Part 01 : Li Lian Hua
Mysterious Lotus Casebook Fanfiction
Written by Shenshen_88
Disclaimer
Characters belong to Teng Ping
Penulis tidak mengambil keuntungan dari karya ini.
Nama, tempat, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiksi.
Dalam hembusan angin, daun-daun berguguran. Sejernih warna zamrud, hijau. Seindah batu ruby, merah berkilau. Berbagai warna memenuhi musim semi.
Hari demi hari berlalu di bumi, bergulir lembut seperti semilir angin.
Kau menatap musim semi sementara aku memandang kenangan.
Pandanganku terperangkap kabut kelabu, kelam, hitam ... seperti bunga anggrek di tanganmu.
Apakah itu ... seperti bayangan masa lalu, hanyalah ilusi yang tersembunyi?
Li Lian Hua menatap langit musim semi di atasnya, birunya tidak sejernih kemarin, dan perbukitan tampak hijau keabuan di tepi cakrawala. Senyum sedih terwujud di wajah lembut nan pucat, dan bibir merahnya nampak bergetar. Senja terlalu indah untuk dinikmati seorang diri, berjalan tanpa arah tujuan di tengah padang rumput dengan serpihan dandelion melayang di antara ilalang.
Angin meniup rambut dan jubah putihnya, menyapu ujung rerumputan yang menari lunglai. Li Lian Hua terus berjalan, menatap hampa pada jalur yang terbentang. Di tangannya tergenggam dua tangkai anggrek hitam, berkilau penuh misteri di antara helaian daun yang menghijau. Bunga itu mengayun lembut seiring langkah kakinya.
Warna merah berkibar di hutan, serupa selendang pernikahan. Li Lian Hua mengalihkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya sadar bahwa itu hanya khayalan. Tak ada siapa pun di dekatnya, hanya kawanan burung layang-layang meluncur dari balik pepohonan. Gambaran lukisan sepi, menemaninya hingga langkah terakhir.
Di masa depan nanti, akankah kau muncul di hadapanku lagi?
Lian Hua tersenyum sedih pada kekosongan, meresapi gema kata-katanya sendiri.
Jika itu sungguh terjadi, aku berjanji ...
Aku tak akan membiarkanmu pergi.
=====
Musim gugur, satu tahun sebelumnya
Balai Baichuan
Senja yang memerah. Matahari tersungkur di balik bukit, menebarkan cahaya lemah jingga keemasan. Bai Jiang Chun , salah satu ketua Balai Baichuan masih berada di taman bunga, membuang ulat kecil pada sekuntum krisan. Dedaunan layu berguguran di sekitarnya, melayang dihembus angin senja. Sebenarnya itu bukan bagian dari pekerjaan. Ketua Bai tengah meluangkan waktu untuk bersantai, terlepas dari beragam kasus kejahatan yang terjadi di Jianghu.
Balai Baichuan telah merekrut tiga detektif lagi setelah proses ujian yang ketat. Namun hanya segelintir dari ribuan manusia yang berbakat. Ketua Bai paham bahwa dunia masih memerlukan banyak orang hebat, cerdas, dan mau bekerja keras, terutama Balai Baichuan. Beberapa peristiwa memberikan ketegangan yang berbeda, beberapa di antaranya bisa dipecahkan, sisanya masih jadi misteri.
Ketua Bai beralih pada bunga anyelir, kemudian anggrek kuning yang tumbuh pada batang pohon lain. Sampai di situ, dia berhenti. Bukan karena ada ulat atau serangga, dia menoleh mengawasi sekeliling halaman, menggeleng sekilas sambil menghela napas. Dia berbalik dan masuk ke salah satu paviliun di area Balai Baichuan, duduk di kursinya yang berdekatan dengan jendela.
Kesendirian yang tenang tidak membuatnya lega. Justru saat ia melihat serpihan bunga wisteria melayang di depan jendela, ia memutuskan untuk bersuara.
"Masuklah!"
Tak ada reaksi, bahkan tak ada siapa pun. Tiga ketua lain tengah sibuk dengan urusan masing-masing, juga tak ada anggota yang melintas.
Hembusan angin lagi, cukup lembut, kemudian sekelebat bayangan putih melintas dan masuk ke ruangan Ketua Bai.
"Kungfu bukan untuk dipamerkan, jadi tidak perlu aneh-aneh," ujar Ketua Bai datar.
Tawa lembut berkumandang dari sosok yang baru datang. Dia menunjukkan sikap hormat dan sopan pada pria tua dalam ruangan.
"Lama tidak berjumpa, Ketua."
"Kecepatanmu masih menakjubkan. Tapi kau membiarkan angin mengungkapkan rahasia kedatanganmu yang tak terduga. Apa kabar, Li Lian Hua?"
Yang dipanggil Li Lian Hua adalah pria muda berpostur tinggi tegap dengan liukan kaki dan lengan selentur kucing. Dia memakai cadar muslin putih untuk menutupi sebagian wajahnya, dan dalam satu gerakan ringan, ia menanggalkan cadar itu. Menyingkap paras yang seindah namanya. Putih, tampan, cantik, mengingatkan siapa pun pada keindahan bunga teratai mekar. Tetapi jangan tertipu oleh penampilan luarnya yang mempesona. Sewaktu-waktu dia bisa selicik rubah.
"Sangat baik." Li Lianhua mengibaskan lengan dengan gaya anggun, seiring senyum tipis terukir di bibir.
"Kau tidak sedang mabuk, bukan? Kemarilah, tidak setiap hari ada keajaiban seperti sekarang. Jadi kau harus menemaniku minum teh."
Ketua Bai tahu dengan jelas bahwa Lian Hua tidak pernah membuang waktu untuk hal-hal sederhana dan tidak penting. Dia hanya akan patuh karena rasa hormat, tapi ia akan merangsek dengan niat sebenarnya. Seharusnya tak ada basa-basi semacam ini, bagaimanapun, Lian Hua pasti mencari informasi. Jadi ia akan bersikap seperti kucing yang baik alih-alih rubah licik.
"Aku datang untuk menanyakan sesuatu," sahut Lian Hua, meski tersenyum suaranya terdengar serius.
"Aku tahu. Kau pikir aku tidak mengenalmu." Ketua Bai menuangkan teh dari dalam poci ke cangkir keramik. Mengisyaratkan si pemuda untuk duduk di dekatnya.
"Teh gardenia ini baru saja dikirim dari daerah selatan. Mari, kau akan menyukai aromanya. Ini membuat semangatmu yang membara bisa sedikit tenang."
Sindiran halus itu mengundang senyum lagi di wajah Lian Hua, kali ini nampak lebih tulus.
"Teh gardenia?" Mengernyitkan kening, ia menatap kosong pada cairan teh dalam cangkir.
"Nona Qiao mengirimkannya khusus pada Tetua Balai, kau ingat dia, kan?"
"Nona Qiao?"
"Qiao Wanmian. Pendekar wanita tercantik di Jianghu. Kalian pernah dekat di masa lalu. Jangan katakan kau sudah lupa."
Lian Hua tersenyum kecil, raut wajahnya nampak sulit. "Mengingat masa lalu membuatku sakit kepala," desahnya.
"Aih, mungkin kau memang bertekad melupakannya. Jodoh seseorang siapa yang tahu. Sudahlah, ayo nikmati saja tehnya sebelum kau mengubah suasana menjadi serius dan membosankan."
Lian Hua mengangkat cangkirnya, sambil memegangi lengan baju dengan tangan lain, dia meneguk teh yang terasa asing di lidahnya.
"Kudengar kau berkeliaran dengan rumah berbentuk teratai, bekerja sebagai tabib yang mengobati orang-orang."
Lian Hua menanggapi dengan deheman singkat.
"Sungguh tugas mulia."
"Aku belajar banyak hal dan bahagia dengan hidup seperti itu."
"Aku percaya. Nah, sekarang katakan apa tujuan kedatanganmu hingga meninggalkan hidup bahagiamu itu?"
Pada titik ini Lian Hua terdiam sejenak, memutar gelas keramik kecil di antara jemarinya, kemudian tersenyum sekilas.
"Aku mendengar desas desus di jalanan. Kabarnya Balai Baichuan belum menuntaskan satu kejahatan di utara Kota Yu."
"Itu bukan sesuatu yang rumit bagi Balai Baichuan. Kami memiliki detektif yang hebat. Kau tahu itu dengan baik."
Lian Hua beranjak dari duduknya, berjalan lambat menuju jendela dan berdiri di sana. Cahaya senja merah keemasan jatuh di wajahnya yang pucat. Menjadikan keindahannya setara permata ruby.
"Ya, aku tahu. Dan aku juga tidak suka melihat hal yang rumit karena kerumitan adalah sesuatu yang berlebihan dan seharusnya bisa disederhanakan."
Tatapannya mengikuti pergerakan pucuk pepohonan yang melambai. Seakan-akan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana.
"Tapi sebenarnya aku penasaran apa yang terjadi di sana," ia melanjutkan setelah terdiam lama.
"Ini luar biasa," gumam Ketua Bai, kembali menuang tehnya.
"Kau memutuskan mundur dari Balai Baichuan dan tiba-tiba kembali hanya karena rasa penasaran. Sekali pahlawan tetap pahlawan, bukan? Apakah pedang shaoshimu mulai gelisah?"
Lian Hua tertawa kecil. "Aku tidak datang untuk bertarung dengan siapa pun, atau menjadi sok pahlawan. Hanya ingin melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa korban yang dimutilasi dan mencari siapa pelakunya yang sampai saat ini belum juga tertangkap."
Ketua Balai selalu puas dengan hasil pekerjaan Lian Hua sehingga waktu pemuda itu memutuskan untuk mundur dan menjalani hidup sesuai pilihannya sendiri, mereka sempat kehilangan dan kesulitan. Tapi waktu mengatasi segalanya. Lian Hua tidak pernah menunjukkan wajahnya lagi selama hampir lima tahun. Sekarang tiba-tiba dia datang dengan cara mengendap-endap seperti maling dan bicara tentang kasus mutilasi.
"Jadi apa yang kau inginkan?"
"Berikan kasus itu padaku, tapi aku ingin bergerak diam-diam."
"Sebenarnya aku harus membicarakan ini dengan Ketua Ji Hanfu, tapi baiklah."
Setelah mendesah dan menggelengkan kepala beberapa kali, Ketua Bai mengambil sesuatu dari laci rak kayu dalam ruangan. Sehelai kertas bergambar sketsa wajah seseorang.
"Lihat, ini dia."
Lian Hua yang sejak tadi berdiri memunggunginya perlahan memutar tubuh dan berjalan mendekat dengan raut serius.
"Sudah hampir satu bulan, Balai Baichuan kami kesulitan memecahkannya. Selain tekanan dari dalam diri sendiri, penguasa kota Yu juga sempat mendesak kami. Entah apa kaitannya dengan korban. Tapi nampaknya ini cukup serius." Dia mendorong kertas itu ke depan Lian Hua.
"Kasus Anggrek Hitam."
Sepasang alis Lian Hua bertaut ganas saat mengambil dan mengamati sketsa wajah di atas kertas. Rahangnya menegang, sementara tatapannya menajam.
"Kabar yang beredar di luar menyebut-nyebut nama Ketua Aliansi yang kejam dan berbahaya di masa lalu. Di Feisheng. Sudah bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya. Dia menghilang seolah ditelan bumi, kini tiba-tiba ia muncul sebagai mayat yang termutilasi. Sungguh tragis."
Ketua Bai meneguk tehnya lagi.
Lian Hua tidak menjawab. Hanya menatap dalam dan lama.
"Jika kau bersikeras, aku akan memberimu sedikit informasi dan menyiapkan satu kereta kuda. Kau akan pergi sendiri ke utara Kota Yu. Di sana kau bisa menyelidiki sendiri apa yang tak bisa dilakukan anggota lain."
Dia mengeluarkan plakat batu giok sebagai tanda pengenal Balai Baichuan, meletakkannya di atas meja, tapi Lian Hua sama sekali tidak meliriknya.
Mengangkat pandangannya dari sketsa wajah, kini Lian Hua menatap langit kelam di atas taman, di mana malam siap menghamparkan jubah hitam. Sosoknya tegak berkilau putih dalam kesuraman senja, seperti seorang pahlawan yang siap melangkah ke dalam gelap.
"Aku akan membawa ini," dia berkata, menggulung kertas itu. Ketua Bai menunjuk plat giok sekali lagi karena Lian Hua seolah mengabaikannya. Akhirnya pemuda itu mengumpulkan kedua benda kemudian siap untuk pergi.
"Terima kasih, Ketua," ucapnya tulus, lantas memasang cadar muslinnya lagi.
Ketika Lian Hua berbalik dan mulai berjalan pergi, Ketua Bai mengernyit gelisah seakan baru saja teringat sesuatu.
"Tunggu, Lian Hua!"
Yang dipanggil berbalik lagi, memandang penuh tanya.
"Kau belum memberikan penjelasan mengapa kau memutuskan mundur dari Balai Baichuan lima tahun lalu. Sekarang kau bisa mengatakannya dengan jelas. Lima tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuat alasan tepat."
Lian Hua membeku sesaat, tapi tidak menunjukkan ekspresi yang jelas. Melihat Ketua Bai menahan napas menunggu jawaban darinya, ia sama sekali tidak berniat mengatakan apa pun, hanya melemparkan senyuman samar yang ambigu.
"Aku pergi," jawabnya singkat, lantas melesat cepat dan hilang ditelan temaram cahaya senja yang memudar.
=====
Awalnya gara-gara makan siang di kedai bakmi pangsit.
Lian Hua selalu bersikap santai dan tidak menonjolkan diri. Di kedai ia mendengar beberapa pria makan dan minum arak sambil bicara tentang banyak peristiwa. Tak ada yang menarik baginya. Balai Baichuan selalu melakukan tugas dengan sempurna, dan ia yakin dengan rekan-rekannya di sana. Kemudian ia menjadi tertarik sewaktu beberapa orang mentertawakan kegagalan detektif Balai Baichuan yang menyelidiki peristiwa di utara Kota Yu, kawasan perbukitan karst yang dialiri sungai besar Yangtze dan terkenal dengan nama desa Yangsuo.
Bukan hanya kegagalan itu dan seberapa misteriusnya peristiwa pembunuhan, melainkan korban yang sempat menimbulkan kegelisahan dan kebencian di Jianghu pada masa sepuluh tahun lalu. Di Feisheng, mantan ketua Aliansi yang kejam. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Ada ganjalan yang mencekik dada dan tenggorokan Lian Hua saat mendengar kabar itu. Namun dia tidak tahu apa alasannya. Setelah itu barulah ia memutuskan untuk mendatangi Balai Baichuan secara diam-diam dan menemui Ketua Bai.
Lian Hua memilih pagi hari yang cerah untuk berkendara dengan kereta kuda menuju menuju desa Yangsuo. Dia menempuh perjalanan lebih cepat, memilih jalur sendiri. Perbukitan memanjang dengan warna hijau bergradasi biru, dan anak sungai muncul dan hilang di balik barisan pepohonan. Lian Hua ingin menghindari malam di perjalanan, jadi dia mencambuk kudanya, menderu di atas jalanan berdebu. Batu kerikil beterbangan dan debu bergulung di belakang roda kereta.
Tidak lama lagi ia akan memasuki Kota Yu yang ramai, Lian Hua berniat untuk istirahat di salah satu kedai minum yang banyak ditemukan di sepanjang jalan. Dia masih menutupi wajah dengan cadar serta menyimpan pedangnya kemudian duduk berbaur bersama orang-orang. Kadang-kadang ia tersenyum, memutar bola mata, mendengus, sesekali menggelengkan kepala mendengar perbincangan yang berdengung di sekitarnya. Pemimpin Kota Yu, kabarnya mendesak Balai Baichuan untuk segera menuntaskan misteri kematian Ketua Aliansi. Ini mencurigakan, begitu yang Lian Hua dengar. Pemimpin Kota Yu tidak pernah bersinggungan dengan Aliansi jahat itu sejak lama. Mungkinkah ada tanda-tanda kebangkitan Aliansi yang telah lama hancur. Kabar burung bercampur baur dengan rumor dan kebenaran, Lian Hua hanya bisa menyimpan semua informasi dalam hati.
Dia sudah terlalu lama duduk tertegun di kedai. Bergegas bangkit, Lian Hua kembali mengendarai keretanya, tidak peduli situasi sekitar. Akan ada jalur panjang melewati hutan dan ngarai sebelum ia tiba di desa Yangsuo. Kabarnya sering terjadi penyerangan oleh kawanan begal jalanan di tepi hutan. Lian Hua tidak gentar berkelahi, terlebih menghadapi penjahat kelas teri. Namun dia ingin menghindar karena malas.
Hawa dingin mulai melingkupi di atas bayangan hutan, sinar matahari sore tertahan gumpalan awan, hanya bisa memberikan kehangatan yang lemah. Hanya dua jam sebelum matahari terbenam. Lian Hua merasakan bahaya mengintai saat dia melintasi hutan. Apa pun bisa terjadi di alam liar, terlebih di dunia Jianghu yang keras dan tidak pasti. Itu bisa saja di luar batas imajinasi manusia. Pegunungan karst yang megah mulai nampak di kejauhan, seolah muncul dari balik awan. Keangkuhannya membuat manusia merasa kecil dan tak berdaya, bahkan Lian Hua. Dia menyipitkan mata ke puncak karst, sebelum ia menarik pelana secara kasar dan menghentikan laju kereta. Kudanya meringkik keras, menendang bebatuan secara brutal sebelum akhirnya berhenti. Dua tombak di depannya, tiga pria berpakaian serba hitam dengan penutup kepala berdiri tegak menghadang jalan.
Kawanan begal, astaga! Ternyata rumor itu sungguhan, batin Lian Hua, menyeringai sinis di balik cadar tipis.
"Berhenti!" teriak pria yang berdiri di tengah. Tubuhnya paling tinggi dan besar, sepertinya dia pemimpinnya.
"Aku sudah berhenti sebelum kau menyuruhku," timpal Lian Hua datar. Ketenangan dan tatapannya yang meremehkan membuat tiga pria itu mendengus kesal.
"Kau terlihat seperti tuan muda kaya. Serahkan benda berhargamu!"
"Mana ada hal semacam itu," Lian Hua pura-pura bingung, matanya melebar indah.
"Jangan coba menghindari perangkap dengan pura-pura bodoh!"
Lian Hua mengangkat bahu. "Aku tidak memiliki apa-apa. Kalian hanya membuang waktu."
"Ha! Kau benar, anak muda! Kau membuang waktu kami! Sebagai balasannya nyawamu yang akan terbuang!"
Tiba-tiba kawanan begal itu menyerbu serentak ke arahnya dengan gerakan brutal dan membabibuta.
"Astaga! Serius sekali," gumam Lian Hua, kemudian melompat ringan dari atas kereta, berputar cepat dan mengibaskan tangan yang sudah memegang pedang.
Gerakan pedangnya begitu cepat disusul deru angin berpusar menerbangkan debu dan dedaunan. Detik berikutnya Lian Hua mengebutkan ujung jubah, lantas hinggap kembali dengan ringan di atas kereta. Di tanah, tiga pria penyerangnya bergelimpangan dengan rambut acak-acakan dan memuntahkan darah. Mereka mengerang kesakitan tapi masih sempat mengeluarkan umpatan.
Inilah yang membuat Lian Hua lelah, pemandangan penuh darah akibat pertarungan yang sebenarnya tidak diperlukan. Tapi inilah kerasnya Jianghu. Sebentar alisnya dikerutkan sebelum ia tersentak oleh teriakan beberapa orang. Rupanya kawanan bandit itu lebih dari tiga, kali ini ada empat bahkan lebih pria tinggi besar yang menyerang ke arahnya dengan golok panjang terhunus di tangan.
Lian Hua terkekeh pelan, "Golok pemotong kelapa, apa kalian tidak terlalu meremehkanku?" teriaknya.
Pertempuran sengit tidak terhindarkan. Lian Hua menyerang secepat macan, menangkis dan menghindar serangan lawan dengan langkah berputar yang membingungkan. Dalam waktu singkat, kawanan begal terpental ke sana kemari diiringi teriakan kesakitan.
Sebagian dari mereka bangkit dan kembali menyerang dengan lebih ganas. Tujuannya sudah bukan lagi merampok, melainkan membalas dendam. Lian Hua kembali menyeringai, ingin segera mengakhiri pertarungan ini. Tetapi baru saja dia akan mengerahkan teknik tenaga dalam yang menjadi andalan, kepalanya tiba-tiba serasa berputar. Seketika langkahnya terhenti, ujung pedang terseret di tanah saat dia terhuyung selangkah ke belakang.
"Sudah lelah, anak muda?" ejek salah seorang dari begal yang masih bertahan.
Sebenarnya hanya perlu beberapa menit saja bagi Lian Hua untuk meredakan sakit kepala yang mengacaukan fokus serta mengganggu keseimbangannya. Dia perlu mengatur hawa murni dalam tubuh. Namun belum sempat dia melakukannya, sekelebat bayangan putih merangsek ke tengah mereka dan menahan serangan begal yang ditujukan pada Lian Hua.
"Kawanan bandit kasar mengepung satu orang. Sungguh pemandangan yang tidak enak dilihat!" sosok putih itu berseru, setelah berputar dan menghajar lawan, ia berdiri tegak dengan gaya jumawa, tangannya menghunus pedang yang berkilau di bawah cahaya matahari.
Aih, dari mana datangnya bocah sok jagoan ini? batin Lian Hua bosan.
Pemuda itu mungkin baru saja menginjak usia kepala dua. Wajahnya imut dan tampan, matanya cemerlang oleh semangat. Dia menoleh dan mengangguk pada Lian Hua sebelum terlibat lagi dalam pertarungan melawan kawanan begal dengan penuh semangat.
Lian Hua berdiri tercengang, sama sekali tidak terkesan. Sejujurnya, ia tidak mengharapkan adanya campur tangan pihak lain. Dia tidak ingin perjalanannya terhambat oleh hal-hal semacam ini. Karena itu, di saat anak muda yang baru saja datang tengah sibuk melawan para begal, Lian Hua melompat ke atas kereta dan mencambuk kudanya dengan keras. Gemeretak roda menggilas tanah tersamarkan oleh hingar bingar perkelahian. Tanpa menoleh ke belakang, Lian Hua memacu keretanya dengan cepat meninggalkan kekacauan di belakang.
"Haiii!!!"
Pemuda berpakaian putih mengeluarkan seruan tapi Lian Hua pura-pura tidak mendengarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro