Light 19
Beberapa hari terakhir cuaca musim gugur terasa lebih dingin di distrik Kanal Merah, satu kota nan molek di sepanjang tepi anak sungai Huangpu yang mengalir dari Shanghai dan tersebar dalam cabang-cabang tak terhitung.
Ini hari Minggu, dan klinik lebih sepi dari biasanya. Chen Yuzhi adalah salah satu dari dokter muda di kota itu. Usianya belum genap dua puluh tujuh dan baru saja membuka praktek dokter di klinik samping rumahnya di Mail Road selatan, suatu kawasan menengah yang bersih, teratur, dan masih menyisakan jejak-jejak kota kuno di masa lalu yang indah dan artistik. Kliniknya berada tepat di samping rumah. Baik klinik maupun rumahnya sama-sama kecil dan memiliki dua lantai hingga tersedia ruangan yang cukup. Rumah itu sendiri adalah peninggalan orang tua yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Chen Yuzhi memiliki seorang adik perempuan bernama Chen Keying yang berusia dua belas tahun. Dia adalah salah satu alasan Chen Yuzhi belajar dan berjuang begitu keras demi masa depan yang lebih baik untuknya dan juga untuk sang adik.
Minggu pagi, Chen Keying menghabiskan hari libur di rumah bersama Xiao Bai, kucing putih gemuk kesayangannya, sementara Chen Yuzhi membuka klinik hingga tengah hari. Dia mengenakan sweater tebal, celana santai berbahan halus, dan duduk membaca koran. Sejak kliniknya buka, hanya ada dua orang pasien yang datang. Dia bersyukur bahwa meski cuaca dingin, tidak banyak orang yang jatuh sakit.
Menjelang tengah hari, ketika Chen Yuzhi bermaksud menutup klinik, seorang pasien datang. Dia seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun lebih, berambut kelabu dan tubuh kurusnya menggigil di balik sweater tebal panjang berwarna merah.
"Nyonya Wu, silakan masuk. Bagaimana perasaanmu?"
Dengan wajah tersenyum dan sikap ramah yang sudah melekat padanya, dr. Chen menyapa pasien, membimbingnya ke ruangan pemeriksaan.
"Hanya demam," wanita tua itu menjawab sambil terbatuk, lantas merapatkan sweater tebalnya.
"Cuaca dingin hari ini." Chen Yuzhi memberi isyarat pada pasiennya untuk berbaring di ranjang. Dia memeriksa tekanan darah, memasang stestoskop, memeriksa denyut jantung serta tanda vital lainnya. Ketika ia memeriksa suhu tubuh pasien, Chen Yuzhi melebarkan mata.
"Demam Anda cukup tinggi."
Nyonya Wu kini duduk di kursi depan meja dokter setelah menjalani pemeriksaan.
"Aku akan meresepkan beberapa macam obat. Oh, ya. Jangan terlalu banyak beraktivitas di luar ruangan untuk sementara. Angin sangat dingin dan hujan turun tanpa bisa diprediksi. Jaga makanan Anda. Hindari minyak dan minuman dingin agar batuknya tidak semakin parah. Jangan lupa untuk istirahat cukup dan minum obatmu secara teratur."
Chen Yuzhi menulis resep obat pada catatan dan memberikannya pada nyonya Wu.
Wanita tua itu menerimanya dengan senyum yang dipaksakan. Dia cukup akrab dengan Chen Yuzhi bahkan sebelum ia lulus menjadi dokter. Rumahnya hanya berjarak satu blok dari klinik. Dia tinggal berdua saja dengan suaminya yang sudah lanjut usia. Sesekali Chen Yuzhi berkunjung ke rumahnya untuk beramah tamah.
"Terima kasih, Dokter Chen."
"Jangan sungkan, Bibi. Ada yang dikeluhkan lagi?"
Nyonya Wu menggeleng.
"Jaga kesehatan." Chen Yuzhi tersenyum, mengelus lengan wanita itu dengan lembut.
"Kalau begitu aku permisi dulu."
"Baiklah. Ada yang mengantar? Jika diperlukan, aku akan menemanimu sampai ke rumah."
"Tidak perlu. Suamiku berada di toko sebelah untuk membeli sesuatu. Kami datang berdua."
"Bagus sekali. Aku lega mendengarnya."
Ketika nyonya Wu sudah mendekati pintu keluar, ia menoleh lagi pada Chen Yuzhi.
"Ada apa?" tanya Chen Yuzhi, merasakan bahwa wanita itu hendak menyampaikan sesuatu.
"Begini, Dokter. Sebenarnya saudara sepupuku jatuh sakit cukup parah," ia berkata pada Chen Yuzhi.
"Benarkah? Mengapa tidak bibi ajak dia ke klinikku?"
"Itu masalahnya," nyonya Wu mendesah, suaranya agak gemetar efek demam.
"Dia tinggal seorang diri diย Xiangdong, kau tahu daerah itu, bukan?"
Chen Yuzhi mengangguk. "Sekitar tiga puluh menit perjalanan. Lumayan jauh. Apakah tidak ada klinik dokter terdekat yang bisa dia kunjungi?"
Nyonya Wu mengangkat bahu lemas. "Dia sempat meneleponku kemarin, memintaku datang mengunjunginya. Tapi aku juga sakit. Kupikir aku bisa meminta bantuanmu untuk datang ke rumahnya dan memeriksa kondisinya. Pria tua itu sangat keras kepala hingga tidak mengizinkan siapa pun menemaninya."
"Oh, aku turut prihatin. Penyakit apa yang diderita paman?"
"Orang seusianya, bisa penyakit apa lagi? Kukira semua jenis penyakit ada dalam tubuhnya." Nyonya Wu geleng-geleng kepala.
"Kuharap tidak seburuk itu," sahut Chen Yuzhi sambil tertawa kecil.
"Jika kau ada waktu, harap pertimbangkan permintaanku. Jangan khawatir tentang biaya. Aku pasti akan membayarnya."
Chen Yuzhi menggeleng dengan alis bertaut. "Kau bicara seolah kita orang asing. Setelah orang tuaku meninggal, Bibi kuanggap sebagai keluargaku yang tersisa. Berikan saja alamat lengkapnya. Sore ini aku akan pergi memeriksanya."
Nyonya Wu menghela nafas lega, menepuk pundak Chen Yuzhi penuh rasa terima kasih. Senyumnya merekah tipis. Dia menyebutkan satu alamat yang disimpan Chen Yuzhi dengan baik dalam ingatannya.
"Katakan pada paman bahwa aku akan datang."
"Terima kasih. Kau dokter yang baik. Dewa memberkatimu."
"Hati-hati..." ujar Chen Yuzhi.
Di depan klinik, terlihat Tuan Wu datang mendekat dengan mengendarai sepeda motor tua yang mengepulkan asap hitam dari knalpotnya. Suaranya memekakkan telinga. Chen Yuzhi membungkuk ringan di pintu klinik menatap pasiennya hingga lenyap di tikungan jalan.
Sore itu, menjelang pukul lima. Chen Yuzhi baru saja menghabiskan cangkir kopinya yang kedua dan menemui Chen Keying di halaman belakang. Gadis kecil itu duduk di kursi rotan mengelus kucing putih gemuk yang terkantuk-kantuk di pangkuannya. Chen Yuzhi sudah mengenakan pakaian rapi dilengkapi jas panjang tebal serta membawa tas dokternya. Penampilan menarik itu menarik perhatian Chen Keying.
"Kau akan pergi, ge?" ia bertanya.
"Ya. Ini permintaan dari Bibi Wu, kau tahu? Dia sakit beberapa hari ini dan baru saja datang ke klinik."
"Semua orang sakit akhir-akhir ini. Apa kau diminta untuk datang ke rumah pasien?"
Chen Yuzhi mengangguk, mendekati adiknya dan menepuk kepangan rambutnya yang imut.
"Ini sudah menjadi kebiasaanku, bukan? Tidak perlu khawatir, aku akan kembali secepatnya."
"Ke mana kau akan pergi?"
"Xiangdong."
"Tapi tempat itu cukup jauh," komentar Chen Keying, cemberut. Bayangan bahwa ia akan dibiarkan sendiri di rumah saat hari gelap membuatnya cemas.
"Hanya setengah jam perjalanan. Aku akan kembali dalam satu jam berikutnya." Chen Yuzhi membuatnya terdengar santai agar sang adik tidak terlalu khawatir. "Kau anak yang berani. Dulu aku pernah meninggalkanmu selama beberapa hari untuk seminar di luar kota. Ini hanya rutinitas biasa."
Chen Keying hanya mendesah, enggan berdebat dan hanya menatap sang kakak yang terlihat sangat tampan sore ini.
"Tetapi sepeda motormu sedang diservis. Dengan apa kau akan pergi ke sana?"
"Taksi. Ada banyak langgananku di sini. Baiklah, aku pergi sekarang. Jaga rumah dan jangan keluar sendirian. Oke!"
"Hati-hati di jalan, Yuzhi gege!"
Chen Keying melambai pada sang kakak yang berlalu di ruangan remang-remang. Dia kembali fokus pada kucing kesayangannya, satu-satunya sahabat setia kala sang kakak jauh dari rumah.
โจโจโจ
Pergi ke rumah pasien tidak dianggap penting bagi sebagian rekannya sesama dokter. Bagi Chen Yuzhi, dia bersedia untuk menerima panggilan jika terkait kondisi khusus yang cukup parah. Sebenarnya dia tidak terlalu paham akan kondisi kesehatan sepupu nyonya Wu. Tetapi atas dasar kekeluargaan, akhirnya dia berangkat ke Xiangdong dengan menumpang taksi tua yang seringkali mengantarkannya ke berbagai alamat.
Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada hari Minggu, Chen Yuzhi menganggap perjalanan ini sebagai bentuk relaksasi. Lagipula daerah sangat dekat dengan sungai yang berarus deras dan sering dijadikan lokasi untuk berlibur dan menghabiskan waktu luang di akhir pekan. Jika ia tidak salah ingat, daerah itu juga berdekatan dengan rumah-rumah pejabat daerah maupun pengusaha.
Di tengah perjalanan, hujan turun cukup deras. Chen Yuzhi duduk di kursi penumpang, menatap ke luar lewat jendela, mengamati air hujan bercipratan dan menciptakan genangan lumpur. Angin membawa butiran air ke berbagai arah, menggoyangkan pepohonan di sepanjang jalan. Cuaca sepanjang pagi dan siang hari yang terang mendadak terlupakan dalam sekejap. Chen Yuzhi menghela nafas. Perubahan cuaca begitu ekstrim, tidak heran jika banyak orang jatuh sakit. Terlebih lagi para lanjut usia.
Perjalanan menjadi setengah jam lebih lambat dikarenakan ada sedikit insiden pohon tumbang yang melintang di tengah jalan. Banyak pengguna jalan yang mengomel atas buruknya penanganan bencana kecil ini. Supir taksi yang mengantar Chen Yuzhi pun tidak luput dari kekesalan.
Setelah pohon berhasil disingkirkan, kemacetan mulai terurai. Kini taksi melintas di jembatan dan dengan hati-hati Chen Yuzhi mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke pinggir pada air di bawah sana yang bergemuruh.
"Semoga tahun ini air sungai tidak meluap," supir taksi berkata sambil melirik penumpangnya yang sejak tadi bersikap tenang.
"Gemuruhnya membuatku cemas, curah hujan cukup lumayan musim ini."
Chen Yuzhi mengangguk. Dia pernah melewati daerah Xiangdong beberapa kali di masa lalu. Yang membuatnya terkesan adalah bahwa ada perumahan indah yang cukup dekat dengan sungai hingga ia khawatir bahwa jika air meluap, rumah-rumah itu akan terendam.
"Xiangdong masih merupakan kawasan yang mempertahankan keasriannya. Tetapi dalam cuaca buruk, kukira tidak terlalu menyenangkan," gumam Chen Yuzhi.
"Apa kau mengunjungi saudara?" tanya supir taksi. Chen Yuzhi mengangguk sambil mengukir senyuman.
"Bisa dikatakan begitu."
Padahal ia tidak terlalu mengenal sepupu nyonya Wu.
"Daerah itu, walaupun agak kuno, tapi cukup ekslusif. Mungkin karena tidak jauh dari pemukiman mewah beberapa orang penting."
"Benarkah?" Chen Yuzhi tidak mengetahui tentang itu. Sejujurnya, dia tidak terlalu berminat mengetahui masalah di luar semacam politik ataupun isu panas. Cita-citanya sangat sederhana. Mengembangkan klinik dan membantu orang-orang di sekitarnya.
"Sepertinya kau tidak paham daerah ini. Nah, sudah hampir sampai."
Supir taksi membelokkan mobil ke kanan jalan dan menyusuri jalur lurus dan sepi yang dipagari pepohonan. Kawasan itu berbatasan dengan sungai, dan bagi beberapa pemilik rumah yang mampu membeli privasi mahal, mereka bisa menikmati keindahan pemandangan sungai lewat jendela rumah besar mereka.
Jalan menuju rumah sepupu nyonya Wu masuk lebih jauh lagi dan lebih gelap. Hujan masih belum berhenti sewaktu Chen Yuzhi turun dari taksi tepat di depan sebuah rumah tua berukuran besar dan sangat sunyi. Penerangan lampunya bahkan cukup samar.
"Kau yakin ini alamatnya?" tanya supir taksi.
Chen Yuzhi agak ragu tapi akhirnya dia mengangguk.
"Apakah taksi mudah ditemukan di sini?" ia bertanya sambil memutar pandang ke sekelilingnya yang gelap dan sepi.
"Tentu saja. Namun, sepertinya kau harus berjalan kaki hingga ke tepi jalan raya."
"Baiklah. Tidak masalah."
Setelah membayar ongkos taksi, Chen Yuzhi berlari kecil melewati pagar kayu yang tidak terkunci dan melintasi halaman berumput. Rumah itu sepi, tapi ada suara batuk yang sayup-sayup dari dalam. Chen Yuzhi melirik arlojinya, pukul enam lebih lima belas menit. Dia mengetuk pintu rumah, berharap kedatangannya tidak mengganggu.
โจโจโจ
Hujan masih turun hingga satu jam berikutnya. Chen Yuzhi terjebak di dalam rumah itu bersama seorang pria tua kesepian dan sakit-sakitan yang tak henti-hentinya mengajaknya mengobrol. Sepupu nyonya Wu adalah seorang pria yang menyenangkan dan banyak bicara. Dia mantan kurator di sebuah museum seni peninggalan kerajaan pada zaman dinasti Tang. Karena itulah ia memiliki rumah tua besar di kawasan yang tenang. Tempat yang sangat cocok untuk melewatkan masa tua yang damai. Lama tidak memiliki seorang teman bicara dan pendengar yang baik seperti Chen Yuzhi, pak tua itu menceritakan banyak kisah padanya hingga tanpa terasa waktu kian beranjak malam.
Merasa telah melaksanakan tugasnya dengan baik, Chen Yuzhi pamit dengan sopan.
"Adikku menunggu di rumah," katanya. "Dia pasti sangat khawatir."
"Sayang sekali. Kukira kita bisa bicara lebih lama lagi."
"Aku akan datang lagi untuk memeriksa perkembangan kesehatanmu."
"Tentu saja. Kau dokter muda yang mengagumkan dan sangat telaten. Sepertinya aku harus berterimakasih pada sepupuku. Kudengar dia juga sakit, ya?"
Chen Yuzhi mengangguk. "Nyonya Wu datang ke klinikku tadi siang."
Pak tua itu mengangguk-angguk. Dia tidak bisa menahan Chen Yuzhi lebih lama lagi. Akhirnya, setelah memberikan sejumlah besar uang pada Chen Yuzhi, ia membiarkan dokter muda itu pergi.
Syukurlah hujan sudah berhenti. Tanah becek dan berlumpur di beberapa bagian. Jalanan itu sepi dan cukup gelap. Chen Yuzhi menghela nafas panjang. Jarak rumah yang satu dengan lainnya saling berjauhan, bahkan terpisah oleh taman-taman luas terbengkalai dan gelap di malam hari. Dia berjalan sendirian menembus hawa dingin. Gemerisik ranting dan dedaunan meningkahi gemuruh aliran sungai di belakang sana. Serangga malam berderik di kegelapan semak belukar.
Saat itulah, Chen Yuzhi mendengar teriakan yang samar-samar.
Seketika dia berhenti, lantas memutar tubuhnya. Suara itu berasal dari tepi sungai jauh di belakang sana. Ada kelap kelip cahaya dari lampu jalan yang dipasang dalam jarak berjauhan. Kawasan itu tidak ramai, juga tidak seram. Hanya sepi dan menyimpan banyak kemungkinan. Jeritan kesakitan lagi. Kedengarannya suara laki-laki.
Chen Yuzhi mengerutkan kening.
Apa yang terjadi?
โจโจโจ
To be continued
Please vote and comment ๐
Teman-teman, maaf banget yaa kalau story ini slow update. Slow banget malahan. Sepertinya aku akan melakukan beberapa revisi. Selain itu, ada kesibukan lain juga jadi aku jarang nengok lapak ini. Tapi aku pasti akan lanjutin semua story di sini. Biar lambat asal tamat.
Bener, kan?
Bagi pecinta couple ini, see you soon ๐๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro