Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sat

Kelereng emas pandangi barisan kata pada lembar kertas. Sang pemilik durja rupawan menguap bosan, namun tak kunjung menutup halaman. Entah apa buku yang dibaca, namun sang adam hanya menginginkan sesuatu untuk mengalihkan atensinya.

Tidak ingin memikirkan sesuatu yang lain. Berharap tinta hitam yang menyusun sebuah cerita dapat membuatnya lupa akan paras pucat yang menghantui kepala.

Namun tampaknya hati tidak bisa diajak berkompromi. Sebab ke mana pun kelereng emas menatap, pandangan akan selalu tertuju pada seorang wanita.

Tidak secara harfiah.

Sebab wanita yang dimaksud kerap muncul dalam kepala. Menciptakan sebuah ilusi di depan mata, dimana gadis manis tengah tersenyum, yang mana terganti dengan durja yang menangis.

Diri tidak lagi mengerti. Mengapa semalam dia dengan terang-terangan mengatakan hal itu? Seolah hanya memberi harapan palsu.

Pola pikir seorang Hanma Shuji mungkin terlihat sederhana. Namun sesungguhnya sangat sulit ditebak. Kegilaan adalah kata tepat untuk menggambarkannya.

Kekerasan merupakan hiburan baginya. Sebuah cara untuk membangkitkan rasa senang dalam hati.

Mengikuti Kisaki Tetta, dan dimanfaatkan olehnya pun tidak keberatan. Faktanya, Shuji kerap kali terhibur dengan segala kejutan yang diberi Tetta.

"Hanma, aku akan membunuh Tachibana Hibata."

Pria dengan kulit gelap berujar. Duduk di atas kursi dengan tangan yang menopang dagu. Tatapan matanya tajam serta berkilat marah. Seolah suasana hatinya tengah buruk hari ini.

Agak tiba-tiba memang, membicarakan topik tentang keinginan membunuh pujaan hati yang dikejar selama ini.

"Silakan saja."

Shuji menjawab tanpa minat. Jika dipikir, hidup dan mati Tachibana Hinata tidak ada kaitannya dengan Shuji. Itu semua hanyalah Tetta yang berobsesi.

"Hmm," pria dengan kulit gelap bergumam sejenak. Kemudian, netranya beralih menatap Shuji yang dengan seenaknya duduk si atas meja. "Ngomong-ngomong, sudah lama aku tidak tentang mendengar Baji (Name). Apa kau tidak tertarik dengannya?"

Ada seringai yang tersembunyi dibalik wajah penasaran sang iblis.

Shuji menaikkan alisnya.

"Untuk apa?"

Tetta mengedikkan bahu. Tampak tak peduli, namun terus menyulut api. Menumpahkan minyak, yang mana menyebabkan jingga semakin menyebar. Melahap apapun di sekitar.

"Tidak. Kau tahu kan, Mikey yang gila itu bagaimana? Semenjak kematian Sano Emma, dia bahkan 'menghancurkan' mantanmu."

Shuji tidak tahu dengan jelas bagaimana cara mendeskripsikan perasaan asing dalam hati. Seolah ada sembilu yang mengirisnya, serta ribuan orang yang memukul kencang pintu hatinya. Berteriak, memohon, menangis.

Ini asing.

"Brengsek," pria dengan netra madu terkekeh. Anting emas panjangnya ikut terayun, selagi diri memiringkan kepala. Menatap rendah Tetta yang duduk di kursi. "Dasar gila."

Tangan kanan bertumpu pada meja. Shuji tanpa sadar meremas buku di tangan kiri. Meski wajah mengukir senyum, ada rasa sesak di dadanya.

"Padahal kau yakin pria itu yang membunuhnya. Tapi aku jadi curiga dengan hipotesamu."

Tetta ikut terkekeh. Menatap tajam dengan helaan napas yang terdengar.

"Ya sudahlah. Toh Sano Emma mau pun Baji Keisuke sudah mati. Untuk apa membicarakan yang sudah tiada?"

Ini aneh.

"Hanma, bagaimana bila Baji (Name) menyusul kakaknya?"

Shuji tidak merasa senang.

Dia tidak merasa bahagia.

Dia tidak terhibur dengan penderitaan Baji (Name).

Mungkinkah dia sudah terbiasa dengan kehadiran wanita tersebut? Ataukah perasaan asing yang melingkupi hati, memang membuatnya merasakan sakit? Dia merasa sesak, namun juga tak tahu harus berbuat apa.

"Permainan yang luar biasa. Namun tidak perlu sampai mengusik (Name)."

•••

Ada sosok lain yang pantas disebut sebagai pahlawan.

(Name) tidak ingat dengan jelas. Entah sebab waktu telah berlalu lebih dari satu dekade, maupun keduanya yang jarang berinteraksi.

Tak ada percakapan spesial antara keduanya.

Namun (Name) tetaplah ingat. Dia juga adalah orang yang tidak membenci maupun memaki saat sebuah tubuh dingin terbujur kaku dibalut kain putih.

Dia hanya mengulas senyum dengan tampang bodoh. Berkata, "aku tahu ini bukan salahmu."

"Sanzu-san, apa maksudmu Kisaki akan membunuh Hanagaki?"

Pertanyaan terlontar dari lambium merah muda. Dimana sosoknya kini duduk, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Menatap pria dengan rambut merah muda yang terikat.

Atensi beralih, menaikkan alis dengan sorot malas pada wanita yang memiringkan kepala bingung.

"Tidak peduli. Ada apa memangnya? Membicarakan dia tiba-tiba."

Kalimat terakhir sedikit samar. Tenggelam dalam masker hitam yang kini menutupi area bawah wajah. Entah kapan pria ini memasangnya.

"Aku hanya penasaran. Bagaimana pun, dia ... "

Haruchiyo menaikkan alisnya. Terdiam guna mendengar lanjutan.

Sedikit gugup diperhatikan, (Name) menghela napasnya lelah.

"Sudahlah. Kalau begitu, Sanzu-san. Apa aku boleh keluar lagi?"

Rompi hitam dengan garis terang tampak sedikit kusut dikala punggung menekuk. Bersandar pada kursi dengan helaan napas yang keluar.

"Lagi? Aku malas kalau Bos nanti mencari-carimu."

Permata jingga menatap dengan ragu. Ada ide yang muncul dalam kepala, namun enggan dikeluarkan. Takut apabila lelaki pecandu obat ini akan menolak.

"Katakan saja," ujar pria yang kini tersenyum dengan manis. Meski kurva yang terlukis bersembunyi, dapat sang puan pastikan lambiumnya mengukir garis. Bulu matanya lebat, serta kini netra tak terlihat. Melengkung layaknya bulan sabit. "Kau ingin mengatakan sesuatu kan?"

"..."

Helaan napas.

"Bagaimana kalau kau ikut?"

"Kemana?"

"Menemuinya."

"Hanma?"

Kurva lantas tercipta. Membuat Haruchiyo bersiap mengeluarkan umpatan, sebab kesal sang wanita tak mendengarkan.

Namun perkiraannya salah.

"Hanagaki Takemichi."

Kening Haruchiyo berkerut dalam.

"... hah?"

•••

1 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro