Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

じゅういち

Yeeey ga upload 3 hari 🤣
Sebenernya kmrn mau up, eh kelupaan..
Jadi yaudah deh, hari minggu hehe
Maapkeun sayang2ku

Selamat hari minggu!

Happy reading!

.

.

.

.

.



Malam itu, Halilintar pun beranjak pulang setelah menghabiskan sepanjang sore di rumah sakit. 

Bagaimanapun juga, ia harus sekolah di keesokan harinya sehingga mau tak mau ia harus pulang walaupun ada sedikit rasa tidak rela meninggalkan Ice yang tengah sakit itu.

Kalau bukan karena Ice dan Ibunya yang memaksa, Halilintar menolak untuk pulang malam itu.

Baru saja Halilintar menutup pintu kamar Ice, ia dikejutkan dengan seseorang yang tau-tau berdiri didepannya saat ia mengangkat kepalanya. 

Ia berdiri disana dengan nafas tersegal-segal. Hanya mengenakan selembar kaus tanpa jaket atau syal, butiran salju nampak jelas di beberapa bagian baju dan rambutnya.

Melihat itu membuat netra Halilintar melebar, ia refleks melepas syal yang dikenakannya dan memakaikannya pada sosok didepannya yang kini berusaha menetralkan nafasnya. Ia seperti baru saja menempuh perjalanan yang jauh. 

"Sol-" 

Belum sempat Halilintar berucap, Solar sudah menariknya kedalam pelukannya. Kemudian terdengar suara yang seperti isakan menggema di telinganya, butiran hangat nan basah pun mulai membasahi pundak Halilintar. 

Solar..menangis? 

Halilintar pun mendorong tubuh Solar, berusaha melepaskan diri dari pelukannya untuk melihat Solar lebih dekat. Dan benar saja, ia menangis. Matanya memerah dan bahunya gemetaran. 

Wajahnya kala itu terlihat begitu sedih dan frustasi, penampilan yang acak-acakan menambah kesan kelam pada dirinya. Halilintar sendiri tak mengerti mengapa Solar menangis kala itu, lalu kemudian ia teringat pada kejadian tadi siang. 

Pasti ini ada hubungannya dengan pertengkaran Solar dan ayahnya siang tadi.

"S-solar? kamu..kenapa?" Halilintar memberanikan diri bertanya. 

Brukk!

Ia dikejutkan saat Solar menjatuhkan benda yang sedari tadi dipegangnya. Sebuah file berwarna biru dengan puluhan kertas di dalamnya, dan kini semuanya berceceran di lantai. 

"aku bodoh...selama ini..." ia tiba-tiba terisak, Halilintar terkejut dibuatnya. 

Halilintar diam saja, masih bingung mencerna situasi saat ini dan tidak tau bagaimana menanggapinya. Ia pun merunduk dan memungut file itu, membereskan puluhan kertas disana masih dengan tanda tanya. 

Sebentar..

Di kertas-kertas itu tertulis nama dan kop sebuah rumah sakit , tepatnya rumah sakit Yayasan Kanker. Halilintar terdiam, mengamati kertas tersebut. Kemudian beberapa detik kemudian, netra-nya membelalak. 



"j-jadi..."

Wajah Solar terangkat, ia menangis dan menatap Halilintar dengan mata merahnya. 

"aku dan Ice..." ia terisak "kami saudara.. beda ibu.." 

"papa nyembunyiin fakta ini sejak dulu... ternyata papa menikah lagi setelah bercerai dengan mantan istrinya..yang ternyata Ibu-nya Ice.." suaranya, masih terisak. 

"dan ternyata, Ice sakit itu gara-gara aku! gara-gara dia donorin organ-nya...buat aku.." suara Solar memelan di akhir kalimatnya, ia mulai menangis lagi. 

Sedangkan Halilintar, Ia terkejut setengah mati dengan apa yang barusan dikatakan Solar. 

Rasanya sangat sulit untuk dipercayai. Fakta mengenai penyakit Ice saja sudah membuatnya sesak setengah mati, dan sekarang..ia dipaksa untuk mempercayai bahwa Ice dan Solar adalah saudara sedarah? Dan- transplantasi organ?? 

Memikirkannya membuat kepala Halilintar sakit. Ia pun terduduk di kursi panjang, berusaha mencerna keadaan. Dan Solar yang masih mematung disana pun ia tarik untuk duduk disebelahnya. 

Ia tidak ingin mempercayainya namun dokumen di tangannya tidak berbohong. Tangannya yang memegang file itu pun mulai gemetaran. 

Jika benar apa yang tertulis di dokumen itu.. berarti kemungkinan besar penyakit yang diderita Ice saat ini adalah karena ia mendonorkan organ-nya pada Solar. 

Melihat Solar yang masih seunggukan membuat Halilintar tidak tega untuk bertanya lebih jauh. Ia pun melebarkan tangannya dan kembali memeluk Solar, mengusap lembut punggung dan rambutnya untuk menenangkan kekasihnya itu.

















Setelah cukup lama, tangisan Solar berangsur angsur berhenti. Halilintar pun melepaskan pelukannya , ia tersenyum menatap wajah Solar yang habis kacau karena menangis sedari tadi. Kedua matanya bengkak dan memerah, tapi masih terlihat tampan..kok.

Solar menyeka kasar sisa airmatanya itu dengan lengannya, kemudian ia bersender pada kursi. Menatap lurus dengan pandangan kosong. 

"papa.." ia menghela nafas. 

"papa bilang... sejak kecil, aku itu sakit-sakitan..aku pernah kanker darah saat aku masih umur 2 tahun.." ia mulai bercerita. Halilintar pun diam, mendengarkan dengan seksama. 

"saat itu.. aku hanya sendirian.. tapi tiba-tiba papa bilang ada yang mau donorin organnya buat aku, biar aku tetap hidup.. dan dia anak seumuranku yang entah kenapa dna nya cocok denganku.." 

"aku nggak tau apa apa- dan tau-tau..aku udah di ruang operasi dengan anak itu.. aku nggak inget apapun, termasuk wajah dan nama anak itu.." 

Ia menghela nafas lagi, kali ini lebih panjang dan membuatnya tertunduk sedih. 

"selama ini.. ternyata papa bohong sama aku.. papa baru ngaku saat aku desak dia kemarin.." ujarnya. 

"ternyata anak itu adalah Ice, dia saudaraku yang terpisah karena ibu Ice bercerai dengan papa..dan aku, adalah anak yang lahir dari selingkuhannya papa..yaitu mamaku sekarang ini.." 

"Ice nggak tau apa apa soal donor organ ini,  Bahkan ibunya pun nggak setuju.. tapi papa culik Ice dan paksa dia untuk ke rumah sakit. Menurutmu, apa anak umur 2 tahun ngerti soal donor organ? mustahil kan.. " desahnya. 

"akhirnya Ice yang sedarah denganku pun donorin organnya buat aku.. dan setelah itu papa buang dia gitu aja. Papa sama sekali nggak tanggung jawab untuk mengobati Ice secara intensif.. dan Ice hanya diberi pengobatan biasa- padahal ia tau resikonya di kemudian hari.." suaranya mulai gemetaran, ia meremat kuat kepalan tangannya. 

"dan setelah itu.. p-papa bawa aku pindah ke Northville.. ninggalin Ice dan Ibunya disini..." 

Suara Solar saat itu terdengar sangat pilu, penuh penyesalan. Dan Halilintar terkejut sekali lagi mendengar cerita Solar itu. 

"papa.. selama ini, dia merampas sesuatu yang berharga dari darah dagingnya sendiri.. kemudian kabur begitu aja.. dan bodohnya aku percaya aja saat papa bilang Ice donorin organnya ke aku dengan sukarela.." 

Halilintar menahan nafas selama beberapa saat, rasanya sesak dan tak percaya bahwa ayah Solar ternyata sekejam itu. Benar benar tak punya hati.. 

"awalnya aku benci Ice karena di sekolah, papa selalu memberinya perhatian lebih hanya karena dia pinter.. tapi sekarang.." 

Halilintar memang sempat tidak menyukai Solar saat dulu ia pernah berseteru dengan Ice, namun sekarang.. ia benar-benar prihatin dengan mereka berdua. 

Ice yang harus menanggung penderitaan dan kehilangan organnya sejak kecil, dan Solar yang menanggung derita dan kebohongan yang selama ini disembunyikan dibelakangnya. 

Keduanya adalah korban. Korban dari keegoisan sang ayah yang tidak tau diri. 

"Solar- aku rasa kau perlu-" 

Cklek. 

Kata-kata Halilintar terhenti begitu pintu dibelakangnya terbuka. Menampilkan Ibu Ice yang baru akan keluar ruangan. 

Ibu Ice dan Solar yang bertemu pandang pun sama-sama terlihat terkejut. Ibu Ice hampir saja menjatuhkan gelas minuman yang dibawanya kalau tidak ditahan oleh Halilintar yang dekat dengannya. 

"k-kau! a-apa yang kau lakukan disini??" tunjuknya pada Solar, wajahnya terlihat tak senang. 

Solar tak merespon, melainkan hanya menunduk dalam diam. Sedangkan Halilintar yang ditengah pun berusaha untuk menenangkan ibu Ice dan menurunkan telunjuknya. 

"jadi pacarmu itu dia, Halilintar??! Kamu mengencani anak pembawa sial ini?!" 

"tante!" Halilintar sedikit meninggikan suaranya "tolong jangan panggil Solar begitu- semua anak itu anugerah Tuhan" 

"anugerah Tuhan? Oh- anugerah Tuhan..katamu" Ibu Ice menatap tajam Solar, kemudian mendengus geli "anugerah Tuhan mana yang merampas organ anakku secara paksa, demi keselamatannya sendiri.. dan membuangnya begitu selesai digunakan? Benar-benar anugerah Tuhan terburuk yang pernah ada di dunia ini!"

"tan- itu nggak bener! Solar nggak tau kalau Ice yang mendonorkan organnya buat dia, dan lagipula.. saat itu mereka masih kecil- mereka nggak ngerti apa apa. Tolong jangan salahin Solar.." terang Halilintar, membela kekasihnya itu.

"lalu siapa yang harus disalahkan?? pada kenyataannya dia juga yang menggunakan organ dari anak saya! dan sekarang anak saya sakit gara-gara dia!" 

Suara Ibu Ice meninggi, penuh emosi. Bahkan hingga orang-orang yang lalu lalang disana pun menengok karena pertengkaran mereka. 

"t-tapi itu bukan keinginan Solar! Ayahnya yang berbuat nekat terhadap dua anak kecil yang bahkan nggak tau apa apa. Solar disini hanya korban, sama seperti Ice" 

"sama seperti Ice.. kamu bilang? wow.." sang Ibu berdecih "mata kamu kemana sih, Halilintar? Lihat..siapa yang sakit sekarang? anak saya kan? dan sekarang kamu mau bilang dia itu korban? kamu itu sulit dipercaya.." 

Kemudian Ibu Ice berbalik setelah membuang gelas yang dipegangnya itu ke tong sampah, hendak masuk kembali ke ruangan Ice. 

"kamu- lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan pernah tunjukan wajahmu didepan kami" dinginnya "dan kamu Halilintar, jangan harap kamu bisa ketemu Ice kalau dia masih ada disini" 

"s-sebentar bu!" 

Solar mendadak bangkit dari duduknya dan menahan Ibu Ice yang hendak menghilang dari balik pintu. 

"saya mohon..biarkan saya bertemu Ice, biarkan saya ketemu saudara saya" pintanya. 

"saudara kamu???" Ibu Ice yang tadinya sudah mulai tenang kini terpancing emosi lagi "jangan pernah.. sebut anak saya itu saudara kamu..jangan pernah.." 

Jari setengah keriput itu gemetaran saat menunjuk Solar tepat di wajahnya, menahan kemarahannya agar tidak meledak. 

"bu..saya mohon.." Solar berkata lagi, kali ini lebih lembut. Netra silver miliknya kembali berkaca-kaca saat ia dapat merasakan kehadiran Ice di dalam ruangan itu, walaupun ia belum melihatnya secara langsung. 

Ia benar benar ingin masuk kesana sekarang juga dan memeluk saudaranya itu.

"pergi kamu dari sini! pergi!" hardik sang Ibu sembari mendorong-dorong tubuh Solar agar menjauh dari pintu. Namun Solar tetap kukuh pada pendiriannya dan semakin berusaha menahan pintu itu dengan tubuhnya sendiri.

"saya tidak akan pergi sebelum bertemu saudara saya!" 

"diam kamu!"

"mah??" 

Suara parau Ice dari dalam ruangan seakan melerai pertengkaran antara Solar dan sang Ibu. Keduanya refleks menghentikan pertengkaran itu. 

"ma..siapa itu diluar? kenapa ribut ribut?" 

Ice bertanya dari dalam ruangan. Rupanya Ice masih belum tidur, ia tengah duduk di kasurnya dan menunggu sang Ibu kembali. 

"ah-nggak! bukan siapa siapa Ice- hanya staff rumah sakit yang salah ruangan" jawab Sang ibu berbohong , ia kemudian kembali mendorong tubuh Solar cukup kuat hingga pintu akhirnya dapat ditutup. 

Solar tersentak begitu Ibu Ice tau-tau menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. Padahal peraturan rumah sakit melarang untuk berbuat demikian, namun Ibu Ice berpikir bahwa itu satu-satunya cara agar Solar tidak nekat untuk masuk dan bertemu dengan anaknya itu. 

Halilintar kembali menarik tangan Solar, menjauhkannya dari ruangan itu. Solar sendiri tak bisa berkata apa apa kecuali menangis. Dadanya terasa sesak dengan semua hal yang menimpanya, dan kini ia dilarang untuk bertemu dengan saudaranya sendiri, orang yang berbagi hubungan darah dengannya , yang salah satu organnya hidup didalamnya.

"Solar.." 

Halilintar menangkup kedua pipi Solar dan membuatnya menatapnya. 

"lebih baik..kita pulang untuk hari ini.. kurasa perasaan Ibu Ice masih sedih, tapi aku yakin besok perasaannya akan jauh lebih baik.. kamu sendiri juga masih shock.. lebih baik kamu istirahat dulu ya?" usulnya. 

Lagipula melihat kondisi Solar saat ini, ia terlihat begitu stress dan kelelahan. Kelihatan dari ekspresinya. 

"tapi.. Ice.." 

"soal Ice.. besok aja. Kita kesini lagi, oke?" Halilintar berucap lagi, ia mengusap usap pipi Solar dan menghapus lembut airmatanya. 

Solar pun akhirnya mengangguk lemah, menyetujui usulan Halilintar. 

"Tapi.. aku nggak mau pulang ke rumah.. nggak mau ketemu papa.." lirihnya. 

"kalo gitu, kita ke rumahku aja.. kamu boleh kok nginep dirumahku sampe kamu ngerasa lebih baik.. walaupun rumahku gak sebagus rumah kamu sih.. gimana?" 

Memandang Halilintar lama, ia pun mengangguk lagi. Menyeka kasar airmatanya yang tersisa lalu berusaha tersenyum untuk kekasihnya itu. 

"makasih.." pelannya. 

Halilintar terkekeh gemas lalu mengecup lembut dahi sang kekasih, kemudian memggiring langkahnya pergi dari sana. 












*** 












"sialan!" 

Di ruangannya, sang ayah dengan emosi menendang kursi yang ada didepannya. Posisinya kini tengah berdiri, bersender pada meja kebangsaannya. Wajahnya penuh amarah. 

"bagaimana dia bisa tau?? bagaimana semuanya bisa terbongkar??" 

Sang ayah dengan frustasi meremas rambutnya sendiri, netra-nya kemudian beralih pada kaca di sebelahnya. 

Dengan langkah marah ia mendatangi kaca itu, memandangi bayangan dirinya disana. 

"wajah ini.." geramnya "kenapa harus kau yang mirip denganku..huh? padahal aku ingin menghapusmu dari ingatanku.. aku tidak sudi menganggapmu sebagai anakku lagi..Ice" 

Kedua tangannya terkepal, gemetaran menahan amarah yang menguasai tubuhnya.

"lalu apa..? kamu mendonorkan organmu untuk anakku.. tapi kamu.. anak dari wanita brengsek itu.." 

Prangg!

Detik selanjutnya, kepalan tangannya sudah mendarat di permukaan kaca dan menghancurkannya dalam sekali tinjuan. Menyisakan bekas darah dan sisa retakan disana. 

"aku tidak punya pilihan... anak itu..harus disingkirkan" 







To be continued. 



Hayoloh! Gimana tuh seterusnya??
Saksikan!

Di.. rakyattv 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro