Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

はち

Halo halo!
Selamat hari minggu dan kembali pada senin yang menyebalkan :')
Semoga masi semangat trus yaa!
Kemarin ga sempet pub!
Mian ~

Happy reading!

.

.

.

.

.

Kasian Ice :') jadi sadboy doi

.

.

.

.

.



Suasana kamar yang tenang dengan aroma khas kayu manis favoritnya. Penerangan yang remang-remang, menghiasi keheningan di malam yang dingin itu.

Tubuhnya terdiam kaku di dalam selimutnya. Matanya yang sedikit membuka nampak bengkak karena menangis sedari tadi. Ia sama sekali tak bertenaga dan hanya berbaring disana selama berjam jam lamanya.

Tok tok tok.

Ia hanya diam saja begitu mendengar ketukan pintu itu, alih-alih membukakan, ia semakin menggulung dirinya didalam selimut tebal seperti kepompong.

"ibu masuk ya, Ice.."

Ice tak menjawab, karena itu sang ibu langsung masuk kedalam kamar dengan segelas air dan bungkusan obat di tangannya. Wajahnya pun berubah kecewa menyadari bahwa makanan yang ia bawakan tadi sore sama sekali belum tersentuh di atas meja.

"Ice.. kok makanannya gak dimakan sih? kamu sejak pulang sekolah belum keluar kamar loh.. ada apa?"

Ibu bertanya khawatir, ia mendudukan dirinya di atas kasur Ice dan tangannya merambah pada selimut Ice.

"udah saatnya kamu minum obat, sayang.. ayo dong, anak mama kan hebat?"

Ia menyibak selimut yang menutupi tubuh Ice hingga selimut itu terbuka setengahnya. Nampaklah Ice yang masih berpakaian seragam, perlahan mengangkat tubuhnya bangun.

Rambutnya acak-acakan dan wajahnya kacau, kedua mata bengkak dan hidung yang memerah seperti baru menangis. Ibu yang melihatnya pun khawatir dibuatnya.

"mah..." Ice berucap lemah, kepalanya tertunduk.

"Ice..udah putus sama Hali ma.." sambungnya.

Ibu yang mendengarnya nampak terkejut, setaunya Ice dan Halilintar baru jadian beberapa waktu lalu. Dan ia tau bagaimana bahagianya Ice saat pertama jadian dengan sahabatnya itu. Bagaimana hubungan mereka kandas begitu cepat?

"Ternyata selama ini... Hali nggak suka sama Ice.. Hali sukanya sama orang lain.."

Suara Ice gemetaran berusaha menahan tangis yang lagi-lagi tak dapat ditahannya. Sang ibu langsung menarik Ice kedalam pelukannya, membiarkan sang anak menangis di pundaknya.

"Ice sayang Hali bu.. Ice sayang dia.."

Suara tangisan pilu Ice membuat sang ibu tak dapat menahan airmatanya. Ia mendekap erat anaknya, sesekali mengusap punggungnya dan memberikan kecupan-kecupan kecil pada pelipisnya untuk menenangkannya.

"selama ini... Ice s-sayang banget sama Hali.. Ice udah lakuin apapun..." paraunya.

"apa Ice..memang gak pantas bahagia ya..mah"

Sang ibu menggeleng lalu menangkup kedua pipi Ice, menghapus airmatanya dengan jari-jarinya lalu menatapnya lekat.

"Jangan bilang begitu.. semua orang, pantas bahagia..sayang" Ibu berucap lembut.

Namun kata-kata sang ibu malah membuat Ice menangis lebih kencang. Kesedihan dan rasa perih di hatinya benar-benar mendominasi kondisinya saat ini. Ia bahkan tak menghiraukan darah segar yang mulai menetes pada kasur dibawahnya.

Ibu yang melihatnya pun panik, dengan segera ia mengambil kotak tisu dan membantu Ice menghentikan mimisannya.

Hal ini bukanlah hal yang aneh terjadi.

Hampir setiap hari Ice mengalami mimisan di waktu-waktu tak terduga. Namun ini adalah yang pertama kalinya ia mimisan lebih dari dua kali dalam sehari, menandakan bahwa hari ini benar-benar hari yang melelahkan baginya.

"I-ibu ambilkan tisu lagi ya.." ibu berkata dengan suara yang gemetaran, melihat darah segar yang tak henti-hentinya mengalir dari hidung anaknya. Namun Ice langsung mencegahnya dan memegang tangan ibunya.

"a-aku baik baik aja.."

"jangan bercanda!"

Ice terkejut saat ibu tiba-tiba meninggikan suaranya, ia pun pergi tanpa pamit untuk mengambil lebih banyak tisu dengan netra berkaca kaca.

Di kamar, Ice mati-matian berusaha menahan darahnya yang kini sudah mengotori kasurnya sendiri. Pandangannya memburam saat rasa pusing menyerang kepalanya, ia pasti sudah kehilangan terlalu banyak darah.

Samar samar, suara dering ponsel mendengung di telinganya. Entah apa yang mendorongnya, ia tetap berusaha meraih ponsel di atas meja walaupun setiap kali ia bergerak, kepalanya terasa seperti dibenturkan berkali kali ke dinding.

Meskipun buram, ia masih dapat membaca nama yang tertera pada layar ponselnya. Sesaat, ia ragu untuk mengangkatnya hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjawabnya.

"halo? Ice?"

"h-halo..."

"Ice..? suaramu terdengar agak berbeda? kamu nggak papa?"

"aku.. aku gak papa.." jawab Ice berusaha setenang mungkin, sesekali ia meringis menahan sakit di kepalanya.

"ada yang mau kubicarakan.. kamu bisa ke rumahku nggak?"

Hati Ice berdenyut, sakit sekali.. ia sudah tau apa yang akan dikatakan Halilintar.. tapi mendengar suaranya membuat hatinya semakin sakit.

"maaf.. h-hari ini..nggak bisa" jawab Ice, sedikit terkejut karena suaranya yang terbata.

"eh? kenapa? kamu masih latihan ya?"

Netra Ice membelalak begitu sakit kepala yang teramat sangat menyerang kepalanya. Ponsel yang dipegangnya dibiarkan terjatuh begitu saja. Ia kini meremas kuat rambutnya, berusaha menahan diri untuk tidak berteriak.

"Ice? Ice? kok kamu nggak jawab.. Ice.. kamu masih disana?"

Tangan Ice yang gemetaran langsung mendorong ponsel itu hingga terjatuh dari kasur. Ia lebih baik mati daripada harus memperdengarkan suara teriakan kesakitannya pada orang yang ia sayangi.

"Ice? Kamu sibuk banget ya?"

"...."

"Kalo gitu..nanti aku telpon lagi aja ya.."

"...."

"bye bye"

Tuut tuut

Begitu sambungan telepon dimatikan, Ice langsung mengeluarkan jeritan yang sedari tadi ditahannya. Rasa sakit dari kepalanya dan hatinya bercampur menjadi satu , menyiksanya dengan buruk.

Ibu yang mendengar jeritan Ice pun berlari masuk dan memeluk sosok Ice yang terlihat kesakitan. Sambil menangis, ibu membisikan kata kata penenang untuk menenangkan anaknya.

"ma..sakit.." tangis Ice tertahan.

"mama tau sayang... mama tau.." sang ibu menggumam sedih sambil terus mengusap lembut kepala Ice.

Tangan ibu kemudian beralih pada laci kecil di sebelah kasur Ice, mengambil sebuah kotak kaleng. Di dalamnya, terdapat beberapa botol obat dan jarum suntik sebagai media untuk menyalurkan obat itu kedalam tubuh.

Itu sebenarnya adalah obat nyeri yang diberikan dokter. Dimana kondisi pasien terkadang mengalami sakit yang tak tertahankan, obat itu dapat disuntikan dalam situasi darurat.

Sebenarnya ibu tak terlalu setuju dengan penggunaan obat nyeri yang memiliki efek samping dapat merusak organ yang lebih dalam, namun dalam situasi terdesak penggunaan obat itu tak dapat dihindari.

Contohnya seperti hari ini.

Sang ibu berusaha keras untuk menyuntikan obat itu pada lengan anaknya yang terus menggeliat kesakitan. Dan setelah obat itu berhasil disuntikan, tubuh Ice yang gemetaran pun mulai tenang. Rasa sakit di kepalanya pun perlahan memudar dan berganti dengan rasa kantuk.

Wajar saja, karena obat nyeri ini juga merangkap sebagai anestesi untuk menaruh pasien dalam keadaan tidur.

Tubuh Ice yang semakin memberat pun dituntun sang ibu untuk berbaring di balik selimutnya. Kini kedua matanya telah menutup sepenuhnya namun tangisan sang ibu masih belum berhenti. Hatinya hancur melihat anak semata wayangnya harus menderita dari waktu ke waktu.


'ya Tuhan.. aku hanya ingin melihat anakku bahagia.. apa memang tidak ada kebahagiaan tersisa untuknya di sisa hidupnya?'













❄❄❄












"alaa..kenapa kamu nggak mau main kerumah aku?"

Di depan laptopnya, Halilintar tengah tertawa menatap layar yang menampilkan wajah Solar yang tengah ngambek.

Ia dan Solar tengah melakukan panggilan video 'skypo' dimana mereka bisa melihat wajah masing masing. Padahal baru satu atau dua jam mereka berpisah, namun Solar sudah mengajak Halilintar untuk melakukan panggilan video. Rindu katanya.

"Pfft- jangan bawel. Gak mau ya tetep gak mau" jawabnya.

"hadehh kenapaa?? aku jamin kamu nyaman loh disini"

"nggak! rumah orang kaya membuat perutku mual- kenapa nggak kamu aja yang kesini?" Halilintar bertanya balik.

"rumah kamu jauh- dan gak ada yang anterin aku.." suara Solar terdengar sendu.

"bener bener tuan muda kamu ya.. mau keluar aja harus dianterin?" Halilintar mendengus tak habis pikir.

"yah.. mau gimana.. mamaku yang suruh" kekeh Solar.

Halilintar geleng geleng tanpa melepas pandangannya dari Solar. Ia refleks tersenyum melihat wajah orang diseberangnya, membuatnya semakin yakin bahwa ia memang menyukai sosok berkacamata visor itu.

"yaudah deh..kapan kapan aku main kerumah kamu" ucap Halilintar akhirnya.

Wajah Solar langsung berbinar mendengarnya "beneran??"

Halilintar mengangguk kecil "tapi- kamu harus anterin aku balik. Karena aku pasti nyasar nanti"

"osiappp boss!" Solar berseru lantang "gak mungkin Solar light yang ganteng ini ngebiarin pacar kesayangan pulang sendiri.. nanti diculik kan gawat"

Merotasikan bola matanya, Halilintar mendengus "siapa juga yang mau culik aku.."

"ehhh jangan salah! pacarnya Solar light kan kelewatan imutnya- pasti banyak yang klepek klepek nanti!"

"helehh- mana ada!"

"adalah! kalau nggak..gimana bisa aku klepek klepek liat kamu??"

Wajah Halilintar langsung memerah mendengar gombalan Solar, ia pun menyembunyikannya dengan telapak tangan. Ia tak tau kenapa namun mendengar sedikit pujian dari sang pacar membuatnya sangat malu hingga tak bisa berkata kata.

Oh ya.. ngomong ngomong soal pacar.

Halilintar tiba tiba teringat akan Ice.

Ia menghubunginya tadi untuk mengajaknya berbicara , namun Ice terdengar tidak seperti biasanya.

Jika ditanya berbicara tentang apa.. Halilintar bermaksud untuk mengakhiri hubungannya dengan Ice sebelum mereka melangkah terlalu jauh.

Tentu saja, mengakhiri dengan cara baik baik karena ia tak ingin ada rasa sakit diantara kedua belah pihak.

Dan apakah hubungan mereka bisa diakhiri dengan baik-baik? tak ada yang tau..

Namun Ice menolak untuk datang ke rumahnya, padahal biasanya ia akan datang tanpa disuruh. Dan entah kenapa suara Ice terdengar buru-buru, mungkin ia sedang sibuk dengan latihannya. Sudah beberapa hari ia begitu.

Tapi entah kenapa panggilan telepon terakhirnya dengan Ice memunculkan rasa penasaran dalam dirinya.

Masa sih Ice sampai sesibuk itu hingga tak bisa meluangkan waktunya sedikit saja? rasanya sulit dipercaya..





"Hali.."

"Hey sayang!"

"ah-oh- a-apa??" Halilintar tersentak, tersadar dari lamunannya.

"ish- kamu kok ngelamun sih?? gak kemasukan kan??"

"kemasukan ndasmu!" cetus Halilintar "nggak- aku kepikiran soal Ice aja tadi.."

"Ice?"

"iya.. tadi aku telfon dia..tapi dia rasanya gak kayak biasanya..nadanya lesu, suaranya terburu buru.. aku jadi- eh?"

Halilintar berhenti bicara menyadari Solar yang kini menatapnya dengan mimik tak suka.

"jangan ngomongin cowok lain pas lagi sama aku!" ia tiba-tiba meninggikan suaranya , Halilintar pun terkejut dibuatnya.

"e-eh.."

"aku kan cemburu!"

Mendengarnya, Halilintar hampir tertawa. Orang ini blak blak-an sekali rupanya.

"iya.. maaf deh.. aku gak ulangin"

Solar di seberang tersenyum, ia menyentuhkan jarinya ke layar dan membuat gerakan seakan tengah mengelus kepala Halilintar.

"bagus.. pacarnya Solar Light.." pujinya.

"ah- mamaku pulang.. aku harus ke luar dulu. Nanti aku telepon lagi ya?"

Halilintar mengangguk, lalu melambai pada layar di depannya "bye bye"

"bye bye, love you"

"love you too"



Biip.

Panggilan telepon pun ditutup. Halilintar langsung menutup laptopnya dan menaruhnya di atas meja, ia lalu merebahkan dirinya di kasur.

Dirinya tersenyum membayangkan kejadian tadi siang, dimana Halilintar dan Solar akhirnya dapat mengungkapkan perasaan masing-masing dan menjalin hubungan. Namun, ia masih berstatus sebagai pacar dari sahabatnya sendiri, sehingga ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya terhadap Ice.

'Apa persahabatanku dengan Ice masih bisa berjalan lancar setelah ini ya..'

Ia merasa bodoh memikirkan hal semacam itu padahal ia sudah tau jawabannya.

Mengumpulkan keberaniannya, ia pun memutuskan untuk kembali menghubungi Ice. Bagaimanapun juga Ice adalah sahabat yang paling ia sayangi, dan kini ia menyadari kesalahannya yang seenaknya menerima pernyataan cintanya tanpa berpikir lebih lanjut.

Sambungan telepon pun dilakukan, dan terdengar dering ponsel dari seberang yang menandakan bahwa ponsel Ice masih menyala. Namun panggilan itu tidak diangkat hingga nada dering berakhir.

Aneh.. biasanya Ice tidak pernah mengabaikan teleponnya lebih dari tiga kali walaupun ia sedang sibuk.

Firasat buruk mulai menghampirinya. Ia mencoba menghubungi sekali lagi dan hasilnya sama. Karena itu, tanpa pikir panjang ia langsung bergegas mengambil jaketnya dan pergi ke rumah Ice.














***














Perjalanan ke rumah Ice tidak jauh, hanya sekitar dua puluh menit jalan kaki.

Sebenarnya jika menggunakan bus hanya 5 menit, namun salju deras membuat bus berhenti beroperasi untuk sementara sehingga ia pun terpaksa jalan kaki menerobos salju.

Sesampainya di rumah Ice, rumah itu nampak sepi. Ia tau bahwa Ice hanya tinggal berdua dengan ibunya, dan biasanya saat suasana hampir malam akan terdengar hiruk pikuk canda tawa Ice dan sang ibu yang tengah mencuci piring sehabis makan malam.

Sedekat itu hubungan ibu dan anak yang mereka miliki hingga Halilintar sebagai sahabat pun iri setengah mati melihatnya.

Dengan ragu, Halilintar mengetuk pintu rumah Ice.

Tok tok tok.

....

Ketukan pertama tidak ada respon, karena itu Halilintar pun mengetuk lagi dengan lebih keras.

Tok tok tok!

Wajahnya berbinar saat mendengar langkah kaki datang dari dalam rumah, semakin mendekat kearah pintu.

Ia pun membersihkan salju-salju di tubuhnya dan menunggu pintu dibukakan.

Pintu pun terbuka , menampilkan Ibu dari Ice yang nampak terkejut dengan kehadiran Halilintar.

Ini bukanlah kali pertama Halilintar bermain ke rumah Ice mengingat persahabatan mereka yang sudah sepuluh tahun lamanya. Bahkan Halilintar sudah menganggap ibu Ice seperti ibunya sendiri.

Namun ada yang aneh dengan reaksi sang Ibu saat bertemu mata dengan Halilintar.

Ia yang biasanya tersenyum kini terlihat sedih. Ia yang biasanya akan langsung menyambut dan memeluk Halilintar kini hanya diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Reaksi sang ibu membuat Halilintar semakin gelisah. Karena itu Halilintar pun memberanikan diri untuk buka suara.

"um..tante..? Ice nya ada..?" tanyanya.

Sang ibu hanya diam saja mendengar pertanyaan itu, sedetik kemudian tatapannya pada Halilintar berubah menjadi tatapan tajam.

"Untuk apa kamu mencarinya?"

Mendengar suara dingin Ibu membuat Halilintar meneguk ludah. Batinnya terus bertanya tanya apa yang terjadi, namun ia terlalu takut untuk berbicara.

"tante.. saya harus bicara dengan-"

"lebih baik kamu pulang , Halilintar" sang ibu memotong perkataannya.

"tapi tan, saya.."

"saya bilang pulang!" Ibu meninggikan suaranya, lalu langsung menutup pintu tanpa menunggu jawaban.

Halilintar hanya berdiri mematung disana, ia benar-benar shock mendengar bentakan dari sang ibu.

Selama ini, Ibu Ice yang ia kenal adalah sosok yang lemah lembut, penyayang dan penuh perhatian. Bahkan dengan anaknya sendiri, Ibu Ice tak pernah memarahi atau sekalipun membentaknya.

Halilintar kemudian memandangi ponselnya, netra-nya mulai berkaca kaca menyadari bahwa terakhir Ice membalas pesannya adalah pukul 12:10 siang. Dimana pada waktu itu, Halilintar tengah bersama Solar.

Ice.. dia tidak mungkin mendiamkan pesan selama itu. Halilintar tau betul bahwa Ice bukanlah orang seperti itu. Ia sudah bersahabat dengannya cukup lama untuk mengetahui sifat-sifat Ice.

Sekarang Halilintar benar benar merasa khawatir. Ditambah perlakuan sang ibu yang tidak biasa menjadikannya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tak beres.

Jari-jari Halilintar yang gemetaran pun mulai mengetikan pesan untuk dikirimkan pada Ice. Walaupun Ice belum membalas pesannya, namun ia yakin Ice akan membacanya saat ia punya waktu.






Ice..

Aku nggak tau kamu kenapa. Tapi yang jelas, aku rindu kamu. Aku khawatir kamu nggak membalas pesanku, aku khawatir kamu nggak akan teleponmu, aku khawatir karena kamu tidak menemuiku..

Kuharap kamu akan menemuiku , atau minimal membalas pesanku saat kamu membaca ini. Sampai kapanpun, kamu adalah salah satu orang yang paling kusayangi..

Kalau ada masalah, aku akan selalu siap jadi pendengar untukmu.

-tertanda, Halilintar-








to be continued.


How? 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro