Part 08
🌸 Happy Reading 🌸
Aku menunggu datangnya cinta, tidak tahu di mana dia, bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja. Aku membuat diriku sibuk sepanjang waktu, berpura-pura tegar dalam kesunyian hidup yang tak berujung. Sementara waktu berjalan lebih cepat dari biasanya, dan membawaku pada satu kejutan indah.
Selama ini, aku tidur sendirian, dan bangun sendirian. Berjalan-jalan sampai lelah dan melihat angin bermain dengan dedaunan musim gugur yang menguning. Semuanya tampak sederhana sampai aku memikirkannya. Mengapa cinta identik dengan kerinduan, kehilangan, dan ketidakhadiran?
Namun akhirnya, dia datang.
Wen Kexing.
🌸🌸🌸
Seperti angin badai yang menghancurkan gumpalan awan maupun ombak lautan, Ah Xu merasakan dadanya bergemuruh oleh kerinduan, dan menahan nafas memikirkan segala kemungkinan.
Mungkinkah kesunyian ini menemui akhirnya?
Tiupan angin menghantarkan segala bunyi-bunyian. Tetapi di atas semuanya, suara itu terdengar seperti senandung yang indah.
"Lao Wen ..." Sorot mata bening Ah Xu mengamati wajah tampan Wen Kexing, mencari kilasan emosi lembut, cinta dan juga kerinduan. Dan semua yang ia cari nampak nyata, berpendar jelas laksana cahaya merah senja di cakrawala.
"Aku sempat berpikir kau tak akan kembali. Kau pergi, menghilang dengan enggan, tanpa peringatan."
Wen Kexing memberikan senyuman yang paling tulus, merekah di bibir merahnya yang indah.
"Apakah kau merindukanku?" Tangannya terangkat, seiring ujung jemari menyentuh lembut sisi wajah halus Ah Xu.
"Aku menunggumu," jawab Ah Xu jujur. "Setiap detik yang aku tunggu terasa seperti setahun, selamanya.
Setiap momen lambat dan transparan seperti kaca. Melalui setiap saat aku dapat melihat momen-momen tak terbatas berbaris, menunggu. Aku berpikir mengapa kau pergi ke tempat yang tidak bisa aku ikuti?"
Pikiran Wen Kexing mengembara untuk sesaat pada kilas balik perjumpaan pertama yang singkat. Dan perasaan yang mengguncang hati datang lebih singkat lagi, cepat, berkelebat ibarat sambaran petir di kala hujan. Bagaimana bisa ia melepaskan diri dengan mudah dari pesona yang menjeratnya, dan ungkapan perasaan tersirat dari balik sorot mata indah Ah Xu yang tak tertandingi.
"Aku datang hanya untuk menemuimu, bersama denganmu, kita akan menceritakan banyak kisah yang kau simpan selama puluhan hingga ratusan tahun."
Kalimat Wen Kexing menyihir Ah Xu. Sejenak pendeta cantik itu terpaku, sosoknya tak bergeming, hanya jubah putih dan helaian hitam rambut panjangnya yang melambai dihembus angin.
"Kau sudah tahu tentang mahluk abadi itu?" gumamnya dengan bibir bergetar.
Wen Kexing mengangguk, jemarinya masih menyusuri garis rahang Ah Xu.
"Bahkan setelah kau tahu, kau masih datang kemari."
"Karena ... " Wen Kexing menjeda kalimatnya.
"Setelah jauh darimu dan berpikir selama berhari-hari, akhirnya aku sadar akan sesuatu. Ah Xu, aku ... aku mencintaimu."
Ungkapan itu menggantung di udara untuk beberapa lama. Setelah sekitar lima menit menggigil dan berharap bisa menghilang begitu saja, pikiran Ah Xu mulai jernih dan hanya tertuju pada sang pria yang baru saja mengungkapkan cinta.
"Kau tahu apa yang kau katakan?" Ah Xu memastikan, terlalu takut untuk percaya.
Wen Kexing menghujamkan tatapan tajam, serius, tetapi berbalut kelembutan yang melelehkan hati. Tatapan yang memantik sejuta emosi dalam hati sang pendeta cantik.
"Aku tanggung resikonya," jawab Wen Kexing, tidak tergoyahkan.
Ah Xu mendengar darah mengalir deras di kepalanya, merasakan sensasi jatuh melayang. Tangan dan kakinya serasa kesemutan dan kemudian terasa ringan sama sekali. Dia berharap tidak salah menempatkan diri lagi. Tidak salah jatuh cinta lagi. Terjerat kembali dalam hubungan cinta yang berakhir pedih hanya karena kutukan hidup abadi.
Hanya perlu sesaat, Ah Xu tidak punya cukup waktu untuk mencoba bertahan, sebelum akhirnya tergelincir ke dalam pelukan Wen Kexing.
"Aku bahagia mendengarnya," bisiknya di telinga Wen Kexing.
"Kuharap kau tidak akan menyesal."
"Sama sekali tidak. Aku akan menemanimu selama beberapa hari di kuil Mutiara sebelum kita menentukan langkah selanjutnya."
Ah Xu melebarkan mata indahnya lagi, terlalu takjub untuk mengatakan sepatah kata. Rasanya seperti mendapatkan anugerah, dan pemikiran tentang Kakek Gao seketika terhempas ke tengah samudera. Saat ada seorang pemuda tampan bersedia menemaninya, seorang kakek tua sama sekali tidak dibutuhkan.
"Ini akan menjadi malam yang istimewa dan penuh makna," gumam Ah Xu setelah berhasil mengumpulkan kembali ppengendalian diri. Dia melepaskan pelukannya dan melirik sang kakek yang duduk kebingungan di tangga kuil, masih memandangi sepotong kecil daging putri duyung, menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan.
"Tentu saja. Dan aku tidak ingin tua bangka itu berada di sini dan mengganggu acara kita." Wen Kexing paham apa yang dipikirkan Ah Xu saat ia mengikuti arah pandangan matanya. Bibirnya mengatup dalam ekpresi dingin dan penuh kedengkian.
"Aku tahu. Biar kuajak bicara."
Saat Ah Xu akan melangkah, tangan Wen Kexing mencegahnya.
"Tidak! Jangan kamu. Biar aku saja. Aku takut kakek itu akan menyukaimu." Dia mengakhiri kalimat konyolnya dengan dengusan keras sebelum melangkah mendekati Kakek Gao.
Ah Xu hanya bisa berdiri tercengang.
Kakek Gao menyukainya, ini lelucon yang tidak lucu, batin Ah Xu, menyadari sifat cemburu Wen Kexing yang mulai timbul ke permukaan.
Wen Kexing berdehem sewaktu dia telah berdiri di depan kakek Gao dalam jarak selangkah. Pria tua itu mendongakkan wajahnya perlahan, nampak kagum pada sosok tampan Wen Kexing.
"Apa kau datang kemari demi kehidupan abadi juga?" tanyanya dengan suara gemetar ciri khas orang lanjut usia yang kelelahan.
Wen Kexing mengangkat alis, tidak berminat menjelaskan tujuan sebenarnya datang ke kuil Mutiara, jadi dia menjawab sekedarnya.
"Ya. Sama sepertimu. Pendeta Zhou sangat senang menerimaku sebagai partner abadinya. Jika kau ragu-ragu, kau boleh pulang."
Disertai lirikan sinis, Wen Kexing menghembuskan napas. Tangan Kakek Gao tampak kian gemetar hingga potongan daging itu jatuh ke rerumputan.
"Astaga, kau sembrono sekali. Ini daging puteri duyung. Orang-orang yang sangat mencintai hidup rela membunuh demi secuil daging pemberi anugerah hidup abadi. Dan kau menjatuhkannya seperti sampah tak berguna. Dasar tua bangka ... "
Melontarkan rangkaian gerutuan, Wen Kexing membungkuk untuk memungut daging itu dengan hati-hati.
"Aish, aku bingung sekali. Sangat sulit memutuskan," Kakek Gao setengah meratap. Dia telah menempuh bahaya dan kesulitan untuk sampai kemari, tapi di akhir jalan, keraguan menjeratnya. Kata-kata Wen Kexing yang diucapkan beberapa saat kemudian semakin menggoyahkan keinginannya yang samar-samar.
"Dengar, Kakek," desis Wen Kexing, setengah membungkuk untuk membisikkan sesuatu ke telinga Kakek Gao.
"Tidak ada gunanya hidup abadi dalam kondisi sudah tua renta dan jelek seperti sekarang. Seharusnya kau makan dagingnya sewaktu muda. Jadi, lebih baik menyerah saja dan kembali ke rumah. Lama-lama di bukit ini bisa membuatmu masuk angin."
Kakek Gao tidak terlihat marah dengan kalimat sinis itu, bahkan dia semakin meneliti wajah Wen Kexing.
"Kau benar juga, anak muda. Seharusnya aku mempertahankan usia muda dengan makan daging itu lebih awal. Mungkin saat ini, aku masih setampan dirimu."
Percaya diri sekali, Wen Kexing mendengus dan menegakkan punggungnya.
"Kau tidak percaya? Begini begini juga, dulu aku---"
"Sudahlah!" tukas Wen Kexing. Kata-kata umpatan berhamburan dari dalam kepalanya tapi tidak sampai ke ujung lidah. Dia menahan diri dengan cemberut.
Berani-beraninya dia membandingkan diri sendiri dengan aku, cihhh!
Dilemparkannya ujung rambut panjang yang mulai kusut ditiup angin ke belakang punggung. Wen Kexing tidak ingin membuang waktu lagi dengan Kakek tua ini dan kembali berkata, "Hari hampir gelap. Silakan kau tinggalkan tempat ini, Kakek. Maaf tidak mengantar."
Dengan gerakan tidak sabar, Wen Kexing memutar tubuh dan berjalan kembali menuju Ah Xu, meninggalkan Kakek Gao yang duduk terbengong-bengong.
"Hai, kau tidak terlalu kasar, bukan? Wajah Kakek Gao terlihat seperti orang yang baru saja dicampakkan," ujar Ah Xu, menyambut kembali tangan Wen Kexing yang terulur kepadanya.
"Aku bicara kenyataan. Mungkin dia menyesal karena datang terlambat. Karena itu wajahnya muram."
"Benarkah? Sepertinya dia menyukaimu," canda Ah Xu, kemudian menutup kata dengan tawa.
"Demi dewa, yang benar saja. Itu sama sekali tidak lucu, Ah Xu ... "
Gumaman percakapan mereka kian samar terbawa angin saat keduanya berjalan menuju pintu utama kuil Mutiara.
Mereka menghabiskan waktu sepanjang sisa hari hingga malam menjelang dengan mengobrol tentang hari esok, tentang rencana indah, tentang kisah pertemuan mereka yang aneh dan cinta yang tak pernah berakhir.
Ah Xu menutup jendela salah satu ruangan dalam kuil saat angin musim gugur berubah semakin dingin, bunyi serangga di luar pun perlahan mengecil dan berkurang perlahan-lahan. Deburan ombak mulai samar saat gelombang perlahan surut ke tengah samudera.
Dia menoleh pada wajah tampan Wen Kexing, matanya cemerlang di antara pendar lentera.
"Kau harus istirahat, perjalananmu cukup jauh dan melelahkan," ia berkata dengan sangat lembut, seperti pertama kali mereka berjumpa.
Wen Kexing duduk di tepi tempat tidur, mempertimbangkan di mana ia tidur karena ranjang di kamar hanya ada satu. Ah Xu memahami pikirannya dan tersenyum.
"Kau nampak lelah dan pucat. Tidurlah di kamar ini. Aku bisa tidur di ruangan lain."
Tetapi Wen Kexing tidak terburu-buru untuk tidur. Dia tertawa pelan dan berkata, "Soal tempat tak masalah buatku. Apa tidak sebaiknya kita tidur dalam satu ruangan?"
"Kau tidak keberatan?"
"Tidak," Wen Kexing menukas lalu berpikir sejenak, "Tapi dengan begitu, aku khawatir tak ada satu pun dari kita yang bisa tidur."
Dada Ah Xu dipenuhi aliran hangat. Dia merasa sedikit malu tapi juga bahagia. Tentu saja dia tahu apa maksud kalimat Wen Kexing karena alih-alih tidur beristirahat, mereka akan bermesraan semalaman. Bahkan itu pun rasanya belum cukup. Tetapi kondisi Wen Kexing terlihat lelah, tidak sebagus dirinya.
"Jadi, apakah kita akan tidur dalam ruangan yang sama malam ini?" tanya Ah Xu sambil tersenyum.
Pertanyaan itu sama sekali tidak perlu.
Tidak seperti malam-malam yang telah berlalu, Ah Xu tidak lagi merasa sepi. Ada Wen Kexing di sisinya dan mereka berdua berbaring dalam posisi berdampingan, saling memandang, berpelukan untuk berbagi kehangatan, menikmati kebersamaan dan cinta.
Menuju nirwana.
🌸🌸🌸
Rasanya seperti memasuki dunia mimpi, ketika Ah Xu melangkahkan kaki pertama kali untuk keluar dari kuil Mutiara selamanya. Meninggalkan jejak keabadian yang memudar. Keindahan pemandangan laut dibingkai hutan di kejauhan, hijau kebiruan dan pada pagi hari berubah keperakan disepuh matahari.
Pagi cerah itu, mereka berdiri di tepi pantai, menatap keindahan laut sebelum mereka pergi ke kota.
Sampai beberapa masa ke depan, Ah Xu tidak pernah benar-benar bisa mengingat bagaimana dia menaiki kuda yang ditunggangi Wen Kexing di lepas pantai. Apakah ajakan halus Wen Kexing di tengah pendar warna cerah kisah cinta mereka yang baru lahir, ataukah dirinya sendiri yang putus asa karena mengira akan menjalani hidup abadi dalam kesendirian yang sepi.
"Akhirnya kau menemukan rumah di masa depan, perhentian yang terakhir." Wen Kexing bergabung bersamanya di punggung kuda. Pita panjang terikat di pinggang mereka melambai-lambai seperti pucuk pohon palem di kejauhan.
"Aku tidak berani bermimpi lagi. Reaksi orang tuamu belum kuketahui. Bagaimana kalau mereka menolak hubungan kita?"
"Aku akan mengamuk dan mengancam sampai ayah dan ibu setuju."
"Kau yakin?" Ah Xu tersenyum.
Setelah beberapa hari hidup bersama di kuil Mutiara, pada satu malam akhirnya Wen Kexing bertekad mengeluarkan Ah Xu dari kuil terpencil itu. Satu-satunya cara yang bisa ia pikirkan adalah kembali ke mansion ayahnya dan memohon restu sang ayah dengan tidak tahu malu.
"Tidak ada peruntungan buruk, Ah Xu. Tidak ada takdir yang menjanjikam akhir yang manis. Semua kembali pada perjuangan kita sendiri. Saat aku sudah ada di sini bersamamu, tidak masuk akal jika kau merasa pesimis."
Ah Xu melirik pemuda di sampingnya dan melanjutkan, "Setidaknya pikirkan tubuhmu sendiri. Raga manusia akan kuat menanggung derita selama jiwanya dipenuhi harapan. Kau berhak memperoleh yang terbaik."
Wen Kexing setuju dengan ucapan itu, akhirnya dia tersenyum dan menggenggam erat tangan Ah Xu Seperti perahu yang membelah dan melawan arus sungai, mereka pun akan melangkah bersama melawan segala rintangan.
🌸🌸🌸
Dear reader,
nantikan momen manis Wenzhou berikutnya.
To be continued
Please vote ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro