じゅうなな
Aku merasa 2 chapter terakhir ini agak mengecewakan..
Tapi aku ga mau memperpanjang ini lagi
Semoga menikmati 🤣
Happy reading!
.
.
.
.
.
Halilintar dan Ice pergi ke festival musim dingin hari ini.
Ternyata ini maksud Halilintar yang meminta waktu Ice seharian kemarin. Setelah insiden kepergian Solar hari itu, ia memutuskan untuk berhenti bersedih dan menghabiskan waktu lebih banyak bersama sahabatnya seperti dulu.
Ice sendiri tentu saja dengan senang hati pergi bersama. Setelah mereka berdua berjuang untuk mendapatkan izin dari ibu Ice saat Halilintar datang kerumah Ice pagi tadi. Ditambah kondisi Ice yang cukup baik pagi ini, akhirnya ibu Ice mengizinkan juga.
Sudah lama rasanya mereka tidak pergi bersama. Mengingat mereka selalu pergi ke festival musim dingin setiap tahunnya.
Festival musim dingin sendiri memiliki arti spesial di hati keduanya. Sejak kecil, mereka selalu mendatangi festival hanya untuk membeli permen kacang merah yang hanya dijual di festival ini.
Seharian mereka menghabiskan waktu di festival itu. Menaiki beberapa wahana musim dingin yang tidak menyeramkan, mengingat kondisi Ice yang tidak sehat.
Sebenarnya ada wahana bernama 'spinning pang pang' atau wahana bundar yang akan berputar putar seperti komedi putar dan Halilintar sangat ingin naik. Tapi sayangnya, Ice tidak bisa naik itu. Sehingga Halilintar pun memilih untuk mengalah.
Akhirnya mereka memilih untuk bermain berbagai macam permainan yang disediakan di booth. Ice dan Halilintar kini tengah bermain mainan tembak tembakan yang berhadiah boneka kuda laut.
Halilintar yang memang tak pandai bermain pun tidak dapat menembak target, namun Ice dengan jago-nya dapat menembak semua target dan akhirnya memenangkan sebuah boneka kuda laut berukuran medium.
Wajah pucatnya berseri saat ia memberikan Halilintar boneka itu sebagai hadiah. Senyumnya mengembang lebar hingga kedua matanya menghilang. Halilintar tertegun melihatnya, tanpa sadar ia pun maju dan memberikan kecupan cepat pada pangkal hidung Ice.
Wajah keduanya pun memerah, termasuk Ice yang nampak terkejut dengan aksi tiba-tiba sahabatnya. Halilintar pun hanya tertawa kecil melihat reaksi Ice yang sangat menggemaskan.
Keduanya kembali berkeliling , kini mereka memutuskan untuk duduk di salah satu meja bundar setelah membeli beberapa makanan dan jajanan khas musim dingin di kota kecil itu. Seperti kue kacang merah, pancake kacang , mochi, dan masih banyak lagi. Semuanya adalah favorit keduanya.
Sembari mengobrol dan makan hasil jajanan itu, Halilintar memainkan boneka kuda laut hasil jerih payah Ice dalam permainan tadi. Ice yang melihatnya pun tertawa riang, ia lantas mengambil kamera dan mengabadikan momen itu.
Tidak hanya itu, mereka banyak mengabadikan foto-foto lain dan foto mereka berdua yang nampak riang dan bahagia. Tidak sedikitpun raut kesedihan di wajah keduanya.
Hari itu adalah hari yang begitu berharga bagi kedua sahabat itu.
Ya begitu berharga..
Hingga kondisi Ice yang mendadak drop setelah pulang dari festival itu.
Rupanya mereka terlalu asik bermain dan berjalan jalan hingga melupakan satu fakta bahwa Ice itu tidak sehat 100% seperti Halilintar.
Ia terserang hipotermia setelah pulang dari festival. Jari-jarinya dan bibirnya membiru karena dingin dan kelelahan yang membuatnya mimisan tanpa henti setibanya dirumah.
Ibu Ice langsung membawanya ke rumah sakit saat itu juga, Halilintar juga menemaninya. Di perjalanan, Halilintar tak bisa berhenti menangis dan menyalahkan dirinya sendiri yang telah membawa Ice seharian tanpa memperhatikan kesehatannya. Namun Ibu Ice menenangkannya, ia sama sekali tidak menyalahkan Halilintar karena ini bukan sepenuhnya kesalahannya.
Ketika tiba di rumah sakit, Ice langsung dibawa menuju ruang UGD sedangkan Halilintar dan Ibu Ice menunggu di luar ruangan dengan perasaan was was.
Halilintar sendiri sudah gemetaran menunggu dokter keluar ruangan, rasanya waktu begitu lambat hari itu. Bahkan satu menit pun terasa seperti satu jam.
Saat dokter keluar, kedua orang yang menunggu diluar ruangan nyaris pingsan saat mendengar berita bahwa Ice sedang dalam keadaan kritis. Dokter memberitahukan bahwa ia akan melakukan operasi malam itu juga untuk menyelamatkan Ice yang kini harapan hidupnya hanya tinggal 20%. Sang ibu pun menyetujuinya tanpa pikir panjang.
Apa yang terpenting saat ini hanyalah keselamatan dari Ice, anaknya.
Ruang operasi pun dibuka. Segala peralatan pun disiapkan. Para dokter dan suster kini sudah berada di ruang operasi dimana Ice sudah terlebih dahulu berada disana. Ruang operasi sangat tertutup sehingga Ibu Ice dan Halilintar tidak dapat melihat sedikitpun apa yang terjadi disana.
Halilintar sedari tadi hanya duduk dan berdoa tak henti, Ibu Ice pun tak kalah khawatirnya. Keduanya duduk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka, terisak tanpa suara meluapkan rasa sesak yang mengganjal saking cemasnya mereka dengan sosok yang tengah berjuang di dalam sana.
Ia tak menyangka bahwa hari yang seharusnya menjadi hari yang baik, malah menjadi hari dimana ia harus menyaksikan sahabatnya itu berjuang antara hidup dan mati. Ia hanya ingin melihat Ice bahagia, namun alih-alih malah membuatnya semakin menderita.
'aku memang tak pantas bersamamu sejak awal.. aku menyakitimu begitu banyak..' Halilintar membatin sedih.
'kumohon... setelah kehilangan Solar, aku tak ingin kehilanganmu lagi...' isaknya.
'Tuhan..tolong selamatkanlah dia'
***
Mungkin seperti kata orang kebanyakan.
Karma itu memang ada.
Dan kini, Halilintar mendapatkan karma atas keegoisannya sendiri.
Operasi yang dilakukan semalam nyatanya tidak membuahkan hasil seperti apa yang ia minta pada Tuhan.
Tuhan mendengarkannya, namun tidak memenuhi permintaannya. Ia sangat yakin bahwa kini Tuhan tengah menghukumnya atas apa yang telah ia lakukan.
Organ yang telah disiapkan untuk Ice ternyata ditolak mentah mentah oleh tubuh Ice yang sudah kelewat lemah itu. Tubuh Ice tidak bereaksi dengan baik dan malah kondisinya terancam akan memburuk jika dokter memaksakan untuk memasukan organ itu pada tubuh Ice.
Ibu Ice, tidak usah ditanya. Karena ia sudah dua kali pingsan akibat menangis sejak Ice keluar dari ruang operasi. Halilintar sendiri dapat merasakan dirinya hancur berkeping keping mendengar kabar itu.
Pada akhirnya, operasi pun dibatalkan dan dokter hanya bisa membiarkan kondisi Ice yang seperti itu dengan menyambungkan berbagai selang selang medis yang bisa membantu Ice bertahan.
Demi Tuhan, Halilintar rasanya tidak dapat menangis lagi. Selang-selang itu tersambung pada tubuh Ice yang terlihat tanpa nyawa. Ia menjadi jauh lebih lemah dari sebelumnya, persis seperti mayat yang dipaksa untuk bernafas dengan mengandalkan mesin-mesin rumah sakit.
Terkadang aku sendiri bertanya tanya.
Apa rasanya hidup normal seperti anak anak lainnya?
Hari kemarin berakhir seperti biasanya. Hari ini juga berakhir seperti biasanya.
Tapi akankah ada hari esok yang menanti seperti biasanya?
Penyakit ini merusak segala sesuatu yang berarti di hidupku.
100% menjadi 80% , 80% menjadi 40% , dan 40% menjadi 20% .
Apakah ada kesempatan untuk kembali pulih?
Segala yang kulakukan hanyalah beban bagi semua orang. Aku hanya membawa masalah.
Apakah ini waktunya untuk berhenti?
Bolehkah aku berhenti sekarang?
***
"Selamat semuanya!"
"Selamat atas kelulusannya!"
Musim dingin hampir berakhir. Hari kelulusan SMA pun tiba.
Hari ini, cuaca sudah mulai menghangat di kota Danville. Salju mulai memudar bersamaan dengan pohon yang mulai memunculkan daun-daunnya.
Hari kelulusan SMA Danville pun berjalan dengan lancar. Halilintar bersama warga kelasnya pun merayakan kelulusan mereka bersama sama.
Cikgu Kaizo pun tak luput dari perayaan itu. Mereka baru saja selesai dari sesi foto bersama sambil memegang gulungan dan bunga kelulusan.
Namun acara kelulusan ini terasa hambar tanpa kehadiran dua warga kelas yang sudah seperti keluarga. Apalagi salah satu dari mereka harus terbaring di rumah sakit.
Berdiri di bawah pohon seorang diri, Halilintar menatap pahit pada langit yang ada batasnya. Seluruh memorinya bersama sahabatnya itu terputar di kepalanya seperti rekaman video. Dan itu membuatnya sadar betapa egoisnya ia selama ini.
Hingga salah satu temannya tiba-tiba menepuk pundak Halilintar, dan netra ruby itu melebar setelah mendengar apa yang diucapkan temannya itu.
***
"Ice.. kamu harus makan.."
Ice menggeleng lemah. Ini sudah yang ketiga kalinya dalam hari ini sang Ibu berusaha untuk memberi Ice makanan.
Dokter berkata bahwa Ice harus makan walaupun sedikit karena ia harus minum obat. Namun beberapa hari belakangan ini, kondisi Ice benar benar drop hingga Ice bahkan enggan untuk membuka mulutnya.
Ia tidak berbicara, ia tidak tersenyum, ia tidak menangis, ia tidak bereaksi apapun bahkan ketika Halilintar berada di sisinya.
Ia seperti tubuh tanpa jiwa.
Namun ia kemudian tertegun saat tiba-tiba ruangannya dipenuhi oleh warga kelasnya yang masuk satu per satu.
Murid yang berjumlah dua puluh orang itu masuk satu per satu , masing-masing membawa setangkai bunga dan gulungan kelulusan.
Hingga tiba pada dua murid terakhir yang membawa dua tangkai bunga dan dua gulungan kelulusan. Mereka menyerahkan setangkai bunga dan juga sebuah gulungan itu pada Ice, yang masih terbaring lemah dilanda kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Halilintar pun masuk kedalam ruangan, sebuah selempang bertuliskan "Happy Graduation" kemudian ia meletakannya di pangkuan Ice. Ia lalu memakaikan selempang itu pada Ice, walaupun sedikit sulit karena posisi Ice yang tak bisa bangkit dari tempat tidurnya.
Ibu Ice pun masih berada di samping Ice, memegang sebelah tangan Ice yang pucat.
Keadaan di ruangan itu sempat hening karena seluruh warga kelas terenyuh melihat kondisi Ice yang benar-benar kurus. Ice memang kehilangan hampir setengah dari berat badannya sendiri dikarenakan konsumsi obat-obatan serta ketiadaan nafsu makan.
Namun kemudian, Halilintar yang berdiri di barisan terdepan pun berusaha untuk mengulas senyum ditengah wajahnya yang gemetaran menahan sendu. Lalu semua warga kelas pun mulai bernyanyi.
🎶Di antara cahaya putih, sebuah kuncup bertumbuh tunas di pegunungan.
Kau terbang mengarah ke ujung langit yang jauh
Langit biru yang tiada batas telah menggetarkan hatiku
Bagaikan seekor burung yang terbang menuju kebebasan tanpa berpaling
Kumpulkan keberanianmu pada sayapmu untuk menaiki angin harapan
Dan percayakan impianmu pada langit yang luas ini
Tiba-tiba saja saya mengingat kembali bunyi teman-teman yang kurindukan
Serta mengenai saat-saat diriku menangis akhir pertengkaran yang tidak berarti
Kegembiraan yang kurasakan di hati dan hari-hari yang kita lewati
Semua masa-masa itu sudah berlalu, tetapi kenangan itu akan kusimpan rapat-rapat
Kini, saatnya untuk berpisah dan percayailah masa depanmu yang akan dimulai
Dan percayailah kekuatan muda yang besar
Pada langit yang luas dan tiada batas ini🎶
(Sakura Gakuin - Tabidachi No Hi Ni)
Lagu Kelulusan pun diakhiri dengan wajah sumringah dari dua puluh warga kelas. Meskipun masing-masing hati mereka menangis, namun senyum di wajah mereka tetap dipertahankan.
Halilintar sendiri mati-matian menahan agar airmatanya tidak menetes. Sekali saja, ia ingin terlihat bahagia didepan sahabatnya itu di hari kelulusannya.
Hingga di akhir lagu pun, ekspresi Ice hanya menunjukan sedikit perubahan. Menunjukan seberapa keras ia berjuang untuk melawan rasa sakitnya, dan bahagianya karena dapat merasakan upacara kelulusan yang selalu diimpikannya di saat-saat terakhirnya.
Cikgu Kaizo yang berdiri di belakang murid-murid pun berjalan menuju Ice dan menyerahkan sebuah kertas karton yang terlihat seperti sertifikat. Ia kemudian tersenyum, menatap anak muridnya itu.
"Selamat kepada lulusan terbaik SMA Danville, Ice Frost. Dengan ini saya menyerahkan sertifikat kelulusan sebagai seorang lulusan terbaik"
Bibir pucat itu pun mulai tersenyum, netra biru itu menatap sayu pada satu per satu dari teman temannya, kemudian terakhir pada Halilintar.
Tatapannya pada Halilintar di hari itu begitu menyakitkan. Tanpa dapat menahannya lagi, tangis Halilintar dan seisi warga kelas pun pecah dan mereka mulai menangis pilu. Tak terkecuali cikgu Kaizo yang kini izin keluar karena tak ingin ketahuan menangis.
Ibu Ice pun ikut terisak melihat senyum sang anak di hari itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Senyum yang seakan sudah tak ada lagi itu diperlihatkan pada teman-temannya sebelum mereka berpisah untuk selamanya.
Tak ada kenangan yang lebih indah daripada itu.
"Ibu bangga dengan anak ibu.." ibu Ice berkata dengan gemetar, tangannya mengelus lembut rambut Ice.
Ice, tentu saja tak menjawab. Namun ia merespon dengan sebuah anggukan kecil, dan senyum yang masih tidak hilang dari wajah pucatnya yang terlihat manis.
"aku juga.. kami semua..bangga sama kamu Ice.. kami bangga punya kamu.." ujar Halilintar, yang diangguki oleh dua puluh orang lainnya.
"ibu bakal beliin apa aja.. apa aja yang Ice mau.. Ice udah jadi anak yang baik..anak yang pinter..."
Suara Ibu Ice kian gemetar saat ia melanjutkan kata-katanya, senyumnya ia gunakan untuk menahan airmatanya agar tidak keluar.
"Ice..mau apa?" tanyanya, menyeka airmatanya yang tak sengaja jatuh membasahi pipinya.
Ice menatap Ibunya, kemudian wajahnya beralih menatap langit-langit. Netra biru itu perlahan ditutupnya, tidak merespon hingga beberapa waktu lamanya.
Ketika aku kecil,
aku selalu berpikir apa yang akan terjadi ketika Ibu pergi.
Hal hal itu selalu membuatku tidak bisa tidur.
Aku tau, bahwa seharusnya aku tidak memikirkan itu sama sekali.
Karena aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan pergi lebih dulu.
Gerakan kecil dari bibir Ice menarik perhatian seisi kelas. Bahkan Ibu Ice langsung mendekatkan telinganya pada Ice.
"Iya? I-ice mau apa?" tanyanya.
Suara lirih Ice pun memasuki telinga sang ibu.
"aku ingin pulang"
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro