Part 07
❤ Happy Reading ❤
Kyaaaaa??!!
Ehhh? Haruskah berteriak seperti itu?
"Ayah! Apa yang kau lakukan di kamarku?" sungut Wen Kexing. Dalam gerakan cepat, dia mengubah posisi menjadi duduk. Seketika kepalanya pening.
"Pagi sudah terang." Tuan Wen berdiri di kaki tempat tidur sang putra. Meski sudah membaik sejak beberapa hari lalu, baru kali ini dia berdiri dan berjalan tanpa dibantu. Ramuan obat yang dibuat dari bahan sisik puteri duyung ternyata sangat berkhasiat dan menetralkan racun dalam waktu cukup singkat.
"Ayah hanya ingin melihat putraku, sebenarnya kondisiku saat ini tak lepas dari jasamu. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung padamu."
Penjelasan sang ayah tidak meredakan kejengkelan Wen Kexing. Alasan yang ia dengar sangat konyol dan sama sekali bukan gaya ayahnya. Lagi pula jika sudah membaik dan bisa berjalan sendiri, kenapa tidak pergi ke taman dan menikmati udara pagi, bukan malah menyusup ke kamar orang dan mengacaukan mimpi indahnya tentang pendeta Zhou.
"Itu tidak diperlukan, Ayah. Aku sangat senang melihat kondisi ayah, tapi akan lebih senang jika ayah keluar dari kamarku."
Tuan Wen melotot. "Aiishh, anak kurang ajar ... " ia mendecakkan lidah berkali-kali dan memutar tubuhnya perlahan.
"Baiklah kalau begitu. Kau lanjutkan saja mimpi kacaumu," gerutuannya masih menggema sewaktu pria tua itu terseok-seok keluar kamar.
Wen Kexing beringsut ke tepi ranjang dan menghembuskan nafas. Lehernya bergerak lemah menoleh ke arah jendela. Satu-satunya cara dia bisa mengetahui berapa banyak waktu yang berlalu adalah dengan memeriksa seberapa banyak cahaya yang masuk melalui jendela, tetapi bahkan itu adalah sesuatu yang kini tidak dia pedulikan. Yang dia fokuskan hanyalah mimpi yang baru saja singgah dalam tidur yang gelisah, mencoba memikirkan apa maknanya setiap kali kerinduan membuat hati dan pikirannya menyerah pada sosok pendeta cantik misterius itu. Dunia luar, keindahan taman-taman rumahnya, bahkan seluruh kota, tidak berarti apa-apa baginya, satu-satunya pemikiran dalam benaknya adalah pendeta itu.
Dalam mimpi singkat yang aneh, pendeta Zhou mengakui bahwa nama kecilnya adalah Ah Xu. Apakah itu pemuda yang sama yang dikisahkan abadi dalam perbincangan singkat mereka di halaman kuil?
Jika aku bisa berjumpa lagi denganmu, ada banyak pertanyaan yang ingin kukatakan ...
Wen Kexing menghela nafas panjang sekali lagi, menyentuhkan telapak kaki pada lantai dingin. Kelopak magnolia menari di depan jendela, di bawah irama tiupan angin. Semua hal, pemandangan, bahkan kicau samar burung gereja, semua mengingatkannya pada pendeta Zhou. Menggiring angan dan kerinduan pada satu tempat yang jauh di puncak bukit tepi laut.
Pemandangan pagi hari di kuil Mutiara pasti lebih menakjubkan. Kapan dirinya bisa menikmati sinar matahari pagi bersama sang pendeta cantik. Haruskah ia kembali ke sana?
Wen Kexing tidak tahu berapa lama waktu berlalu, tetapi lamunannya tiba-tiba terganggu, suara ketukan keras terdengar dari pintu kamar saat dia mencoba mengumpulkan kesadaran. Sebelum Wen Kexing mendapat kesempatan untuk bertanya, suara feminin yang keras terdengar.
"Xing er, bangun! Minum tehnya!"
Pemilik suara itu bahkan tidak menunggu Wen Kexing untuk merespons, suara pintu yang dibuka dengan cepat berderak. Sinar matahari masuk melalui pintu yang sekarang terbuka, dia bisa melihat dengan jelas wanita tua yang berdiri di ambang pintu. Tentu saja ibunya, bisa siapa lagi.
Tuan muda itu mengurut pelipisnya kuat-kuat. Mengapa tidak ada yang membiarkannya tenang saat mengkhayalkan pendeta Zhou?
🌸🌸🌸
Tuan Wen sedang duduk di salah satu gazebo di antara tanaman bunga di halaman rumahnya yang luas dan indah. Menikmati teh di pagi yang cerah, mendengarkan nyanyian burung, dan suara alam lainnya, adalah satu-satunya hiburan yang tersisa di masa tuanya sekarang.
Senyumnya beberapa kali mengembang menyaksikan sepasang burung murai bercengkerama di dahan pohon.
"Pagi yang luar biasa, bukan?"
Tuan Wen seketika terperanjat. Nampaknya ketenangan hidup yang hanya sedikit itu akan terusik seiring langkah kaki Wen Kexing semakin mendekat untuk bergabung minum teh bersamanya.
"Ah, kau lagi. Tadi kau mengusirku, sekarang kau mendatangiku. Apa maumu sebenarnya?" cetus Tuan Wen, merengut.
"Ini anugerah untukmu. Aku tidak setiap hari ingin bicara denganmu di pagi hari sambil minum teh."
Penuh kebanggaan, Wen Kexing duduk di depan ayahnya, berhadapan dengan meja kayu rendah tempat poci dan cangkir teh diletakkan. Tangannya bergerak menuang minuman ke dalam satu cangkir. Tentu saja ia hanya menuang untuk dirinya sendiri.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tuan Wen melirik curiga pada puteranya yang tampan dan licik. Dia mengalihkan fokus dari burung murai ke satu piring kecil di meja berisi makanan.
"Ayah, apakah kau percaya cinta pada pandangan pertama?" tanya Wen Kexing. Pertanyaan yang tidak lazim keluar dari mulut sang putra membuat Tuan Wen mengangkat wajah dari makanan kecil di piring.
"Bicaramu aneh sekali," ia menyahut. Ekspresinya tidak jelas.
"Jawab saja." Wen Kexing melirik malas.
"Jika berdasarkan pengalaman hidupku. Bisa dipastikan, hal semacam itu tidak ada. Itu hanya mitos."
"Benarkah?" Wen Kexing menatap curiga.
Ayahnya mengangguk yakin, bahkan menggerakkan jari-jari di samping wajah, memetakan sesuatu yang tak bisa dimengerti.
"Bangkrut dalam pandangan pertama itu lebih masuk akal," ujarnya sambil meringis.
"...!!??@_&^^!!??...."
"Wanita senang berbelanja dan membeli barang indah walau tidak diperlukan. Itulah yang akan terjadi padamu jika jatuh cinta." Ayahnya menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi rumit.
Wen Kexing mendesah dalam kebingungan total dan putus asa. Baiklah, ini kesalahannya. Bicara konyol pada ayah yang konyol adalah gagasan paling tolol yang pernah ia pikirkan.
"Kenapa kau tanyakan itu? Apa kau baru saja mengalaminya?" Tuan Wen kembali bertanya, melirik acuh tak acuh.
Pertanyaan itu mengejutkan Wen Kexing, secara tidak langsung membuatnya mempertanyakan diri sendiri. Mungkin dia harus mencari jawabannya di satu tempat. Dia bisa saja kembali ke kuil mutiara, sekarang atau nanti. Mungkin ia harus menunggu beberapa hari lagi, dan jika ia benar-benar tidak bisa melupakannya, dia akan kembali ke sana dan menemui pendeta Zhou.
Pendeta Zhou? Atau Ah Xu.
Dia mulai yakin bahwa mereka adalah orang yang sama.
🌸🌸🌸
Beberapa hari kemudian
Kakek tua renta itu berjalan terseok-seok ke tepian tebing beberapa puluh meter dari halaman samping kuil Mutiara. Dia berdiri kebingungan. Pandangannya melayang jauh ke lautan kebiruan dan camar-camar hitam yang terbang di atas gelombang.
Itu adalah salah satu hari di mana matahari bersinar terang di langit tanpa awan yang terlihat dan beberapa batang pohon di sekitar kuil mutiara melambai dengan damai. Namun, kakek tua itu mengerutkan alisnya saat dia merasa ada sesuatu yang salah.
"Haruskah aku memakannya?" dia menggumam tanya berulang, mencari jawaban dalam diri sendiri.
Kini tatapannya beralih pada sesuatu yang tergenggam di tangan. Sepotong kecil daging ikan mentah berwarna putih pucat. Sekeping sisik meluncur jatuh dari potongan itu.
"Kakek Gao!"
Sebuah suara melayang di antara desir angin, membawa jarak yang jauh terasa dekat. Kakek tua itu menoleh ke sumber suara, dan melihat sesosok tubuh tinggi ramping dengan jubah putih dan rambut hitam berkibar, berjalan ke arahnya.
"Kakek Gao, apa kau ragu-ragu untuk memakannya?"
Sosok itu tidak lain adalah pendeta Zhou. Keduanya kini berdiri berhadapan terpaut jarak satu langkah. Kedua tangan sang pendeta terulur menggengam tangan si kakek yang gemetar oleh kesejukan angin serta pengaruh gejolak emosi.
"A-ku, aku masih takut memakannya," suara si kakek serak dan bergetar. Matanya beralih antara wajah tampan pendeta Zhou dengan daging ikan di tangan.
"Ta-pi aku juga takut mati," lanjutnya.
"Tidak perlu terburu-buru, Kakek." Senyum pendeta Zhou terkembang, manis dan memikat. Siapa pun yang diberi senyuman seindah miliknya, mungkin akan kesulitan untuk menolak.
"Benarkah aku bisa hidup selamanya? Kekayaan dan kesehatanku, apakah tidak akan berubah?" kakek Gao bertanya, menghela nafas.
"Kau akan memiliki waktu seumur hidup untuk menemukan jawaban pertanyaan itu. Asal kau selalu bekerja keras, menikmati hidup dan tidak kehilangan harapan, semua akan baik-baik saja," pendeta Zhou menjawab lembut.
"Apa yang harus kulakukan? Menurutmu bagaimana?"
Pendeta Zhou menepuk bahu si kakek dan berkata, "Di sini anginnya sangat kencang. Mari masuk ke kuil, nanti kau masuk angin. Di sana kau bisa mempertimbangkan kembali apakah mau memakannya atau membuangnya."
"Aku belum ingin mati ... tapi kalau aku makan ini ... "
Perlahan bahu si kakek mengendur, menuruti ajakan pendeta Zhou yang menggamit lengannya. Keduanya berjalan lambat-lambat menuju kuil mutiara.
"Aku akan menunggu sampai kau memutuskannya," suara pendeta Zhou sangat menenangkan.
"Aku memiliki waktu yang panjang. Kau jangan cemas tentang masa depan. Aku akan selalu berada di sini."
Saat keduanya hanya tinggal beberapa meter lagi ke pintu kuil, sudut mata pendeta Zhou menangkap bayangan seseorang bergerak masuk ke halaman. Satu sosok berjubah merah yang indah.
"Lao Wen?" tertegun, pendeta Zhou tanpa sadar menggumamkan namanya.
"Mengapa kau ada di sini?"
Wen Kexing berdiri terpaku mengawasi gestur kedua orang itu. Pendeta Zhou yang cantik, memanipulasi kakek tua agar memakan daging puteri duyung.
Tapi mengapa?
"Siapa orang itu?" Wen Kexing menghampiri keduanya. Mereka berdiri canggung di halaman.
"Ini kakek Gao." Pendeta Zhou menatap sang tamu tak diundang, seseorang yang diam-diam dia harapkan datang. Dan ia memang telah datang serupa hadiah kejutan dari langit.
"Dia seorang pejabat desa. Usianya memang sudah tujuh puluh lima tetapi masih sehat dan hidup dengan baik. Dia datang kemari untuk berdoa." pendeta Zhou melanjutkan argumennya.
Itu argumen paling lemah yang pernah didengar Wen Kexing. Ada kuil lain di seluruh desa tetapi seorang kakek tua menempuh medan yang sulit dan jalan mendaki untuk mencapai kuil Mutiara. Apa yang diminta kakek ini selain hidup abadi?
Itu terdengar lebih cocok dan sesuai dengan rumor yang beredar.
"Oh jadi begitu rupanya." Wen Kexing tersenyum tipis, menyembunyikan rasa tidak percayanya atas ucapan pendeta Zhou. Sebenarnya bukan adegan semacam ini yang dia bayangkan akan terjadi pada pertemuan kedua Mereka. Wen Kexing mengharapkan momen yang lebih romantis. Tetapi apa yang dia saksikan sekarang semakin menguatkan prasangka yang menghantui pikirannya. Ini bukan tentang dirinya yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini juga tentang penderitaan seseorang yang menjalani hidup sepi yang abadi. Benaknya mencoba memahami ini, bahwa pendeta Zhou begitu putus asa dalam hidupnya hingga menggoda seorang kakek renta memakan daging puteri duyung. Menjanjikan untuk berada di dekatnya selamanya.
Pasangan ini sangat tidak cocok, batin Wen Kexing sebal seraya mengawasi perawakan kakek Gao dari ujung kepala hingga kaki.
Ayahku bahkan masih lebih lumayan, walau pun sama-sama tua bangka.
Kini, pandangannya beralih menatap lekat wajah pendeta Zhou dan berkata dingin.
"Pemuda yang memakan daging puteri duyung itu, mungkin selamanya hidup sendirian. Tidak ada yang menemaninya dalam keabadian. Pemuda yang kau ceritakan kisahnya padaku waktu itu, bukankah itu adalah dirimu?"
Pendeta Zhou tidak menunjukkan rona terkejut di wajahnya, meski pun ia bisa menangkap nada rumit dari kata-kata yang diucapkan. Antara ragu dan penasaran. Selain itu, ia bisa melihat kerinduan di mata Wen Kexing, yang segera menghilang sebelum ia dapat meyakininya.
Dan bagi Wen Kexing, melihat pendeta Zhou dan kakek itu, dia merasa gelisah tapi tidak melihat alasan mengapa mereka akan menyebabkan panik, tetapi semakin dekat mereka berdua menuju pintu kuil, semakin banyak energi yang dia butuhkan untuk menjaga emosinya. Satu rasa cemburu yang segera ditenangkan oleh senyum singkat pendeta Zhou yang seindah dalam ilusinya.
Hening beberapa lama saat detik memanjang dan hanya diisi desiran suara angin di sela dedaunan. Wen Kexing menghela nafas, kemudian bertanya lagi.
"Apakah kau sangat kesepian, pendeta Zhou? Ah, bukan. Bagaimana sekarang aku harus memanggilmu? Pendeta Zhou, atau Ah Xu?"
Wajah sang pendeta berbinar. Wajah itu cantik, rambut halus hitam dan mata bening yang sangat eksotis sehingga-sekali lagi-Wen Kexing menolak untuk percaya bahwa pria itu benar-benar manusia biasa.
"Ah Xu." Bibir pendeta Zhou bergerak sedikit. Suaranya halus dan perlahan, hingga angin bahkan sulit mengantarkannya pada telinga Wen Kexing.
"Panggil aku Ah Xu ... "
🌸🌸🌸
To be continued
Please vote ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro