Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

じゅうご

Selamat membaca!

.

.

.

.

.



Seluruh acara yang seharusnya menjadi tempat bagi mereka untuk bersenang senang , kini hanya meninggalkan kenangan yang menyakitkan. 

Pasalnya, Ice dan Halilintar yang memang disana dengan tujuan mencari hiburan dan membuat memori menyenangkan, tiba-tiba saja mendapat berita tak mengenakan dari cikgu Kaizo. Bukan hanya dua orang itu, namun juga seisi kelas mendengarkan berita yang hampir membuat Ice dan Halilintar pingsan ditempat. 

Kepala sekolah mengundurkan diri dari jabatannya , dan Solar Light pun memutuskan untuk pindah sekolah dan pergi bersama sang ayah ke Eropa untuk menetap disana.

Kondisi Ice langsung drop, dan pihak sekolah segera memanggil ambulans yang membawa Ice kembali ke rumah sakit. Sedangkan Halilintar, ia tinggal disana dengan tiga orang temannya yang kini memeluknya. 

Halilintar seakan masih tak percaya, tangannya gemetaran hebat saat mengambil ponsel dari sakunya. Ia menekan nomor Solar dan melakukan panggilan. Namun berapa banyakpun ia melakukan panggilan itu, tidak ada apapun yang meresponnya. Lebih tepatnya.. tidak ada suara dari seberang yang menandakan ponsel Solar tidak aktif. 

Ia tak menyerah, ia juga mengutak atik pesannya dengan Solar walaupun ia sadar bahwa Solar tidak membalas maupun mengirim pesan padanya lebih dari seminggu. Namun ia tetap berusaha mengirimi Solar pesan, banyak sekali..hingga menyerupai Spam. 

Tapi ia tak peduli , di hatinya masih ada setitik harapan bahwa Solar akan kembali padanya. Walaupun hanya sedikit.. pasti..

Tiga temannya berusaha menghentikannya yang nyaris seperti orang gila, mengetikan pesan demi pesan pada seseorang yang jelas jelas tak akan membalasnya, pada seseorang yang jelas jelas tidak diketahui keberadaannya saat ini. 

Halilintar terjatuh, berlutut pada lantai kelas yang dingin. Ia menangis hebat disana, terisak dan sesunggukan. Sesak di dadanya ia biarkan menyeruak keluar ditengah suasana kelas yang dingin dan nyaris tanpa suara kecuali suara tangisan miliknya. 

Seluruh murid yang mendengar itu terkejut dengan caranya sendiri, namun tentu saja berbeda rasanya dengan yang dirasakan Halilintar.

Semua orang tau bagaimana spesialnya hubungan diantara ketiga orang itu , bagaimana mereka selalu melengkapi satu sama lain. 

Trio Troublemaker hari ini pun berbeda. Dimana mereka selalu membuat ulah tanpa kenal waktu, kini yang mereka lakukan hanyalah mematung di belakang sahabatnya dengan wajah yang tak bisa dijelaskan. 

Thorn, yang berada paling dekat dengan Halilintar pun memutuskan untuk memeluk tubuh Halilintar yang berlutut di lantai, kemudian menangis bersama. 

Melihat kedua temannya itu, Taufan dan Blaze tidak sanggup memendung kesedihannya lebih dalam. Tangis pilu Halilintar seakan membuat mereka ikut merasakan kesedihan dari sahabatnya. Mereka pun ikut memeluk Halilintar dan menangis bersamanya. 

Tak bisa mengatakan 'jangan cengeng.. pacarmu pasti gak suka deh kalau kamu nangis kayak gini- jelek tau..' seperti biasanya. Ketiga orang itu paham sesayang apa ia terhadap sosok pacarnya itu , hingga sesak di dadanya ia luapkan sesakit ini. 

Demi Tuhan, ia tak pernah menyangka akan kehilangan Solar seperti ini. Jika ini takdir Tuhan, sekali ini saja..ia ingin menolaknya. Ia sangat mencintainya..

Namun ia tau bahwa itu tidak mungkin. 








***











"Heh, Sol. Kamu gak takut apa papamu tau kamu selalu jengukin aku?"

"Takut napa sih? masa sama papa sendiri takut?"

"Yah- kamu kan tau papamu itu keras. Apalagi sejak kamu tau soal ini.. Pasti dia makin benci aku deh"

"pfft- kamu tau darimana coba? lagian, ayahku itu ayahmu juga. Mana ada ayah benci sama anaknya?" 

"kamu tuh positif thinking banget deh" 

"ya harus dong! makanya, kamu juga harus gitu!" 

"iya iya terserah kamu aja deh.." 

"yah tapi, kita gak pernah tau sih pikiran orang. Kalo suatu hari aku menghilang.. kamu harus janji untuk gak benci sama papa ya, Ice.. gimanapun juga, dia itu papa kita" 

"aku tau, tapi..memangnya kamu bakal ilang kemana? mau ikut adudu curi koko atau main ke planet ata ta tiga?" 

"HAHAHAHA! ga gitu!" keduanya tertawa. 

"cuma kamu gak pernah tau apa yang dipikirin papa. Kamu tau, kalo papa itu selalu mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Jadi kalo ada sesuatu terjadi sama aku, kamu jangan down ya! gimanapun juga, jaga kondisi kamu sendiri! kamu harus sembuh, oke?" 





Ice tak pernah berpikir kalau ucapan Solar waktu itu..benar benar menjadi kenyataan. 

'hei..kamu berjanji kamu gak akan pergi kemana mana.. kamu janji gak akan ninggalin saudara kamu lagi kan..' 

Di sore yang dingin itu, Ice menatap jendela di sebelah tempat tidurnya dengan perasaan sedih. Salju turun lebih deras dari biasanya, seakan dapat merasakan kegundahan dan hancurnya hati pemilik marga Frost itu. 

Semuanya terasa seperti mimpi di musim dingin yang panjang. Solar yang bersamanya cukup lama, dan kenangan yang baru mereka rangkai bersama beberapa waktu belakangan. 

Sebelumnya, Ice melihat Solar sebagai seseorang yang membuatnya geram. Tidak ada makna sedikitpun dari kehadirannya. Ia bahkan membencinya karena lelaki itu seakan merampas segalanya.

Organnya, kesehatannya, ayahnya , bahkan orang yang ia cintai. Kehadiran Solar seperti sebuah kutukan. 

Seiring waktu, semua hal yang terungkap membuatnya menyesali pikirannya itu. Rasa benci itu telah berubah menjadi rasa sayang , rasa ingin menjaga saudaranya itu di sisinya hingga waktunya tiba. 

Tapi rasanya baru saja kemarin ia merasa demikian.. mengapa ia malah harus kehilangan saudaranya itu? 

Ia belum sempat mengatakan seberapa besar ia mencintai dan menghargai sosok Solar sebagai saudaranya. Ia belum sempat pergi ke taman rekreasi bersamanya. Pesan yang ia kirim pun belum dibacanya, janji-janji yang dititipkan padanya pun belum ditepatinya. 

Semakin larut, kesedihannya tak kunjung memudar. Malah rasanya semakin sesak karena ia sendiri harus menahan rasa sakit yang mulai menyerang kepala dan tubuhnya. Jangan lupakan kondisi Ice yang sempat drop tadi siang sehingga ia harus dibawa ke UGD sebelum dapat kembali ke ruangannya sendiri. 

Ibu, yang begitu khawatir pun menangis tanpa henti mengetahui hal itu. Namun Ibu tidak bertanya, ia tidak menghujani Ice dengan kata kata kekhawatiran seperti biasanya melainkan hanya duduk di sudut ruangan hingga ia tertidur. 

Ice berpikir kalau saja Solar tidak pulang di hari itu, mungkin saja saudaranya itu masih ada disini bersamanya. Jika saja ia memiliki satu kesempatan untuk mengulang waktu, ia ingin sekali kembali ke hari itu. Hari dimana saudaranya itu masih ada disini, masih berada di sisinya dan merasakan pelukan hangatnya di kala dingin. 

Namun kini , dimana lagi ia bisa menemukan sosok saudara sebaik Solar? Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan kebahagiaan, dan keceriaan dari hari-harinya yang tersisa? Kemana lagi ia harus berjalan untuk merasakan hangatnya pelukan seorang saudara?

Sejak dibawa ke rumah sakit, Ice sudah mimisan dua kali, dan sore tadi ia sempat mimisan untuk yang ketiga kalinya dalam sehari. Kejadiannya persis sama seperti pada hari ia putus dengan Halilintar, sesak yang mendera pun terasa hampir sama.

Bolehkah ia berharap bahwa Solar juga akan kembali seperti Halilintar? 

Pada kenyataannya, kepergian mereka adalah dua hal yang berbeda. Halilintar pergi, namun fisiknya masih berada dekat dengannya. Sedangkan Solar.. tidak hanya jiwa nya yang pergi jauh, namun juga fisiknya. 

Menyeka kasar netra-nya yang buram karena air mata, samar-samar ia melihat sosok Solar berdiri di depan jendela di sampingnya. Dengan senyum tengil yang selalu disunggingkannya, dan kacamata visor jingga yang bertengger di wajahnya.

Ice tak bisa berkata-kata, rasanya tubuhnya gemetaran saat ia merasakan sentuhan hangat Solar mengusap pipinya yang basah karena air mata. 








"kamu yang bilang kalo aku gak boleh nangis didepanmu, tapi malah kamu yang nangis sekarang.." ucapnya. 

"sol..?" 

"hm?" 

Ice berusaha menarik tubuhnya bangun. Matanya pun kembali ia kucek untuk memastikan bahwa ia tak sedang bermimpi, dan benar saja.. sosok Solar begitu jelas tengah berdiri tepat didepannya. 

"ini..beneran kamu?" 

Solar mengangguk "iya.." 

"kamu, marah sama aku ya?" 

Solar menggeleng pelan "nggak kok.." 

"aku ada salah sama kamu?"

Solar menggeleng lagi. 

"terus kenapa kamu pergi?"

Sosok itu hanya terdiam, lama. Kemudian tersenyum tipis dan membelai lembut rambut saudaranya itu.

"kamu tau kan.. aku sayang kamu" Ice berkata, lirih sekali hingga nyaris tak terdengar. Namun Solar menganggukinya. 

"kamu bilang , kalau kamu sayang aku.. kamu gak akan ninggalin saudaramu lagi.." sambung Ice, suaranya mulai gemetaran. 

Solar mengangguk lagi, pelan. 

"kenapa kamu bohong..?" 

"aku nggak bohong kok.." 

"kenyataannya kamu pergi, kamu pergi untuk yang kedua kalinya. Kamu nggak nepatin janji kamu, kamu bahkan nggak baca sms ku" 

"maaf.." 

"aku nggak butuh maaf kamu, aku butuhnya kamu! aku maunya kamu kembali kesini.. aku dan Halilintar butuh kamu, Solar.." 

Namun Solar hanya tersenyum lemah, berkali kali ia melirihkan kata maaf. 

"aku udah bilang aku butuhnya kamu! kembalilah, Solar..jangan pergi kemana mana.." Ice berkata pilu, berusaha menggapai tangan Solar yang mulai semu di matanya. 

"kenapa.. kenapa Tuhan itu nggak adil?? Kenapa dia buat kamu pergi, disaat aku bener bener butuh kehadiran kamu?? kenapa.. ? aku ini salah apa?"

"Ice..jangan begitu.. Tuhan itu selalu ingin yang terbaik dalam hidup kita.."

Solar menghela nafas, sosoknya yang semakin semu itu menyentuh dadanya sendiri. 

"kamu gak akan kehilanganku, Ice.. aku selalu ada bersamamu. Walaupun raga kita jauh, tapi aku gak akan berhenti kangen dan sayang sama kamu.."

Ditengah malam itu, Solar hanya memandangi saudaranya yang tengah menangis hebat itu dengan pandangan tulus. Wajahnya begitu tenang , walaupun dengan sekelebat kesedihan mendera. Di malam itu semuanya terasa hampa.

Tik.

Tok.

Tik. 

Bunyi detak jarum jam terdengar lebih keras malam itu, dan bersamaan dengannya sosok Solar mulai menghilang ditelan cahaya rembulan. 

"kamu harus sembuh..kembalilah menjadi Ice, yang selalu ceria..saudaraku.." 

"j-jangan pergi!" 

"aku sayang kamu.." 

"JANGAN PERGI!!!" 










"Ice?!!" 

Hah!

Ice terbangun dengan nafas terengah engah. Ibu yang sedari tadi entah dimana kini berada tepat disebelahnya, rupanya ibu yang membangunkannya barusan. Waktu telah menunjukan pukul 1 malam, dan suasana kamar kini lebih gelap dari sebelumnya. 

Wajah Ibu yang pertama menerobos pandangannya, membelai lembut rambutnya yang basah karena keringat. Mata birunya pun sembab karena menangis dalam tidurnya, rasa pusing akibat obat dan pikirannya pun kembali menyerang kepalanya sesaat setelah ia terbangun.

"Solar..." Ice melirih sedih. Airmatanya kembali mengalir membanjiri pipi menyadari bahwa pertemuannya dengan Solar hanyalah sebuah mimpi. Saudaranya itu benar benar pergi meninggalkan dirinya. 

Di dalam pelukan ibu, Ice menangis begitu keras. Tubuhnya bergetar hebat karena rasa sesak yang jauh lebih sakit dari sebelumnya. 

Ia sudah pernah merasakan apa yang namanya kehilangan , dan kini ia harus merasakannya lagi.

Kehilangan yang jauh lebih sakit dari sebelumnya. 












*** 











Tengah malam, Halilintar duduk termangu sendirian di rumahnya. 

Di depan sebuah perapian kecil, udara dingin terus menerus menerpa punggungnya yang tidak terlindung. Hal yang tidak biasa, karena biasanya ia selalu membalut dirinya dengan selimut tebal hingga nyaris seperti kepompong. 

Sudah lebih dari satu jam ia terduduk di sana, menatap kosong kearah perapian yang menyala. Di sampingnya, sebuah selimut tebal berwarna putih yang belum sempat ia rapikan tergeletak begitu saja. Selimut tebal yang selalu digunakan Solar setiap kali ia datang kesini.

Pakaiannya masih sama seperti tadi siang saat ia datang ke sekolah bersama Ice. Ia bahkan tidak berniat untuk beranjak sedikitpun untuk sekedar mandi ataupun mengambil baju di lemarinya, seakan jiwanya sudah pergi entah kemana. 

Ia sudah berpacaran dengan Solar lebih lama dari yang ia ingat. Walaupun belum selama itu, jika menurut pemikiran orang-orang , namun cukup lama untuk membangun berbagai kenangan indah bersama pemuda berkacamata visor itu.

Berbulan bulan yang ia jalani bersama, nyaris tidak ada kenangan buruk yang diberikannya. Bahkan setelah fakta terkuak diantaranya dan Ice, hubungan mereka bertiga malahan menjadi sedekat perangko. Ia benar benar bersyukur memiliki dua orang yang begitu berarti itu menghiasi hari-harinya. 

Setiap hari, mereka menghabiskan hari-hari penuh warna dengan berjuang untuk mencari secercah harapan demi kesembuhan sahabatnya. Rasanya menyenangkan , asam..manis..pahit.. segala momen menyakitkan, menyenangkan, lucu..mereka jalani bersama dengan hati sukacita. 

Semuanya terasa seperti mimpi. Perpisahannya dengan Solar di halte bus hari itu adalah momen terakhirnya bertemu dengan pemuda yang ia cintai itu. Lucu rasanya, perpisahan yang tidak berarti apa apa, mendadak menjadi sebuah perpisahan yang menghancurkan hidupnya.

Ia menyenderkan kepalanya pada lipatan lengannya, menangis tanpa suara. Sesak sekali, saat harus menahan suara tangisan tetap didalam diri. Jauh didalam benaknya, ia berharap bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi. Dan ia ingin segera bangun.

Bunyi jam terdengar jauh lebih keras malam itu saking heningnya suasana di kamar Halilintar saat ini. Hanya bunyi jam dan bunyi api yang memercik dari perapian, dan suara nafas yang memburu disertai isakan yang tertahan. 

Bayangan saat mereka duduk bersama di tepi kasur, berbincang dan bercanda tawa mengenai sejuta puisi-puisi yang menjejakinya.

Kemudian pernyataan cinta di bawah salju, semuanya.. semuanya kembali terulang di benaknya seperti sebuah film. Membayangkan wajah bahagia keduanya yang tengah tertawa membuat rasa sesak di dadanya kian bertambah. 

Hingga ia merasakan kehadiran lain di ruangan itu, duduk bersila di depannya tanpa mengatakan apapun. Halilintar pun bertanya tanpa melihat sosok itu. 




"kenapa kamu berbohong?"

"aku tidak berbohong" 

"kamu bohong" 

Sosok itu menggeleng. 

"kamu selalu berkata.. 'aku nggak akan meninggalkanmu' , kamu selalu bilang kemanapun kamu pergi, kamu nggak akan pernah jauh dariku dan Ice. Kamu janji untuk bersama sama hingga akhir" 

"kamu selalu berkata bagaimana kamu mencintaiku, bagaimana kamu bersyukur memilikiku sebagai kekasihmu.. tapi kenyataannya sekarang.. kamu pergi" 

"aku nggak kemana mana, Hali.." sosok itu menghela, ia meraba wajah Halilintar dengan tangannya yang tembus pandang.

"aku menemukan cahaya setelah kamu datang ke hidupku, tapi sekarang kamu pergi..lantas kemana lagi aku harus mencari cahaya itu?" 

Halilintar berucap pilu, seakan tak dapat menangis lagi. Airmata itu tidak keluar bagaimanapun ia mencoba untuk mengeluarkannnya. 

Detik demi detik berlalu tanpa ada percakapan diantara keduanya. Hanya sosok semu Solar yang menatap sang kekasih dalam diam, dan Halilintar yang terhanyut dalam sesaknya luka di hatinya saat ini. 

"kamu harus bahagia" lirih Solar. 

"lucu sekali..." Halilintar tersenyum lemah "berpikir bahwa aku bisa melakukannya tanpa kamu" 

"kamu bisa melakukannya.." 

Halilintar menggeleng. 

"kamu harus bahagia" 

"aku tidak akan bahagia tanpa kamu"
 

"aku cinta kamu" 

Seiring dengan menghilangnya suara itu, seberkas cahaya yang tadinya menyinari Halilintar pun meredup. 

Ketika Halilintar mengangkat kepalanya, lengannya sudah basah dengan airmata. Netra ruby itu menatap sayu pada selimut putih di hadapannya. Dibawanya selimut itu ke pelukannya, kemudian kembali tertunduk dalam tangisan pilu. 

Pertemuan singkat denganmu, kupikir itu tidak berarti apa apa. Tapi kau memberikan makna pada hidupku, kau mewarnai hari-hariku dengan rasa. Terasa seperti sebuah kutukan.. aku meninggalkan Ice yang begitu mencintaiku demi bersamamu, dan kini malah kau yang pergi meninggalkanku. Apakah Tuhan sedang menghukumku sekarang ini?  

Dan sekarang aku kehilanganmu, dimana aku harus mencari cahaya itu?






To be continued. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro