terpulihkan setiap waktu. Termasuk dirinya.

"Di sini sungguh indah dan keindahan itu nyaris mengimbangi rasa sepinya.." suaranya rendah, dalam, seolah menahan luka.

Wu Xie meneliti wajah pemuda itu yang memucat dalam kemuraman cuaca, tapi kemudian kembali memandang petak padang rumput keabuan jauh di bawah sana, hutan hijau kehitaman yang dingin, dan beberapa puluh meter dari lokasi tenda, semak liar rhododendron iklim dingin menjalar di sela-sela bebatuan berlapis es. Seperti ular hijau di permukaan salju tipis.

Malam perlahan berubah semakin dingin dan hari menjadi gelap lebih cepat. Mereka harus meraba-raba di bawah kaki sebelum berhasil menyalakan lentera yang dibawa Wu Sangxing di tas perlengkapan.

Selama tiga jam berikutnya mereka memulihkan diri dari kelelahan. Sebagian tiduran dengan kepala beralaskan tas ransel. Wu Sangxing membaca beberapa lembaran kulit dengan tabah di bawah cahaya penerangan yang yang sangat minim. Tak satu pun dari mereka berbicara. Yang lain bahkan sudah memejamkan mata setelah mengisi perut dengan makanan instan dalam perbekalan mereka. Wu Xie terhuyung-huyung di bawah cuaca beku. Angin mendesah melankolis dan pucuk-pucuk rhododendron termangu kaku.

Hamparan perak yang penuh misteri, menggoreskan kisah hidup banyak manusia dalam siklus dunia yang berputar. Kesadaran Wu Xie tertatih-tatih, dia lelah, matanya berkabut. Tapi dia tidak bisa tidur.

Dari tempatnya duduk, Wu Xie bisa melihat batu-batu cadas raksasa berselimut salju dan lumut yang tahan untuk hidup dalam cuaca ekstrim. Matanya berpindah dari satu bongkahan ke bongkahan lainnya.

Satu batu besar mirip bukit kecil nampak memantulkan sinar pucat rembulan, sesekali Wu Xie melihat larik cahaya itu nampak bergerak di udara tipis. Sesosok bayangan melesat lewat namun menghilang begitu cepat. Wu Xie tidak yakin apa yang dia lihat. Dia berkedip dan menajamkan mata, tapi tidak ada yang bergerak.

Itu pasti tipuan cahaya, refleksi alam, atau imajinasiku. Dia berkata pada diri sendiri, tapi sebenarnya tidak yakin. Tiba-tiba Wu Xie ingin bergabung dengan pamannya dalam tenda. Tidak ingin sendirian dalam gelap dan menakuti diri sendiri dengan pikiran-pikiran konyol, ditemani siulan angin melengking dan bunyi air mengalir di atas kerikil dan batu.

Nyatanya, Wu Xie tidak bergerak dari tempatnya. Dia melihat punggung Zhang Qiling dalam jarak beberapa puluh meter, nampak seperti tengah bermeditasi. Terlalu bosan untuk menghibur diri dalam suasana hening, ia lagi-lagi menatap langit. Awan kabut tipis telah tertiup angin dan bulan hampir purnama menggantung tepat di atas puncak Turquoise. Langit bertabur bintang, lebih banyak dari yang pernah dia lihat.

Tiba-tiba mata Wu Xie menangkap bayangan misterius di dekat salah satu bongkahan cadas raksasa dengan relung-relungnya yang gelap dan penuh misteri. Tampak seperti sosok perempuan, seolah melangkah dari imajinasinya ke dunia nyata. Wu Xie menatapnya, terpesona, yakin bahwa itu adalah sosok yang nyata. Kemudian hembusan angin kencang kembali mendinginkan kulitnya. Wu Xie mengerjap. Sosok itu bergerak ke balik bongkahan, segera menghilang ke dalam rimba batuan salju yang menjulang.

Bingung, Wu Xie mendorong dirinya untuk bangkit dan berjalan terhuyung-huyung ke arah di mana ia melihat bayangan itu. Jaraknya sekitar tiga puluh meter. Apakah ia tertipu oleh bayangan, Wu Xie ingin memastikan. Tanpa sadar, dia terus menuju ke satu relung bebatuan berlumut dengan jalan batuan beku yang tidak rata. Kerikil berderak samar di bawah sepatunya.

Sosok bayangan perempuan itu pasti telah mengambil jalan setapak ke baik bukit batu bergelombang. Dari mana ia berasal?

"Siapa di situ?" tanyanya pada keheningan. Uap dingin mengalir dari nafasnya.

Bayangan itu berkelebat ke satu kegelapan serupa mulut gua atau mungkin celah di antara dua bukit batuan es. Jalanan menurun dan curam. Dengan bodohnya, ia terus mengembangkan rasa penasaran tanpa menyadari bahwa pijakannya telah bergeser secara ekstrim.

Derak bongkah es yang patah dan retak menyayat kesunyian malam. Seketika, Wu Xie terperosok, meluncur jatuh ke jalur gelap dan turun ke mana bayangan itu sempat menuju.

"Aaaarrrggh...!"

Kedua tangannya menggapai ke samping untuk mencari pegangan yang jelas tidak ada.

"Xiao gee!!!"

Teriakannya memantul di bongkahan batu es yang membisu. Karena ketakutan, Wu Xie berhenti memberontak, membiarkan satu tarikan membawanya meluncur turun dengan tubuh terbanting-banting. Salju putih dan batuan berlumut menciptakan pola hitam putih yang membingungkan. Wu Xie tidak mendengar apa-apa selain deru nafas dan benturan batuan kecil yang hancur menghantam dinding yang lebih keras.

Tiba-tiba semuanya berakhir sewaktu dia terguling dan menimpa hamparan batuan beku dan keras. Seluruh tubuhnya berdenyut sakit, paru-parunya serasa pecah. Dia meraba tas ransel di belakang punggung yang selalu terikat ke bagian pinggang. Punggungnya terhindar dari keretakan akibat benda itu.

"Astaga! Di mana ini??!"

Pandangannya buta untuk sesaat. Wu Xie terus berteriak beberapa kali, suaranya bergema melalui lorong dan dinding gua yang gelap, namun tetap tidak ada jawaban dari siapa pun. Meskipun Wu Xie punya nyali besar ia tetap tidak bisa menahan rasa takut ketika diingatkan oleh kenyataan bahwa ditinggalkan sendirian dalam gua gelap di gunung purba.

Wu Xie berteriak dua kali lagi dan tetap tidak ada gerakan. Karena panik, ia mengamati sekeliling dan melihat dinding-dinding gua berselimut lapisan es tipis, stalaktit menciptakan gambaran akan satu ruangan besar dalam film fiksi fantasi.

Wu Xie telah kehilangan arah dalam kegelapan. samar ia bisa mendengar suara air. Dia berniat melepas ransel untuk menemukan senter. Namun belum sempat tangannya bergerak, kilatan cahaya melintas dan hilang lagi dari arah belakang. Sepertinya cahaya datang dari arah lorong dari mana ia meluncur jatuh tadi, jadi Wu Xie tersaruk-saruk sepanjang kegelapan menuju sumber cahaya.

Cahaya berkelap-kelip tidak terlalu jauh dari sini. Wu Xie tidak berharap ada orang yang tinggal di tempat seperti ini dan bertanya-tanya apakah dia orang yang tersesat. Cahaya semakin mendekat dan ia mengenali siluet samar orang itu dalam keremangan.

Itu adalah sosok bayangan perempuan yang menipu dan menyeretnya ke dalam petaka ini.

"Siapa kau??"

* * * * *

Sorry for late update
Aku sempat lupa sama story ini
Mwehehee.. so busy in rl 😭😁

To be continued
Please vote 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro