Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tri vimsati

Bagai duri dalam daging. Hubungan mereka tidak benar, juga tak menyangkut romansa. Hanya pernah adakala, perihal sayang pada keluarga. Manjiro bagai kakak, serta adiratna yang kecewa. Sebab yang dikira kawan, berubah menjadi lawan. Menghancur-leburkan dirinya. Menusukkan duri pada dagingnya. Merobek kelopak, serta mematahkan tangkai.

Nyenyat mendominasi, kala insan dalam ruang enggan membuka suara. Terdiam, terpaku. Akan sosok adiratna yang sedetik lalu melemparkan sebuah barang. Menimbulkan tetesan merah yang mengotori ubin lantai.

Haruchiyo membelalakkan matanya. Dia tak menyangka akan kejadian ini. Pula, terkejut sebab gagal menangkisnya.

"Apakah kau ingat dengan segala yang kau lakukan padaku, Manjiro?"

Lengan melambai pelan. Memberi isyarat bagi Haruchiyo untuk menyingkir. Membuka jalan bagi laksmi untuk mendekat. Berhadapan dengan taruna.

Tidak, (Name).

Terlalu banyak. Sungguh terlalu banyak durjana yang dilakukan taruna. Tak lagi dapat dihitung dengan jari. Rinai yang menari, bahkan enggan membawa dosanya untuk pergi.

Maka, apakah kamu rela memaafkan? Relakah kamu mengikhlaskan?

Pandangan berkabut. Jantung diremas, kala sadar bahwa semua yang terjadi hingga titik ini, berawal dari pria brengsek. Kisaki Tetta. Dia tidak salah, namun dijadikan kambing hitam.

Lantas, mengapa harus aku? Mengapa harus aku yang menderita? Direngut kehormatannya. Direngut keluarganya. Serta dikekang dengan belenggu rantai pada tiap bagian tubuh. Dicekik, serta rasakan perlahan ludira yang berhenti mengalir.

Bahkan, banyak orang tak berdosa yang ikut diambil nyawanya.

Tangan yang tremor terangkat perlahan. Di hadapan dada, dengan kapala yang sedikit menengadah, adiratna berkata dengan suara yang bergetar.

"Aku masih merasakannya, Manjiro."

Insan dalam ruang mengerutkan kening. Taksa yang keluar dari celah bibir tak mudah dipahami. Terlalu memiliki banyak arti.

Lantas, setelahnya laksmi kembali berujar. Dengan kurva tipis, serta durja yang menangis.

Membawa kembali ingat kenangan, yang terkubur dalam ruang. Hilang serta pudar bersama waktu yang berjalan. Membusuk. Namun nyatanya masih di sana, bersembunyi pada bagian paling ujung memori.

"Sensasi itu. Ketika tubuh penuh darah milik ibu aku peluk begitu erat. Aku sampirkan jaketku dan aku elus perlahan. Namun tubuhnya tak kunjung hangat, melainkan napasnya berhenti," kontras. Tangisannya menggila. Dadanya bergemuruh dengan duka merajalela. "Keisuke. Aku begitu bodoh. Begitu naif dan tak mendengarkan perkataannya."

Manjiro rasakan sembilu mengirisnya. Secara perlahan, menyiksanya dengan sosok tanpa rupa. Dia tak sanggup mendengarkannya.

Durjana tak terhitung, dosa tak termaafkan.

"Aku belum sempat berkata maaf padanya."

Manjiro melangkah maju. Mendekat, namun enggan mengikis jarak. Melainkan ke arah berlawanan, setelahnya kembali melambaikan tangan. Berikan isyarat bagi insan lain untuk pergi.

Shuji menyeret Kisaki Tetta. Dengan begitu kasar serta wajah malas. Tak rela pujaan ditinggalkan berduaan. Namun paham, bila mereka memang butuh waktu serta ruang untuk bicara. Berbanding terbalik dengan Haruchiyo, yang kini berdecih sebelum akhirnya melangkah pergi.

Hening merayap. Sementara air berisi lara perlahan menjatuhi lantai.

Manjiro perlahan membuka bibirnya. Namun kembali mengatup. Lidahnya kelu.

Sejak kapan semua ini menjadi salah?

Dari mana benang mereka menjadi kusut?

Manjiro telah menghancurkan hubungan seseorang. Telah merengut harga diri sang puan. Telah membunuh seorang ibu dan memisahkannya dari sundari.

Dan, dosa lain yang tak terhitung.

Adalah tak tahu malu bila ia memohon maaf.

Biarpun ia berlutut, menangis, tak ada ampun bagi pendosa sepertinya.

Tuhan adalah Maha Pemaaf. Tuhan adalah Maha Pengampun.

"Apakah aku ... diizinkan untuk memohon ampun padamu?"

Namun tidak dengan manusia.

"Sekalipun kau memohon, berlutut, bahkan bersujud di hadapanku," jingga bersirobok dengan jelaga. "Kata maaf tak akan pernah keluar dari mulutku untukmu, Manjiro."

Tetesan ludira jatuh. Mengetuk kemudian menyatu dengan putihnya ubin. Disamarkan dengan tangis, yang mana kini berhenti dengan kurva pada durja sang laksmi.

"Kamu merengut segalanya dariku. Kau menghancurkan diriku. Kau membuat hidupku jauh lebih buruk dari neraka."

Jubah luar dilonggarkan. Lengan terulur. Guna menunjukkan pada taruna, garis yang diciptakan dengan nestapa, serta tangisan lara. Berisi luka yang telah membusuk, bersama akal sehat yang lama mati.

"Lihat, Manjiro. Lihat apa yang aku perbuat."

Menurutmu, apa alasan dia memakai baju panjang yang menyesakkan di bawah teriknya matahari?

"Lihat, apa yang telah kuukir di atas dagingku sendiri."

Menurutmu, mengapa dia dengan begitu tak percaya diri, masuk ke dalam kerumunan manusia?

"Dan Manjiro," senyum tipis terukir. "Kita tidak pernah melakukannya dengan rasa cinta."

Manjiro terdiam.

"Lalu, kau ingin aku melakukan apa? Kau ingin aku menebus dosa dengan apa? Kematian?"

Karantala menyentuh permukaan kulit. Disusul dengan lengan laksmi yang secara kasar diayunkan. Dengan paksa, diarahkan ke kepala.

"Maka, bunuh aku. Bila itu membuat kamu puas."

Tanpa ragu, adiratna menamparnya.

Membuat ludira jatuh kembali. Mengotori putih serta menodai kulit. Biarkan luka melebar, sementara tuan memasang wajah datar. Abai akan sakit.

"Kau pikir aku tidak berani? Kau pikir aku tidak mau? Aku sangat menginginkan kematianmu, Manjiro! Setiap malam ketika kau melakukannya secara paksa padaku, aku selalu ingin membunuhmu dengan tanganku sendiri."

"Lalu, mengapa tidak mencobanya?"

"Karena aku tahu itu tidak akan berhasil."

Manjiro memiringkan kepala. Perlahan, tetesan darahnya mengalir menuju pelupuk mata. Lantas ikut menyatu ketika bulu saling bertubrukan.

"Bahkan sekarang?"

Pria itu menatapnya bingung. Di sini hanya ada mereka. Bahkan Haruchiyo tidak akan melangkah masuk, sebab telah diberi titah keluar. Lantas, mengapa adiratna tak kunjung melemparinya barang lagi?

"Karena kamu tidak boleh mati."

Tak ada lagi tangis, tak ada lagi emosi. Hanya ada hampa yang menguasai. Membuat taruna merinding, kala sadar jingga telah menyorot langsung jelaganya. Menusuk, tak berikan izin baginya yang lancang bertatapan mata.

"Hidup, Manjiro. Kau harus hidup dengan rasa bersalah dan penyesalan yang menggerogotimu," jeda sesaat. Adiratna menurunkan kurva, menciptakan raut muram ketika labiumnya membuka celah. "Sebab, bahkan kematian akan menolak kehadiranmu."

Sampai kau tua.

Sampai kau mati.

Sampai Tuhan memanggilmu pulang.

Adalah penyesalan yang mengisi, serta rasa bersalah yang menggerogoti. Membunuh secara perlahan, membuatmu tak lagi dapat tidur dengan nyenyak pada setiap malam. Tersiksa, kala jeritan permohonan serta ampunan yang diabaikan, akan menggema ditiap detik memasuki rungu.

Itu adalah balasan, Manjiro. Balasan dari setiap dosa yang kamu perbuat. Biarpun bukanlah akar, bunga akan ikut layu apabila tidak dirawat.

Dan kini, (Name).

Setelah urusan duniawimu dengan sang pendosa telah selesai. Bagaimanakah caramu menyelesaikan urusan dengan taruna pujaan?

Memaafkan, mengikhlaskan.

Atau, pulang?

•••

4 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro