じゅうはち (END)
Pemandangan klasik.
Kota yang polos.
Hari hari yang membosankan.
Sebenarnya aku akan pergi kemana?
Keputusan besar yang diambil oleh Ice mengejutkan dokter yang memeriksanya. Berpuluh puluh tahun dokter mengabdi di rumah sakit ini, Ice adalah orang pertama yang membuat keputusan seperti ini.
Ice, ia sudah lama menyadari bahwa tindakan penyembuhan yang dilakukan rumah sakit tidak membuahkan hasil positif. Karena itulah, tepat di hari kelulusannya, Ice meminta kepada dokter dan sang ibu untuk menghentikan semuanya.
Selang selang medis yang selama ini membantu Ice untuk bertahan pun dilepaskan. Kemoterapi dihentikan sepenuhnya. Obat-obatan pun tak lagi diminumnya. Dan Ice hanya ingin pulang ke rumahnya, dan hidup dengan normal seperti dulu.
Keputusan itu tentunya sangat berat bagi sang ibu untuk menerimanya, mengingat Ice adalah satu-satunya harta dalam hidupnya yang telah ia jaga sejak kecil. Namun lebih dari siapapun, ia tau bagaimana anaknya itu telah berjuang selama ini dan bagaimana beratnya beban yang telah ia tanggung selama bertahun tahun.
Halilintar, awalnya ia sangat keberatan dan bahkan sempat memohon pada Ice untuk tidak meminta hal yang seperti itu. Ia tidak siap untuk menerima kenyataan bahwa Ice memilih untuk menyerahkan hidupnya, karena itu ia memilih untuk lari dari tempat itu begitu Ice menyampaikan kabar mengejutkan itu.
"aku berjanji bahwa aku akan menjaga ibu saat aku besar.. tapi maaf.. kini aku tidak bisa melakukannya.
Aku tau waktuku tak banyak.. karena itu aku hanya ingin hidup normal seperti dulu.
Menghabiskan waktu bersama ibu dirumah.. makan masakan ibu.. menonton televisi bersama ibu.. duduk di kebun seperti yang selalu kita lakukan saat sore.. dan bermain bersama sahabatku, Halilintar.
Semua hal itu membuatku merasa jauh lebih baik.. aku bahagia dengan kalian yang mendukungku hingga akhir"
Begitu yang dikatakan Ice, sebelum dokter akhirnya menyetujui keputusan Ice yang terbilang nekat itu. Akhirnya, semuanya dilakukan sesuai dengan apa yang diinginkan Ice. Sang ibu pun menyetujuinya dan membawanya pulang.
Ketika mereka tiba di rumah, Ibu mendudukan Ice pada sofa dan menempatkan dirinya di samping sang anak. Ia menyalakan televisi dan menyetel acara kesukaan Ice, acara dokumenter beruang kutub dan penguin yang selalu dinikmatinya sejak kecil.
Mereka pun menonton bersama, ibu berusaha untuk tersenyum dan tertawa ketika melihat gambaran diri Ice pada layar televisi. Ice ikut tersenyum melihatnya.
"ibu akan melakukan yang terbaik, dan membantu Ice untuk kembali hidup normal seperti dulu..bersama.." ibu berkata dengan senyum pahit, yang kemudian diangguki oleh Ice.
"ah- Ice mau makan apa? sudah waktunya membuat makan malam"
Kepada Ibu, yang sangat aku cintai.
Mimpiku saat kecil adalah untuk menjagamu, untuk hidup bahagia bersamamu.
Namun aku tidak bisa melakukan itu sekarang.. aku minta maaf...
"sup kacang merah.." Ice menjawab lirih, memandangi sang ibu yang terlihat begitu cantik dan menawan dengan senyumnya.
"yosh! kalau gitu ibu akan membuat sup kacang merah paling enak untuk anak ibu!"
Menatap punggung sang ibu yang berjalan menjauh, netra biru itu berkaca-kaca.
Ibu..kamu harus terus hidup dalam kebahagiaan, dalam masa depan yang panjang..
Aku terlalu banyak membuat masalah.. tapi aku sangat berterima kasih karena ibu tak pernah berhenti menjagaku.
Ibu.. aku berharap ibu akan selalu dikelilingi oleh orang orang baik, dan kesehatan yang baik.
Sorenya, sesaat sebelum makan malam. Ibu membawa Ice untuk duduk di halaman belakang rumahnya, seperti yang selalu mereka lakukan.
Memandangi salju yang mulai menghilang , batang-batang pohon besar yang mulai menampakan daunnya, dihiasi dengan langit berwarna oranye yang membuat siapapun akan terpukau melihatnya.
Menikmati sup kacang merah hangat buatan ibu selalu menjadi hal yang paling disukai oleh Ice.
Sup kacang merah yang manis, suasana ruang makan yang hangat, dan senyuman Ibu yang mewarnai suasana makan malam keluarga kecil itu.
Malam pun tiba.
Ice kembali ke kamarnya untuk beristirahat, berbaring di kasurnya yang selalu menjadi nostalgia. Menutup matanya setelah merasakan kecupan hangat ibu di dahinya.
Hari kemarin berakhir seperti biasanya.
Hari ini juga berakhir seperti biasanya.
Aku berharap hari esok akan datang seperti biasanya.
Pagi hari yang cerah diawali dengan kedatangan Halilintar pada kediaman Ice.
Halilintar datang dengan wajah berseri, dan sang ibu pun dengan gembira menyambut kedatangan Halilintar.
Setelah perdebatan panjang dengan dirinya sendiri, Halilintar memutuskan untuk tidak lagi bersedih. Dan ia akan membantu Ice untuk kembali menjalani hidup yang normal, seperti dulu.
Mereka pun menikmati sarapan dengan gembira, Ice duduk di sebelah Halilintar dan keduanya berseberangan dengan ibu Ice.
Halilintar dan Ibu Ice mengobrol, keduanya tersenyum tulus pada Ice yang hanya tersenyum memandangi kedua orang itu.
Karena cuaca yang berangsur mulai menghangat, Ibu Ice pun mengusulkan untuk mereka bertiga pergi ke taman hari itu.
Dan disinilah mereka, duduk di sebuah kursi panjang dimana Halilintar dan Ice sering duduk bersama untuk mengobrol dan menikmati pemandangan.
Taman mulai ramai hari itu, karena curah salju yang mereda orang banyak pergi kesana untuk berjalan jalan dan menghabiskan waktu bersama.
Memandangi keramaian itu, dan suasana taman yang terasa seperti nostalgia membuat Ice tersenyum. Wajah pucatnya menoleh kesana kemari, kemudian memandangi awan yang terlihat begitu indah.
Di kedua sisinya, Ibu Ice dan Halilintar masing-masing menggengam tangannya. Turut menikmati pemandangan bersama dengan sosok yang mereka cintai itu.
Halilintar, sahabatku..
Selama ini kamu begitu baik terhadapku. Rasanya aku sama sekali tak bisa membalasnya.
Maafkan aku..
Ice tersenyum simpul lalu menoleh pada Halilintar yang tengah bersender di pundaknya. Ia pun turut menutup matanya dan menyenderkan kepalanya pada Halilintar.
Aku harus berterima kasih padamu.. dan Solar.
Karena kalian, aku bisa hidup sedikit lebih lama. Aku bisa memiliki semangat untuk menjalani hidup sedikit lebih panjang.
Itu sudah lebih dari cukup untukku.
Solar, saudaraku. Dan kamu..sahabatku. Kalian adalah yang terbaik.
Sepulangnya mereka dari sana, hari sudah cukup sore.
Ibu menyiapkan makan malam, sedangkan Halilintar kini duduk bersama dengan Ice di halaman belakang rumah.
Duduk berdampingan satu sama lain, dan tangan saling menggengam satu sama lain.
Mereka hanya duduk disana tanpa kata-kata, memandangi senja yang sunyi di hari itu.
"Ice.."
Ice hanya meresponnya dengan gumaman, kemudian Halilintar lanjut berbicara sambil terus menatap langit.
"aku minta maaf ya.." sambungnya.
"aku yang egois.. aku yang jahat.. aku yang udah terlalu banyak nyakitin kamu. Selama ini.. rasanya hanya kamu yang selalu berjuang , dan aku disini hanya menjadi benalu.."
Halilintar berusaha agar suaranya tidak terdengar gemetar, walaupun hal itu sudah terlambat. Kesedihan yang ia berusaha sembunyikan, tak bisa lagi ia bendung melihat wajah Ice yang begitu tenang dibalik rasa sakitnya.
"kamu nggak jahat.." Ice menjawab lirih.
"aku bahagia.. aku dipertemukan dengan orang seperti kamu.. kamu sahabat terbaikku selamanya.." lirihnya lagi, suaranya nyaris tak terdengar saking lemahnya ia berbicara ditengah tengah nafasnya.
Halilintar menggeleng pelan, airmata yang ditahannya akhirnya meleleh perlahan lahan dan membasahi pipinya.
"aku nggak pantes, Ice... aku nggak pantes disebut begitu.." ia terisak kecil "aku selalu nyakitin kamu.."
Mendengar itu, Ice pun menggeleng. Ia kemudian menutup kedua matanya, senyuman masih tak pudar dari bibir pucatnya.
"kamu sahabatku..yang terbaik.." ia berkata lagi "aku sayang kamu.."
Halilintar langsung buru buru menyeka airmatanya yang mengalir deras. Tidak, ia sudah memutuskan bahwa ia tidak akan menangis, ia tidak akan sedih.
Ia tidak ingin lagi menangis di hadapan Ice. Tidak ingin merusak momen berharga ini.
"l-langitnya bagus banget ya" Halilintar mengalihkan pembicaraan, kembali menatap langit dengan senyum yang ia paksakan.
"kamu inget kan.. kita menyaksikan salju pertama bersama sama.. dan sekarang, kita menyaksikan salju terakhir juga bersama sama.." ucap Halilintar.
Ice mengangguk kecil.
Kemudian Ice menyenderkan kepalanya di pundak Halilintar, tanpa mengatakan apapun. Saat Halilintar merasakannya, ia hanya tersenyum kecil.
"kamu ngantuk?"
Ice meresponnya dengan gumaman kecil.
"gak papa.. kamu boleh tidur, di pundakku kok.."
Saat itu, Halilintar sudah tau apa yang terjadi selanjutnya. Namun ia memilih untuk menyikapinya dengan setenang mungkin, walaupun tak dapat dipungkiri netra ruby miliknya itu sudah diisi oleh airmata yang siap tumpah kapan saja.
Sekian menit berlalu, mereka masih berdiam di posisi itu. Halilintar sendiri masih memandangi langit senja dalam diam, menghela nafas berkali kali berusaha mengontrol emosinya sendiri.
"kamu adalah anugerah yang dikasih Tuhan dalam hidupku..Ice.." Halilintar berucap kemudian.
"sejak dulu.. hanya kamu satu-satunya orang yang peduli denganku. Saat semua orang mencemooh aku yang nggak punya orang tua, cuma kamu yang nemenin aku.. disaat aku kesulitan dengan pelajaran..cuma kamu yang mau ajarin aku.. disaat aku kesepian, cuma kamu yang bersedia menjadi teman ngobrolku.."
"kamu itu sempurna.. bagi aku, kamu orang yang paling sempurna.." suara Halilintar mulai gemetaran, tangisnya pun pecah kemudian.
"aku bersyukur aku punya kamu di hidupku.. aku sayang kamu.." ungkapnya, parau.
Lalu Halilintar menoleh, memberikan sebuah kecupan hangat pada kepala Ice dengan tangis yang semakin menjadi saat merasakan wajah Ice yang perlahan lahan mulai mendingin.
Halilintar memeluk tubuhnya, menangis tersedu sedu. Saking hebatnya ia menangis hingga suaranya lenyap.
Dari dalam rumah, sang ibu menangis tak kalah keras. Menghampiri kedua insan itu kemudian memeluk tubuh Ice yang sudah tak bergerak.
Sekuat apapun anak itu, takdir tetap tak dapat ditolaknya. Dan kini, waktu baginya untuk beristirahat telah tiba.
"selamat malam, sahabatku.."
The end.
Wah akhirnya ya :3
Gimana endingnya?
Komen dong wokokoko
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro