Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dvasasa

8 : 44 AM

notifikasi

dua pesan masuk dari Hanagaki

[ ketuk untuk melihat ]














































Helaan napas.

Mata yang sempat menyipit kembali terbuka sesudah mengatur intensitas cahaya yang menyerang mata.

Lantas diri pandangi pria di samping. Napasnya teratur, serta matanya terpejam rapat. Dengan begitu tenang selami alam mimpi, seolah apa yang mereka lakukan semalam tidaklah terjadi.

Bila diperhatikan seperti ini, Manjiro terlihat seperti pria biasa yang kekurangan tidur. Atau mungkin banyak pikiran.

Dan akan lebih baik apabila benar seperti itu.

"... Manjiro, apa kau akan pergi?"

Kelopak mata terangkat. Lingkaran bawah mata selalu terlihat jelas di sana, hilangkan kesan segar pada wajah pria di samping.

"Ya. Memangnya kenapa?"

"Hanya bertanya."

Gawai kembali ditaruh di atas nakas.

"Apa yang kau lakukan?"

Pria itu bertanya tatkala netra dapati benda pipih ditaruh di atas nakas. Kemudian, daksa tanpa sehelai benang kembali memunggunginya. Sembunyikan diri dengan selimut yang menutupi. Halangi pandangan dari pertama jingga yang tertutup kelopak.

"Mengecek jam."

Tak ada sahutan dari Manjiro. Membiarkan keheningan menjadi satu-satunya yang mengisi mereka berdua. Membuat detik waktu seolah bergelak lambat, serta jarum jam tegak dengan begitu perlahan. Menyiksa batin dengan senyap dalam ruang.

Kemudian, suara dari belakangnya terdengar. Disusul langkah kaki yang menjauh. Pertanda bahwa Manjiro telah berpakaian dan pergi mandi.

Menghela napas lega, sang wanita pandangi gawai dari dalam selimut. Berharap bahwa detak jantungnya yang berpacu cepat—sebab takut apabila Manjiro mengetahuinya—tidak terdengar.

"Syukurlah dia tidak melihatnya."

•••

"Kau yang mengatakan hal itu bukan, Sanzu-san?"

Permata jingga pandangi pria di hadapan. Yang mana tengah menaruh pistol di atas meja, kemudian beralih mengambil katana. Tak repot-repot menatap, sang adam dengan tak acuh abaikan.

Seolah eksistensi wanita di depannya ini hanyalah ilusi semata. Tidak nyata.

"Sanzu-san!!"

"Ck!"

Suara decakkan dari balik masker terdengar. Disusul pria yang kini menatapnya malas.

Tampaknya sudah muak. Diri merasa kesal dengan wanita keras kepala yang mengusiknya. Sejak kapan (Name) menjadi suka melawan? Bila ini adalah masa lalu, mungkin dia bisa mengerti.

"Iya, memang aku." Haruchiyo mendengus. Menjawab tanpa adanya rasa tertarik dalam larik. "Mengapa memangnya?"

Rasanya seolah dikhianati oleh teman yang paling dipercaya. Mengapa bisa Haruchiyo tiba-tiba mengatakan hal itu?

Memang mereka bukanlah teman dekat ataupun memiliki ikatan kuat. Haruchiyo diberi tugas menjaganya, hanya itu. Tidak lebih maupun kurang.

"Hah ... Sanzu-san. Mangapa kau melakukannya?"

Pria tersebut menaikkan sebelah alis.

"Bosan."

Labium mengatup rapat. Tak izinkan celah terbuka bagi udara untuk masuk. Perasaannya campur aduk. Entah apakah ingin berteriak marah ataupun merasa lelah.

Tapi kesampingkan itu.

(Name) sekarang harus bertemu dengan Takemichi.

"Sanzu—"

"Ya ya. Kau pasti mau keluarkan?"

Bola mata diputar jengah. Katana diberi usapan terakhir, sebelum akhirnya kembali dimasukkan ke dalam sarung. Disusul daksa tinggi yang mendekat, menatap datar kemudian dengan tiba-tiba berujar, "sebagai gantinya, kuantar saja."

Pemikiran Sanzu Haruchiyo sungguh sangat sulit ditebak.

•••

Pohon besar halangi pandang ke arah dua insan. Berdiri di balik sana, berbicara dengan nada pelan. Takut apabila ada yang mendengar.

Panas membuat tubuh berkeringat. Membasahi helaian rambut, namun (Name) tak kunjung melepas pakaian hitam.

Takemichi kembali dibuat bingung. (Name) tidaklah terlihat alergi dingin atau semacamnya. Mengapa pula harus memakai pakaian panjang serta serba hitam disiang hari yang terik?

"Ano," dehaman terdengar. Memecahkan hening yang sempat menguasai. "Aku sudah mendapatkan informasinya."

Permata jingga perhatikan sekitar. Dari satu dua orang yang tengah berlalu-lalang, daun yang bergesekkan. Jatuh, lalu berakhir menyapa tanah. Hingga kaki yang dilindungi oleh sepatu menginjak-injak mereka, menghancur-leburkan daun kering hingga tak berbentuk.

Atensi beralih, sang punya mata jingga tersenyum menatap pria di hadapannya.

"Hmm, baiklah. Hanagaki, kamu ke sini sendiri? Dimana Tachibana?"

"Eh?!"

Pandangan bingung dilempar.

Mata bergerak tak tentu arah, mengalihkan pandang asal tak bersirobok dengan jingga. Gelisah, degupan jantung yang berpacu cepat seolah membawa kembali ingatan buruk.

Labium digigit disela bibir. Bergetar perlahan, lalu akhirnya berujar dengan pelan. Takut serta cemas, namun tetap sampaikan kalimat. Pria tersebut memejamkan sejenak kelopak matanya, berharap dapat berikan tenang meski hanya sesaat.

"Tachibana Hinata meninggal."

"Huh?!"

Pupil menyusut. Menatap tak percaya sosok pria yang berubah muram di hadapan.

Memang ia belum pernah bersitatap langsung dengan puan yang dimaksud. Hanya Takemichi dan Naoto saja yang terkadang menyinggung namanya. Adakalanya pun nama Tachibana Hinata keluar dari labium milik iblis yang menganiaya—lebih tepatnya, dari pria lain yang tak kalah gila.

Lantas, mengapa tiba-tiba—?

"Ini berhubungan dengan Touman, (Name)-san."

Takemichi mengangkat kepala. Berusaha sekuat mungkin hilangkan nestapa dalam dada. Pandangan berkabut, sementara nadanya bergetar. Ciptakan suara kacau tak karuan. Sangat buruk didengar rungu.

"Hina mati karena ulah Touman."

•••

10 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro