vimsati
Satu warsa berlalu semenjak kematian sang ibu. Malaikat yang dia agungkan—pahlawan yang selalu dipuja, pun telah hilang bersama dengan waktu yang berjalan. Tinggalkan dia sendiri, dalam gelap sunyi kehidupan.
Pernah satu kali berharap, pada insan lain. Bertanya, apakah kamu bisa membantuku?
Namun tampaknya Manjiro benar-benar sudah gila.
Tahun 2010, adalah tahun yang sepertinya akan sang puan benci seumur hidupnya.
Matsuno Chifuyu meninggal. Mitsuya Takashi meninggal. Akashi Senju meninggal. Hanemiya Kazutora meninggal. Serta daftar lain yang menunjukkan barisan nama. Itu adalah orang yang pernah membantunya—memohon pula pada Manjiro untuk lepaskan belenggu rantai.
Namun sosok dibalik layar terlalu cerdik. Sudah lebih dulu mengetahuinya, dan kembali menghasut adam yang dimaksud. Kembali disesatkan, serta membunuh temannya sendiri.
"Apa yang kau lakukan?!"
Adiratna membentak tatkala Manjiro dengan kasar mencengkram kedua pergelangan tangannya. Surai hitam tergerai berantakkan di atas ranjang.
Ini tidak benar.
Ini salah.
Tidak seharusnya begini!
"MANJIRO, KAU GILA?! SETELAH MEMBUNUH IBUKU, TEMANKU, APA KAU AKAN MERENGUT KEHORMATANKU?!"
Durja pucat pandangi laksmi. Lantas senyum miris terukir. Bersamaan dengan sang adam yang berujar.
"Bagaimana kalau iya?"
Lengan terayun kencang. Karantala kini meninggalkan jejak merah pada pipi sang adam. Menimbulkan gema sesaat dalam ruang.
Manjiro terdiam, menunduk sesaat. Menyentuh sisi pipi kemudian kembali menenggadah. Menatap pelaku yang baru saja menamparnya.
(Name) membelalakkan mata. Lantas jeritan keluar labium, disaat tangan dengan kasar menarik anting yang dikenakan. Membuat permukaan memerah, serta meneteskan darah.
"Baiklah," sang adam masih tersenyum. Jelaga kosong pandangi insan di hadapan. Lantas mengangkat anting di sela jari. "Kamu sekarang milikku ya. Jangan lagi berhubungan dengan Hanma Shuji."
Permata jingga menatap tak percaya. Tangan yang mencengkram kuat telinga kini mulai melemas. Saat sadar bahwa Manjiro meletakkan anting dengan asal dan melepas pakaian atasnya.
Gadis itu sadar.
Gadis itu sepenuhnya tahu, tentang apa yang akan iblis ini lakukan.
Dia memberontak. Namun ketika ia berlari menjauh, dia akan kembali ditarik dengan kasar. Ketika dalam diam kabur, selalu ada rintangan yang menanti. Dan dikala merangkak dengan begitu menyedihkan, belenggu rantai selalu siap menguncinya. Mencekik leher hingga tak dapat bernapas. Meremas jantungnya dengan begitu kuat. Seolah ludira berhenti mengalir dalam tubuh.
Membunuhnya perlahan.
Kini netra dilapisi air asin, saat pandangan menangkap sosok kekasih yang berdiri di ambang pintu.
"Shu ... tolong ... "
Dan ia kembali dihancurkan. Untuk ke sekian kali, hatinya diremukkan. Diremas layaknya mainan, kemudian dipecahkan hingga ke keping terkecil. Seolah kebahagiaan tak pernah ingin hadir dalam diri. Mengoyak tiap semangat serta sinar, hingga yang tersisa hanya kebencian.
Kekasihnya, berpaling dan memilih untuk pergi.
"Shu—"
Manjiro mencengkram rahangnya. Lantas dengan paksa membuat keduanya bertatapan.
"Lupakan dia, ya?"
"Manjiro ... aku mohon. Tolong ... hentikan ini ... "
Adalah kalimat terakhir sebelum akhirnya ruang dipenuhi jeritan. Disusul tangisan menyayat hati yang tak henti. Menggelegar keluar kamar, hantui tiap saksi. Mengirim teror dari sundari pada lelaki.
Tiap tetesan air tangisnya mengandung kebencian. Berisi duka yang tak pernah pudar. Terlalu sering menangis sebab luka, lantas kapankah ia menangis sebab bahagia?
Dalam diam bertanya. Pada malaikat yang selalu menjaga, sosok yang dicinta, pun selalu diidolakan.
Dia yang dimaksud menangis. Dari atas sana kini bersujud di hadapan sang Tuhan. Memohon, untuk berikan pengampunan serta bahagia pada adiratna. Tidak seharusnya laksmi menderita, sang penjaga tahu itu.
"Kak ... "
Lirih, bisikkan itu bercampur dengan jeritan.
Keisuke, apa kamu dengar? Apa kamu melihatnya?
"... apa kamu tidak ingin mengajakku pulang?"
Dan, malaikatnya kini menangis.
Di atas sana, di samping ibu. Di hadapan Tuhan.
Tolong, Tuhan.
Pulangkanlah adikku. Sudah cukup baginya untuk menderita. Jangan siksa dia lebih jauh lagi. Jangan hancurkan dia lebih dalam lagi.
Tolong, bunuh saja seandainya dia memang pantas mati.
Itu lebih baik daripada hidup disiksa tanpa henti.
Sebab bahkan setelah keluarga telah pergi, disusul teman temannya, kini pelita hati ikut memadamkan api.
Hanma Shuji, sudah pergi.
Dia memilih berpaling.
Dan lazimnya, (Name) tidak cinta. Tidaklah wajar baginya untuk masih menaruh rasa. Sebab benang kamanya, tidak lagi terikat. Biar, sudahlah. Hentikan yuda tidak berguna dalam senandika.
Memohonlah. Pada batara, untuk mencabut kembali panahnya.
•••
Sunyi merengkuh laksmi. Laksana lara yang muncul secara berkala, tak pernah letih hantui kepala. Selalu muncul, barang hanya sesaat. Menemani malamnya ia yang kesepian.
Tangan terulur. Kini daksa perlahan bangkit dan meraih sebuah luaran. Tidak peduli dengan dinginnya ubin lantai, puan yang dimaksud hanya memasang wajah lelah sementara lengan mulai bergerak.
Menutupi tiap bekas garisan pada lengan, serta hapuskan kembali angan. Hancurkan masa lalu laksana ilusi yang kerap muncul dalam kepala. Menghancurkannya secara perlahan.
Seakan adiratna tak mengizinkan barang satu insanpun melihatnya.
"Tunggu sebentar."
Lantas setelah memperhatikan refleksi diri pada kaca, kurva tipis terukir pada wajahnya. Tanpa adanya keinginan menyelipkan jari disela helai, barang hanya untuk merapikan, langkah telah membawanya menuju sumber suara.
Gagang digerakkan, disusul dengan taruna di hadapan.
Lantas gugup mulai merayap dalam dada. Tepat ketika sosok di hadapan tersenyum khas, kemudian berperilaku dengan sopan. Mengajak adiratna keluar lalu duduk sekedar untuk meneguk secangkir kopi.
"... Kisaki-san. Ada apa menemuiku?"
•••
19 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro