Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-[🌿] E I G H T

Hujan.

Saat-saat dimana suasana terasa tenang. Dimana orang yang cukup pendiam seperti Hozuki Satowa merasa senang. Bau tanah yang membuat candu serta rasa dingin namun sejuk yang menerpa tubuh. Hal sederhana seperti itu, dapat membuatnya merasa senang dan tenang di waktu bersamaan.

Namun, tidak kali ini.
Tidak jika dia harus terjebak dalam udara dingin dan tetesan air dari atap bocor di sisi jalan bersama sosok pirang bermanik madu.

Tadinya, mereka hanya kebetulan jalan bersama berhubung kedua orang itu adalah tetangga. Namun, siapa sangka hujan malah turun secara tiba-tiba dengan lebat dan membuat mereka terjebak, di sebuah toko kecil yang sudah tutup dengan tempat bernaung yang cukup kecil untuk dua orang. Alhasil, dua orang dengan kepribadian bertolak belakang tersebut terpaksa berdempetan. Baiklah, mari kita ambil sisi positifnya, setidaknya, Chika dan Satowa tidak terlalu kedinginan karena mereka berdua berdekatan.

"Kenapa rasanya hujan ini tidak akan berhenti?!" keluh Satowa sambil menghentakkan kaki pelan.

Chika yang mendengarnya mengangkat bahu, "Dilihat dari laporan cuaca, hujan akan berhenti malam nanti."

"Apa?! Aku belum mengerjakan PR-ku."

"Kau mengerjakan PR-mu?" tanya sang pria yang seketika merasa bodoh karena menanyakan hal tersebut. Pasti mulai lagi.

"Tentu saja. Aku bukan orang yang bahkan lupa dengan pekerjaan rumahnya sendiri," balas Satowa tanpa menatap Chika sama sekali. 'Kan? Sudah jelas perkataannya barusan dimaksudkan kepada Chika yang memang lupa kalau tadi itu ada PR.

"Kau menyindirku?!"

"Baguslah jika kau sadar. Aku sampai harus menunggumu menyelesaikan PR itu. Merepotkan."

"Kau tinggal mengatakan kalau kau tidak mau, apa susahnya?!"

"Itu tugasku. Meskipun melelahkan."

"Ya sudah! Tidak perlu berbicara seolah kau terpaksa walaupun itu memang benar!"

"Memangnya tidak boleh kalau aku mengeluh sedikit?!"

Kilatan cahaya muncul, diikuti suara guntur secara tiba-tiba. Satowa melotot, lidahnya tak berucap, hanya secara refleks hampir memeluk pria di sampingnya dengan perasaan terkejut juga takut.

Chika membulatkan matanya kala telah tersadar dari rasa kaget. Mendapati bahwa gadis yang baru saja adu mulut dengannya kini bergetar hebat sambil memegang kemejanya.

Lelaki tersebut membuang nafas, Ia kemudian melepaskan kardigannya yang mengikat leher, memakaikannya kepada Satowa lalu semakin menekankan gadis itu untuk lebih dekat dengannya. Alias, menjadikan ketidaksengajaan itu menjadi pelukan sungguhan.

Menyadari apa yang dilakukan manusia satu ini. Kelereng gelap Satowa semakin membulat, matanya melebar, wajahnya kini terasa panas, Ia yakin bahwa sekarang warna merah padam sudah terlukis di seluruh wajahnya.

"Um ... Kudou, ini ... bi-bisakah ...."

"Ssh, diam. Jangan salah paham, kau tampak kedinginan," desis Chika dengan sebelah tangan yang tak terlepas dari punggung Satowa.

Alis sang gadis kini saling bertaut, "Siapa yang salah paham, bodoh! Bagaimana kalau orang lain melihat?!"

"Memangnya disini ada orang? Hanya ada kita. Diamlah. Sebentar lagi, hujan akan sedikit reda."

"T-tapi ... posisi ini ...."

"Akan mencegahmu dari demam. Jadi, diam!"

Satowa tak bisa melawan lagi. Pegangan Chika cukup kuat, nada tegas yang jarang digunakan pun berhasil untuk membuatnya bungkam. Gadis itu kini hanya bisa pasrah. Tak bisa dipungkiri bahwa dirinya memang kedinginan dan posisi ini membuatnya lebih hangat dan ... nyaman.

Tangannya semakin mempererat pegangan pada kemeja Chika. Takut jika sewaktu-waktu, kilat dan guntur akan datang lagi.


*


"Kudou, aku tahu ini agak aneh, tapi bolehkah aku bertanya?"

Sosok yang dipanggil memperlambat jalannya, lalu menoleh ke arah sang pelaku dengan tatapan heran, tidak seperti biasanya, "Boleh-boleh saja."

"Kenapa kau tidak menyukaiku? Bukannya aku peduli, aku hanya ... penasaran."

Hening untuk beberapa detik, lalu, "Aku bukannya tidak menyukaimu. Aku hanya tidak suka pada senyum palsumu. Tidak, bukan tidak suka, tapi benci."

"Kenapa? Kenapa kau bisa tahu kalau itu senyum palsu?" Satowa bertanya lagi, dan pertanyaannya kali ini sukses membuat Chika terdiam dan menunduk. Menghalangi tatapan matanya dengan helaian pirang yang menjuntai ke bawah. Melihat reaksinya yang seperti itu, Satowa memutuskan untuk tidak penasaran lagi. Sebelum akhinya, Chika mengambil nafas dalam seolah akan segera berbicara.

"Aku pernah mengenal seseorang yang sering tersenyum sepertimu. Senyumnya nyaris terlihat tulus dengan sempurna, sampai aku pun tertipu oleh hal itu."

"Lalu?"

"Aku tahu ada yang mengganjal dari senyum itu, aku tahu tentang kepalsuan senyum itu, tapi aku menyangkal dan hanya menganggap hal tersebut sebagai pikiran negatifku saja. Aku tahu, jika dia tersenyum untuk menutupi penyakitnya. Aku tahu, orang itu tersenyum untuk menyembunyikan deritanya. Aku tahu, bahwa senyum itu tak sesuai dengan emosi yang sebenarnya ingin Ia tunjukkan. Tapi aku tidak menyadari hal itu atau lebih tepatnya ... berusaha untuk tidak sadar."

Gadis di sampingnya tertegun, tak menyangka bahwa Chika bisa bercerita seperti itu, Ia lalu mengangguk pelan tanda mengerti. Orang yang lelaki ini bicarakan pasti adalah orang yang berharga dan sangat disayangi olehnya sampai-sampai membenci hal yang membuat mereka terlambat menyadari penderitaan.

"Apa dia wanita yang kau cintai?" Sang gadis kembali bertanya, menatap Chika dengan tatapan mendalam. Entah mengapa, sedikit dari hatinya berharap jika hal yang Ia tanyakan tidak benar.

"Bukan. Dia keluargaku," balas Chika dengan cepat sambil menoleh ke arah Satowa. Kala tatapan mereka saling bertemu, Chika membulatkan mata lalu memalingkan muka. Merasa malu karena telah dengan mudah menceritakan tentang dirinya kepada gadis yang baru Ia kenal selama kurang lebih 1 bulan.

Pria tersebut lagi-lagi menggaruk bagian belakang kepalanya, "Maaf. Aku malah menceritakan tentang diriku."

"Aku mendengarkan."

Kelereng cokelat hangat semakin membulat, "Eh?"

"Aku mendengarkan. Aku akan mengingat apa yang kau ceritakan," celetuk Satowa lagi dengan kurva manis di wajahnya. Bukan senyum palsu seperti biasanya, namun senyum tulus, tipis, namun hangat yang membuat Chika semakin membelalak.

Namun kemudian, satu kurva tipis ikut terlukis di wajah Kudou Chika, dibumbui dengan debu merah muda yang ada di bawah matanya, "Terimakasih."

Tanpa sadar, satu tangannya terangkat, menepuk kepala sang gadis selama 3 detik lalu berlalu begitu saja menuju gerbang sekolah.

Lelaki itu pergi begitu saja, tanpa tahu bahwa kini Satowa tengah terdiam di tempat dengan tangan memegangi bekas tepukan lembut tadi ditambah wajahnya yang telah berubah bagaikan buah stroberi yang sudah matang.







Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro