じゅうさん
Selamat pagi!! UwU
Maap kalo ada kata kata kasar~
Happy reading!
.
.
.
.
.
Setelah agak malam, Solar dan Halilintar pun pamit untuk pulang.
Selain karena mereka harus sekolah esok harinya, Ice juga harus istirahat. Semenjak kondisinya mulai menurun, ia harus mendapatkan lebih banyak istirahat untuk memulihkan kondisinya... walaupun sedikit.
Sepanjang perjalanan pulang , mereka terdiam seribu bahasa, berbeda dengan saat mereka baru sampai tadi. Entah kenapa rasanya sedih sekali..
Keadaan Ice lebih buruk dari yang mereka bayangkan. Kemoterapi yang dijalaninya seakan tak ada artinya, malahan memperburuk kondisinya yang sudah buruk itu.
Seumur hidupnya, baru kali ini Halilintar melihat Ice terbaring begitu lemah seakan separuh nyawanya sudah pergi entah kemana. Selama ini, ia dan Ice dikenal sebagai sosok yang periang dan suka bermain bersama.
"nee.."
Halilintar buka suara.
"apa menurutmu... Ice bisa sembuh?" tanyanya.
Solar hanya terdiam tanpa respon. Karena sejujurnya, ia sendiri tak tau harus menjawab apa.
Mereka berdua teringat kata-kata dokter yang datang memeriksa keadaan Ice tadi.
Flashback
"bagaimana keadaan Ice, dokter?"
Dokter itu hanya tersenyum tipis sembari membetulkan stetoskop di lehernya.
"saya melihat anak saya selalu kesakitan setiap kemoterapi dijalankan.. dia akan membaik, kan?" sang ibu bertanya lagi.
"saya harap begitu.. melihat kondisinya sekarang , jalan satu satunya hanyalah donor dan kemoterapi yang bisa membuatnya bertahan hidup" jawab sang dokter.
"k-kalau begitu! bagaimana kalau mengambil donor dari saya, dokter? saya saudaranya!" Solar mengajukan diri.
Dokter itu menggeleng.
"saudara Ice mendonorkan organnya bagi kamu, dan kamu tidak bisa mendonorkannya kembali. Ia harus mendapatkan donor dari orang lain.."
"lalu bagaimana jika anak saya tidak mendapatkan donor yang sesuai? ia masih bisa sembuh kan??" suara sang ibu gemetaran.
"bu.. kami akan melakukan yang terbaik untuk menjaga anak ibu tetap hidup. Namun tubuh Ice seakan menolak kemoterapi yang kami berikan.. tapi kalau ibu ingin tau, harapan Ice untuk sembuh hanya 40% saja saat ini" terang sang dokter.
Ibu Ice langsung menangis dengan perasaan hancur, nyaris kehilangan kesadarannya kalau saja Halilintar dan Solar tak sigap menolongnya. Ice sendiri, kini hanya memandangi ibunya yang histeris tanpa ekspresi.
Ia sangat lelah saat ini, bahkan untuk sekedar menangis dan mengeluarkan airmatanya.
"saya permisi dulu"
Dan dengan itu, sang dokter meninggalkan ruangan. Ibu Ice langsung memeluk sang anak yang hanya diam mematung.
Netra birunya berkaca-kaca, berusaha untuk tidak menangis. Ia memandangi sang ibu, kemudian dua insan didepannya secara bergantian. Kemudian dengan sedikit paksaan, ia menyunggingkan senyuman.
"kematian itu.. bukan akhir dari segalanya, kan?" lirih Ice.
"tapi itu akhir bagi ibu.. kamu itu segalanya buat ibu, Ice!" sang ibu menjerit tertahan, bercampur dengan isakan yang terdengar sungguh pilu.
Kedua netra Ice pun tertutup, setitik airmata lolos dan mengalir ke pipinya.
"kalau Ice bisa minta segalanya sama Tuhan.. Ice mau hidup.. Ice mau minta untuk hidup lebih lama, dan bahagiain ibu.."
Melihat itu, membuat Halilintar dan Solar tak tahan untuk tidak menangis.
Ini lebih dari sekedar menyaksikan drama keluarga yang menyedihkan. Semuanya terjadi secara nyata di depan mata mereka, semuanya terjadi melibatkan seseorang yang penting di hidup mereka.
Flashback End
"harapan hidup 40% .. berarti 60% sisanya, adalah kematian.. bagaimana jika besok atau lusa..menjadi 20% .. atau 10% ? apakah benar benar ada harapan baginya untuk sembuh?"
"Hali! kamu bicara apa??" sentak Solar, menepuk pundak Halilintar yang mulai gemetaran.
"ia..benar benar akan sembuh kan?" Halilintar bertanya lirih.
"kamu ini kenapa sih?? tentu saja dia bakal sembuh! Hali- get yourself together!"
Solar mengguncang kecil tubuh Halilintar, semakin khawatir melihat tatapan Halilintar yang kosong dan pasrah.
"aku..takut, sol.."
"Ice... keliatan kesakitan.." ia terisak kecil.
"aku yakin, Ice pasti kuat. Kamu tau kan.. sekuat apa dia? dia udah berjuang selama ini.." ujar Solar "dan aku yakin dia nggak akan kalah..dengan penyakit yang seperti ini"
"aku berharap Ice dapat terus bersama kita.."
"kita semua berharap begitu"
"Ice itu kuat, dan kali ini dia pasti bakal memenangi babak ini juga"
Setelah itu, Solar pun berpisah jalan dengan Halilintar.
Solar sempat melambaikan tangannya sebelum menaiki bus, sedangkan Halilintar hanya memandangi punggung kekasihnya itu hingga ia menghilang.
entah kenapa malam itu..
Ia merasa... seharusnya ia tidak berpisah dengan Solar.
***
Selepas berpisah dengan Halilintar, Solar pulang ke rumahnya sendiri.
Ia telah belajar naik bus dan berjalan ke arah rumahnya tanpa nyasar, sehingga ia pun bisa pulang hari ini tanpa harus mengandalkan supirnya itu.
Sesampainya di depan rumah, Solar akhirnya mengecek ponselnya sendiri. Alangkah terkejutnya ia melihat lebih dari 20 panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia memang tidak melihat ponselnya sedari tadi.
Namun karena ia telah tiba dirumah, ia bergegas mencari sang ibu. Menelusuri segala penjuru termasuk kamar ibunya, tapi tak kunjung menemukan sang ibu.
Ia lalu menuju ruangan utama, dan alangkah terkejutnya saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang ayah tengah menarik kasar rambut Ibu, seakan menyeretnya dari tanah.
"MAMA!!!"
Ayah melepaskan genggamannya pada rambut Ibu dan menyeringai begitu sosok Solar muncul di penglihatannya.
Solar berlari sekuat tenaga dan menolong sang ibu yang terduduk. Kemarahannya meluap saat melihat wajah ibu yang penuh lebam, dan mata indahnya yang sembab karena menangis.
"PAPA APA APAAN!!!" Solar berteriak tak terima.
"KAMU YANG APA APAAN!! DARITADI AYAH TUNGGU KAMU DIRUMAH, KEMANA KAMU HAH?!!" Sang ayah membentak dengan tak kalah kerasnya.
Solar tak menjawab atau tersentak sedikitpun dengan bentakan sang ayah. Ia memeluk sang ibu disampingnya yang gemetar ketakutan dan mendorongnya ke belakang punggungnya.
"aku gak masalah kalo papa mau nyakitin aku.." Solar mengepalkan tangannya, kemudian menatap ayahnya tajam.
"Tapi papa nyakitin mama..dan saudaraku yang gak ada salah sama papa!! PAPA KETERLALUAN, TAU GA??!!"
BUKK!
Solar tercekat.
Ayahnya baru saja memukulnya, lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya hingga Solar terhuyung dibuatnya.
"Jaga ucapanmu pada orang tua" dingin sang ayah.
Solar menggertakan giginya sembari memegangi sebelah pipinya yang memerah. Netra silvernya berkaca kaca.
"Papa ambil organnya..dan bahkan gak tanggung jawab sedikitpun, papa sembunyiin ini selama bertahun tahun..dan papa ngelampiasin kemarahan papa sama mama yang gak tau apa apa.." desisnya.
"Gak salah orang benci sama papa.. kenyataannya papa lebih bejad dari binatang.."
"ANAK GAK TAU DIRI!! SINI KAMU!!"
Sang ayah dengan marah menarik paksa lengan anaknya. Solar memberontak habis-habisan namun seakan ada yang merasuki sang ayah hari itu, pemberontakan Solar seakan tak ada artinya.
Dengan mudahnya sang ayah menyeret Solar dari sana, tanpa menghiraukan sang ibu yang meneriakan nama anaknya dengan histeris.
"Pa!! Lepasin!!"
"Papa udah baik sama kamu selama ini, jangan pikir papa gak bisa ngelakuin yang lebih buruk dari yang kamu bayangkan"
***
"WOI BUKA WOI!!"
"BUKA ANJIR!!"
"SABAR BANGSAT!"
Halilintar membuka pintu rumahnya dengan geram, menyorot tiga temannya yang berbaris didepan pintu rumahnya dengan tatapan membunuh.
"Hari minggu ini woi!! Gabisa biarin orang istirahat dengan tentram apa?!!" omelnya.
"Gak bisa! Kita disini untuk menjalankan amanah!"
Blaze, Taufan dan Thorn tau-tau mendorong Halilintar masuk diikuti dengan mereka yang ikut masuk seperti di rumah sendiri.
"Amanah apaan ??? Dan siapa yang suruh klean masuk, heh??"
"Alaahh kamu nih kayak sama siapa ajaa!" kekeh Thorn.
"Kamu inget kan! Ujian Tengah Semester kamu banyak yang remed! Kalo gak diperbaikin, bisa bisa kamu tinggal kelas tau!" ujar Blaze.
"Jadiii! Kita disini mau meneruskan tugas Ice dan ngajarin kamu supaya kamu lulus semuanya!" Taufan menyambung semangat.
"Ice..?"
Halilintar mendadak pundung mendengar nama itu. Wajah bingungnya langsung tergantikan dengan wajah sedih. Trio troublemaker yang menyadarinya pun auto panik, terutama Taufan yang tak sengaja keceplosan.
Padahal mereka sudah sepakat untuk tidak menyebut nama itu karena mereka tau Halilintar pasti akan sedih mendengarnya.
"Eh- oh-ungg..m-maksudku-- a-amanah dari cikgu Kaizo! Iya- cikgu kaizo!!" Taufan buru-buru mengoreksi.
"B-betul tuh!! aih..kita paham kamu lagi sedih..tapi kamu gak boleh begini terus, kan? Ayo dong..tunjukin kalo kamu gak harus membebani dia buat dapet nilai bagus- kalo kamu bisa, pasti dia juga bangga? Kan?"
Thorn ikut mengangguki "kasih dia hadiah dengan dapat nilai sempurna! Pasti dia bakal seneng!"
Netra ruby itu membesar, kemudian berbinar binar seperti anak anjing baru saja dipancing cemilan.
"B-betulkah?"
"Pastilah!"
"K-kalau begitu! Aku bakal belajar keras! Supaya bisa dapet nilai sempurna dan bikin Ice bangga!"
"nah bagus!! ayo belajar kalo gitu!"
Halilintar mengangguk semangat lalu bergegas mengambil buku-bukunya sedangkan tiga temannya yang lain hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum simpul.
Jangan salah, walaupun trio troublemaker itu bobrok bukan main, mereka termasuk pintar dalam akademik. Tapi entah kenapa Halilintar nggak ketularan pintarnya, malah ketularan bobroknya aja.
Akhirnya sembari menunggu Halilintar mengambil barang-barangnya, Taufan pun berinisiatif untuk pergi ke dapur dan membuat minuman, atau lebih tepatnya menyeruduk masuk. Tak lupa juga menyabet beberapa cemilan yang disimpan Halilintar di lemari dapur.
Ia tau betul Halilintar selalu menyimpan banyak makanan dan cemilan pada saat musim dingin. Sudah seperti beruang yang hendak berhibernasi.
Dan Taufan juga tau kalau Halilintar tak mungkin bisa menghabiskannya sendirian, karena itu sebagai teman yang baik ia pun membantu untuk menghabiskannya.
Sekembalinya Halilintar, ia sudah disambut dengan tiga orang yang duduk rapi di sekeliling kasurnya dengan meja kecil dihadapannya.
Ia berdenyit heran melihat empat gelas minuman dan cemilan yang ia simpan sudah tergeletak di atas meja, kemudian netra-nya beralih menatap Taufan yang menjadi tersangka utamanya.
"eh-ehh kenapa melototin aku??" linglung Taufan berpura-pura tak tau dan menyembunyikan wajahnya dibalik bahu Thorn.
"belom pernah liat beruang marah ya, fan?"
Taufan bergidik ngeri.
"a-ampunn yang mulia!! upan laper..hehe.. bagi cemilanmu ya?" cengir Taufan sembari mengatupkan kedua telapak tangannya, netra birunya membulat seperti anak anjing.
Halilintar hanya merotasikan bola matanya.
"haah..yelah yelah.. itung-itung sebagai ganti kalian ngajarin aku hari ini" dengus Halilintar. Ia lalu mendudukan dirinya di hadapan trio itu dan meletakan buku-bukunya.
Menghela nafas lega, kini mereka sudah siap untuk sesi belajar bersama di hari minggu.
Mereka belajar beberapa mata pelajaran hari ini. Bahasa inggris, Fisika, Kimia, dan Matematika. Masing-masing dipimpin oleh mereka yang unggul dibidangnya.
Blaze, yang kelihatan seperti anak nakal tak disangka jago dalam matematika. Ia nyaris selalu mendapat nilai sempurna walaupun tetap kalah dengan Ice.
Kemudian Thorn, si anak 'polos' kembang desa penyuka tumbuhan itu jago dalam bidang Fisika dan Kimia. Mungkin karena kedua pelajaran itu sedikit berhubungan dengan bidang alam dan tumbuhan.
Dan terakhir, Taufan. Kemampuan bahasa inggrisnya tak perlu diragukan lagi, karena ia sempat tinggal di luar negeri selama beberapa tahun.
Namun walaupun begitu, tetap saja pikiran Halilintar melayang layang selama sesi pembelajaran itu. Setiap masing-masing dari mereka menjelaskan, Halilintar malah bengong dan bermain sendiri saking larutnya ia dalam pikirannya.
Seperti mengigit dan mematahkan ujung tutup pulpen, mencuili penghapus milik Taufan yang berakhir dengan jitakan dari sang pemilik penghapus, memotong-motong penghapusnya sendiri dengan penggaris, dan banyak lagi.
Trio Troublemaker yang sadar Halilintar tak memperhatikan pun hanya geleng geleng kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan temannya itu yang seakan mengalami fase MKKB.
Mereka tau betul seberapa khawatirnya sahabatnya itu terhadap dua hal sekaligus. Ice yang tengah terbaring di rumah sakit, dan Solar..yang sudah hampir satu minggu tak ada kabarnya.
Mereka pun juga tak bisa berbuat apa apa. Sebagai sahabat, mereka berusaha mendukung sebisa mungkin namun dukungan itu juga ada batasnya. Dan mengajari sahabatnya ini adalah salah satu bentuknya.
Sering terlambat dan seringkali mendapat nilai jelek dalam ujian, bisa bisa dia tinggal kelas.
Akhirnya dengan segala kesabaran dan perjuangan, mereka pun berhasil membuat Halilintar mengerjakan tugasnya sendiri. Mereka juga memastikan bahwa Halilintar betul-betul paham akan materi yang disampaikan agar ia tidak kesulitan dalam mengerjakan remedial besok.
Saking khusyuknya mereka belajar, Halilintar tak menyadari bahwa handphone-nya yang terletak diatas rak baju bergetar sedari tadi.
Barulah ketika Blaze pamit hendak ke toilet, ia mengernyit melihat ponsel Halilintar yang menyala dan bergetar. Ia terkejut ketika menemukan ada 10 panggilan tak terjawab dari ibu Ice dan bergegas menghampiri Halilintar.
Halilintar pun tak kalah terkejutnya. Ia bergegas melakukan panggilan dan menjauh dari ketiga orang itu.
Terdengar bagaimana mereka seperti terlibat dalam pembicaraan serius, namun di akhir pembicaraan, Halilintar tau-tau meneteskan airmatanya.
Ketiga orang itupun saling berpandangan, penasaran dengan apa yang sedang terjadi, dan apa yang dibicarakan Halilintar dengan Ibu Ice.
Saat Halilintar kembali, ia menatap ketiga sahabatnya dengan wajah yang sulit diartikan. Netra ruby itu masih berlinang air mata.
"Ice.."
Ketiga orang itu memperhatikan ekspresi sahabatnya dengan seksama, kemudian netra ketiganya pun melebar seakan tak percaya.
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro