Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

じゅう

Hai gaes UwU aku kembali~
Maap ga up kemaren..
Sebenernya lagi sakit 🤣 gegara vaksin..
Nasib remaja jompo ya gini

Semoga terhibur! Lopyu pull

Happy reading!

.

.

.

.

.




Sepertinya Solar benar-benar marah pada Halilintar. 

Sejak kejadian di sekolah kemarin, Solar sama sekali tidak menghubunginya, bahkan tidak satu pesan pun. Ia juga tak datang ke rumah sakit tempat Ice dirawat. 

Sedangkan Halilintar, ia sudah berada di rumah sakit sejak kemarin. Ia enggan untuk pulang , dan hanya berdiam disana hingga berganti hari. 

Thorn, Taufan dan Blaze sempat datang kemarin untuk membawakan barang-barang Halilintar yang ia tinggalkan di sekolah sekaligus menengok Ice. Walaupun itu sia sia karena Ice sendiri belum sadar hingga saat ini. 

Oh ya, dokter sudah membolehkan keduanya masuk ke ruangan Ice sejak kemarin malam, membiarkan mereka menunggu di sebelah kasur Ice. 

Kondisi Ice jauh lebih memprihatinkan saat dilihat dari dekat, hingga membuat Halilintar sekali lagi menumpahkan air matanya. 

Ia masih ingat bagaimana ia menangis semalaman sambil memegangi tangan Ice, tangan besar yang selalu menolongnya,  melindunginya dari apapun.  

Ibu Ice sebenarnya sudah menyuruhnya pulang kemarin malam karena menurutnya Halilintar tak perlu berbuat demikian, namun Halilintar bersikeras untuk tinggal. Ia bersikukuh untuk tetap disana sampai Ice sadar. 

Tapi, walaupun Halilintar begitu mengkhawatirkan Ice , tetap saja sosok Solar mendominasi pikirannya saat ini. Sedari tadi Halilintar tak dapat berhenti memandangi layar ponselnya, ia tau ia juga salah karena pergi tanpa memberitahu Solar. Tapi haruskah ia semarah itu sampai tidak menghubunginya sama sekali? 

Haruskah ia mendatanginya lebih dulu? 

Memikirkan itu membuat kepalanya berdenyut. Kepalanya pusing akibat kurang istirahat dan enggan makan sejak kemarin, ia terlalu khawatir dengan keadaan Ice yang menjadikannya tak nafsu makan.

Tapi walaupun begitu, Halilintar sama sekali tidak menyesal. Toh yang ia lakukan bukannya perbuatan buruk. Ia hanya mengkhawatirkan kondisi sahabatnya, sahabat yang telah menjadi separuh bagian hidupnya lebih dari 10 tahun.

Sekalipun Solar tidak suka, tapi Halilintar melakukan hal yang benar. Dan ia yakin siapapun yang ada di posisinya juga akan melakukan hal yang sama. 

"kamu yakin nggak mau pulang, nak?" 

Halilintar menoleh ketika mendengar suara Ibu Ice memanggil namanya. 

Sejak semalam, ibu Ice terlihat lebih baik dari sebelumnya. Ia mulai memperlakukan Halilintar seperti sedia kala, membuat Halilintar lega karenanya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa sang ibu sama lelahnya dengan Halilintar karena berjaga semalaman.

"kamu nggak lelah?" 

Halilintar terdiam, lalu menggeleng pelan. Ia membalas senyuman Ibu Ice dengan seulas senyum tipis.

"melihat kondisinya, Ice nggak akan bangun dalam waktu dekat... lebih baik kamu pulang dan istirahat nak, kamu kan masih ada sekolah.." 

Namun Halilintar tetap menggeleng. 

"kita nggak tau.. b-bisa aja..Ice bangun gak lama lagi.." ucapnya. 

"nak.. wajahmu pucat, jangan memaksakan dirimu.." sang ibu menepuk pundak Halilintar , kemudian mengangguk "tante janji akan mengabarimu saat Ice sadar nanti.. karena itu, pulanglah dan istirahatlah.. kau akan membuat Ice sedih kalau sampai sakit" 

Menatap sang ibu sebentar, Halilintar akhirnya mengangguk. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. 

Ia tak langsung pergi. Diam sejenak memandangi wajah Ice yang pucat, namun terlihat begitu tenang dalam tidurnya.

Kesakitan yang dirasakannya sama sekali tak tergambar di wajahnya. Netra ruby itu kembali berkaca kaca membayangkan sosok Ice yang selalu tersenyum dan bahagia. 

"Besok aku datang lagi ya..abis pulang sekolah" ucapnya pelan sembari mengusap punggung tangan Ice yang terasa dingin. 

Setelah itu, Halilintar pun membungkuk terhadap sang ibu dan memohon pamit sebelum berbalik menuju pintu untuk keluar dari ruangan itu. 

Sungguh rasanya berat meninggalkan Ice saat ini, namun ucapan Ibu Ice ada benarnya. Jika ia sakit.. ia akan lebih membebani pikiran Ice. 

Ia harus sehat demi Ice .. demi sahabat yang ia sayangi itu. 










❄❄❄










"Li- Hali hali hali hali hali hali--

"-hali hali hali hali hali hali hali hali hali--"

"cukup anjir- aku denger" 

Halilintar mendengus pelan, memutus panggilan Taufan yang nyaris menyamai sirine pemadam kebakaran. 

"ish- lemes amat sih kamu! semangat dikit dong!" ujar Taufan, menyenggol pelan sahabatnya itu. 

Halilintar hanya menghela nafas, menyenderkan kepalanya di meja. Memang sedari tadi ia rasanya tak bersemangat, bahkan pelajaran pun tidak ada yang masuk ke kepalanya. 

Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah Ice yang tengah terbaring di rumah sakit.. dan Solar. 

Solar tidak masuk hari ini, dan sejujurnya itu membuat Halilintar semakin khawatir. 

Ia sudah menghubungi Solar sejak semalam, namun sang kekasih tak kunjung mengangkat teleponnya ataupun membalas chat nya. 

Rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Permasalahannya dengan Ice masih membara hebat, dan sekarang Solar ikut-ikutan menambah beban pikirannya.

Padahal ia berharap bahwa Solar sebagai kekasihnya akan menjadi penghibur disaat seperti ini. 

Semarah itukah Solar padanya? 

"ke kantin yok, kamu harus makan" ajak Blaze, yang tumben-tumbenan peduli. 

Halilintar menggeleng. 

"nanti kamu sakit loh.." suara Thorn. 

Halilintar kembali menggeleng, pelan. 

"jih!" Blaze tau-tau menjitak kepala Halilintar, membuatnya meringis sakit. 

"batu banget sih?! ayolah- kita tau kamu khawatir, tapi apa dengan jadi zombie gini bisa bikin Ice lebih baik?? nggak kan?? kalo kamu sakit, bukan cuma kita atau Solar yang khawatir, tapi Ice juga!"

Baru kali ini ia mendengar Blaze mengomel sampai bertubi tubi. Mendengar omelannya itu, entah kenapa Halilintar terenyuh. Lebih tepatnya terharu. 

Teman-temannya mungkin bobrok, namun mereka selalu bisa menjadi penyemangat disaat Halilintar sedih. Ia merasa beruntung.

Akhirnya Halilintar pun menyerah dan membiarkan teman-temannya itu menggiringnya keluar kelas untuk pergi ke kantin. Mendengarkan mereka tak ada salahnya.. toh untuk kebaikan Halilintar juga. 

Saat mereka melewati kantor kepala sekolah, suara ribut ribut terdengar dari dalam ruangan hingga menarik perhatian mereka berempat. 

Halilintar dan teman-temannya pun memberanikan diri mengintip kedalam ruangan dan alangkah terkejutnya saat mereka melihat Solar tengah berada didalam, berbicara serius dengan kepala sekolah yang juga adalah ayahnya.

Solar tidak memakai seragam, penampilannya acak-acakan seperti baru melalui perjalanan yang jauh. 

"PAPA KETERLALUAN!!!" 

Teriakan Solar yang tiba-tiba itu mengejutkan mereka berempat yang tengah menguping diluar ruangan. 

"BISA BISANYA PAPA NYEMBUNYIIN HAL INI- SELAMA INI!!"

"DIAM!! papa ngelakuin semua ini demi kamu, Solar!! kamu harus tau kalo papa sayang banget sama kamu!" sang kepala sekolah membalas dengan tak kalah sengitnya.

"TAPI APA, PA??? SETELAH PAPA LAKUIN ITU PAPA BUANG DIA GITU AJA??! HATI PAPA KEMANA, PA??!!"
 

"SOLAR LIGHT!!"

Plakk!

Solar langsung terdiam. 

Sang ayah baru saja menampar wajahnya dengan sangat keras hingga seluruh wajahnya terasa berdengung , memproses rasa sakit yang datang kemudian.

"jaga bicara kamu! kamu gak tau apa apa! Kamu harusnya bersyukur bisa hidup!!" 

Solar menggeram rendah, memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan yang kerasnya tak main main itu.

"gak salah... kalo orang-orang bilang papa itu kejam.. papa memang gak pernah mikirin perasaan orang lain.." lirihnya.

Solar beranjak pergi setelah itu, menuju pintu dengan ekspresi wajah yang tak dapat dijelaskan. 

Mereka berempat yang tengah menguping pun buru-buru menyingkir dan pergi dari sana. Halilintar sempat membatu, namun tiga sahabatnya menyeretnya pergi dengan cepat agar tak bertemu muka dengan Solar. 

Baiklah, situasi semakin rumit sekarang ini. 

Halilintar kembali diserang oleh pertanyaan demi pertanyaan mengenai apa yang barusan terjadi. 

Dan entah kenapa ia merasa pertengkaran Solar dan ayahnya itu ada hubungannya dengan sahabatnya. 





*** 






Ice masih belum bangun. 

Itulah yang pertama kali dilihat Halilintar saat ia mengunjungi Ice sore itu. Seperti janjinya, ia kembali setelah pulang sekolah. 

Halilintar tak bisa berbuat apa apa, ia hanya duduk di sebelah kasur Ice dan menungguinya. 

Sebelah sikunya ia gunakan untuk menopang kepalanya, menatap wajah tenang Ice yang masih setia tertidur lelap itu. 

Hei Ice, aku tau kau memang suka tidur.. tapi bukankah tidurmu ini terlalu lama? 

"Ice.. kamu bisa denger aku nggak?" Halilintar bertanya lirih, pandangannya tak sedikit pun teralih dari sana.

"Ice.. kamu tidurnya lama banget.. lama banget.. sampe aku kangen.." ia berkata lagi, netra ruby miliknya mulai berkaca kaca. 

"cepetan bangun... dan peluk aku, kayak biasanya..Ice.." 

Ibu Ice yang juga berada disana hanya memandangi Halilintar dengan sendu. Ia kemudian permisi keluar untuk membeli makanan..katanya. Namun sebenarnya ia hanya ingin memberi ruang lebih pada Halilintar dan Ice. 

"kamu tau nggak Ice.. walaupun aku punya pacar lain.. tapi yang ada di pikiranku selalu kamu.." suaranya gemetar. 

"...aku aneh ya.." 

Halilintar mengambil tangan Ice dan mengusapkannya ke pipinya, merasakan tekstur dingin yang selalu ia rindukan. 

"aku sayang sama kamu.. sama seperti aku sayang sama Solar.." desahnya "aku memang egois... sejak awal, aku gak bisa memilih diantara kalian..." ia terisak. 

"tapi sekarang.. aku cuma mau kamu..Ice.. ayo bangun.." 

Entah kenapa, perasaan Halilintar mengatakan bahwa Ice pasti bisa mendengarkannya saat itu. Walaupun ia mendengarkan dibawah alam sadarnya. 

Mengusap kasar air matanya, Halilintar menghela nafas. Ia membaringkan kepalanya pada kasur Ice, membiarkan tangan besar Ice berada di kepalanya. 

Meskipun Ice tertidur.. setidaknya, Halilintar ingin merasakan sentuhan Ice. 

"cengeng banget...bodoh" 

Halilintar terkesiap saat tiba-tiba suara yang familiar itu datang dari sebelahnya. Tangan besar yang sedari tadi ia genggam, kini mengusap rambutnya dengan lembut.

Kedua matanya melebar, menahan rasa terkejut dan bahagia yang seketika melanda otaknya kala itu.

"I-ice..?"

Halilintar melirih, seakan tak percaya. Airmata yang sedari tadi ditahannya pun mulai berjatuhan.

"Ice!" 

Tanpa pikir panjang, Halilintar langsung memeluk sosok Ice yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia memeluknya dengan isak tangis dan tubuh yang gemetaran.

"aku kangen, sialan.." ia terisak, memeluknya erat.

Tangisnya semakin menjadi saat merasakan tangan Ice perlahan merengkuh tubuhnya, mengusap lembut rambut hitamnya. 

"jangan tinggalin aku lagi, Ice.. aku minta maaf buat segalanya.." lirihnya. 

Dapat ia rasakan Ice tengah tersenyum, sesekali ia mendesis menahan sesuatu yang seakan menyakitinya dari dalam. Ice kemudian menarik diri dari pelukannya dan memandang Halilintar dengan netra birunya yang sedingin es.

"aku nggak kemana mana kok.. dan kamu gak perlu minta maaf.. itu bukan salah kamu" 

Ice berkata lembut, ia menangkup kedua pipi Halilintar dan menghapus jejak airmata di pipinya dengan kedua jempolnya.

"jangan nangis, bodoh. Kamu jelek tau kalo nangis" kekehnya.

"a-aku gak nangis!" Halilintar mengelak sambil berusaha menghentikan tangisnya. 

"maaf..." ia melirih lagi.

"gimana? a-apa yang kamu rasain sekarang?? masih sakit??" Halilintar bertanya bertubi-tubi, tanpa sadar mengguncang pelan tubuh Ice hingga sang empu meringis.

"duh... j-jangan guncang...bodoh, kepalaku pusing..nih.." ringisnya.

Halilintar yang tersadar pun langsung melepaskan Ice "m-maaf!" 

Ice menggeleng pelan, senyum tipis terulas di wajahnya "kamu terlalu banyak minta maaf.." 

"ma- um.." Halilintar hampir saja meminta maaf untuk yang kesekian kalinya, namun cepat-cepat menghentikannya.

Ice hanya tersenyum menatap sahabatnya itu, ia lalu bertanya lirih. 

"ibuku..mana?" tanyanya. 

"ada kok, tadi dia keluar sebentar..beli makanan" jawab Halilintar, ia lalu kembali meraih tangan Ice dan menggengamnya. 

Tiba-tiba, seperti tersambar petir di siang bolong. Halilintar tersadar akan sesuatu. 

"kamu.. j-jangan jangan..kamu denger ucapan aku dari tadi ya?" 

Ice pun tersenyum maklum melihat reaksi sahabatnya itu, kemudian mengangguk pelan.

"sedikit.." ucapnya "dasar sahabatku yang paling egois sedunia.." 

Ucapan Ice barusan seakan menusuk langsung ke ulu hati Halilintar dan membuatnya sedih kembali. 

"tapi entah kenapa aku malah sayang banget sama kamu.. sesayang itu, sampai aku sama sekali gak bisa marah sama kamu.." 

Kepala Halilintar semakin tertunduk mendengar kata-kata yang seolah menyindirnya itu. Rasanya malu.. Ia merasa begitu berdosa.

"Tapi.. aku juga sadar kok.. Kalo dari awal kamu gak pernah suka sama aku.. makanya aku agak kaget pas kamu terima aku kemarin itu.."

Ice membetulkan posisinya, berusaha untuk beralih ke posisi duduk. Terlihat ia sedikit kesulitan namun akhirnya ia berhasil duduk dengan bersandar di bantalnya.

"Yah... Mungkin memang takdirnya kita akan selalu jadi sahabat aja.." ia tersenyum pahit "tapi gak papa... setidaknya, kamu masih ada di sini.."

"Ice.. aku minta ma-" 

"sekali lagi kamu minta maaf, aku cium kamu sekarang" potong Ice, setengah bercanda.

Halilintar langsung tutup mulut dan tak jadi bicara. 

Ice terkekeh melihat Halilintar yang ciut, ia lantas mengisyaratkan Halilintar untuk lebih mendekat dan mengecup lembut pipi Halilintar. 

Halilintar terkejut dibuatnya, dan wajahnya langsung memerah malu.

"yang seperti ini nggak apa apa kan?" tanya Ice. 

"ah..Ice.." Halilintar tersenyum malu malu sembari memegang sebelah pipinya. Ia lalu mengangguk pelan. 

"kenapa.. kamu gak pernah bilang apa apa soal penyakitmu..Ice?" Halilintar berucap pelan. 

Netra biru Ice sedikit melebar, melihat itu membuat Halilintar menghela nafas. 

"aku..tau, kamu memang penuh rahasia.. tapi kita udah sahabatan lama banget.. dan apa persahabatan kita gak cukup buat aku diizinkan tau mengenai kamu tanpa harus mendengarnya dari orang lain?" 

Ice hanya tersenyum, kemudian mengalihkan pandangannya pada jendela di sampingnya. 

"gak semua hal bisa aku kasih tau kamu..Hali" 

"t-tapi kenapa kamu harus nyembunyiin semua ini?? bahkan soal kemoterapi kamu juga-- kenapa Ice??" tanya Halilintar bertubi tubi, rasa sesak mulai melanda dadanya sekali lagi.

"kenapa?" Ice balik menatap Halilintar "karena aku tau reaksimu bakal kayak gini.." kekehnya. 

"kalau aku kasih tau, kamu bakal sedih.. dan bakal kasihan sama aku.. aku nggak mau itu, Hali" lanjutnya "aku mau kamu selalu ingat apa yang baik baik aja tentang aku.. bukan yang sedih sedihnya.." 

Rasanya Halilintar ingin menangis lagi mendengar perkataan Ice. Walaupun ia bermaksud baik dan ingin meninggalkan kenangan-kenangan indah di hati sahabatnya, namun tetap saja pada akhirnya hati Halilintar lebih sakit lagi karena mengetahui fakta yang selama bertahun tahun disembunyikan sahabat terbaiknya itu, dari mulut orang lain.

"kamu itu bodoh..Ice.." Halilintar terisak kecil "percuma kamu pinter di akademik kalo kamu gak pinter menganalisa perasaan sahabatmu sendiri.." 

Halilintar lalu kembali memeluk Ice, dan membiarkan dirinya hanyut dalam afeksi hangat yang selalu membuatnya merasa nyaman sejak dulu. 

"kamu harus sembuh... dan bersamaku selamanya" 

Ice tak merespon, melainkan hanya tersenyum dalam diam. Tak ada yang tau apa arti senyumannya saat itu.

Mereka berdiam disana sepanjang sore, tanpa bertukar sembarang kata-kata dan berpelukan seperti tak ada hari esok. 

Seiring dengan itu, sinar matahari oranye yang menyinari ruangan itu perlahan meredup dan menghilang ditelan malam. 







***







Sementara itu,

Solar tengah berlari sendirian ditengah lebatnya salju hari itu. Ia berlari tak tentu arah, menelusuri jalanan yang sepi. Ia bahkan tak mengenakan jaketnya, selain baju rumahan tipis yang dikenakannya.

Rasa dingin yang menyerang tubuhnya pun tak ia pedulikan, ia hanya berlari dan terus berlari sambil menangis ditengah gelapnya malam. 

"ah!"

Langkahnya terhenti saat ia tiba-tiba tersandung sebuah batu yang cukup besar. Ia jatuh terjelembab hingga wajahnya mendarat pada bantalan salju itu.

Ia perlahan bagun, mengangkat wajahnya yang sudah tak karuan. Airmatanya yang tak berhenti mengalir seakan melelehkan butiran salju yang mengotori wajahnya, ia menangis lagi.


'kenapa baru sekarang... kenapa kamu juga diem aja selama ini...maafin aku.. Ice' 








To be continued. 



Oke- mungkin bakal up 2 hari lagi 🤣
Adios~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro