CHAPTER X
Ilusi.
Kim Ga On berpikir linglung sambil menatap ke depan. Tak ada apapun di sana, seolah-olah dia memang bertindak sembrono tanpa alasan.
So Hyun menatapnya terkejut dan bingung, "Ga On, aku tahu kau mungkin tidak siap atau sangat terkejut dengan apa yang kuungkapkan. Tapi tidak perlu bertindak bodoh.." tegurnya, sedikit merasa bersalah.
Kim Ga On tidak bereaksi untuk beberapa saat. Dia sepertinya berpikir bahwa sejak awal ada yang lebih dari terlihat, tentang bayangan pria misterius yang tidak menyerah untuk menyeretnya ke neraka.
"Ga On!" Jengkel karena diabaikan, So Hyun menepuk bahu kaku si pemuda.
Seketika, Kim Ga On dibangunkan dari lamunannya. Melirik pada So Hyun seakan tidak sadar.
"Apa yang kau katakan barusan?" tanyanya bodoh.
So Hyun mendengus tidak sabar. Dia paham jika sahabatnya ini tidak mempercayai apa yang ia katakan, pada akhirnya sahabat tetap sahabat. Tetapi ia tidak menduga seburuk ini, bahwa Kim Ga On bahkan tidak mendengar pernyataan cintanya.
"Kau sama sekali tidak mendengarku? Apa kau sudah linglung?" Ia memalingkan wajah keluar jendela, cemberut. Kim Ga On menoleh padanya dengan raut wajah bingung. Menelan saliva sekilas, ia meluruskan mobilnya kembali ke jalur yang benar dan berkata datar.
"Kurasa begitu."
So Hyun mendecak kesal, tetapi tidak berusaha menjelaskan.
"Menyebalkan," gumamnya perlahan.
Acara nonton mereka berlangsung sangat buruk dan membosankan. Dan So Hyun tidak akan pernah lupa bagaimana rasanya kelaparan karena pemuda itu tidak menawarkan makan malam setelahnya.
Mata pemuda itu masih bersinar dalam warna emas cair, dan sekilas terlihat sedih dengan rasa bersalah yang dia rasakan akibat kekakuan di antara mereka yang sulit dijelaskan. So Hyun merasa sudah menahan begitu banyak dan ia sudah membuat keputusan untuk segera pulang.
Sesampainya di apartemen, mereka duduk di halaman memikirkan malam ini. Keduanya menatap ke luar angkasa dengan alis mirip rajutan.
"Apa kau tidak merasa bahwa sikapmu aneh?" Komentar So Hyun.
"Entahlah, aku -- hanya kesepian tapi di sisi lain, aku merasa ada seseorang memperhatikanku."
"Paranoid?" kali ini So Hyun menatap wajah Kim Ga On dari samping karena tidak ada hal lain yang menarik untuk dilihat selain wajahnya.
Kim Ga On mengangkat bahu. Diam-diam, kesadarannya terulur, menyelam ke dalam arus bawah pikirannya sendiri yang bergelombang. Kembali memikirkan betapa menariknya mengetahui bahwa pria luar biasa bernama Kang Yo Han rentan terhadap pemuda naif seperti dirinya, bahkan dia tidak benar-benar melepaskan. Penampakan di tengah jalan bisa jadi hanya halusinasi, tapi bisa saja bukan. Betapa indahnya menggunakan kekuatan yang dimiliki entitas asing itu untuk menguntit seseorang. Datang dan pergi begitu cepat seperti bayangan. Dia tidak mengatakan apa pun untuk mencegah dirinya, mungkin itu menjadi cara sopannya untuk memberi tahu bahwa dia tidak benar-benar pergi.
"Ga On, di perjalanan tadi, aku mengatakan hal yang benar, maksudku, jika kau benar-benar menginginkan persahabatan, maukah kau bertahan? Aku tidak akan memaksa dan meminta lebih."
Kim Ga On mengerutkan kening dan mempelajari ucapn yang baru saja dia dengar. Setelah pertimbangan panjang dia berbicara perlahan, "Aku tidak mengerti. Bukankah kita sedang bersahabat sekarang?"
Melayangkan lirikan kesal, So Hyun kini benar-benar menyerah. Mungkin dia harus mengatakannya lain kali. Itu pun jika ada lain kali.
"Ya, kau benar. Lupakan saja perkataanku."
"Kau terlihat kesal. Apa kau marah padaku?" tatapan bingung Kim Ga On menyapu ke arahnya.
Gadis itu menggeleng kuat-kuat.
"Tidak."
"Oh."
Kim Ga On menghela nafas lega tanpa menyadari kejengkelan gadis di sampingnya.
✨✨✨
Terkadang untuk beberapa kesempatan, Kim Ga On bukanlah orang yang suka menunda-nunda. Malam berikutnya pada jam makan malam, dia bergabung dengan beberapa kawan di halaman rumah Oh Jin Joo. Dia terlihat begitu santai, anggun, begitu bersih, sangat baik, duduk di kursi goyang anyaman putih, mengenakan sweter rajutan krem dengan celana panjang putih dan perlahan, melamun mengisap anggur dengan rasa tidak karuan di lidahnya.
Halaman rumah Oh Jin Joo luar biasa. Tangga marmer dangkal selebar sembilan kaki membawamu turun beberapa kaki ke tangga lain yang menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Ada jembatan kecil Jepang yang dipernis merah, melengkung di atas sungai buatan kecil. Ada patung telanjang pria dan wanita, ditempatkan secara acak, yang mencerminakan ke kebunnya suasana rayuan dan sensualitas. Patung pahatan klasik. anggun, dan berpose elegan, namun -- Kim Ga On teringat taman mansion Kang Yo Han, tidak pernah melupakannya, karena ia pernah bermimpi kembali ke sana.
Angin malam menjadi lebih dingin dan mulai meniupkan daun-daun mati ke sana kemari. Kim Ga On menghela nafas bersama angin. Sesaat ia tidak ingin malam berakhir, tidak ingin pergi. Dia suka berada di sini bersama teman-teman, dengan taman yang membuatnya terpesona. Tetapi perasaan itu tidak berlangsung lama.
"Jadi semua mawarku adalah mawar kuno yang tidak memiliki aroma memabukkan," suara Oh Jin Joo berdengung membahas hal-hal yang bersifat perempuan pada dua orang kawannya.
"Mengapa mawar sama sekali tidak berbau parfum?" Yang lain menanggapi.
Suara obrolan lain terdengar terlalu jelas dalam tangkapan indera pendengarannya yang meningkat tajam. Denting gitar dari salah seorang kawan laki-laki, senandung sengau dari yang lain. Kim Ga On memejamkan mata, merasa pusing dan tidak terkendali. Ada satu rasa menyiksa malam ini. Dia mencoba menawarkan dengan meneguk bergelas-gelas anggur. Tapi ia masih haus.
Dalam cahaya keunguan yang memudar pada hari yang gagal, matanya yang berkilauan bertemu dengan mata salah seorang kawan. Denyut nadinya semakin cepat dan memaksa dirinya untuk menghela nafas lagi.
Dia bertanya-tanya seperti apa dan bagaimana rasanya mencicipi darah seseorang seperti dia. Dengan rasa bersalah matanya kabur dari tatapannya yang panjang dan menyelidik, takut dia akan melihat apa yang ia pikirkan.
"Kau terlihat terganggu, Ga On. Kenapa?" Pertanyaan Oh Jin Joo mengusiknya, seolah dia sudah tahu rahasianya. Kim Ga On menoleh untuk memberi tatapan peringatan yang keras. Gadis itu kini berdiri tidak jauh darinya.
"Kurasa ada yang tidak beres dengan kepalaku," ia menunduk, menyembunyikan wajahnya.
"Kupikir kau senang berada di sini. Steaknya lumayan, bukan?"
Kim Ga On meringis, "Aku tidak makan."
"Astaga, mereka menghabiskan semuanya?" Oh Jin Joo menatap pada kawan-kawan yang lain.
"Tidak. Aku sendiri yang tidak berselera. Kupikir, sebentar lagi aku akan pulang." Dia memutuskan.
"Kau akan merasa baik-baik saja besok pagi," Oh Jin Joo terus bicara.
"Kamu hanya perlu tidur."
Kim Ga On menggeleng, "Aku haus."
Tepat di depannya, di atas meja taman, ada sebotol anggur merah dingin, persis seperti yang ia impikan.
Untuk waktu yang lama ia melihatnya, melihat tetesan embun beku yang menutupinya, dan ia tidak sabar untuk meraihnya dan meminumnya lagi.
Kim Ga On tidak pernah tahu rasa haus yang ia derita sekarang. Seluruh tubuhnya haus. Dia sangat lemah dan mulai sedikit kedinginan.
"Maafkan aku, sepertinya aku harus benar-benar pergi sekarang," ia menoleh pada Oh Jin Joo, tanpa menunggu persetujuan, beranjak dari taman menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan.
Kim Ga On tidak berencana pulang. Dia ingin berkeliaran di mana pun, di mana tak ada seorang pun mengenalnya. Dirinya kini bukan bagian dari dunia yang dulu. Sambil tersenyum pahit, menyadari bahwa ia termasuk golongan gelap yang membuat orang lain merasa ngeri. Perlahan dan dengan hati miris, ia tertawa.
Namun kesedihan itu tidak sepenuhnya hilang. Itu bertahan seperti sebuah ide, dan ide itu memiliki kebenaran menakutkan.
Dia tidak hidup, tidak juga mati, dia vampir.
Beberapa saat setelah tengah malam, Kim Ga On berhenti pada tepi jalanan sunyi di kawasan pinggiran, tepi barat sungai Han. Itu adalah daerah rawan di mana rumah-rumah dan gudang penyimpanan bertumpuk tidak beraturan dalam penataan yang buruk.
Hening.
Kim Ga On memejamkan mata, menyandarkan kepala pada kursi mobilnya dan membuka jendela, membiarkan angin masuk. Dia mungkin tertidur, atau setengah tertidur. Rasa haus itulah yang membangunkannya dan ia langsung tahu di mana ia berada.
Tidak ada mimpi yang manis tentang anggur merah dingin. Dalam kegelapan sempit jalan-jalan kecil berlapis batu kerikil, dia meraba mulutnya dengan jari-jari dan mendapati giginya tiba-tiba berubah panjang dan tajam seperti bilah pisau kecil.
Dan seorang manusia berada di dalam salah satu gang gelap, dan meskipun dia belum mencapai ujung jalan, Kim Ga On bisa mendengar nafas, derap langkah bahkan pikirannya.
Dia menoleh, menyelidik dengan mata tajam sewarna amber, berkilau seperti macan mengincar buruan. Membuka pintu mobil seolah tanpa sadar, dia menjemput seseorang yang bisa dikatakan akan menjadi korban pertamanya. Yang berdiri di mulut gang adalah seorang anak laki-laki. Dari penampilannya nampaknya dia salah satu dari remaja nakal yang suka berkeliaran pada malam hari, mengganggu ketenangan dan berkelahi. Wajahnya putih pucat, dan terlihat sangat shock menatap wajah asing di hadapannya. Sosok yang bukan menjadi sasarannya, untuk dicuri dompetnya. Orang yang menghadangnya kini terlihat seperti --
Setan.
Dia memiliki taring. Astaga!
Kim Ga On terus menatap korbannya. Terpesona dengan pembuluh darah di wajahnya dan di tangannya. Aroma itu membuatnya mabuk.
Dia bisa merasakan detak jantungnya yang redup, dan kemudian bisa merasakan darahnya, seperti apa rasanya, dan datang padanya perasaan yang sepenuhnya liar dan panas.
Kim Ga On bergerak perlahan ke arahnya.
Anak laki-laki itu menatap langit yang menghitam. Ketakutan berdenyut seperti cahaya di matanya. Kim Ga On merasakan kepahitan pikirannya dan alasan putus asanya. Tapi dia tak peduli ia berada dalam cengkeraman nafsu makan yang tak kenal ampun.
Dan si anak laki-laki tahu itu. Dengan cara yang liar dan tidak masuk akal, dia merasakannya. Melemparkan satu pandangan takut terakhir dia berlari mundur ke dalam gang.
Dengan mudah Kim Ga On mengejar dan menangkapnya. Dia senang menangkapnya, sangat sederhana. Berikutnya ia membuatnya tak berdaya, menahannya dari tanah sehingga kakinya terayun bebas, berusaha keras untuk menendang.
Kim Ga On menarik leher anak itu ke bibirnya, merobek arteri yang menonjol di lehernya. Darah menghantam langit-langit mulut. Kim Ga On sedikit menangis saat ia menyerap cairan itu dalam dirinya.
Dia bisa merasakan bahunya naik, menggigit lebih dalam ke dagingnya, dan hampir suara dengungan keluar darinya. Tidak ada penglihatan kecuali jiwa kecilnya yang terengah-engah, pingsan yang begitu dalam sehingga dia nampak mati.
Dengan segenap keinginan, sebelum saat terakhir, Kim Ga On memaksa dirinya berhenti. Dia ingin memeriksa kembali apakah anak laki-laki itu hidup atau mati. Tapi ia tidak berani.
Dia tergelincir dengan berat dari lengannya, anggota tubuhnya terbentang di atas tanah, bagian putih matanya terlihat di bawah kelopak matanya yang setengah tertutup.
Darah itu menghangatkannya. Kim Ga On merasakan wajahnya terasa panas di telapak tangannya, dan penglihatannya menjadi sangat tajam. Dia merasa kuat melampaui semua yang dibayangkan.
To be continued
Ga On jadi vampir? Imutnya 💔
Please vote for this weird story
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro