Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

eka vimsati

Lidah keluh tak dapat berkata. Jingga hanya dapat diam pandangi durja. Bergeming. Tatkala sepasang tangan dengan perlahan menaruh nampan di atas meja berbahan kayu. Lantas tanpa ragu berbalik, berpaling dan memilih duduk di sisi lain.

"Ah, apa kamu memakai cangkir lain?"

(Name) bertanya. Kala pandang berpusat pada cangkir baru di atas meja.

"Ya," taruna dengan surai kusut menjawab. "Cangkir di sini jelek dan rusak semua. Untung saja Kisaki membawa dua."

Senyum canggung terukir. Untuk apa pula membawa-bawa dua cangkir begini kemanapun dia pergi?

Hening merayap, membuat insan merasa sesak. Adiratna memilih menarik kurva, sentuh material dingin sebelum mengerling taruna.

"Kisaki-san, ada apa menemuiku?"

Tetta adalah nomor dua setelah Manjiro. (Name) tahu. Dan tidak jarang pula bagi pria ini datang. Barang hanya berbincang maupun membahas siasat. Namun agaknya hari ini terasa aneh.

Mengapa pula pria ini mengajaknya meminum secangkir kopi?

Padahal baru kemarin pria ini kemari, (Name) tak menyangka Tetta akan datang lagi. Apalagi mengetuk kamar serta mengajaknya berbicara selagi menunggu Manjiro.

Angan terus berkelana. Ciptakan berbagai naskah drama dalam kepala, namun tidak dengan daksa. Nyatanya tirta yang mengalir dari pelipis serta pucatnya durja menarik atensi. Terkunci. Pada sosok adiratna yang mulai merasa tak enak hati.

"Tadinya mau menemui Mikey. Tapi sepertinya dia belum kembali," lantas matanya mengerling. Dalam diam perhatikan setiap sudut ruangan. "Dan Sanzu ikut dengannya ya."

"Begitulah."

Bulu mata bergetar lembut. Lantas setelahnya laksmi dengan ragu mengangkat pandang. Menatap sosok taruna yang duduk di sebelah Tetta. Surai kusut itu adalah kesukaannya. Dimana ia dapat mengacak maupun menciumnya.

Serta matanya. Dimana ketika jingga menatap, hanya ada refleksi diri dalam lautan emas. Dia. Hanya dia dalam bayangan taruna.

Apa diizinkan bila (Name) kini berlari ke sana dan segera menyentuhnya?

Gelengan kepala.

Lantas pemikiran mesum dihapuskan. Sedikit merona tatkala sadar sudah berpikir yang tidak-tidak.

Disaat netranya bersirobok, Shuji tanpa berpikir dua kali memutus benang. Memilih mengalihkan pandang. Tanpa segan jauhkan emas dari jingga yang mengekang. Tuan, tidak sebaiknya kembali terlena oleh puan.

Tetta menurunkan pandang. Memperhatikan refleksi samar pada cairan hitam. Uap panas mengepul. Mengurungkan niat untuk mengangkat gelas. Agaknya diapun tidak bodoh untuk meminum kopi yang masih panas.

Dalam diam si pria melirik ke arah kiri. Menatap sosok Shuji yang tanpa peduli memperhatikan arloji. Seolah secara tidak langsung mengharapkan pertemuan ini segera berakhir.

Lantas, senyum terukir pada kurva.

"Apa Baji—"

"Kisaki-san, tolong panggil nama saja."

Tetta terdiam. Untuk sesaat, garis lengkungnya membeku.

"... baiklah."

Jemari diselipkan pada cangkir. Dengan perlahan mengangkatnya, menikmati hangat sejenak sebelum meniup uap. Lantas tersenyum, kemudian mendekatkan labium pada bibir cangkir. Adiratna kini tampak manis. Serta lebih hidup daripada terakhir bertemu. Dikala batara memberinya kesempatan untuk puaskan anjangsana.

"Heh, tidak berbasa-basi dulu?"

Shuji menaikkan sebelah alisnya. Memasang wajah angkuh tatkala atensi beralih padanya. Bingung. Ada gerangan apa hingga sang adam yang terdiam memilih untuk angkat bicara?

Adiratna lantas menghela pelan.

"Maaf, Shu—"

Permata jingga mengerling pria dengan kulit gelap. Memperhatikan sejenak sebelum akhirnya mengoreksi kalimat.

"Maksudku, Hanma. Maaf."

Shuji merilekskan tubuh. Lantas bertopang kaki seraya menyandarkan lengan kiri pada tangan sofa. Dagunya terangkat, menengadah namun tidak menjawab. Diam. Biarkan keduanya hanya mengerutkan kening tak paham.

"..."

Kisaki Tetta menggelengkan kepalanya.

Mungkin efek bertemu mantan, pikirnya.

"Tidak ada yang ingin kubicarakan, (Name)-san," pria dengan kulit gelap mulai menundukkan tubuhnya. Beralih menyentuh cangkir keramik dan mengangkatnya dengan satu tangan. "Maaf bila menganggu."

"Tidak masalah."

Kurva terukir pada paras. Berujar sopan pada satu sama lain.

"Silakan diminum."

Mengangguk, kemudian adiratna mendekatkan bibir. Menyeruput pelan kopi, kemudian mengecap rasa pada langit-langit mulut. Agaknya terasa manis. Berpikir, apakah Shuji tahu jika dia menyukai rasa manis?

Kemudian laksmi mengangkat durja. Menyapu pandang dua taruna sebelum akhirnya netra melebar.

Dan, itu adalah satu detik.

Sebelum salah satu dari ketiganya telah menjatuhkan cengkir. Membuat cipratan air mengotori ubin. Panas mengalir, mendistorsi warna. Hancurkan segala pikiran dikala mereka sadari sesuatu yang salah.

Siapa?

Siapa yang menjatuhkan gelasnya?

•••

Karantala sentuh permukaan kasar. Lantas mendekatkan wajah sebelum akhirnya mengecup pelan. Di bawah naungan abu payoda, disaat dua pipit saling bercengkrama. Berjumpa, timbulkan suara. Membuat insan muda agaknya iri sebab mereka tidak merasa sepi.

"Baiklah. Aku pergi dulu ya," nadanya terdengar begitu lembut. Sangatlah halus. Laksana batara yang mengelus surai anak kesayangan. Berujar dengan begitu lembut penuh dengan afeksi. "Maaf tidak dapat lama-lama di sini."

Gelap menghalangi batu nisan. Kendati begitu, laranya tak kunjung beralih meski telah puaskan rindu dalam dada. Kemudian dirinya berujar pelan dan membalikkan badan.

Meninggalkan makam di belakang, lantas tuan kembali lunturkan kurva. Puas dengan anjangsana, kini langkah telah membawanya menjauh. Pergi, tak mendekat pada mereka yang sesungguhnya memperhatikan dari atas.

Memelas.

"Bos, sudah selesai?"

Larik tanya keluar dari pria bermasker hitam. Lantas setelahnya membukakan pintu bagi tuan di hadapan. Mempersilahkannya masuk.

Manjiro memejamkan mata sejenak. Tenggelam dalam lara. Setelahnya jelaga pantulkan kaca. Aram temaram pada payoda, kemudian mengangguk pada taruna.

Tiada ragam ukiran kurva maupun kepakan kupu yang menghantarkan hangat. Hanya ada yuda yang tak pernah bosan hadir dalam senandika. Menyiksa.

"Sudah. Ayo kembali."

•••

30 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro