-[🌿] N I N E
"AKU TERLAMBAT!"
Teriakan yang tertahan itu tak membutuhkan waktu lama untuk diikuti dengan suara keributan lainnya. Mulai dari peraduan piring-piring, sampai suara keributan lainnya yang bisa mengganggu tetangga yang lain.
Tak biasanya gadis itu bangun terlambat. Tidak biasanya pula dia mengalami susah tidur. Entah apa penyebabnya, namun Satowa berharap hal ini bukan karena head-pat yang sudah terjadi berhari-hari yang lalu dimana pelakunya sendiri pasti sudah melupakannya.
Dengan cepat, Ia segera mengunci pintu lalu berniat berlari jika saja dirinya tidak mendapati si surai pirang berdiri disana tengah mengunci pintu dengan terburu-buru. Ditambah, rambutnya sekarang masih terlihat acak-acakan tanda belum disisir sama sekali.
"Wow, gaya rambut tidur yang bagus," ucapnya sarkas.
"KAU MASIH SEMPAT BERKOMENTAR?!" Chika yang kini juga terlambat memberikan tatapan sewot. Namun pada akhirnya berusaha mengendalikan diri dengan menghela nafas, "Sudahlah, karena kau terlambat, ikut denganku. Aku akan membawa sepeda. Kecuali, kalau kau mau berlari dan semakin terlambat."
"Aku akan ikut!" terima sang gadis tanpa pikir panjang. Dengan sedikit harapan, bahwa keputusan tergesa-gesanya ini tidak salah.
Ya ... keputusannya tidak salah karena nyatanya Chika bisa mengayuh sepeda dengan cukup cepat. Namun, salahnya adalah ... pria pirang satu ini mengendarai sepeda bagaikan malaikat maut. Alias, ngajak mati!
"CHIKA BODOH! JANGAN MENEROBOS LAMPU MERAH!"
"BODOH! KAU MAU KITA MATI??! ITU REL KERETA!"
"KALAU MAU MATI, MATI SAJA SENDIRI!"
Akan tetapi, sebanyak apapun Satowa mengumpat, dan sebanyak apapun Satowa menyebut pria ini bodoh, jawaban Chika selalu sama, diselingi tawa santai serta senyum yang tak kunjung pudar.
"Tapi kita masih selamat, 'kan?"
Begitu katanya.
Disisi lain, Satowa yang panik semakin mempererat pertahanannya di atas sepeda dengan melingkarkan lengannya ke pinggang si pelaku. Mau ditaruh dimana lagi mukanya nanti dia tidak peduli, yang penting jangan sampai jatuh!
Namun sayang, secepat apapun Chika mengayuh sepeda, kedua orang tersebut tetap terlambat mengikuti jam pelajaran, dan alhasil, mereka dihukum untuk berdiri di luar kelas.
Sosok bersurai cokelat yang masih syok untuk pertama kalinya merasa bersyukur dihukum karena bisa menenangkan diri. Begitu pula dengan Chika yang bisa menghindari pelajaran sekolah.
"Kudou! Kau ingin membuatku mati muda?!"
Setelah beberapa saat menenangkan diri, akhirnya Satowa buka suara untuk protes.
"Tidak. Buktinya kita sampai disini."
"Tapi tadi kau bahkan menerobos rel kereta! Kau tidak terlalu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa hal itu berbahaya, 'kan?!"
"Sudah kubilang, yang penting kita selamat."
"Bodoh! Kau hampir membahayakan nyawamu dan nyawa orang lain, tahu! Jangan diulangi!"
Chika menyeringai jahil, "'Jangan diulangi'? Itu artinya, kau mau naik sepeda lagi bersamaku?"
Satowa melotot, wajahnya merah padam. Seolah sudah terencana secara otomatis, kakinya segera menendang bagian bawah perut Chika dengan cukup keras.
RIP Future ....
*
"Aku tahu kalau kau ini bodoh dalam sekali lihat, tapi aku tidak tahu kalau kau sebodoh ini."
"Diam! Kalau kau tidak rela, lebih baik jangan ajari aku soal ini!"
"Aku tidak suka pekerjaanku yang sudah dimulai ditinggalkan."
"Kalau begitu, kenapa kau terus mengataiku?!"
"Karena kau memang bodoh!"
"Kau menyebutku 'bodoh' tiga kali!"
"Kudou, Hozuki! Bisakah kalian tenang? Kalian sudah terlambat tadi, dan malah mengganggu siswa yang lain!"
Suara penuh ketegasan itu mengalihkan perhatian Chika dan Satowa dari buku matematika yang ada di bangku. Dua insan itu menoleh, lalu menunduk malu namun saling menghujat dalam benak masing-masing.
Sebenarnya, perdebatan dua orang berkepribadian terbalik ini bukanlah hal yang patut dipertanyakan lagi. Hozuki Satowa dengan lidah tajamnya, dan Kudou Chika yang hujatable bagi Satowa. Lengkap sudah.
Gadis itu masih canggung dengan teman sekelas yang lain, namun tidak dengan Chika. Ada kalanya Satowa berkata kasar kepada si Pirang, seolah-olah semua yang dia rasakan dan semua yang dia pikirkan ditumpahkan semuanya kepada Chika.
"Lihat? Sensei marah pada kita!" Satowa berbisik, sambil menginjak kaki Chika dengan cukup keras dan alhasil sang korban meringis kesakitan.
"Kau yang memulainya!"
"Aku tidak akan memulainya jika saja kau cepat mengerti!"
Chika berdecak sebal meskipun secara keseluruhan dia sedikit menikmati pertengkaran mereka, "Ternyata sifat aslimu memang kasar."
"Memangnya kenapa?! Kau tidak suka?!" Satowa menatap sewot, namun hanya dibalas dengan tawa tertahan dari Chika.
"Tidak, aku lebih suka kau yang seperti ini."
Bugh!
Akhh!
"Kudou, Hozuki!"
"Baik~!"
*
Jam istirahat.
Derap langkah kaki yang disamarkan suara lain mengisi. Sang empu dari kaki ramping tersebut menarik nafas dalam, merasa lelah dengan kejadian hari ini. Mulai dari keterlambatan, boncengan menuju kematian, sampai pertengkaran akibat soal tentang hitungan.
Sekarang akan ada apa lagi? Penyebar kabar buruk? Atau lelaki yang berusaha mendekatinya lagi?
Lalu ... voila!
Sebuah tarikan di lengannya terasa, dan kini, Satowa terpojok di dinding di bagian sepi sekolah.
*
Satu tangannya terangkat, merapikan helaian pirangnya ke belakang meskipun tak sedikit dari mereka yang terjatuh ke bawah lagi. Komentar sarkas gadis Hozuki itu ternyata cukup berpengaruh kepada Chika yang biasanya tidak peduli sekacau apapun penampilannya.
Pria itu sendiri heran, mengapa bisa-bisanya dia masih memikirkan komentar Satowa yang bahkan sudah dilupakan oleh gadis itu sendiri. Ia menghela nafas, berniat berjalan menuju kantin jika saja kelereng madunya tidak menangkap pemandangan dimana gadis itu ditarik ke arah koridor yang cukup sepi.
Chika berjalan menghampiri, berniat mengeluarkan Satowa dari sana jika saja para lelaki yang menariknya barusan akan berbuat tidak baik. Namun, niatnya tersebut terjeda karena satu kalimat yang terlontar.
"Jangan dekat-dekat dengan Chika."
*
"Jangan dekat-dekat dengan Chika."
Satowa tak mengerti, mengapa mereka mengatakan hal seperti itu. Reputasi Chika memang buruk, namun tidak pernah ada sekalipun anak laki-laki yang menyuruhnya menjauhi Chika. Lantas, mengapa keempat orang ini menyuruhnya untuk menjauh? Mereka bahkan tidak saling kenal.
"Memangnya kalian siapa berhak menyuruhku menjauhi siapa dan apa?" Satowa bertanya sambil melipat tangan, memberikan tatapan mengintimidasi.
"Kami hanya mengingatkan. Chika itu berbahaya. Kau tahu sendiri bagaimana orangnya, 'kan?" ujar salah satu dari mereka berusaha meyakinkan.
Sosok yang dibicarakan menundukkan pandangan. Lalu mengepalkan tangan. Memang benar adanya kalau dia itu berbahaya. Memang benar adanya kalau dirinya itu kasar.
Kekuatannya tidak normal untuk ukuran lelaki berusia 16 tahun. Menumbangkan satu kelompok dengan tangan kosong, siapa yang akan bilang dia adalah remaja normal dan bukan monster?
Mengapa Chika baru menyadarinya sekarang? Bahwa gadis baik-baik seperti Satowa tidak seharusnya menjalin hubungan apapun dengannya. Bahkan jika hanya teman sekalipun, mereka tidak boleh menjalin hubungan. Satowa adalah gadis remaja biasa, sedangkan dirinya adalah berandalan. Dua dunia yang berbeda tentunya tidak bisa bersama. Pikirnya sebelum satu kalimat dan kalimat yang lain dari sang gadis berhasil membuatnya tertegun di tempat.
"Dia hanya remaja laki-laki biasa di mataku."
"Ya mungkin seperti itu disini, tapi di dunia luar ...."
"Aku tahu," potong sang gadis dengan cepat. "Aku pernah melihatnya sendiri."
"Aku takut padanya. Aku selalu bergetar ketika melihatnya. Aku selalu berfikir, 'Apa yang akan dia lakukan padaku setelah ini?'. Aku selalu waspada terhadapnya dan berusaha membuat dia mundur dengan kata-kataku."
Satowa menatap satu per satu dari mereka dengan mantap, Ia lalu tersenyum dengan percaya diri, "Tapi itu dulu. Sekarang, aku sadar, bahwa Kudou tidak seburuk yang orang lain katakan. Dia ... lelaki yang baik. Dia membelaku, merelakan dirinya kedinginan untuk menghangatkanku dan menenangkanku dari kilat serta guntur, dia juga membantuku mengeluarkan emosiku secara tak langsung. Meskipun menyebalkan, namun bagiku, Kudou Chika adalah sosok teman, tetangga, dan laki-laki terbaik yang pernah aku temui selama hidupku."
"Bagaimana kau bisa ... menyimpulkan seperti itu?"
Gadis itu kembali tersenyum lebih lebar, "Karena aku tetangganya."
"Kalaupun orang-orang di sekitarnya lah yang berbahaya, aku bisa menjaga diri. Tidak perlu repot-repot mengkhawatirkanku, karena hal tersebut tidak akan ada gunanya."
*
Derap langkah kaki mengisi hening yang kini mengisi. Satowa merentangkan tangannya, guna meminimalisir rasa pegal akibat terpojok tadi. Gadis itu menoleh ke samping, dan seketika terkesiap mengetahui siapa yang ada di balik tembok tempatnya terpojok sejak tadi.
"Ku-kudou ...."
Chika menoleh dengan senyum hangat di wajahnya, "Hm?"
"Um ... itu ... apa kau ...-"
"Mendengar pernyataanmu?" potong pria itu cepat, dan hal tersebut dapat dengan mudah membuat wajah Satowa memerah bagaikan stroberi. Alhasil, Chika menahan tawa melihat hal menggemaskan itu.
"A-apa yang lucu?!"
Pria pirang itu menutup mulutnya, "Wajahmu ... ekspresi wajahmu sangat lucu!"
Satowa menggembungkan pipi sambil menundukkan pandangan, malu. Ia kemudian melirik ke arah Chika, yang masih menahan tawa. Tersenyum lebar dengan mata hampir tertutup dimana hal itu membuat Satowa tak bisa mengalihkan pandangan dan membeku di tempat.
"Kenapa, hm?" Chika bertanya lagi dengan senyum hangat yang tak kunjung pudar. Sedangkan Satowa sudah berwarna merah secara keseluruhan.
"T-tidak, hanya saja ... apa kau mendengar semuanya?"
Sang pria bergumam, seolah sedang berfikir, "Iya."
Satowa tak bisa berkata apa apa lagi. Terlebih lagi ketika usapan lembut di atas kepalanya terasa. Ini memalukan, namun disisi lain juga menyenangkan.
"Terimakasih."
"Aku harap, aku juga bisa mengetahui soal dirimu lebih jauh lagi." Chika berujar, senyumnya masih sama. Ia kemudian menarik tangan Satowa, mengajaknya menuju entah kemana namun yang pasti Satowa tetap mengikutinya.
Tanpa sadar, gadis itu ikut tersenyum menyadari sentuhan lembut dari sosok terbaik yang pernah Ia temui.
Mungkin, suatu saat nanti, Hozuki Satowa akan menceritakan semua tentang hidupnya kepada seorang Kudou Chika.
Akan ada saatnya dia terbuka kepada orang yang pernah dibencinya dulu, menceritakan dan menumpahkan semua perasaannya secara lisan kepada satu-satunya teman yang Ia miliki.
Saat ini, masih teman. Entah akan seperti apa hubungan mereka nantinya.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro