じゅうろく
Tiga hari berlalu sudah sejak kepergian Solar.
Pagi ini, Ice akhirnya diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Bukan tanpa alasan, karena menurut dokter akan lebih baik jika Ice mendapat perawatan dari rumah untuk beberapa waktu sebelum dijalankannya operasi donor sumsum tulang belakang yang akan dijalaninya tak lama lagi.
Ice diantar pulang oleh ibunya, namun yang berbeda..kali ini tidak ada Halilintar yang menemaninya. Ia tau, Halilintar bukannya tidak mau, namun dia tidak bisa. Keadaan mentalnya masih belum stabil sejak hari itu dan ia tidak ingin sahabatnya memaksakan diri.
Ice sendiri masih tidak jauh berbeda. Kesedihan di hatinya masih mendominasi saat ini, rasa sakit hati akan kehilangan saudaranya itu seakan tidak bisa hilang maupun memudar begitu saja. Meskipun mau tak mau ia harus menerima fakta bahwa saudaranya itu benar benar pergi ditelan bumi.
Tidak akan ada lagi sosok narsis yang akan membuat lawakan-lawakan lucu, yang menyemangatinya di kala lelah dan sakit, yang akan memperebutkan sosok petir merah bersamanya. Semuanya hilang begitu saja tanpa bekas.
Setibanya ia dirumah, Ice langsung masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Ia menatap nanar berbagai obat-obatan yang jumlahnya tak sedikit itu terletak di meja belajarnya. Merasa kesal dengan dirinya sendiri yang selemah itu hingga harus mengandalkan perawatan dan obat-obatan untuk bertahan hidup.
Merebahkan kepalanya di kasur, Ice menatap langit langit putih. Kemudian tangannya meraih ponsel yang ada di sakunya. Begitu ia menyalakan layar, ia tersenyum melihat gambarnya dan Solar yang sengaja ia atur menjadi wallpaper.
Wajahnya yang mirip dengan Solar membuatnya tertegun. Bagaimana ia bisa tidak sadar selama ini..
"hoi Ice! selfie yok!"
"apaan?? ngga ah- selfie aja sono berdua!"
"ehh yang ada kalian berdua! yang saudara kan kalian!"
"bener tuh Ice! ayo sini sini!"
"ihhh kagaa ah! mukaku pucet loh ini, kamu mau dikira selfie sama hantu??"
"heleh- hantu apa?? udah pokoknya ayo ambil gambar!"
Ckrek!
Sebuah selfie pun diambil. Saat mereka melihat hasilnya, senyum kedua saudara itu mengembang melihat gambar yang sebenarnya tak buruk itu. Malahan senyum keduanya nampak berseri dan membuat mereka terlihat semakin mirip satu sama lain.
"Ice! mana hp mu??"
"napa?"
"pinjem!"
Ice hanya mengeryit heran namun sedetik kemudian ia menyerahkan ponselnya pada Solar. Solar terlihat mengutak atik ponsel Ice bersamaan dengan miliknya kemudian ia menunjukannya pada Ice.
"tadaa!"
Ice membelalak "kenapa kau ubah wallpaperku heh??"
Solar terkekeh "yaa biar lucu lah! sekarang kita punya wallpaper yang sama!"
"dihh amit amit samaan sama kamu! pergi pergi hush!" geram Ice sembari berusaha mengambil ponselnya kembali, namun Solar tergelak melihat wajah Ice yang dianggapnya lucu itu.
"nggak! aku gak akan pergi! aku akan selamanya disini dan menggentayangimuu huhuhu"
Ice kini sadar, bahwa Solar tidak menepati janjinya saat itu. Pada kenyataannya ia pergi, tidak ada lagi bayang bayang saudaranya itu di hari-harinya yang tersisa.
Ice tidak suka ada orang yang menangis di depannya, lantas kenapa ia menangis saat ini?
Menghela nafas kasar, Ice mengusap setitik airmata yang terkumpul pada netra birunya itu. Ia kemudian bangkit dan duduk di kasurnya. Seulas senyum nampak di wajahnya.
"hari ini terakhir aku akan menangisimu, Solar.." gumamnya "aku kangen kamu.."
Sunyi..
Ice berpikir bahwa perasaannya jauh lebih tenang sekarang. Tapi pada kenyataannya, bahunya malah gemetaran karena menahan sesak. Sejauh itu kehadiran Solar berpengaruh dalam kehidupannya, dan sejauh itu ia merasa kehilangan.
Tangis yang ditahannya pun tumpah, airmatanya menetes netes membasahi pahanya. Ia merindukan Solar.. ia merindukan saudaranya.
Meskipun begitu, ia berjanji bahwa hari ini adalah hari terakhir ia menangisi saudaranya itu. Kini Solar pergi, ia harus menjalani hari-harinya tanpa kehadiran orang yang ia sayangi.
Seperti deja vu, kembali pada kehidupannya yang dahulu dimana hanya ada dirinya dan Halilintar.
Tapi..bisakah ia melakukan itu?
***
Hanya ungkapan tak berarti dari lubuk hatiku yang terdalam.
Solar Light.
Pertemuan awal denganmu tak menyenangkan. Namun semakin lama rasanya aku semakin hanyut dalam perasaan yang membuatku tak bisa lepas darimu.
Entah kemana lagi aku harus melangkah, rasanya semakin lebar saja luka yang tertoreh di hati.
Kita dipertemukan hati laksana dilanda kabut dalam kesedihan. Kebahagiaan yang selama ini kurasakan berubah menjadi luka yang mendalam.
Kepergianmu yang tanpa kabar itu begitu menyakitkan, entah sampai kapan aku dapat bertahan dalam kesunyian ini.
Cahayaku.. aku merindukanmu.
Di tengah curah salju lebat yang melanda kota Danville, Halilintar berjalan sendirian di taman dekat rumahnya.
Taman yang tidak terlihat karena tertutup bantalan salju. Ia duduk disana, di salah satu kursi kayu dimana ia pernah menemukan Solar duduk sendirian menunggu kedatangannya.
Jangan tanyakan mengapa dirinya yang mati-matian tak kuat dingin itu duduk sendirian di tengah hujan salju. Seluruh tubuhnya serasa mati rasa, rasa dingin tak lagi menyerangnya seperti biasanya. Padahal ia tengah kehilangan kehangatannya.
Untung saja tidak ada orang yang ada disana maupun lewat daerah itu. Kalau tidak, pasti mereka akan kabur melihat rupa Halilintar yang persis seperti mayat hidup.
Sudah hampir dua jam ia lalui hanya berdiam diri disana tanpa pergi kemanapun. Ia hanya diam, duduk, tanpa berbicara dan tanpa bergerak. Sudah persis seperti patung.
Taman yang menjadi saksi bisu dari terjalinnya cinta kedua insan itu, kini tidak berarti apa apa lagi. Semakin ia menatapnya, semakin ia dapat membayangkan bayangan dari kedua insan itu tengah tertawa dan saling mengejar.
Boneka salju yang mereka buat bersama pun rasanya sudah tidak ada artinya. Malahan kenangan kenangan itu membuat dada Halilintar sesak setengah mati.
"Hei Solar-"
"hm?"
"kau gak pernah cerita apa apa tentang keluargamu deh.."
Mendengar pertanyaan itu, Solar tertawa.
"memangnya kenapa kamu mau tau tentang keluargaku?"
"hmp- mau tau aja masa gak boleh? kita pacaran loh.. kan siapa tau keluargamu bakal jadi keluargaku juga" kekehnya.
"hmm..bener juga- tapi mau cerita darimana ya.. kan aku udah cerita soal papaku dan Ice.."
"papa kamu..memangnya beneran sejahat itu ya?" Halilintar bertanya ragu ragu.
Solar terkikik pelan "kenapa kamu mikir gitu?"
"yah, karena kamu nyeritain papa kamu itu.. seakan dia jahat banget. Dia cerai sama mama Ice, terus buang Ice dan mamanya, terus ngambil organ Ice tanpa persetujuan.. rasanya, dia kayak iblis.."
Mendengar itu, Solar pun tertawa. Namun kemudian ia menggeleng.
"papaku memang punya banyak sisi buruk sih. Aku masih belum bisa maafin dia karena semua kekejian yang dia lakuin, sama Ice..sama ibunya.. rasanya masih gak percaya papaku bisa sejahat itu. Tapi disamping itu semua, dia papa yang baik.. sayang sama aku dan mamaku.. terkadang aku berpikir kalau manusia memang diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan. Jadi sejahat apapun papaku, dia tetap aja papaku.."
Halilintar menghela nafas, lalu mengangguk.
"terus.. gimana kalau papamu itu gak setuju sama hubungan kita? apa kamu akan meninggalkan aku demi papamu, atau meninggalkan papamu demi aku?"
"semua itu biar Tuhan yang mengatur, Hal.. kenapa? kamu khawatir ya?" Solar mencolek lembut pipi sang kekasih.
"sedikit.." desahnya.
"aku kan..bukan siapa siapa. Aku nggak kaya, aku nggak pinter, muka juga pas pas an.. keluargamu kan sempurna, punya segalanya.. mana mungkin mau nerima anak kayak aku.." ujarnya.
"ga ada yang sempurna di dunia ini, Hal.." senyum Solar "kalau keluargaku sempurna, kami gak akan pernah punya masalah.. lagipula, aku yakin kok kalau keluargaku itu bukannya keluarga yang mandang materi..Kamu kan pacarku yang paling kusayang , ya gak mungkin lah aku bakal lepasin kamu gitu aja"
Halilintar pun tersenyum malu dan menyenderkan kepalanya pada pundak Solar disampingnya. Solar terkekeh pelan kemudian mengelus elus rambut sang kekasih.
"jangan tinggalin aku ya, Sol.. aku sayang banget sama kamu" lirih Halilintar.
"aku janji, itu gak akan pernah terjadi. Aku juga sayang banget sama kamu"
Janji..
Apanya yang tidak akan pernah terjadi? Ya.. janjimu yang tidak akan pernah kau tepati.
Kamu jahat, Solar. Apapun itu, kamu tau kalau aku disini mencintaimu. Aku butuh kamu..
Apakah cinta kita selama ini hanya segitu harganya dimatamu?
Bantalan salju yang putih itu ditatapnya dengan putus asa, disertai dengan cairan bening yang perlahan mulai mengalir membasahi kedua pipinya.
Bertanya tanya dalam benaknya, sampai kapan ia harus menangis seperti ini? Kenyataannya, Solar tidak akan kembali seberapa kalipun ia menangis dan membuang airmatanya. Tapi rasanya sulit sekali untuk berhenti.
Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hidupnya setelah kehilangan cahayanya? Hanya akan kembali hidup dengan hati yang redup, tanpa cahaya yang bisa melengkapi kehampaan itu.
Dalam kehampaan itu, getaran di sakunya membuatnya terenyuh. Tangannya yang kaku meraih ponsel dan hanya diam saja saat melihat nama yang muncul di layarnya.
Ia sejujurnya tak ingin berbicara dengan siapapun sekarang ini, namun.. tidak mungkin baginya untuk mendiamkan panggilan itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengangkatnya dan diam saja saat ponsel itu ia letakan di telinganya, menunggu sang lawan bicara memulai pembicaraan.
"Halo.."
Diam.
"kamu ada dimana..?"
"taman.." Halilintar menjawab lirih, nyaris berbisik.
"sampai kapan..kamu mau terus begini?"
Halilintar tak menjawab, hanya desahan lembut yang keluar dari bibirnya yang gemetar karena dingin.
"kamu tau.. kita tak bisa selamanya begini.."
"aku tau kok.."
"kehilangan bukan akhir dari segalanya.."
"tapi kehilangan kalian itu akhir dari segalanya.."
Keduanya terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti panggilan itu selama beberapa waktu lamanya.
"aku menyayanginya.."
"aku juga.."
"Tidakkah kau pikir kita harus merelakannya jika kita menyayanginya?"
"Seandainya semudah itu.."
Suasana kembali menghening. Di dalam kesedihan yang meliputi, keduanya nampak enggan untuk berbicara seperti biasanya. Namun kemudian, Halilintar buka suara.
"Ice.."
"Ya?"
"aku minta maaf.." Halilintar terisak.
Ice tidak menjawab, bahkan tak menanyakan untuk apa permintaan maaf itu dilontarkan. Ia hanya membiarkan Halilintar terisak di seberang sana tanpa berkata apa apa.
"Kapan..operasimu akan dilakukan?"
"Minggu depan.." jawabnya.
Memandangi nafasnya yang memutih, setitik airmata kembali jatuh di pipinya yang memucat.
"Boleh aku minta waktumu sehari?"
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro