Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

きゅう

Kayaknya aku gabisa upload tiap hari lagi-
Kayaknya bakal 2-3 hari sekali haha..
Maap yah

Semoga kalian masih terhibur!

Happy reading!

.

.

.

.

.




Dokter Hans 

;Ice? 

;Kamu ada jadwal kemo kan hari ini? 

;Jangan lupa ya, seperti biasa. 

Dok..;

Saya capek.;

Saya mau udahan aja, boleh gak?;

;Saya paham kalau kamu capek. 

;Capek itu biasa, tapi jangan menyerah. 

;Pasti ada jalan keluar, Ice.

Jalan keluar?; 

Dok, setiap harinya keadaan saya; tambah parah.

Akhir-akhir ini mimisan dan sakit; kepala saya sudah tak terkontrol.

Rasanya semakin kemo keadaan saya; malah semakin parah.

;Kami akan terus mengusahakan yang terbaik untuk kamu.

;Karena itu kamu tidak boleh menyerah. 

;Kalau kamu menyerah, bagaimana dengan kekasih yang ingin kau bahagiakan itu? 

;Bagaimana dengan ibu kamu?

Dokter..;

Dia sudah pergi, dan tidak; membutuhkan saya lagi.

Saya sudah tidak bisa mewujudkan; keinginan mama saya,

 untuk menikah dengan orang yang; saya cintai.

Jadi sekarang saya sudah pasrah.;








❄❄❄








Ice tidak masuk.

Itulah yang menjadi pikiran Halilintar sejak bel masuk berbunyi.

Tadi pagi, ia pergi ke halte seperti biasanya dimana Ice akan menunggunya disana. Namun ia salah, Ice tidak ada disana dan walaupun ia mencoba menghubunginya, Ice tidak ada kabar sama sekali sejak kemarin.

Ice bukanlah tipe orang yang akan bolos sekolah dengan alasan sepele. Ia bahkan tetap masuk sekolah saat terserang flu atau demam. Hasratnya untuk belajar lebih tinggi daripada hal hal itu.

Ia kira, Ice hanya terlambat masuk karena ada urusan. Namun ini sudah lewat jam pelajaran kedua dan Ice masih belum menampakan batang hidungnya.

"dor!"

"EH KODOK!" ia nyaris terjungkal dari kursi saat Taufan dari belakang tiba-tiba mengagetkannya. Ia lantas menatap marah Taufan.

"ih! ngagetin!" kesalnya.

"lagian bengong aja! nanti kemasukan kamu!"

"kemasukan apaan- dih!" dengus Halilintar, merebahkan kepalanya pada meja di depannya.

"kenapa sih non? dari tadi pagi murung aja?" Blaze disampingnya bertanya, penasaran. Tidak biasanya sahabatnya bersikap seperti hari ini.

"oh iya ngomong-ngomong si Ice kemana? bukannya biasanya bareng kamu?"

Deg!

Pertanyaan itu seakan menusuk langsung kedalam jantung Halilintar. Sejujurnya, itulah pertanyaan yang sedari tadi menghantui kepalanya dan ingin ia ketahui jawabannya.

"Si ketua kelas kan biasanya gak pernah bolos ya..aneh banget" ujar Thorn, Taufan pun turut meng-iya kan.

"eh tapi- dia selalu izin setengah hari tiap hari jumat kan? kira-kira kenapa ya.." gumam Taufan penasaran.

Mendengar perkataan Taufan membuat Halilintar tersadar, bahwa ia tak pernah pulang bersama Ice setiap hari jumat karena ia selalu izin setengah hari. Entah apa yang ia lakukan namun ia selalu beralasan urusan keluarga.

"ah udahlah- gak usah mikirin orang deh! mending mikirin temen kita yang sekarang udah menemukan cinta sejati cieilehh~" Blaze menepuk nepuk pundak Halilintar dengan gembira. Entah dapat info darimana, tau tau saja tiga orang itu sudah tau tentang hubungan Halilintar dan Solar.

"Huh! Gebetan Thorn malah diambil Hali!" gerutu Thorn "tapi gapapa deh- lagian Thorn udah ada gebetan baru!"

"astaga Thorn- siapa hey?? spill the tea dong!"

"hehehe siapa lagi~ ketua osis kita kak Gempa"

"hah?? kak Gempa yang itu?" Taufan membelalak kaget.

"Dey! kak Gempa udah punya pacar lah- Ying anak kelas sebelah kan?"

"terus kenapa?" Thorn menaikan sebelah alisnya.

"kamu mau nikung, Thorn?"

"denger nih.. selama janur kuning belum melengkung, selalu ada kesempatan untuk menikung" jawab Thorn santai.

"lagipula- aku udah banyak deketin cowok-cowok yang udah punya pacar, tapi pada akhirnya mereka ninggalin pacarnya demi aku"

"yah- memang pesona tunas desa kita gak bisa dipungkiri sih, sayangnya ga mempan di Solar hahaha!"

"sst sst! jangan sebut-sebut Solar- pacarnya disini nih" bisik Blaze sembari melirik Halilintar yang nampak cuek dan tidak tertarik dengan pembicaraan mereka.

"kamu kenapa sih, daritadi bengong aja?? kita tuh khawatir tau!"

"haaah..."

Halilintar menghela nafas panjang, sebelum bangkit dan menatap teman-temannya satu per satu.

"aku khawatir sama Ice" ujarnya.

"lah? ternyata itu yang dipikirin?" Taufan geleng-geleng kepala "kenapa gak telfon aja? atau sms gitu"

Halilintar merotasikan bola matanya"kalo bisa udah kulakuin dari kemaren kali"

"ke rumahnya kalo gitu? kamu bukannya sering main ke rumah Ice?" sahut Blaze.

"aku diusir mamanya"

"HA??"

Tiga orang itu berteriak hingga menarik perhatian seisi kelas. Mereka lalu semakin mendekat pada Halilintar dan menatap lekat pemilik netra ruby itu.

"eh eh eh kok bisa?? kenapa??"

"ahh- pasti gara gara kamu jadian sama Solar!"

"jangan jangan Ice sakit hati!"

"ya pastilah, diputusin masa ga sakit hati"

"ihh apaan sih kalian!" Halilintar yang kesabarannya sudah di ujung tanduk itu langsung menggebrak meja dan sekali lagi menarik perhatian teman sekelasnya.

"nggak gitu tau! jangan asal ngomong dulu deh!" kesalnya. Tiga orang didepannya pun langsung terdiam.

Halilintar menghembuskan nafas kasar "maaf.. tapi aku beneran bingung sekarang ini.. aku-"

"eh eh Hali! itu Ice!"

Halilintar langsung menengok begitu Blaze menepuk pundaknya. Perhatiannya tertuju pada pintu kelas dimana sosok Ice berjalan masuk , masih memakai ranselnya dan langsung duduk di tempatnya.

Ia tidak bolos ternyata, namun hanya terlambat masuk seperti dugaan Halilintar.

Melihat itu, Halilintar langsung berdiri dari tempatnya dan berniat menghampiri Ice. Namun Solar yang tau-tau ada di belakangnya menahan lengannya.

"sayang, mau kemana?" tanyanya.

"err.. mau ke.."

Halilintar menegak ludah, tak tau harus menjawab apa. Ia tau Solar tak suka jika Halilintar menyebut nama Ice saat sedang bersamanya, namun ia benar-benar perlu bicara dengan sahabatnya itu.

"jangan kemana mana.." ucapnya, sedikit mengeratkan cengkramannya pada pergelangan tangan sang kekasih. 

Pandangan Halilintar kembali beralih pada Ice yang hanya duduk disana dalam diam. Ia tidak banyak bicara seperti biasanya. Padahal biasanya dia akan mengobrol dengan teman sekelilingnya. 

Netra-nya melebar menyadari sesuatu yang berbeda dari Ice hari ini. Wajahnya terlihat pucat, namun jelas kesedihan tersirat di wajahnya. Melihatnya yang seperti itu membuat Halilintar seperti tertampar dengan sangat keras. 

Entah kenapa ia merasa bahwa... ini adalah salahnya.

Teman Ice, Sai yang duduk di depannya nampaknya sadar akan kondisi Ice yang tidak seperti biasanya dan mulai mengajaknya bicara.

Ice sempat mengangkat kepala dan meresponnya, namun dapat dilihat dari reaksinya yang begitu lemas tak bertenaga bahwa ia tidak sedang baik baik saja. Karena itulah Sai berinisiatif untuk mengajaknya ke ruang kesehatan. 

Ice sendiri, sebenarnya sudah merasa tak enak badan sejak pagi. Setiap hari jumat, dimana ia selalu izin untuk terlambat masuk sebenarnya karena ia harus menjalani kemoterapi yang dijadwalkan setiap minggu. 

Dokter sebenarnya menganjurkan Ice untuk beristirahat total selama seharian, namun Ice tidak kenal kata membolos dalam hidupnya. Ia terus berusaha untuk memenuhi absennya walaupun ia harus menahan sakit dan pusing karena efek terapi dan obat-obatan itu.

Ia tau bahwa hidupnya tak lama lagi. Kemoterapi yang seharusnya dilakukan untuk membantunya bertahan, malah memperburuk kondisinya yang sudah buruk. Ia merasa begitu lemas setelah kemo dijalankan, namun tak dapat dipungkiri terapi inilah yang membantunya untuk dapat bertahan hingga saat ini. 

Sebelumnya, ia sangat ingin bertahan karena Ibu.. dan Halilintar, orang yag sangat ia cintai. 

Namun sekarang.. ia ingin bertahan untuk siapa?

Melihat wajah Ice yang kian memucat membuat Sai langsung bangun dan membantu Ice berdiri untuk pergi ke ruang kesehatan. Kepanikan Sai membuat seluruh murid menengok dan mengarahkan perhatian pada dua orang yang tengah berjalan keluar kelas. 

Tes, 

Sesuatu yang menetes di lantai membuat seisi kelas tercengang. Netra Halilintar membelalak saat ia menyaksikan sendiri Ice yang kini memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar, saking banyaknya hingga menetes pada lantai. 

Sai semakin gencar menyeret tubuh Ice yang setengah sadar itu menuju ruangan UKS. Ia panik luar biasa.

Sejak awal mengenal Ice, ia tak pernah sekalipun melihat Ice dalam kondisinya yang seperti ini. Dadanya sakit..entah kenapa, melihat Ice yang tengah menderita.

Namun di tengah perjalanan, mendadak tubuh Ice semakin berat terasa di pundaknya. Ternyata Ice yang tak kuat pun telah pingsan dengan darah yang masih tak berhenti keluar dari hidungnya. 

Beruntungnya, para warga kelas yang ikut panik langsung memanggil guru dan guru juga mengambil tindakan untuk menanggil ambulans. Melihat kondisi Ice yang begitu buruk, penanganan dari Unit kesehatan sekolah saja tidak akan membantu.

Mereka tidak ingin mengambil resiko lebih jauh dan membahayakan kesehatan anak murid unggulannya itu.

Halilintar lantas berlari keluar kelas, tidak menghiraukan Solar yang mencegahnya. Ia tidak lagi mempedulikan tatapan Solar, ia tidak lagi mempedulikan apakah Solar akan marah padanya setelah ini. 

Solar yang terkejut pun bergegas mengikuti langkah Halilintar yang semakin menjauh. Sementara Halilintar sendiri sudah hampir menangis melihat keadaan Ice, ia membantu menahan tubuh Ice agar tidak terjatuh ke tanah sambil terus memandangi wajah pucat Ice yang nyaris seperti mayat. 

Ambulans datang tak lama setelah itu, membawa tubuh Ice bersama seorang guru ke rumah sakit terdekat. Halilintar hendak ikut namun lagi-lagi Solar mencegahnya. 

Solar mengatakan bahwa sebaiknya mereka memberikan Ice waktu untuk istirahat dan menjenguknya nanti sepulang sekolah.

Halilintar sempat tak setuju karena ia begitu khawatir dengan Ice dan ingin segera mengetahui kondisinya, namun Solar bersikeras sehingga Halilintar mau tak mau pun menurutinya. 













*** 










Ice langsung dibawa ke ruangan ICU begitu tiba di rumah sakit. Sang ibu yang dihubungi oleh pihak sekolah pun telah sampai di rumah sakit dan mendampingi Ice hingga masuk ke ruangan.

Reaksi sang ibu tak perlu ditanyakan, ia menangis dan hancur melihat kondisi anaknya yang kian memburuk. Ice sangat pandai untuk menyembunyikan rasa sakit dan penderitaannya selama ini, dan kini ia telah mencapai batasnya. 

Sementara itu, 

Halilintar yang sudah kelewat khawatir pun akhirnya nekat kabur dari kelas pada saat pergantian jam. Pada saat itu, Solar tengah pergi ke toilet dan teman-temannya membantu Halilintar untuk kabur.
Tanpa membuang sedetikpun, ia segera pergi dari sana menuju rumah sakit tempat Ice dibawa. 

Ia sudah tidak peduli mengenai Solar yang melarangnya.. ia tidak peduli jika Solar akan marah atau mendiamkannya, yang ada dipikirannya sekarang hanyalah Ice frost. Ia ingin segera mengetahui apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

Dengan menggunakan taksi, ia pun sampai di rumah sakit kurang dari lima belas menit. Ia langsung menuju ruangan Ice sesuai dengan info yang ia dapatkan dari bagian informasi dan langkahnya terhenti saat melihat Ibu Ice tengah menangis, bersender pada pintu ruangan itu.

Sesaat, ia ragu untuk melangkah lebih jauh. Membayangkan kondisi Ice saat ini hingga sang ibu menangis begitu keras, pastilah itu bukan mimisan biasa. 

'Ice.. sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?'

"seharusnya kau berikan sakit itu padaku, ya Tuhan... kenapa.. kenapa harus anakku?" 

Samar-samar, terdengar ibu Ice terus melirihkan kata-kata itu disela sela tangisnya. 

"ini salah mama.. mama yang selalu memaksa Ice.. Ice harusnya melawan, bukannya pasrah seakan kamu nggak merasakan apa apa.." 

Kalimat dari sang ibu membuat Halilintar terenyuh. Setitik airmata pun jatuh di pipinya mendengar tangisan penuh sesal yang tak henti-henti dikeluarkan oleh sang ibu. 

Ia tau betul bahwa sejak kecil Ice sudah dibiasakan untuk menjadi sempurna. Sempurna dalam pelajaran, sempurna dalam keahlian, sempurna dalam penampilan. Rupanya kesempurnaan itu digunakan untuk menutupi ketidaksempurnaan yang ada dalam dirinya. 

Sang ibu tau itu.. dan ia memilih untuk menyembunyikannya.





"hey.."

Suara seorang guru yang tadi mengantar Ice membuyarkan lamunan Halilintar. Ia tersadar saat guru itu menepuk pundaknya, hingga ia menoleh menatap guru itu.

"kamu ngapain disini? bukankah masih jam sekolah?" tanyanya.

Halilintar terdiam, kepalanya kembali tertunduk seolah enggan untuk menjawab. 

"saya paham kamu khawatir dengan sahabat kamu, tapi kamu tetap tidak boleh disini.. kelas masih berlangsung"

"apa yang kau lakukan disini??" 

Halilintar dan sang guru sontak menoleh saat Ibu Ice tiba-tiba menghampiri mereka berdua dengan wajah tak senang. Airmatanya pun diseka kasar dan ia menatap Halilintar dengan pandangan tak suka.

"tante, aku ingin bertemu dengan Ice" 

Kali ini, Halilintar memberanikan diri menjawab. 

Ia tau, ibu Ice sedang dalam keadaan hancur sekarang ini dan menyahutinya mungkin akan memperparah keadaan. Namun ia tak dapat menahan dirinya lebih jauh. 

Ia ingin melihat Ice. Kekhawatirannya sudah tak dapat ia bendung lebih jauh.

"kamu tak usah pura pura khawatir dengannya- lebih baik kamu pulang!" 

Ibu Ice berkata dengan tegas. Suaranya serak karena habis menangis. 

"tidak, bagaimanapun juga.. Ice itu pacar Hali! Hali mau liat Ice!" 

Halilintar bahkan tak sadar saat ia mengatakan itu dan membuat wajah sang ibu semakin memerah menahan marah. 

"lancang kamu!! Jangan pernah anggap dirimu sebagai kekasih dari anakku!" bentaknya, nyaris saja menampar Halilintar kalau tidak segera dihentikan oleh guru. Tapi itu tak menghentikan Halilintar untuk tetap memperjuangkan dirinya.

"tante- saya benar benar minta maaf kalau saya berbuat salah.. saya benar benar khawatir dengan Ice dan saya tidak akan pulang..sebelum saya bisa bertemu Ice! Saya menyayanginya dengan tulus! Saya mohon, izinkan saya tinggal disini hingga Ice sadar!" 

Halilintar langsung menundukan tubuhnya 90 derajat, berusaha memohon pengertian dari sang ibu untuk mengizinkannya tinggal. Ia terisak seperti anak kecil.

Sang ibu tidak membalas. Walaupun tidak melihat secara langsung, Halilintar dapat merasakan langkah sang ibu yang menjauh dari sana. Menatap punggung sang ibu membuatnya turut merasakan kesedihan sang ibu saat ini. 

Halilintar pun memberanikan diri mengambil langkah mendekat pada ruangan Ice. Sekuat tenaga berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh begitu melihat kondisi Ice dari balik kaca yang ada di pintu ruangan itu. 

Tubuh Ice terbaring lemah tak sadarkan diri di kasur dengan berbagai selang yang entah apa fungsinya menempel di tubuhnya. Suara mesin dan monitor yang campur aduk menambah suasana tegang di ruangan itu.

Kondisinya terlihat buruk, lebih buruk dari yang ia bayangkan. Halilintar hanya bisa berdiri kaku disana, menahan rasa sesak di dada karena harus menyaksikan sahabat terbaiknya harus menanggung sakit yang begitu parah. 

Ia bahkan tak tau penyakit apa yang diderita Ice dan tidak berani bertanya, namun ia tau bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. 




"Malignant Lymphoma.." 

Seakan bisa membaca suara hatinya, Ibu Ice tiba-tiba berkata pelan tanpa menatap Halilintar. 

"penyakit itu sudah diderita Ice sejak kecil. Namun aku juga salah, karena aku memaksakannya untuk mengejar prestasi yang berujung petaka pada anakku sendiri.." suaranya bergetar, menahan tangis. 

"aku tidak mendengarkan sakitnya, dan ia juga tidak bicara lebih. Bahkan setelah kemo yang ia jalani setiap jumat, aku masih memaksakannya untuk masuk sekolah.." 

Perkataan sang ibu barusan mengejutkan Halilintar. Jadi selama ini ... Ice terlambat masuk karena kemoterapi.. 

...dan ia tetap masuk sekolah karena disuruh sang ibu??

Demi Tuhan, Halilintar benar-benar menahan dirinya untuk tidak membalas dengan mengepal erat tangannya.

Selama ini Ice menyembunyikan dan menyimpan semuanya sendirian. Ia selalu bertingkah baik-baik saja di hadapan semua orang, padahal sebenarnya.. 

Ice.. anak itu memang sosok yang penuh rahasia. 

"aku hanya tidak ingin anakku jadi seperti suamiku, orang berandal yang tidak tau diri dan tidak berpendidikan.. kalau bukan karena dia..." desisnya, penuh amarah.

Ayah Ice.. Halilintar tak tau banyak soal itu. Namun ia ingat Ice pernah bercerita bahwa ayahnya meninggalkan ibunya saat ia masih kecil, ia sendiri tak ingat banyak tentang sosok sang ayah.

"tapi sekarang, aku sadar itu salah. Aku seharusnya membiarkan Ice melakukan apa yang ia inginkan..bukannya menurutiku kemauanku.." 

Kalau saja ini bukan Ibu Ice yang berdiri didepannya, Halilintar mungkin sudah mengamuk dan memukulnya di tempat. 

Bagaimana bisa seorang ibu tidak mengerti kesakitan dan penderitaan yang dialami anaknya...hanya untuk memuaskan keinginannya sendiri?? Hanya untuk terlihat baik dihadapan orang lain??

Ice harus menanggung dan menahan penyakitnya, mengikuti kompetisi yang memaksa dirinya untuk bekerja keras melebihi kapasitasnya. Padahal mungkin.. mungkin saja apa yang ia kerjakan selama ini bertentangan dengan keinginannya.

"kamu marah sama tante? silahkan, Hali .. kamu boleh marah sepuasnya..." Ibu Ice tersenyum pahit "saya memang orangtua yang buruk, sejak awal.. saya sudah gagal jadi orang tua" 

"nggak, tante" Halilintar menyahut cepat. Netra ruby yang berkaca-kaca itu perlahan menoleh dan menatap wajah sang Ibu dengan lekat. 

"gak ada orang tua yang gagal.. tante harus tau kalo Ice itu sayang banget sama tante.." ujar Halilintar, nadanya terdengar sendu. 

"saya gak punya hak untuk marah sama tante.. saya paham kalau tante melakukan ini karena tante sayang sama Ice.. saya juga sayang sama Ice, dan saya harusnya tau hal ini sejak awal.." 

"oh- jadi kamu ngaku?" 

Ucapan sang Ibu tiba-tiba mendingin, tatapan sendunya mendadak berubah tajam. 

"kondisi Ice drop itu juga gara-gara kamu, Halilintar!" 

Sang ibu mulai membentak lagi, kali ini lebih keras. 

"Ice baik baik saja sampai kamu memutuskannya karena pria itu! kamu itu memang gak punya harga diri ya, Halilintar?? Saya menyesal mempercayaimu sejak dulu" 

Mencoba mencerna perkataan sang ibu barusan, Halilintar hanya terdiam di tempatnya. Jadi Ice sudah tau tentang dirinya dan Solar... bahkan ibunya juga??

"kamu gak pernah tau seberapa besar Ice mencintai kamu- dan bagaimana senangnya dia saat kamu memberinya harapan! Saya menyesalkan keputusan Ice yang memilih untuk mencintai orang plin plan seperti kamu!" sang ibu mendengus kesal, berusaha untuk mengontrol emosinya. Ia tidak ingin berteriak di depan anaknya.

"Saya paham kalau cinta memang nggak bisa dipaksakan, namun saya juga nggak bisa marah.. karena sejak awal, saya tau kalau kamu memang nggak mencintai Ice. Tatapanmu pada Ice menjelaskan semuanya" 

Halilintar pun tertunduk, mengulum bibirnya. Lidahnya yang kelu berusaha untuk melontarkan kata-kata, namun sulit sekali. Rasanya berat.

Ia tau ini salahnya. Ia menerima Ice tanpa berpikir jauh tentang perasaan Ice, ia selalu menganggap Ice sebagai sosok yang suka bercanda dan bermain-main. Hingga ia sadar bahwa perasaan bukanlah sesuatu yang layak dibercandakan. 

"Maaf.." lirih Halilintar.

Sang ibu menggeleng.

"Maaf gak akan bisa mengembalikan kondisi Ice.. jadi simpan saja maaf kamu untuk kamu sampaikan langsung ke anak saya, karena dia yang paling membutuhkannya.." 

Setelah itu, pandangan mereka pun kembali beralih pada Ice yang terbaring dari balik pintu. Ingin rasanya Halilintar menerobos masuk saat itu juga dan memeluk sahabatnya itu, mengungkapkan seluruh kesedihan dan permintaan maafnya yang mungkin sudah terlambat itu.

'Ice.. aku minta maaf, aku bukanlah sahabat terbaik seperti yang selalu kamu bilang... aku gagal..' 

Tak dapat lagi menahannya, air mata Halilintar akhirnya jatuh juga, membasahi kedua pipinya.

'Ya Tuhan.. tolong berikan aku kesempatan untuk menjaga Ice..kali ini. Tolong selamatkan dia..' 






To be continued.


Mungkin bakal up 2-3 hari sekali ya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro