Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sapta

Sinar dari gawai ponsel meredup tatkala sebuah tombol dipencet. Membuat sang wanita mendesah perlahan. Tidak yakin apakah pesannya akan tersampaikan, maupun Takemichi datang menemuinya.

Diri tak berharap banyak pada ponsel yang diberikan. Tak lebih dari sepuluh kontak. Manjiro kerap kali membanting ponselnya jika (Name) hendak melakukan sesuatu yang mencurigakan.

Lapor polisi misalnya.

Ini terdengar lucu dan bodoh secara bersamaan. Sebab pihak berwajib sendiri kesulitan dengan organisasi kriminal Touman yang sekarang.

"Aku tidak akan membantumu bila Bos marah."

Kekehan lolos dari sang punya mata jingga.

"Kau tidak akan mengatakannya, Sanzu-san."

"Percaya diri sekali."

Tatapan hangat diberi.

"Habisnya, Sanzu-san bahkan tidak melaporkan tentangku yang meminta kontak Hanma dan Hanagaki."

Haruchiyo mendengus. Lantas tertawa dan berjalan menjauh. Memberikan kebebasan sementara pada sang wanita yang berdiri di tengah taman. Menunggu hadirnya pahlawan yang dinantikan.

"Apa kau ... Baji (Name)-san?"

Dua pria berdiri di belakang. Menatap aneh pada seorang wanita dengan pakaian serba hitam. Menutupi hampir seluruh badan. Dengan keadaan taman sore ini, yang mana masih terasa panas, apakah tidak merasa sesak?

"Hanagaki?"

Kepala sang puan dimiringkan.

Lantas sang punya nama tersenyum dan mengangguk.

"Benar."

•••

Dengan canggung berhadapan, ketiganya saling tatap. Berharap salah satu akan berucap, memecahkan hening tanpa batas.

"Uh, siapa dia?"

Memutuskan tuk bertanya, (Name) menatap pria yang bersurai hitam di samping Takemichi.

"Ah, ini Tachibana Naoto."

"Tachibana?"

Takemichi mengangguk.

"Iya."

(Name) terdiam sesaat. Mengingat nama yang tak asing, namun memutuskan tak ambil pusing.

Tidak ingin berlama-lama dengan atmosfer yang menyesakkan, Takemichi memilih untuk bertanya. Menatap bingung pada sosok wanita yang hampir tak lagi dikenalinya.

"Ano ... Baji-san—"

"Tolong panggil aku dengan nama saja."

Hendak menolak, namun sayangnya netra saling bersitabrak. Dapat dilihatnya, permata jingga yang berkilat basah. Namun tak kunjung menjatuhkan air asin, melainkan membiarkan lebatnya bulu mata mengacaukan sumber tangis.

"Mengapa?" pria itu bertanya.

Senyum terukir.

(Name) menolak menjawab.

"Tolong."

Meski gugup, Takemichi mengangguk. Percakapan terjeda dikala pahlawan satu ini menatap Naoto, bertanya apakah mereka bisa mempercayai (Name).

"Baji—ehem," sedikit berdeham, Naoto memang tak nyanan. Memanggil nama depan pada pertemuan pertama, apalagi pada seorang wanita membuatnya sedikit canggung. "Maksud saya, (Name)-san. Maaf apabila saya datang tanpa diundang begini."

Terkekeh, kemudian sang wanita menggelengkan kepalanya.

"Tolong santai saja."

Takemichi menolak berbasa-basi, tak ingin menyia-yiakan satu detik waktu pun yang berjalan. Mengetahui apabila lawan bicaranya merupakan seorang yang 'penting' di Touman, Takemichi tahu (Name) tak bisa bebas.

"(Name)-san, ada apa mengajakku bertemu?"

Alis menukik tajam. Lantas sang puan tak lagi mengukir senyum. Kini wajahnya serius.

"Memang ini tidak tahu malu, tapi aku tidak bisa percaya pada siapapun lagi," kali ini, netranya menatap dalam Takemichi. "Tolong, cari tahu tentang kematian Baji Keisuke dan Sano Emma."

Takemichi tersentak. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Nama yang disebut wanita ini membawa kembali perasaan sesak yang pernah singgah. Kendati begitu, diri mengepalkan tangan. Berusaha terlihat tegar.

"Boleh aku tahu untuk apa?"

(Name) tersenyum.

"Untuk menemukan dalangnya, Hanagaki. Dan juga memberikan keadilan pada Emma-san dan kakakku," senyum memudar perlahan. Berganti wajah sendu dengan kenangan buruk yang mendatangi angan. "Touman berubah, Hanagaki. Touman yang kakakku cintai telah tiada. Mungkin juga apabila aku tidaklah bodoh ... mereka masih hidup."

Permata jingga terangkat, menatap hitamnya netra milik Naoto.

"Kau, polisi kan?"

•••

Percakapan serius antara ketiganya tidak berlagsung begitu lama. Tidak terduga, sebab Takemichi tanpa banyak tanya langsung mengiyakan. Mungkin sebab rasa bersalah yang kerap mendatangi angan dari masa lalu, dimana kematian Sano Emma tak dapat dicegahnya.

Duduk di atas ayunan, membiarkan kaki maju dan kembali mundur, membiarkan diri berayun perlahan.

Semilir angin menyapa permukaan muka. Gemerisik daun serta semak mengisi keheningan, datang berkunjung dan singgah pada rungu. Kemudian kepalanya tertunduk, membiarkan rambutnya yang menari liar mengacaukan penglihatan.

Haruchiyo sempat mengirimnya pesan, bertanya apakah sudah selesai. Sepertinya pria itu sudah bosan menunggu di mobil.

"Loh?"

Figur tak asing berdiri lima langkah di hadapan. Jas biru tua dengan garis terang melekat pada tubuh. Setelan formal yang begitu kontras dengan surai kusut tak teratur.

Anting emas panjang lantas berayun ringan, mengikuti sapaan angin untuk bergerak. Desiran adalah satu-satunya yang terdengar untuk sesaat.

"..."

Permata jingga kemudian melebar. Menatap tak percaya sosok pria yang kini berdiri di hadapannya.

"Shu—"

"(Name)—"

Labium kembali mengatup rapat saat disadari, bahwa keduanya telah memanggil nama pada detik yang sama.

Shuji membeku, sementara (Name) kini menatap cemas.

Kebetulan apa ini?

•••

Gelas kopi dengan uap panas disodorkan.

"Ambil ini," perintah absolut sang adam terdengar. Shuji tampak mengulas senyum khas dikala wanita tersebut menerimanya.

Diri ikut duduk di samping (Name). Agak bodoh dan lucu memang, jika dua orang dewasa duduk bersebelahan pada kursi ayunan di tengah taman.

"Terima kasih," sang puan melempar senyum. "Ngomong-ngomong, kau sedang ada urusan di sekitar sini?"

Shuji mengedikkan bahunya.

"Hanya bertemu teman lama."

Mengangguk, adiratna putuskan tak bertanya lebih jauh. Kepala kembali menunduk, menatap pantulan samar diri pada cangkir kopi.

Dia tidak tahu harus bertanya dengan topik apa. Sebab pembicaraan di telepon kemarin masih mengganggunya.

"Jangan membuatku kembali menginginkanmu."

Shuji bicara seolah telah jatuh cinta lagi pada (Name). Tapi dilihat dari sifatnya hingga kini, apakah benar itu yang dinamakan cinta?

"Shu, aku ... apa aku boleh bertanya?"

Kelereng emas pandangi ragu pada paras. Guratan pada kening semakin dalam pada wajah sang wanita.

"Hah? Tinggal tanya saja."

Permata jingga masih tak mengalihkan pandangan.

"Mengapa kau mengikuti kisaki?"

"..."

Shuji terdiam sejenak.

Entah apakah ada rasa ragu ataupun yang lain dalam hati. Sebab pria ini hanya menatap dengan bibir terkatup, serta wajah tanpa ekspresi.

Kemudian, butuh lima detik hingga seringai melebar.

"Tentu saja karena aku suka dengan hiburannya."

Benarkah karena itu?

•••

1 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro