Part 02 : Autumn Pavilion
Perasaan melintasi ruang dan waktu, menjelma jadi kesedihan atau kebahagiaan.
Wahai mentari, jika perjalanan ini akan menjadi bunga ...
Terangilah jalanku untuk menuju ke tempatnya.
=====
Li Lian Hua berjalan lambat-lambat di tepian sungai, mengamati area tertentu, di mana sosok mayat termutilasi itu kabarnya ditemukan. Angin semilir bertiup lembut memecah kabut jadi serpihan asap yang menghilang dalam sekejap. Dia tiba di desa Yangsuo pada malam hari, istirahat di penginapan Mian dan pada pagi harinya ia segera menuju tempat ini. Desa Yangsuo adalah tempat yang indah, dia akui itu. Udara jernih, angin sejuk, pepohonan dan sungai-sungai. Ada banyak bunga liar di mana-mana, menjadikan desa ini sangat berwarna. Siapa yang menduga akan ada penemuan mengerikan di tempat yang begitu indah dan tenang, terlebih di tepian sungai dengan aliran air jernih berkilau, diiringi suara gemericiknya yang meningkahi senandung alam.
Sebenarnya dia tidak sabar menunggu pagi datang hingga semalaman dia tidur dengan gelisah bahkan saat tubuhnya lelah. Saat fajar kemerahan menerangi ufuk timur langit desa, dia segera menyegarkan diri, mengganti jubahnya dengan warna biru dan sarapan ditemani secangkir teh.
Ada gundukan tanah yang terlihat baru, di atasnya ranting dan dedaunan berserakan. Kabarnya, di sinilah mayat termutilasi itu ditemukan. Lian Hua menghela napas panjang, mengedarkan pandangan ke sekitar sungai. Telinga tajamnya menangkap beberapa pergerakan, tapi saat ia menoleh ke satu arah, yang tampak hanyalah seekor tupai melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Kepak sayap burung bergemerisik saat meluncur dari balik pepohonan.
Tak ada yang ganjil, batin Lian Hua, mengerutkan kening pada gundukan tanah. Apakah sisa potongan mayat malang itu disimpan seseorang ataukah telah dikubur di suatu tempat. Dia akan mengikuti petunjuk Ketua Bai, menemui seorang pria paruh baya bernama Liu Rujing.
Meninggalkan deru arus sungai di belakang, Lian Hua melompat ke atas kudanya dan segera berlalu dari tempat itu. Menurut beberapa informasi yang dia kumpulkan, Liu Rujing berprofesi sebagai penjaga rumah mayat.
Dalam waktu singkat, Lian Hua sampai ke satu gedung tua yang merupakan satu-satunya rumah mayat di desa. Pintunya menutup rapat, suasananya teramat sunyi hingga membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Lian Hua tidak mudah gentar, bahkan tak ada mahluk hidup maupun hantu yang bisa membuatnya takut.
Pintu hitam itu nampak kusam dan berdebu, membuat warnanya yang sudah luntur terlihat kian mengenaskan. Seakan-akan gedung ini sama sekali tak pernah dikunjungi seseorang.
Lian Hua mengamati sejenak pintu itu hingga akhirnya mencoba mendorongnya. Ketika ia melangkah masuk, aroma ganjil yang menusuk hidung menyergap penciuman Lian Hua. Dengan gerakan cepat ia mengenakan cadarnya untuk menjaga indra penciumannya tetap aman.
Di dalam, seorang pria berwajah dingin dan sinis menyambutnya. Dia berdiri di depan barisan peti kusam berisi jasad-jasad terlupakan atau hilang dan masih belum diklaim keluarga korban.
"Kukira Anda sudah salah mendatangi tempat yang dituju. Tak ada orang yang sudi berkunjung kemari," pria itu berkata datar. Penampilannya tidak terlalu rapi, bahkan nyaris berantakan dengan pakaian serba hitam kusam dan wajah yang selalu berkerut.
"Ucapanmu memang benar. Tapi aku sudah di sini, Tuan Liu Rujing," Lian Hua menanggapi dengan nada sama datarnya, bahkan nyaris santai.
"Apa yang kau cari?" Liu Rujing bergerak dari tempatnya, menghampiri sang tamu dan berhenti dalam jarak beberapa langkah.
"Mayat termutilasi," Lian Hua meneliti ekspresi Liu Rujing saat mengatakannya. Tak ada reaksi berarti. Pria itu hanya mendengus bosan, kehilangan minat dengan cepat.
"Ini sungguh mengesalkan. Aku mengawetkannya dan menunggu seseorang datang menebus. Tapi mayat malang ini sungguh misterius."
"Bisakah aku melihatnya?"
Liu Rujing menunjukkan ekspresi curiga, hingga Lian Hua menduga dia akan meminta sejumlah uang padanya. Tapi kecemasannya tidak beralasan, Liu Rujing mendengus lagi.
"Sungguh tidak bisa dipahami, bagaimana jasad malang itu begitu menarik perhatian. Sayangnya kau terlambat, Tuan. Seseorang telah menebus potongan jasad itu dan membawanya entah ke mana."
Lian Hua terkesiap tanpa suara. Termenung sebentar, mengawasi barisan peti mati yang membisu.
"Kau tahu siapa yang membawanya?"
Liu Rujing tertawa dengan nada heran. "Desas desus tersebar bahwa jasad itu adalah Di Feisheng, mantan ketua Aliansi Jinyuan yang telah hancur. Dia tidak mengungkapkan identitasnya, tapi aku tak akan heran jika dia salah satu mantan anggota Aliansi Jinyuan."
Jemari Lian Hua tergetar sesaat.
"Jadi mayat itu benar-benar Di Feisheng?"
"Kau ingin aku menjelaskan detailnya?" tantang Liu Rujing, tawanya sedikit meremehkan.
Lian Hua membeku, tapi ia menunggu.
"Aish, beberapa orang memang senang menguliti penderitaan orang lain. Tapi jika kau sangat ingin tahu, baiklah," ucap Liu Rujing sinis.
Lian Hua tahu bahwa cara bicara Liu Rujing hanya dimaksudkan untuk membuatnya kesal. Jadi dia menahan diri untuk tidak menyela pria ini.
"Dengar, dia ditusuk tepat di jantungnya. Kepalanya terpenggal dari tubuhnya dalam garis yang rapi. Kedua tangannya dilepas, dipotong dengan cara rapi pula. Kemungkinan besar dengan menggunakan pedang yang sangat tajam. Inilah gambaran yang dilihat orang-orang. Sebaiknya tidak perlu terlalu berusaha untuk mencarinya. Kau tidak akan bisa tidur di malam hari."
Lian Hua belum mengatakan sepatah kata pun, seolah terhipnotis oleh penjelasan Liu Rujing.
"Uh, kulihat wajahmu memucat. Ya, korban pasti sangat menderita. Untuk memastikan bahwa identitasnya memang Di Feisheng, ada tato laba-laba hitam di tangannya. Siapa pun yang pernah bersinggungan dengan Ketua Aliansi kejam itu, pasti pernah melihat tatonya."
"Itu bisa dipalsukan."
Liu Rujing menyipitkan mata, tidak setuju. "Terserah," timpalnya acuh tak acuh. "Salah seorang warga pernah menemukan dia menetap di sebuah rumah, sekitar satu bulan sebelum pembunuhan. Itu tersembunyi di dataran tinggi, merupakan satu rumah terbaik di antara rumah lain di desa, dengan pemandangan menghadap sungai dan perbukitan karst. Entah apa yang dia lakukan di sana. Desas-desus yang beredar, rumah itu merupakan milik Yu Hongzhu, penguasa kota Yu."
Seorang mantan Ketua Aliansi yang kejam menetap di rumah tepi sungai? Itu terdengar tidak cocok. Lian Hua membatin, menggesekkan dua jarinya dalam posisi tangan jatuh lunglai di samping tubuh.
"Tidak ada sesuatu yang menarik di sana. Mungkin dia hanya menggunakannya untuk meditasi, minum-minum, membuat racun, mungkin. Di Feisheng bukan orang baik. Tidak perlu repot melibatkan diri dalam peristiwa kematiannya yang tragis."
"Apakah seseorang bisa memasuki rumah itu?" tukas Lian Hua, tiba-tiba merasa perlu untuk memiliki akses keluar masuk rumah yang dibicarakan.
"Ada beberapa orang pernah memasukinya. Tapi jika kau ingin tinggal di sana, kau bisa bicara pada pihak Yu Hongzhu. Dia bisa membiarkan seseorang tinggal di sana dalam waktu lama, atau bisa jadi mengusirnya. Lagi pula, apa yang akan kau lihat di sana? Aku tak percaya seseorang ingin mengurus semua ini, mayat malang itu mungkin sudah beristirahat di tempatnya."
Lian Hua mengakhiri kunjungannya ke rumah mayat, kembali menghela kudanya. Ada ribuan pertanyaan berputar di kepala. Tidak perlu mengulur waktu lagi, saat ini dia segera menuju ke perbukitan untuk melihat sendiri rumah itu. Jubah birunya berkibar kuat saat ia menghela kudanya lebih cepat lagi.
Suasana sunyi mencekam di halaman luas dengan sedikit pepohonan. Semak belukar tumbuh di beberapa sudut, merambati batang pohon. Sepintas keadaan rumah itu cukup menyeramkan. Siapa pun akan berpikir bahwa bangunan ini kosong tak berpenghuni. Ada tulisan besar di papan yang tergantung di depan pintu utama. 'Paviliun Angin di Musim Gugur'.
Li Lian Hua melompat dari atas kuda, menatap rumah itu untuk waktu yang lama. Beberapa kali dia memiringkan wajah dan kerutan dalam tercipta di keningnya. Mendadak serentetan gumaman menggema memecah kesunyian.
"Ada urusan apa lagi? Orang-orang datang dan pergi tanpa kenal waktu. Seharusnya aku memusnahkan tempat ini."
Lian Hua mendengar pergerakan angin dan dengan cepat ia berpaling ke arah mana berasalnya suara itu. Kurang lebih lima tombak di hadapannya, berdirilah seorang pria paruh baya berpakaian serba hitam.
"Dua pekan lalu, pendekar muda datang memeriksa, dan sekarang ada satu lagi. Apa yang kalian cari di sana?" pria itu menggerutu lagi.
"Kau penjaga paviliun ini?" tanya Lian Hua. Jika paviliun ini sungguh milik penguasa kota Yu, sepatutnya ada orang yang merawatnya.
Pria itu mengibaskan tangan dengan gaya acuh tak acuh. "Aku sudah lama tidak peduli dengan tempat ini. Nah, kau lihat keadaannya. Masih ada banyak debu di dalam, jika kau ingin tahu."
"Aku ingin memeriksa ke dalam."
"Terserah dirimu, Anak Muda. Tapi jangan heran kalau akan datang lagi pria-pria sok jagoan menyelidiki rumah ini. Sungguh melelahkan," pria itu mendengus dingin.
Dengan sorot matanya, Lian Hua mengikuti pergerakan pria tak dikenal yang berbalik pergi dan masih menggumamkan beberapa patah kata. Dia sendirian sekarang, menatap tajam pada bangunan paviliun yang memancarkan kesan misterius.
Keheningan membuat Lian Hua gelisah, tapi tidak mengendurkan kewaspadaan. Dan wajahnya menjadi muram sewaktu dia mendorong pintu kayu berdaun dua dan mendapati satu ruangan utama yang luas. Beberapa sekat membaginya menjadi tiga. Entah bagaimana, terlihat sederhana tapi tidak seburuk atau sekotor yang dibayangkan. Instingnya mengatakan bahwa tempat ini tidak sepenuhnya diabaikan. Di perbukitan, udara terasa lebih dingin. Angin bertiup dari arah sungai. Lian Hua bisa mencium aroma debu dan air, juga sedikit campuran dupa wangi. Dia merasakan keganjilan. Diamatinya seluruh ruangan tapi tidak menemukan tungku dupa yang mengepulkan asap.
Satu ranjang kayu dengan alas tikar jerami ditutupi kain tebal halus berwarna merah anggur. Bantal yang serupa. Satu meja kayu untuk minum teh, dilengkapi poci dan cawan, dengan dua kursi dan meja lainnya tempat meletakkan beberapa benda seperti lilin dan alat makan, serta rak buku yang terbuat dari kayu. Walaupun perabotan dan lantai dilapisi sedikit debu, tempat ini seperti layaknya tempat tinggal pada umumnya. Lian Hua disergap perasaan sendirian yang menyedihkan dan sepi. Dia terus menatap ruangan tapi tidak melihat gambaran apa pun.
Lian Hua berjalan mengitari ruangan, menyentuh permukaan beberapa benda, lantas duduk di tepi ranjang. Dia mendengar dengungan lemah serangga di luar, tidak ada suara manusia di sekitar sini. Mereka berada jauh di bawah bukit dan seberang sungai. Paviliun ini lumayan terpencil. Ada bayangan bergerak di luar, melesat di atas pucuk pohon dan hinggap di tanah sejenak. Lian Hua tersentak dan bergerak cepat. Pintu utama menutup dengan keras seakan ada hembusan angin kencang yang mendorongnya.
Tanpa berkata-kata atau mengeluarkan seruan terkejut, Lian Hua menyerbu ke pintu dan membukanya secepat itu tertutup. Bayangan apa pun yang sempat dia rasakan kehadirannya telah hilang dalam sekejap hingga ia sempat menduga bahwa itu hanya ilusi. Dia melompat ke halaman, mengawasi sekelilingnya. Tak ada yang berubah. Hanya kudanya yang tampak terkesiap. Lian Hua mengepalkan tangan, tidak percaya bahwa dia bisa dikelabui. Dia kembali ke depan pintu dan sorot matanya membentur sesuatu. Seketika kilasan peristiwa yang samar timbul tenggelam dalam arus ingatan yang kacau. Di lantai ubin hitam, tidak jauh dari pintu, satu pot tanah liat tiba-tiba sudah berada di sana. Dalam tanah yang ditanam dalam pot, satu pohon bunga anggrek hitam tumbuh. Batang-batangnya telah meliuk dan meregang. Namun bunganya belum mekar.
Lian Hua tertunduk, menatap tanaman anggrek hitam, mendesah kecewa karena ia tak dapat melihat sedikit pun bayangan orang yang meletakkan benda ini di sini. Siapakah gerangan pendekar yang bisa luput dari kewaspadaan dan kecepatan seorang Lian Hua?
Dia mendesah lagi, membungkuk untuk mengambil pot bunga. Mengaguminya sejenak, dan merasakan dorongan untuk menempatkan bunga ini dengan baik di meja dalam ruangan.
Siapa pun orang yang meletakkannya di luar, Lian Hua yakin aksi ini memiliki tujuan. Baik itu ancaman atau peringatan. Lian Hua menatap keluar lagi, diam-diam penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi.
=====
Penginapan Mian
Dalam ruangan restoran yang cukup luas, satu buah meja telah diatur, sayur yang lezat dan arak wangi telah tersedia di depan mata Lian Hua. Namun dia hanya memakan beberapa potong buah dan kehilangan napsu untuk menikmati kelezatan dan wanginya hidangan tersebut. Suasana dalam restoran lumayan ramai di siang menjelang sore. Wajah setiap pengunjung terlihat bersemangat dan mereka mengeluarkan suara obrolan dan gurauan yang hiruk pikuk.
Suara paling berisik datang dari satu meja. Sejujurnya, Lian Hua lumayan terganggu. Jadi dia menoleh dan sedikit memutar tubuh untuk melihat siapa yang bicara. Pemuda berbaju putih itu lagi, yang Lian Hua temui di perjalanan. Dari sikapnya, dia terlihat cukup kesal dan bicara pada seorang gadis muda di sampingnya dengan semangat mengomel yang meluap-luap. Diam-diam Lian Hua mengamatinya. Pemuda itu tampak seperti seorang tuan muda kaya, pakaian bagus, hiasan giok yang terkenal dan sebilah pedang panjang. Perjamuan yang diatur dengan baik di depannya, juga gadis muda yang melayani dengan patuh semakin menguatkan dugaan Lian Hua.
Dia memutuskan untuk tidak melibatkan diri dengan tuan muda itu, meskipun ia belum mengucapkan terima kasih dengan benar karena telah diselamatkan dari kawanan begal. Namun kalau boleh jujur, ia sendiri pun sanggup mengatasi dua kali lipat dari jumlah begal itu. Jadi kata diselamatkan terdengar terlalu berlebihan. Lian Hua geleng-geleng kepala. Merasa lucu mengingat bagaimana sang tuan muda muncul tanpa diundang dan bertarung seperti pahlawan kesiangan. Jelas sekali dia orang baru di Jianghu.
Sialnya, tuan muda yang ingin dihindarinya justru menoleh cepat pada Lian Hua sebelum pihak lain membuang muka. Serta merta, sang tuan muda melebarkan matanya yang memang sudah lebar, menatap Lian Hua dengan ekspresi tercengang.
"Hai, kau .... "
Aishh, terlambat, batin Lian Hua lelah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro