• - 𝐁𝐥𝐮𝐞 𝐌𝐨𝐫𝐭𝐚𝐥𝐢𝐭𝐲 - •
Seseorang akan mengintip dibawah bulan purnama.
Hantarkan sepucuk biru kepadanya dengan surat kedamaian pada sang tuan.
Dua manikku terbuka setelah kupanjatkan doa kepada sang pemilik langit dan tanah bumi. Dia lah satu-satunya yang kumiliki setelah guru(dia adalah biksu penjaga kuil ini) pergi di usianya yang renta.
Mungkin aneh jika orang-orang menemukan kuil ini. Kuil yang sebelumnya hanya ditinggali dua orang dengan penyembah yang tak tetap--biasanya hanyalah orang-orang yang tersesat, entah diantara rimbunnya hutan atau padat-lenggang nya kehidupan.
Hanya aku yang menjadi murid dari guru. Dia yang menemukanku tak sadar disamping sungai dan memilih untuk memungutku.
Selama beberapa tahun berguru padanya, sosok agamis itu mengajarkan banyak hal, hingga suatu ketika aku mendengar suara-suara aneh yang menggema setiap setelah aku memanjatkan doa kepada dewa kuil.
Dia mengatakan... aku mampu mendengar suara dewa. Dewa ingin aku menjadi salah satu pengantar pesannya. Dan guru percaya, kuil ini suatu saat akan diteruskan padaku, meski jatinya dahulu aku bukanlah siapa-siapa.
"Sepucuk biru... dan sebuah surat dibawah purnama?" gumamku.
Aku mengerti apa yang dimaksud biru disini. Dan purnama? Malam besok bulan akan mencapai fase purnama penuh.
Beranjak dari tempatku terduduk seusai memanjatkan doa, aku berjalan menapaki lantai kayu yang menggemakan suara kaki ku seorang--menuju salah satu pintu yang menyimpan warna biru itu.
+ + + +
Esok malam, sesuai kata dewa, aku harus membawa warna biru dengan sepucuk surat diatasnya.
Siang ini aku sempat terlelap dan suatu mimpi datang kepadaku. Mimpi itu menampakkan sosok yang luar biasa kuatnya, dia melebihi manusia biasa, dan dilingkari hawa keabadian. Meski demikian, aku mendengar geraman darinya bukanlah sebagai sesuatu yang mengerikan secara seutuhnya... tapi seperti lolongan makhluk yang sudah menderita begitu lama.
Makhluk mimpi itu kemudian mencekik leherku dan mengangkatku tinggi-tinggi sambil menghunuskan kuku tajamnya kepadaku--kematian yang kurasakan di saat itu terasa begitu mengerikan dan menyakitkan, lantas aku terbangun.
"Jadi surat itu untuknya?" gumamku lagi. Lirikku terjatuh pada lembaran kertas diatas meja dan kuas bersih yang belum tercelupkan tinta.
Sebelum berjalan keluar kuil, aku mengambil dua benda itu, memeluknya bersama dengan satu tungkai bunga biru di tanganku.
Bunga itu mulai kehilangan warna birunya setiap terpetik. Jika aku tak segera membawanya, dia akan berubah menjadi gelap dan layu. Kehidupannya terlalu singkat.
"Aku harus cepat!"
Langkah cepatku kembali bergema di sepanjang lorong, sebelum meraih pintu kuil dan menuruni anak-anak tangga agar aku tak terjatuh.
Berjalan dengan teropah kayu sebagai alas kaki, aku menimbulkan cukup suara hanya dengan menapaki jalan setapak yang terbuat dari batu--jalan yang menuju pintu kuil.
Melihat kembali bunga biru di pelukanku, aku membawanya dengan satu tangan, menengadahkannya kearah cahaya purnama.
Warna biru yang indah itu sekilas tampak mengkilap dan kontras dengan langit malam.
Setelah mengarahkannya pada purnama, aku mendengar suara gemerisik semak dari samping.
"Apa itu pengantar pesannya?" suaraku mengecil, nyaris berbisik.
Membungkuk ke tanah, aku meletakkan bunga biru yang menggelap itu disana. Kertas bersih yang tadi kuambil dengan kuas yang sudah dicelupkan tinta lantas kutulis.
Usai menulis surat, aku meletakkannya dibawah bunga itu, lalu meninggalkannya kembali ke kuil.
Pintu kuil tertutup, tapi aku mengintip sedikit dari celahnya, memastikan pengantar surat itu mengambilnya.
Benar saja, sosok berkulit pucat menyerupai pria keluar dari bayangan dan menoleh kesana-kemari sebelum meraih bunga itu bersama suratnya.
Agaknya dia terkejut lebih dulu, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sambil membawa dua benda yang kutinggalkan.
Pundakku menghela lega, tadi itu tidak salah. Kukira makhluk hutan yang akan muncul, syukurlah bukan.
Aku harus berdoa lagi pada dewa.
Kembali ke tempat berdoa, aku menekuk lutut dan duduk di depannya. Telapak ku tepukkan dan kurapatkan sebelum mataku terpejam.
Muzan. Kibutsuji. Sambutlah.
Kedamaian adalah ketenangan.
Sungai mengalir dalam dirimu.
Kebenaran merekah dibawah cahaya-ku.
+ + + +
= Other POV =
Seorang Oni bulan bawah tak sengaja melewati hutan yang tak biasa dilewatinya.
Dia jelas ingat nama daerah itu, tapi jelasnya dia ada dimana... dia tak mengerti. Sepertinya dia tersesat.
Sambil mencari mangsa di kegelapan hutan, tiba-tiba dia mencium aroma manusia dari arah bangunan yang berdiri di tengah hutan.
Niat awalnya memang ingin memakan sosok tak beruntung itu untuk makan malam, namun apa yang ada dalam genggaman manusia itu seakan menghentikan nafsu berburunya, menegangkan dua matanya.
Sosok itu mengangkat bunga biru yang selalu dipercaya sebagai mitos. Namun kini didepannya, dia menyaksikan benar bunga itu mengilap dibawah purnama, indah dan menawan.
Sosok itu kemudian meletakkannya diatas tanah dengan sepucuk surat yang ditinggalkan.
Meninggalkan bayangan hutan, Oni itu melompat keluar dan mengambil dua benda itu.
"I-ini," ucapnya sambil gemetar.
Dia menoleh kesana-kemari untuk memastikan bahwa sosok tadi memang sengaja ingin memberikannya itu, bukan untuk menjebaknya dengan sesuatu.
Setelah dirasanya memang benar hanya untuk diberikan. Sang Oni pergi dari sana, mengantarkan surat dan bunga itu kepada tuannya.
Entah bagaimana pintu teleportasi muncul dengan suara biwa di depannya. Tepat sekali sosok penguasa malam sedang memunggunginya. Dia sedang meracik beberapa cairan yang dialirkan dalam pipa-pipa jernih.
"M-muzan-sama! Lily!" Oni itu berlari agak terbirit kepada tuannya sambil menunjukkan bunga lily biru yang sudah menggelap. "Aku menemukan bunga spider lily biru, tuan!"
Namun tidak beruntungnya dia, bunga itu sudah sepenuhnya menjadi hitam saat sang tuan menoleh kepadanya, menimbulkan urat-urat kesal di wajah sang tuan.
"Spider lily biru katamu?" ujarnya begitu dingin.
Sang Oni lantas tersentak dengan bunga yang cepat sekali berubah itu. Dia langsung bersujud di depan tuannya.
"M-muzan-sama, aku sungguh melihatnya, bunga ini adalah spider lily biru sebelumnya!"
Muzan dengan kejamnya membelah kepala sang Oni dengan teknik darahnya, membuat sosok "pelayan"-nya itu menjerit ngeri dan perih.
"Jelas-jelas benda itu berwarna hitam! Apa kau ingin bercanda dengan ku?!" desisnya.
Oni itu masih belum kehilangan lehernya, dia masih hidup meski dengan cucuran darah membasahi kain bajunya. Setelah beregenerasi, dia menjawab.
"Tidak, Muzan-sama! Aku melihat sosok manusia membawa bunga ini dibawah purnama, mengkilap biru!" Tangannya langsung meraih kertas yang agaknya kusut dibawanya, dia persembahkan pada sang tuan. "Manusia itu memberikan ini bersama bunga itu tadinya jika Muzan-sama tidak percaya!"
Muzan berjalan mendekat meski dia sejujurnya masih merasa kesal. Mengambil surat itu dari bawahannya dan membacanya... netranya perlahan melebar.
Datanglah ke kuil dengan kedamaian.
Yang kau cari ada disini.
Muzan kembali menatap Oni yang masih bersujud di depannya. Suaranya masih menunjukkan amarahnya, namun keinginannya untuk mengetahui keberadaan benda yang dicarinya selama bertahun-tahun itu jauh lebih besar.
"Dimana kau menemukan orang ini?"
+ + + +
= (Name) POV =
Entah mengapa sejak malam menjelang, udaranya terasa menggigil.
Aku sudah berdoa lagi pada dewa, dia mengatakan padaku agar aku tak perlu mengkhawatirkan itu. Katanya, aku harus menjaga kedamaian dan ketenangan dalam diriku sebelum menyambut sosok bernama Kibutsuji Muzan ini.
Menunggu datangnya sang bulan di teras kuil, aku melihat kabut putih datang dari kejauhan. Kabut itu membuatku bergidik ngeri, entah karena kedinginannya atau sesuatu yang ada dibaliknya.
Tapi satu hal yang pasti, Dia telah tiba.
Sosok berkulit pucat dengan baju hitam-putih. Manik merahnya menepis semua kegelapan malam dan kabut yang menghalangi dirinya.
Tapaknya mendekat dan akhirnya berhenti dengan secarik senyuman yang terasa janggal di mataku. Seperti... tidak murni.
"Tuan Muzan Kibutsuji, apa benar?" tanyaku.
Kami hanya berjarakkan beberapa meter. Senyumnya masih disana. Maniknya sedikit menyipit seakan menyembunyikan ketidaksabarannya dalam "keramahan".
"Kau pemilik bunga Spider Lily biru?" balasnya.
Kepala ku mengangguk. Aku harus tetap tenang dan menerimanya seperti air sungai. Pikiran dan tingkah ku dengan jernih tanpa menutupi apapun.
Punggungku sedikit membungkuk sambil membukakan pintu kuil untuknya.
"Lewat sini, tuan."
Muzan Kibutsuji berjalan mendekat dan melewati kuil pintu dengan melirikku sekilas. Agaknya dia curiga kepadaku, tapi aku memilih untuk diam sambil menutup pintu kuil, lantas mengantarnya menuju suatu pintu di ujung lorong.
Dibalik pintu itu, bukanlah tempat kebun berada, tapi semacam benda yang mengantar seseorang ke bawah tanah dengan tarikan tali.
Aku tak ingat nama modern nya untuk itu.
Tapi benda ini, sudah ada sejak lama kata guru, karena lantai bawah adalah tempat serbaguna.
Tuan Muzan menapak masuk kedalamnya denganku disampingnya. Jujur, auranya begitu mengerikan, aku bisa merasakan nafasku tercekik dan bulu kuduk dibalik punggungku berdiri tegak.
Namun aku mengingat kata dewa, sehingga aku dapat dengan tenang menarik tali yang ada disamping untuk mengantar kami turun.
Tak ada sepatah kata yang terucap diantara kami. Tuan Muzan seperti begitu ingin untuk segera melihat bunga biru.
Manikku melirik turun, aku tau cerita tentang darinya dari mimpi tadi siang.
Sesampai di lantai bawah, tatapan Tuan Muzan berubah. Dia terperangah dengan apa yang dilihat di depannya.
"Ini adalah ladang bunga biru. Silahkan--"
Dia sudah ingin menapak jauh, mendekati salah satu bunga.
"Tapi tolong," suaraku menengas dalam ketenangan. Dia menoleh padaku. "Bunga itu tak boleh disentuh dengan tangan yang pernah berlumur darah. Dia akan layu. Aku menyarankan tuan menggunakan kain pembungkus tangan untuk menyentuhnya."
Aku tak mungkin mengatakan tangan pendosa. Kata itu akan menepis kesensitifan amarahnya.
Tuan Muzan menggeram sesaat sebelum akhirnya mengambil pembungkus tangan berwarna putih dari sakunya. Dia menyentuh bunga itu kemudian, mengamatinya cukup lama sebelum berniat memetiknya.
"Kau tak bisa membawanya pergi dari sini, tua," tukasku.
Dia melirik sengit. "Kenapa tidak?" Dia tak setuju denganku. Seakan-akan dia akan melakukan apapun, bahkan sesuatu yang tak kuinginkan sekalipun, jika aku tak memperbolehkannya.
Aku kembali melirik ke padang bunga, kepada salah satu bunga yang berayun. "Bunga ini memiliki hidup yang begitu singkat. Bahkan memindahkan akarnya atau mengangkat tanahnya tak berpengaruh kepada kematiannya."
Aku tak beranjak dari tempatku, hanya berdiri di samping pintu menuju keatas, demi memberikannya ruang.
"Jika tuan ingin melakukan apapun dengan bunga ini, maka menetaplah. Membawa alat-alat milik tuan kemari diperbolehkan, selama tak melayukan bunga-bunga di ladang ini."
Sebuah pintu kemudian terbuka dari udara kosong. Aku sempat mendengar petikan biwa tadi. Dibalik pintu itu, aku melihat ruangan aneh yang membuatku pusing. Tapi yang jelas, ada sebuah meja yang dipenuhi banyak alat aneh menyerupai pipa dan wadah.
Tuan Muzan lantas bekerja dengan mengambil alatnya dari meja itu ke tanah kosong dekat ladang bunga biru. Dengan cerdiknya, dia tak memetik bunga itu, melainkan menguji coba nya langsung dengan bunga yang akarnya masih tertancap diatas tanah.
Aku hanya mengamatinya dari tempatku. Sepertinya dia bukan sosok yang ingin diganggu saat meracik sesuatu.
Dalam kesunyian yang hanya terisikan suara air mendidih, sebesit pikiran datang di kepalaku.
Apa sungguh bunga biru akan menjadi pengakhir penderitaan dan kesesatannya?
Aku tak tau kenapa dewa ingin aku yang menjadi pembawanya menuju "obat penawar" yang dicarinya. Jatinya, bunga biru adalah bunga yang mudah lenyap. Tumbuhan itu hidup bagaikan manusia, begitu mudah rapuh.
Sementara kehidupan tuan Muzan sekarang...
"Selesai..?" ucapnya seakan tak percaya dengan cairan yang ada di wadah dalam genggamannya.
Aku melihat cairan itu mengilap biru, indah sekali seperti tepi pantai malam hari.
"Apa itu obat yang tuan cari?" Bibirku rasanya tak sabar untuk mengungkap kebenaran tentang bunga itu. Tapi sepertinya, tuan Muzan begitu tak sabar untuk mencoba penemuannya.
"Aku harus mencobanya lebih dulu." Tatapnya melirik kembali padaku.
"Mentari akan datang beberapa saat lagi. Jika tuan ingin menguji cobanya dibawah fajar."
Pernyataan itu memberikannya harapan.
+ + + +
Kukira dia akan menguji coba dirinya sendiri, tapi aku salah. Rupanya dia memangil dan mencekoki sosok lain yang mirip dengannya, seorang Oni, dengan ramuannya lantas diperintahkannya untuk berdiri di depan fajar yang mulai menyingsing.
Sosok itu gemetar hebat karena mentari adalah kelemahan Oni. Mereka akan terbakar habis.
Jika obat tak berefek dengan baik, mungkin...
Aku memegang leherku sendiri, mengingat potongan mimpi hari itu, dimana tuan Muzan mencekikku hingga mati. Seketika rasa khawatir ku meningkat.
Fajar pun tiba, cahayanya merambat dari ujung jalan beralas batu menuju sang Oni.
Oni itu menghalang sinar mentari yang menghujam setengah wajahnya. Dia sudah sangat ketakutan sampai memejam erat dua matanya. Tapi keajaiban seakan datang...
Sosok Oni itu tak terbakar, justru dia merasa hangat dengan datangnya cahaya mentari. Dia melihat dua tangannya sendiri, lantas lengannya, kemudian sekujur tubuhnya.
Warna pucat itu menghilang dan kembali menghangat.
"Seperti musim semi setelah musim dingin... jadi itu maksud dewa pagi ini?" gumamku yang tak sengaja terdengar oleh tuan Muzan. Dia masih membelalak dengan ramuan yang ditemukannya. Maniknya teralihkan lagi pada wadah di tangannya.
Sang Oni yang sudah kembali menjadi manusia melompat girang, lalu menoleh kearahku. Aku memberikan sedikit senyum padanya.
"Bunga biru adalah simbol kehidupan manusia, tuan Muzan."
Dia menoleh padaku.
"Jika tuan meminumnya, keabadian, kekuatan, dan kekuasaan yang tuan genggam selama ini... akan menghilang. Tuan Muzan akan kembali menjadi manusia biasa. Namun, tuan dapat berjalan dibawah mentari, penyakit lama tuan akan tersembuhkan."
Tatapku kembali padanya selagi menjelaskannya dengan nada yang lembut tanpa satupun alasan lain dibaliknya.
Tuan Muzan kembali melihat Oni yang telah menjadi manusia itu. Manusia itu lantas ketakutan melihat tatapan tuan Muzan, dia hampir berlari pergi semenjak kurasa dia sudah merasakan kekejaman tuannya.
Namun tuan Muzan tak mengejar atau menghentikannya. Dia menatap pria itu kini dengan maniknya yang lebih tenang.
"... Aku hanya ingin sembuh."
Jantungku seakan berdegub keras untuk sekali. Mata ku terpejam erat sebelum melepas semua kesesakan yang ada dalam diriku.
"Gunakan bunga itu untukmu dan bagikan lah dengan yang lainnya, tuan. Aku akan membantu dengan sepenuh hati."
+ + + +
Rasanya kerajaan malam yang mengerikan itu runtuh secara perlahan dalam kedamaian. Bunga biru itu mampu menyembuhkan siapapun dan seakan-akan bisa membebaskan siapapun.
Aku tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam konflik kerajaan malam ini dan pihak lain yang kata seorang Oni adalah "musuh" dari mereka.
Singkat cerita, tuan Muzan membebaskan semua bawahannya. Mungkin hanya beberapa yang masih ingin menetap bersamanya.
Sementara aku, masih hidup di kuil itu, menjaga kuil seperti seharusnya... dan juga ladang bunga itu.
Awalnya tuan Muzan hanya sesekali berkunjung. Kukira dia akan melupakanku, ternyata tidak.
Dia memberikan persembahan kepada dewa sebagai bentuk "balas budi" katanya.
Aku hanya mengangguk dan menerimanya. Lantas setelah berdoa, kami akan duduk di sekitaran kuil denganku yang menyiapkan kudapan atau minuman untuknya.
Kulit tuan Muzan masih tampak sedikit pucat meski dia sudah disembuhkan. Aku bisa merasakan dia kembali manusiawi meski penampilannya masih kurang lebih sama.
"Silahkan, tuan," ucapku sambil menggeser gelas ocha kepadanya.
Dia melirik sebelum memilah-milah kata. "Terima kasih." yang tampaknya kesulitan untuk dia ucapkan.
Aku melengkungkan senyum samar dan duduk menekuk lutut disampingnya. Kami mengamati pepohonan yang mulai berubah warna seiring musim akan berganti.
"Kau tinggal disini seorang diri?" tanya nya.
Aku menoleh dan mengangguk. "Sebelumnya aku hidup dengan seorang guru, tuan. Beliau telah pergi jauh keatas langit. Pesan terakhirnya berkata... aku harus menjaga kuil ini seumur hidupku."
"Begitu ya." Dia mengangkat gelas ocha disampingnya dan menghisap ochanya. Sesekali dia kembali melirikku yang menatap kosong kearah langit. "Kau..."
Aku menoleh lagi padanya. "Ya, tuan?" Seperti biasa aku melupakan sekitar setiap menatap langit.
Mulut tuan Muzan terbuka dan tertutup dengan begitu tipis jaraknya. "Kau tak ingin mencoba berkeliling... pergi dari tempat ini?"
Manikku melebar perlahan. Aku tak pernah memikirkan itu. Seumur aku hidup, aku hanya tau kuil ini dan hutan sekitar. Mungkin aku pernah pergi ke pemukiman hanya jika dibutuhkan.
"Maaf, aku tak memikirkannya. Ini tempatku dan aku ditakdirkan untuk tetap berada disini," jawabku. "Kenapa tuan bertanya?"
Jawaban darinya yang muncul kemudian seperti membukakan gerbang kehidupan baru untukku.
"Aku ingin mengajakmu berkeliling."
Kukira dia hanya ingin aku berada di sisinya untuk menjadi teman jalan. Tapi ternyata bukan.
Setiap kami berkeliling ke banyak tempat, sebutlah kota, gunung, dan tempat-tempat baru yang tak pernah ku ketahui sebelumnya, aku merasa tuan Muzan semakin ingin aku ada disampingnya--menemaninya.
Di suatu malam, saat bulan tiba, tempat yang begitu ramai dengan orang muncul di hadapanku dan tampak menyesakkan, sejak aku terbiasa dengan keheningan dan kesendirian di kuil.
Tuan Muzan selalu mengetahui itu, makanya dia memesan suatu tempat dimana kami bisa menikmati waktu dengan tenang--tempat itu hanya berjarak saja dengan sumber keramaian, disini lebih tenang.
Aku selalu memandang keluar, melihat hal-hal baru yang semakin bermunculan. Manikku selalu mengkilap setiap melihat hal seperti ini, tapi entah mengapa jantungku tak berdegub kencang. Seperti... hampa.
Tuan Muzan muncul di belakangku sebelum berdiri di sampingku, menatap kearah yang sama.
"Kau menikmatinya?"
Aku menoleh kearahnya dengan senyum tipis. "Iya."
Tapi jawaban pendek yang tak mampu kujelaskan secara panjang itu entah kenapa sekarang membuatnya sedikit kesal.
"Hanya itu?" tanyanya lagi. Senyum darinya yang sekarang mulai biasa kulihat sekeita menghilang. Tatapku seketika merosot turun. Tanganku meremas kain baju.
"Entahlah. Apa ada yang ingin tuan dengar dariku?"
Tuan Muzan mengerutkan alisnya. "Kau tak tampak begitu senang."
Nafasku samar terdengar menghela. Pembatas ruang ini dan keramaian tempat itu kusentuh.
"Aku tak merasakan banyak hal, tuan. Sejak dulu. Aku hanya menjalankan tugas dan mengenal beberapa hal."
"Kau tak pernah merasa senang?" tanya tuan Muzan.
"Aku bisa merasakannya, tuan. Tapi disini..." Aku mengusap bagian kiri dada ku, tempat jantung biasa berdetak dan milikku berdetak dengan normal. "...tidak terlalu."
Tatapku kembali kepadanya. "Apa kau merasa senang, tuan?"
Kali ini jawaban darinya terdengar berbeda dengan sedikit tanda kekecewaan. "Tidak."
Sunyi seketika membekap mulutku. Apa aku melakukan hal yang salah sampai dia tak merasa puas dengan membawaku kemari?
"Jika kau saja tidak, bagaimana denganku?"
Nafasku terkesiap. Aku sudah siap membungkuk untuk memohon maaf padanya hanya karena aku tak merasakan apapun, perasaannya menjadi pahit.
"Tidak. Bukan itu maksudku," ujarnya lagi sambil menggeleng, memijat keningnya seakan pusing sendiri juga dengan dirinya. Aku pun tak menangkap maksudnya, hingga dia kembali berkata.
"Aku menyiapkan tempat ini agar kau bisa merasa senang tanpa harus berdesakan dibawah sana. Mimikmu tak banyak berubah, tak peduli apapun yang terjadi maupun kemana kita berpindah tempat. Itu membuatku kesal."
Sebentar aku berusaha mencerna kata-katanya.
"Jadi selama ini... tuan melakukan semua itu untuk melihatku senang?"
"Kau pikir untuk siapa lagi?"
Belum juga keheningan kembali kuraih karena aku ikut kecewa dengan diriku, suaranya memecah niatku itu jauh-jauh.
"Rasanya tidak adil, jika hanya aku yang merasa senang setiap kau ada bersama denganku. Kau sudah menyelamatkanku hari itu dan sampai sekarang aku masih saja tak tau apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu senang."
Detak keras memukul jantungku untuk sekali. Aku merasa bibirku bergetar sebentar seusai mendengarkan pernyataan tuan Muzan.
"A-aku..."
Seperti orang yang terus mengetuk pintu, itu yang kudengar dari dalam diriku, entah mengapa begitu. Ini tak biasa.
"Tuan Muzan senang denganku?"
Tuan Muzan mendekatkan wajahnya. Aku bisa melihat netranya yang berwarna krimson semakin jelas.
"Selalu."
Nuansa malam itu seketika menjadi hangat. Suhu dari tuan Muzan juga... dia sudah menjadi manusia, aku tau itu, begitu juga hatinya.
Tuan Muzan menautkan jarinya denganku, jaraknya semakin dipersempit, dan kecupan darinya perlahan-lahan mendalam.
"Aku ingin memilikimu, malam ini dan selamanya."
+ + + +
Beberapa hari kemudian, tepat di pelataran hutan di samping kuil, aku mendengar suara ramai, seperti orang-orang sedang membangun rumah.
Dan benar saja, tuan Muzan muncul diantara mereka, berjalan mendekatiku. Jas hitam miliknya selalu menjadi ciri khas. Kainnya selalu berayun dimainkan angin hutan setiap dia menapak.
"Tuan Muzan? Ini... ada apa?"
Kini dia mampu tersenyum. Tersenyum begitu tulus seakan kebahagiaannya sudah ada di depan mata.
"Aku akan tinggal disini."
"Di hutan ini?" Manikku membelalak tak percaya, sebelum alisku mengerut. "Tapi ini jauh dari kota. Bukannya tuan Muzan bekerja di daerah sana?"
"Aku bisa bekerja dari manapun. Jika pun ada orang yang membutuhkanku, mereka yang harus kemari." Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Dia membuang tatapnya kearah lain.
Aku tak perlu lagi mempertanyakan hal itu lagi karena semuanya sudah jelas sejak malam kemarin hari. Tuan Muzan menawarkanku untuk hidup berdampingan dengannya atau orang-orang biasa menyebutnya dengan "melamar".
Aku menerimanya. Kesepian juga kehampaan yang biasa mengelilingiku untuk sedikit tergeser berkat dirinya. Dan sekarang, rasanya aku tak bisa hidup tanpa itu.
Tuan Muzan berjalan mendekat, dia mengangkat pipi ku dengan satu tangannya, mengusap dengan ibu jarinya.
"Kenapa kau menunduk lagi begitu?"
Aku kebingungan memilih kata atau harus berbuat apa. Wajahku dengan kaku bersandar pada telapaknya.
"Aku tak terbiasa lagi sendirian sejak tuan Muzan tiba. Rasanya aneh. Aku seperti ingin menangis saat tuan Muzan tak kunjung kembali ke kuil," jelasku jujur saja. Ada sesuatu yang mencengkram hati ku dan aku tak paham itu.
Tuan Muzan yang awalnya hanya berdiri menatapku, tiba-tiba berkata "Kemarilah" sambil menarikku dalam peluknya.
Tinggi kami yang tak sama membuatku hanya bisa mendarat di dekat dadanya. Aku bisa mendengarnya berdetak-detak. Kehangatan yang dia datangkan dari dirinya maupun kain jas nya membuat rasa tak mengenakkan itu perlahan luruh.
Tanpa aba-aba, tanganku merangkulnya juga, kubenamkan diriku kepadanya sambil perlahan menghirup aroma familiar dari parfum yang selalu dia kenakan.
"Aku tak akan membiarkanmu sendiri lagi, mulai hari ini, dan seterusnya. Kau sudah bagian dari hidupku juga, maka dari itu aku ingin tinggal di dekatmu."
Begitu ya? Jadi itu yang diinginkannya.
"Aku senang mendengarnya." Ujung bibirku terangkat perlahan. Masih tak juga kulepaskan dekapan ini.
"Aku pun," balasnya singkat. "Tetaplah di sisi ku, (name)."
Air mataku menggenang. Saat dia memanggil namaku, rasanya aku ingin sekali sungguhan menangis. Sudah berapa lama aku tak mendengar seseorang memanggil namaku?
Tuan Muzan melonggarkan dekapan itu hanya untuk mengusap ujung mataku yang basah.
"Mulai sekarang, jangan panggil aku dengan tuan. Kau bukan pelayanku, tapi kekasihku."
Kepalaku mengangguk sambil menarik isak. Senyum ku gemetar kutunjukkan padanya.
"Iya, Muzan."
Apa ini yang disebut bahagia?
Untuk sekilas aku melupakan kebenaran pahit tentang diriku.
+ + + +
Sudah bertahun-tahun setelah pernikahan, kami hidup bersama sebagai sepasang kekasih di atap yang sama.
Pernikahan kami dirayakan di depan kuil yang kurawat karena aku ingin mendapatkan restu bukan hanya dari dewa tapi juga mediang guru ku. Saat itu musim gugur menjelang musim dingin, udaranya terasa sejuk dan pemandangan sekitar dipenuhi warna cokelat-jingga.
Meski begitu, tangan Muzan selalu memancarkan kehangatan meski tak begitu terasa. Kulitnya yang sedikit pucat sangat kontras dengan warna musim, tapi aku menyukainya.
Meski aku hidup di rumah yang dibangunnya, aku masih mengunjungi kuil dan terkadang menetap disana untuk beberapa waktu.
Kuil itu bisa dilihat dari jendela rumah yang mengarah kesana. Kadang aku bisa melihat Muzan mondar-mandir mencariku sampai dia melirik kearah jendela dan menemukanku terduduk di teras kuil. Dia akan segera kesana jika sudah begitu. Kami akan menghabiskan beberapa jam dekat kuil sambil berbincang dan menikmati kudapan.
Muzan meraih surai sampingku, mengamatinya dalam diam sambil mengusap-usapnya.
"Ada apa?" tanyaku yang baru saja melahap sesendok kudapan.
"Kau selalu tampak muda. Warna dan tekstur rambutmu tak juga berubah. Aku penasaran apa yang membuatmu seperti itu."
Hela nafas pahit terlepas dari bibirku. Agaknya aku merasa ingin mengerjainya sedikit.
"Kau rindu keabadianmu yang dulu? Awet muda dan bisa menjadi siapapun."
Bibirnya melengkung seperti anak kecil yang merajuk. Kalau sudah begitu, aku pun tak bisa menahan geli di perutku.
"Suka sekali mengungkit soal itu."
"Aku tak bermaksud buruk. Hanya menebak saja."
"Malam ini kau tidur saja di ruang sebelah."
"Lebih baik aku menetap di kuil daripada--"
"Kuil mu akan kuratakan."
"Jahatnya~ Dewa ku nanti mengutukmu, lho."
"Aku tak percaya dewa."
"Ya ampun... tidak ingat siapa yang mengobatimu?"
"Kau. Benar, kan?"
"... tidak sepenuhnya salah. Baik, baik, kau benar, Muzan. Aku minta maaf."
Kami berdua lantas menatap satu sama lain begitu dalam. Seketika senyap sampai salah seorang memutus jarak untuk mencuri satu kecupan hangat. Lama pendeknya, tidak terlalu lama, tapi tulus.
"Muzan."
"Ada apa, (name)?"
Rasanya dia berusaha meniru cara bicaraku tadi. Kepalaku menggeleng, antara menganggap itu hal lucu atau aku ingin menepis segala pikiran buruk di kepala ku.
"Kau memikirkan sesuatu. Katakan padaku."
"Tidak. Bukan sesuatu yang--"
"(Name)."
"Sungguh. Itu hanya angin lewat yang terbesit."
"Kau masih tak mempercayaiku sampai sejauh ini?"
Ludah kutelan. Kini tatapanku yang beralih. Bukannya aku tak mempercayai dirinya. Kurasa ini bukanlah waktu yang tepat, masih belum.
"Muzan, aku akan mengatakannya di lain waktu. Ya? Aku berjanji, tapi tidak sekarang."
Aku mengusap wajahnya yang masih ada di dekatku. Dari bagaimana dua maniknya melihatku, aku yakin dia masih belum terpuaskan--teguh untuk mencari tau apa sebenarnya ada dalam kepala ku.
Muzan tak menjawab apapun. Dia menjauhkan wajahnya dan menangkap tanganku.
"Kapan lain waktu itu?"
Kepala ku menggeleng. "Aku akan memikirkannya."
"Hukuman apa yang layak kau terima jika kau tak menepati itu?"
Nafasku menghela. Ini dia Muzan yang sebenarnya, dia kembali lagi.
Memilah-milah kata, suatu ide menyangkut di kepalaku.
"Kau bebas menghantuiku setelah kau tiada nanti."
Alisnya terangkat sebelah. "Itu tak sepadan. Kau sengaja mengatakan itu agar kau tak merasa kesepian jika aku pergi lebih dulu."
"Tertangkap basah, ya?" Tawa geli ku terdengar lagi.
"Kalau begitu, aku tak akan ada di dekatmu saat hal itu terjadi. Tapi aku akan mengawasimu dari jauh," katanya.
"Hanya melihat? Melihat apa?"
"Semuanya."
"Bahkan saat tidur atau mandi, pun?"
"Apa aku bilang ada pengecualian?"
Wajahku seketika menghangat. Aku memukul pundaknya dengan lembut, berusaha menyembunyikan rasa malu ku diantara surai ku, sementara dia tampak tersenyum menang melihatku seperti itu.
"Kau kejam, Muzan."
"Ada yang bilang tidak?"
"Aku."
"Tapi baru saja kau bilang."
"Kalau begitu kau menjengkelkan."
Muzan tertawa kecil dibalik senyumnya. Lantas dia menjatuhkan kecupan diatas dahi ku, sebelum mengusap kepala ku.
"Janji itu, aku akan menunggunya."
Pundakku bergerak turun mendengarnya. Tenang. Dan meski dia cukup tidak sabar, sepertinya yang satu ini berbeda.
+ + + +
Musim sudah lama berganti. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Hari ini musim dingin sudah saja datang.
"(Name)?"
Sosok dengan suara agak serak muncul dari balik pintu ruanganku yang terbuka. Kini usianya sudah berumur, terlihat dari surainya yang satu demi satu helai menyamai warna musim dingin.
"Kau sudah siap?" tanyanya lagi.
Aku membalikkan diri padanya, menampakkan yukata yang kupakai lengkap dengan pernak-pernik yang disematkan di rambutku. Warna polesan bibir masih segar karena tak lama baru saja kuoleskan.
Dia terperangah melihatku yang masih cocok mengenakan pakaian itu.
"Suka dengan yang kau lihat?" Tanganku melebar, tubuhku berputar untuk memperlihatkan penampilanku padanya.
Dia berjalan mendekat, menatapku dalam diam dari bawah ke atas, sebelum membenarkan kain yang kusut.
Senyumnya terangkat. "Ya, sudah. Kita harus pergi sekarang. Jemputannya sudah tiba."
Meski Muzan tak mengatakannya, aku tau jauh dalam hatinya dia menyukainya. Memang pria sepertinya sulit sekali mengatakan hal yang datang dari hatinya, kecuali kebohongan--dia ahli dalam hal itu.
Hari ini kami ingin berkunjung ke suatu tempat. Sebelum itu, Muzan ingin memeriksakanku pada dokter.
Aku tau dia juga memahami soal itu, dia sudah memeriksaku sebelumnya, tapi pengetahuannya dirasanya kurang untuk memahami(meski dia selalu bekerja keras dalam mempelajari sesuatu dan keras kepala dengan pengetahuannya).
"Muzan," panggilku saat kami berjalan di lorong dan berhenti sejenak.
"Ada yang salah?" tanya nya.
Aku ingin sekali menyangkal keinginannya untuk membawaku ke dokter yang ada di kota. Maksudku... dokter itu tak akan membantu, sama sepertinya, aku percaya dengan itu.
"Setelah dari dokter nanti." Aku menoleh padanya. "Ada yang ingin kukatakan padamu."
Dia dengan cepatnya memahami maksudku, tatapannya berubah jadi serius. "Janji mu?"
Aku mengangguk setelah terdiam.
"Baiklah." Lantas dia memberikan tangannya untuk ku genggam. Kami berjalan berdampingan hingga kendaraan yang mengantar kami sampai juga di kota.
Disana, seorang dokter memeriksakan kondisiku tentang apa yang dikhawatirkan Muzan; Kenapa aku tak juga memiliki keturunan.
Muzan sudah memeriksa dirinya sendiri dan merasa tak ada yang salah dengannya, sementara aku...
"Saya rasa tidak ada yang salah dengan istri anda, tuan Kibutsuji." Dokter itu menunjukkan laporan pemeriksaannya yang langsung diterima Muzan. "Semua kondisinya baik-baik saja, secara fisik maupun mental."
Tapi Muzan masih juga tak percaya. Dia merasa ada yang salah, entah dokter itu atau alat-alat yang digunakan untuk memeriksa.
Aku berhasil mengendalikannya yang sudah melabrak meja dokter--seperti biasa batas emosionalnya begitu tipis.
"Muzan, sudah.." Tanganku mengusap pundaknya, memberinya pijatan ringan untuk memenangkannya. "Apa yang dikatakan, itu yang harus didengarkan. Terima kasih, dokter."
Aku membungkuk pada dokter dan membawa Muzan ke luar ruangan.
+ + + +
Pantai yang hampir membeku menyambut dengan putihnya tumpukan salju dan potongan es yang dibawanya ke daratan.
Muzan dan aku berdiri bersampingan menikmati pemandangan itu bersama-sama. Udara hangat menghembus dan mengudara bersama angin musim dingin.
"Putihnya indah," ujarku memecah keheningan.
Muzan masih kesal dengan hasil pemeriksaan tadi, tampak sekali dari bibirnya yang tak juga mengucap apapun, tangannya pun mengenggam sedikit lebih keras.
Manikku berkedip lambat. Jemari ku mendekat, meraih ujung surainya yang putih; dia terkejut.
"Sama dengan yang ini," kataku.
Muzan tau jelas dia semakin berumur, ditambah lagi dia sudah manusia biasa, tengu dia bisa menua.
"Dan kau masih saja sama," balasnya, menangkap tanganku seperti biasanya, lantas mengusap punggung tanganku. Tanganku akan dibawanya ke pipinya--menjadi sandaran sebentar. Maniknya kemudian terpejam untuk sesaat sebelum terbuka dan melihatku lagi. "Apa yang ingin kau katakan?"
Senyumku pahit kuangkat. Setidaknya dia akan melupakan tentang amarahnya untuk sesaat.
"Kau tau kenapa aku tampak awet muda seperti ini?" Kubuka percakapan dengan pertanyaan. Dia tak menggeleng ataupun mengangguk, masih menunggu jawabanku.
"Karena aku bukan manusia... yang biasa kau tau." Jawaban itu sudah cukup memukulnya kencang. Jujur, aku tak ingin membuka kebenaran lain, cukup itu jika aku bisa menyimpulkan itu saja. Tapi aku sudah berjanji akan mengatakannya dan waktu yang tepat... adalah sekarang.
"Aku penjaga bunga biru dan pengantar pesan dewa. Aku tak akan pernah mati untuk ladang bunga itu."
"Apa kau tak merasa aneh kenapa kuil itu hanya ada aku... dan guruku dahulunya, Muzan?"
Sengatan memori masalalu tentang ucapan terakhir guru kembali datang, menusukku lagi.
"Sebelum kematiannya menjelang, dia bilang... dia bahagia setelah terbebaskan dari kutukan keabadiannya, karena siapapun yang akan meneruskan kuil itu akan selamanya hidup menjadi pelindung bunga biru dan kuil dewa."
"Tak ada yang berani menetap menjadi penyembah dewa itu, selain penerus penjaga kuil. Keabadian itu melelahkan, meski banyak orang yang menginginkannya sebelumnya... mereka tak pernah hidup maupun berakhir bahagia."
"Dan aku..."
Kepala ku mengangguk. Bibirku mengatup begitu rapat, aku tak ingin menangis.
"Aku penerus selanjutnya. Aku tak akan pernah bisa memiliki keturunan dan hidup abadi untuk kuil dan ladang bunga itu."
Muzan terjebak dalam diam. Dia masih berusaha mencerna semua yang kunyatakan padanya.
"Aku pun tak pernah bisa merasa sungguh bahagia saat bersamamu. Hatiku tak bisa merasakan hal itu, selain hal yang datang dari dewa."
"Aku minta maaf, Muzan. Kukira ini waktu yang tepat karena... karena..." Isakku menghalang.
Tatapku mengarah kepada surainya yang memutih. Dia sudah menua dan aku tak tau kapan perpisahan kami akan tiba. Aku ingin menyatakannya sebelum semuanya terlambat.
Muzan melepaskan tanganku darinya. Seakan membuat jarak dalam tingkahnya yang seketika menjadi sedingin musim dingin.
"Kau pikir kematianku sudah dekat?"
Kepalaku menggeleng. "Dewa tak mengatakan apapun padaku. Dia hanya bilang, aku tak bisa selamanya bersamamu, Muzan, karena kita berbeda. Kau masih ingat saat kau ingin melepas keabadian-mu?"
Pandanganku mulai jelas dan memburam secara berselingan. Mengingat hari itu adalah kali pertama aku merasakan pukulan keras yang membuatku harus berpisah arah dengan sosok yang sekarang menjadi kekasihku.
"Aku merasa aku akan tertinggal sendiri... lagi. Tapi aku sudah merasakan bagaimana menyakitkannya suatu keabadian, begitu juga kau, bukan? Aku tak ingin kau menderita lebih lama dan kau bisa sembuh dengan bunga biru itu. Sekarang, lihat?"
Aku menatapnya dari atas ke bawah dengan senang, berusaha mendorong jauh-jauh rasa takutku akan kehilangannya.
"Kau hidup bahagia, sebagai manusia, menua dan merasakan semua yang tak pernah kau dapatkan sebelumnya!"
Muzan menggertak. "Apa gunanya jika kau tak bersama denganku?" Tak ada sedikit pun kesenangan dari mimiknya. "Ini tidak adil."
"S-selama kau sembuh--"
"Dan meninggalkanmu sendiri nantinya, begitu? Kenapa kau tak menghentikanku saja hari itu!?"
Suaranya meninggi, seakan mampu menggema di pantai itu. Sementara aku menahan gemetar hebat dalam ketakutan.
"Aku sudah mengatakannya, sesuai janjiku padamu."
Tak tau lagi apa yang harus kukatakan padanya, jika permohonan maaf sudah tak ada nilainya dibanding kekecewaan.
"Aku masih ingin bersamamu, Muzan. Dan aku..."
Rasa pedih yang kini kurasakan sepertinya adalah bayaranku yang selama ini menyembunyikan hal penting darinya.
"... takut tertinggal sendirian lebih dari apapun. Terima kasih, sudah memberi waktumu untukku menyatakan hal ini."
+ + + +
Hari-hari setelah kunjungan pantai itu, Muzan mulai jarang berbicara denganku. Bangun dari tidur, dia langsung beranjak pergi, entah menuju kota atau tempat lain.
Rumah ini menjadi sepi, menyerupai hari-hari ku di kuil sebelum dirinya datang di kehidupanku.
Di saat itu, aku kembali ke kuil, berdoa seperti biasanya dan kali ini dewa seakan pergi meninggalkanku juga. Dia tak mengatakan apapun.
Ladang bunga biru masih ada disana, menyala dan mengayun saat kumainkan. Aneh, bukan, kenapa bunga ini mekar tanpa mentari yang harus menyinarinya?
Menjelang malam, Muzan tak juga kembali. Ada rasa terbebani dalam hatiku. Tak peduli berapa dalam aku menenggelamkan diri di sisi ranjang tempatnya biasa memejamkan mata, air mata dan retak dalam dada ku tak terbendungkan juga.
"Kapan kau kembali, Muzan? Aku kesepian... Aku takut..."
Mata ku perlahan-lahan merasa berat, kesadaranku berangsur-angsur menghilang, namun aku masih bisa mendengar suara pintu terbuka, aku tak tau jelas itu siapa, apa itu dirinya?
Nafas seseorang terdengar menggeram. Dia kemudian mendekat, hendak meraih surai ku meski ragu, sampai akhirnya dia mengusapnya juga.
"Kau pasti menderita. Maafkan aku, aku tak bisa menahan diri."
Dia duduk di tepi kasur sebelum terbatuk untuk sejenak, lalu bernafas berat sebelum aku mendengarnya seperti sedang menelan sesuatu. Barulah dia bisa bernafas lega.
"Aku tak ingin kau tau. Tidak, kau sudah mendapatkan penderitaan yang cukup."
Dia terdiam cukup lama.
"Kurasa waktu ku tak lagi banyak. Apa mulai besok aku harus merencanakan sesuatu?" gumamnya.
Saat dia berkata seperti itu, aku melawan rasa kantuk dan lelah dari dua mataku. Samar-samar aku mulai melihatnya yang mengamati tangannya sendiri.
Aku menarik ujung bajunya yang memunggungiku. Dia menoleh, tersentak saat mengetahuiku yang belum tertidur.
"Kau saja cukup disini.." ucapku yang serak mengantuk--atau mungkin bekas menangis tadi.
Muzan menarik nafasnya sebelum menghembusnya. Dia menggeserku dari sisi tempat tidurnya, lantas merebahkan diri dan menarikku mendekat. Tangan sebelahnya dia gunakan untuk kepalaku bersandar, yang satunya lagi memelukku dengan aman, sementara dada bidangnya tempatku membenamkan rasa takut.
"Kau mendengarnya?"
Aku mengangguk. Dadanya mengembang, dia menghela. Jemarinya kemudian memainkan rambutku yang masih memiliki warna daripada dirinya.
"Kalau kau menangis terus, rambutmu bisa rontok. Aku sudah ada disini, (name)."
Nafasku gemetar menerima kenyataan itu, ku perdalam pelukku padanya.
"Besok, kita harus melakukan sesuatu bersama. Tak peduli seberapa banyaknya. Aku tak ingin kalah dengan waktu."
Muzan melepas dengusan tawanya, mendengar keinginanku terdengar menentang logika; mengalahkan waktu.
"Aku akan tetap di sisi mu, sampai hari terakhirmu nanti, bahkan meski kau sudah tak ada disini lagi."
Pelukku mengerat padanya. Tak ingin kehilangan dirinya selagi dia masih bernafas dan nyata di depanku kini.
Muzan mengusap punggung ku dan kami menutup mata bersamaan untuk mengakhiri hari.
+ + + +
Kami sungguh meluangkan banyak waktu untuk bersama. Bahkan bisa dikatakan sudah hitungan bulan. Pada saat itu juga, aku melihat tubuh Muzan semakin rapuh.
Dan saat musim berganti, aku melihatnya semakin menua, melambat, dan tak seceria dahulu.
Kini aku duduk disampingnya, menunggunya bangun dari ranjang. Ini sudah beberapa jam dari waktu bangun tidur seharusnya, tapi dia tak juga bangun.
Tidak, denyutnya masih ada, aku sudah memeriksanya, dokter juga sudah datang dan seperti biasa berkata "Dia akan membaik" agar bisa memberikan harapan padaku. Dokter itu sering salah mengiraku sebagai anak dari Muzan ketimbang istri dari Muzan. Aku mulai bisa melihat seberapa jauh kini jarakku dengannya.
Muzan menderita penyakit keras di usianya yang renta. Dan seperti kataku sebelumnya, aku akan selalu ada di sisinya, tak peduli apapun yang terjadi dengannya.
Tangannya yang dulunya berwarna, sekarang semakin pucat, semakin menghilang pula kehangatannya, samar juga nadi nya. Meski begitu, itu yang masih kusukai darinya; bagaimana dia menyentuhku, membuat keberadaannya terasa begitu jelas.
Di saat-saat seperti ini, pikiranku malah memutar mundur segala waktu kami bersama. Sejak pertama kali bertemu, aku yang tak tau apapun tentang dirinya dan dia yang hanya mengejar benda saat itu.
Lalu setelah dia melepas "keabadian" dari penyakitnya, dia membawaku pergi kemanapun dia pergi; tak peduli dimanapun itu, dia ingin aku ada disana dengannya.
Dan konflik menyaktikan setelah pernyataan kebenaran tentang diriku yang kemudian mengakar hingga hari ini, menyisakan kehampaan dari segala sisi.
Aku tak pernah bisa memberikannya keturunan, tapi aku tak ingin ditinggalkan. Sementara dia... seperti menginginkan hal itu juga, tapi sejauh aku mengenalnya hingga sata ini... dia sudah tak begitu memikirkannya selama aku masih disini dengannya.
"Apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai aku bisa bersama denganmu hingga kini, Muzan?"
Aku mengusap lengannya yang belum bergerak. Rasa takut mulai merayap lagi dari kaki ku, merambat ke punggung, dan sampai lah di kepalaku; mulai mengelabui semua yang kulihat.
"Muzan? Bangunlah..."
Suaraku kembali menghilang. Aku sudah lelah menangis kemarin malam karena penyakitnya kambuh. Aku ada di sisinya, di sampingnya, menyaksikan semuanya, dan juga ikut merasakan sakitnya.
"Ini sudah sore."
Guncanganku ke tangannya berhenti perlahan-lahan, meluncur jatuh, tenggelam dalam keputusasaan.
Pemandangan di luar jendela sudah semakin petang, bahkan menuju malam. Burung-burung hutan terbang dari pepohonan, melakukan perjalanan pulang mereka kembali ke sarang.
"Aku akan mandi sebentar... ya? Aku akan segera kembali."
Sebelum beranjak pergi, aku memandangnya sekali, berharap dia akan membuka matanya jika saja itu bisa benar terjadi. Tapi, tidak ada apapun. Kesadarannya belum kembali.
+ + + +
Aku ingat bagaimana dokter mengatakan kondisinya.
"Maaf nyonya, tapi hanya ini yang bisa saya berikan."
Dia memberikanku stok obat terakhie sebelum menyatakan perpisahan.
"Saya harap nyonya bisa merelakannya jika waktunya telah tiba."
Senyumnya tampak dipaksakan. Tak ada yang tak tau bahwa itu adalah kebohongan untuk menutupi kebenaran menyakitkan.
Air hangat tuntas membasuh tubuhku, tapi tak tuntas menenangkan pikiranku. Seusai membersihkan diri, aku kembali menuju ruang tempat tidur Muzan hanya untuk menemukannya tak lagi ada disana.
"Muzan?"
Aku memanggil-manggil namanya. Panik mencarinya di setiap ruangan dan lorong. Tapi dia tak juga ada disana.
"Dimana kau?!"
Pikiranku mulai bercampur dengan segala kemungkinan, entah yang nyata maupun tidak. Hingga aku berhenti di suatu jendela yang mengarah kepada kuil dan melihat sesuatu yang familiar berjalan memasuki kuil.
Menyadari itu, aku berlari kesana. Kini berganti aku yang akan mengejar menuju tempatnya pergi.
+ + + +
Suara-suara benda hancur terdengar semakin aku mendekati kuil. Dan saat aku membuka pintunya, kengerian dan terkejut bercampur menjadi satu.
"Muzan!" panggilku.
Muzan memporak-porandakan seisi kuil dengan alat-alat yang ditemukannya. Dia menghancurkan semua benda, melemparnya, dan mengamuk secara tak terkendali diatas lantai yang basah oleh cairan beraroma menyengat.
"Hentikan, Muzan--Akh!!"
Dia bahkan masih bisa menyikutku dengan tepat meski dengan tubuh rapuh dan usianya yang tak lama lagi.
Muzan beralih dari ruang tengah, setelah usai menghancurkan ruang doa, dia pergi menuju pintu yang mengantar ke lantai bawah sambil membawa sesuatu yang tak tampak di kegelapan.
"Muzan!!"
Aku menahan tangannya yang berniat menarik tali, tapi dia malah menarikku masuk dan memaksaku untuk tidak bergerak hingga mencapai lantai bawah.
Dibawah sana, bunga-bunga Spider Lily biru menyambut. Muzan tak lagi terkagum dengan keberadaan bunga itu seperti dulu. Segera saja dia menapak mendekati ladang itu dan menumpahkan cairan yang sama seperti di lantai atas.
"Apa yang kau lakukan, Muzan?! Katakan padaku, jangan diam saja!"
Baru ini dia berhenti, menoleh kepadaku dengan surai putihnya yang sedikit berayun.
"Apa yang kulakukan adalah hal benar."
"Benar bagaimananya?! Kau menghancurkan seisi kuil, dewa bisa marah besar! Apa yang kau maksudkan dengan benar disini?"
Maniknya menatapku sengit, dia membuang benda di tangannya diantara ladang bunga lily.
"Dewa itu sudah mati, aku membunuhnya."
Mimikku menegang. "Apa maksudmu...?"
"Intinya dia sudah tak lagi. Dan sekarang--"
Tubuhnya seketika runtuh dengan batuk yang cukup keras. Melihatnya rubuh, aku berlari mendekat, nyaris terpeleset entah cairan apa itu, dan menahan tubuhnya agar tak terjatuh keras.
"Kita kembali, Muzan. Kita harus pulang. Obatnya--"
"Aku tak membutuhkannya." Suara seraknya lebih mengejutkanku.
"Jangan berkata begitu! Kau masih bisa... seharusnya masih bisa sembuh."
Menelan kebohongan yang sudah jelas itu menyakitkan dan tampak bodoh.
Tidak, sejujurnya aku hanya takut kehilangannya. Aku tak ingin sekarang, aku belum siap, aku masih ingin bersama dengannya sedikit lebih lama lagi.
"(Name)."
Suara rentanya menyadarkanku kembali. Dia tersenyum tipis, tangannya yang melemah gagal meraih suraiku... seperti dulu.
Menangkap maksudnya, aku menahan tangannya dari terjatuh, dan mendekatkannya pada surai ku. Maniknya melebar perlahan. Dia mengusap suraiku, lagi.
"Kau akan segera bebas dari keabadian."
Manikku menyipit, bingung.
"Apa maksudmu? Muzan, aku ditakdirkan disini. Kau tak bisa membunuh dewa dan ladang ini--sudah tugasku untuk--"
"Kita akan mati bersama."
Jantungku berhenti sejenak mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya.
Dia terbatuk sekali lagi, suaranya semakin menghilang, dan tubuhnya memberat.
"Benzene... cairan ini... akan membakar habis kuil ini."
"Ladang yang harus kau jaga sejauh ini... dewa yang kau percaya selama ini... semua akan musnah."
Tatapnya mengarah padaku, sudah mulai tersayup.
"Dan kau terbebaskan.... Raih kantung kiri ku."
Menuruti keinginannya, aku merogoh kantung kiri miliknya dan terkejut dengan sekotak benda yang dibawanya.
"K-korek api batang?"
Aku melihat lagi padanya yang sudah semakin kehilangan nafasnya dan kemampuannya untuk mempertahankan kesadaran.
Muzan tau jelas aku merasa tak yakin, maka dari itu dia menggenggam tanganku yang mengambil benda itu darinya.
"Kau ingat ucapanku hari itu... (name)?"
Bibirnya kini gemetar untuk berkata.
"Mulai sekarang... dan seterusnya, aku tak akan membiarkan... kau sendiri lagi. Dalam kehidupan... maupun kematian."
Muzan memerintahkanku untuk memantik api dari korek yang dia berikan. "Lakukan," katanya. "Aku tak ingin terlelap sendiri."
Jika aku sungguh bisa melihat malaikat kematian, kurasa dia bersama denganku sekarang... menunggu Muzan tertidur lelap dan menungguku menyalakan api yang akan melahap semuanya menjadi abu.
Aku tak begitu yakin apakah cara ini akan sungguh menghilangkan keabadian atau tidak. Tapi jika Muzan begitu yakin dengan itu, maka aku tak memiliki pilihan lain selain ikut mempercayainya.
Bibirku mendekat kepadanya, jatuh diatas bibirnya yang mulai memucat. Muzan tak bisa memelukku kembali, tapi kini aku yang harus berinisiatif untuknya.
Kecupan itu tak lama. Rintik air mataku terjatuh di atas pipinya saat kecupan itu menghilang.
"Selamat tidur... Muzan. Terima kasih, untuk selama ini. Aku mencintaimu."
Suaraku goyah. Dirinya tersenyum kembali sebelum kalimat terakhirnya terudarakan.
"Aku... juga..."
Maniknya terkatup.
"Mencintaimu... (name)."
Tanganku gemetar memeluknya erat sebelum tangisku pecah. Dia pergi. Dan aku kembali sendiri...
....
.......
.............
Tidak.
Aku tak akan pernah lagi sendiri.
Memantik batang korek api, aku mengamati cahaya hangat diantara keredupan ruang bawah ini.
Nuansa hangat yang menjadi satu-satunya sumber aku bisa merasakan sesuatu. Inilah satu-satunya alat pembebasan hidupku.
Aku akan menyusulmu.
Karena aku ingin bersama denganmu.
Rasa panas di tanganku terjatuh. Sulutan api dengan cepat menelanku yang memeluk tubuh dinginnya menuju alam selanjutnya.
D
an kobaran api itu menjadi pembuka hari yang baru menuju fajar yang akan datang.
+ + + +
Aku tau ceritaku tak akan berakhir bahagia.
Aku tau kehidupanku tak akan digelimpangi senyuman, selain kehampaan.
Tapi.....
Setidaknya aku memiliki satu orang yang datang untuk menemani.
Aku tak lagi sendiri, itu saja sudah cukup mengisi hati ini.
Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Muzan Kibutsuji.
+ + + +
-- Blue Mortality : End --
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro