Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

𝐎𝐧𝐞 • 𝐖𝐞𝐥𝐜𝐨𝐦𝐢𝐧𝐠 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐡𝐚𝐨𝐬

𝐎𝐧𝐞 • 𝐖𝐞𝐥𝐜𝐨𝐦𝐢𝐧𝐠 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐡𝐚𝐨𝐬

.

𝐖𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 & 𝐢𝐧𝐟𝐨: 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫 𝐉𝐮𝐣𝐮𝐭𝐬𝐮 𝐊𝐚𝐢𝐬𝐞𝐧 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐢𝐦𝐞𝐥𝐢𝐧𝐞 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐢 𝐚𝐧𝐢𝐦𝐞, 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚. 𝐃𝐢 𝐬𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐔 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐫𝐧 & 𝐇𝐢𝐠𝐡𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥. 𝐘𝐮𝐮𝐣𝐢, 𝐒𝐮𝐤𝐮𝐧𝐚, 𝐭𝐫𝐢𝐨 𝐠𝐞𝐧𝐠𝐬 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐨𝐜𝐢𝐥 𝟓 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧.

.

Malam itu kau sibuk bertugas. Beberapa lembar jawaban tergeletak berantakan di meja beralas kayu. Bentuknya persegi, membatasi antara dirimu dengan buku LKS. Ujung pensil menumpul perlu diganti, belum lagi kau paksakan mengerjakan beberapa soal terakhir.

Hatimu sedikit bersyukur, mengingat perjuanganmu hampir selesai. Penderitaan, yaitu belajar akan berakhir sekitar 10 menit ke depan. Waktu belajarmu berkurang drastis demi nilai raport sekolah-- sumber ocehanmu sedari tadi.

Nanti kau diomeli. Tentu, hukumannya tidak kalah menakutkan. Jauh menyeramkan ketimbang kau menghilangkan toples merek kesayangan Ibu. Cukup sebulan kau bersabar dibanding-bandingi pada tetangga komplek belakang yang meraih penghargaan akademis, maka kau memutuskan mengejar peringkat tertinggi juga di kelas.

Bukan hal mudah meraih pujian. Setiap hari kau gila mengerjakan target. Kata Ramayana, "Kerja lembur bagai kuda." Ya, kini kau persis mirip panda saking tebalnya lingkar hitam bawah matamu. Terlalu banyak kau berupaya keras.

Baru kau hendak beristirahat, getaran mengecoh fokusmu. Kau baliklah ponsel di ujung sana, penasaran ada apa, dan mendapati grup online mericuhkan sesuatu. Mengapa ramai sekali seperti pasar? Seingatmu, tenggat pengumpulan adalah besok sore.

Jemari menggerakkan tombol. Selihainya kau mencari tahu apa yang terjadi sampai netra mendapati kontak familiar beserta dokumen puluhan MB. Susah payah kuota internet mendownload. Atas nama 'Guru Killer', kau membaca pesan dalam batin.

"Met sengsara, jangan lupa rangkum sekaligus difoto."

Bibirmu melengkung membentuk simpul cantik. Tidak lupa bagusnya mata menyipit selayaknya tulus diiringi senyuman manis. "Oasu!" teriakmu kencang refleks menendang dinding. Moodmu hancur seketika. Ayolah, kau siap bersantai, menonton anime, atau berhalu ria. Jangan malu mengakuinya, terakhir kali keluargamu memergokimu menangis membaca FF.

Lelah. Jadilah kau membagi waktu. Langsung kau keluar menuju warung terdekat, membeli cemilan seandainya kau lanjut menguras otak nanti. Sendal kebanggaan kau kenakan, menapaki tanah luar yang disambut tiupan udara dingin.

Langit biru membentang jauh. Gumpalan awan menghias, melengkapi keindahan Bumi. Angin berhembus damai memerahkan ujung hidungmu sedikit. Sayang beribu sayangnya, ketenanganmu terusik berisik tetangga sebelah.

Kau amati saja sebentar. "TUNGGU! BUKANNYA RUMAH KANANKU KOSONG?!" Ala dramatis, surai [Hair Colour]mu bertebangan macam iklan shampoo begitu kau menoleh. "Eh, apa apa ada yang pindah kemari?" tanyamu ke salah satu pekerja paket tengah mengurus kardus berisi barang penting.

Wanita setengah baya berdaster membalas, "Iya. Kudengar tetangga baru kita membawa banyak anak." Lipstick merah khas dandanan menornya menarik perhatianmu. Bisa-bisa kau salah lihat ke wajah sang tante cetar membahana.

Namun mendengar kalimat barusan, kau menghela napas berat. Mengurus makhluk di bawah umur bukanlah keahlianmu. Seumur hidup kau tidak pernah mengenal anak kecil, kecuali menonton loli.

"Oh, gitu, ya... makasih beritanya, Bu." Kau mengangguk sok mengerti padahal pikiranmu mengomel, "Lah 'kan aku nanya si Bapak pindahan, bukan kau?" Acuh tidak acuh kau menghampiri toko di pinggir.

Tanganmu mengambil sekotak susu favorit. Sedotan tertempel di belakang bungkus kau tarik paksa. Terdengar bunyi seruput setiap kau menyedot minuman terlalu kencang. Rasa [Favorite Drink] meresap mengelilingi lidah, turun ke kerongkongan memuaskan dahaga haus. Terakhir, kau menyahut, "Izin ngutang, ya." Terkesan kau sering menumpuk biaya.

Kegiatan menyenangkanmu terhenti sementara diakibatkan lelaki mungil berjaket macan. "Enak, nee san?" Polos nan lucu. "Mahal? Murah? Asam? Uhm... gimana?" Kepala mungilnya ikut miring jika mengajakmu bicara. Tatapannya mengisyaratkan, "Tolong beri aku seteguk." Dia memerhatikanmu lekat.

Terlalu sering bergaul seputar senior menarik duniamu. Interaksi pada yang lebih muda cukup menyebalkan bagimu. Apa daya kebanyakan dari mereka sangatlah menyebalkan. Wajar kau tidak akrab.

Sengaja kau menjulurkan lidah. Intonasimu 100% mengejeknya. "Aww, enak buanget! Ih, gak ada uang, ya? Hahay, kasian~" Entah mengapa wajahmu berubah mengesalkan. Kau tidak berkaca bahwa mengutang sebuah solusi permasalahan. Bodohnya pula kau tidak menyadari hadirnya kakak bocah itu.

Suara berat mengejutkanmu. "Siapa kau?" Tanpa kau pastikan, kau tahu asalnya di balik punggungmu.

Belum sempat kau membuka mulut, kau tertampar realita. "Cho nii chan! Dia mengajariku selalu menyimpan uang di saku!" Petir imajinasi menyambar seisi kepalamu.

Lelaki terpanggil Cho menyelidikmu. "Mengajari? Atau meng-gang-gu?" Kata mempertegas kelakuanmu yang meresahkan. "Yuuji, apa dia melakukan hal mencurigakan?"

Anak bernama Itadori Yuuji menunjukmu penuh semangat. "Gak! Nee san bilang 'Hahay kasian'... tapi adek gak ngerti maksudnya."

Ketakutan sekaligus tobat, kau berlari kabur ke rumah. Apalah sopan kehormatan. "Catch me if you can, Sherlock Holmes," ketusmu menyebut slogan Moriarty No Patriot seraya pulang terbirit-birit. Kau mengangkat lengan bergaya peace. "Oh ya, maafkan aku, dek!"

Kemudian kembaran Yuuji datang mengisi latar. "Orang gila mana yang teriak?" Cilik berhoodie hitam diiringi celana jeans hitam selutut-- Sukuna. Wangi minyak telon sungguh tidak sesuai disandingkan wajah sangarnya.

"Dia gak gila, Kuna! Stress hidup, doang!" tolak Yuuji yang sekadar Choso amati datar. Percakapan sia-sia tidak bermutu sekadar duo balita. "Masa kamu ngatain? Gak baik!"

Sebenarnya Choso frustasi. "Daripada berdebat, ayo kita jajan," keluh sulung berusaha mendamaikan mereka. Ujian akhir kuliah lah merenggut separuh nyawanya. Pundak lemas tercap koyo bukti nyata betapa berat kehidupan mahasiswa.

Bayangkan jika masa skripsi tiba, mungkin Choso menyerah.

"Oke, Yuuji mau es kyim!"

Biasa, Sukuna membenarkan pelafalan Yuuji. "Es krim. Malu kali udah besar masa ngomong belepotan." Tepatnya, Sukuna terlalu fasih mengoceh. Berdoalah masa depan menyeret kakak kembar Yuuji ini menjadi ahli debat. "Oh ya, aku nitip chiki."

Menuruti segala perintah kekhasan Choso. "Iya, tapi kalian jangan lupa gosok gigi! Lubang, lho." Ketiganya pergi bergandengan macam keluarga bahagia.

Esok pukul delapan pagi.

Kantuk menyertai tidurmu. Asyik kau berkeliaran mengelilingi alam mimpi hingga kau terbangun berkat tipuan Ibu. "Oi, sekarang jam sembilan!" Terbohongi si Ratu Kerajaan, kau merapikan ranjang, mandi walau malas sarapan. "Tidurmu senyenyak mati suri, tau gak?" sindir Ibu menyenggol pundakmu.

Melirik jam alarm, kau tersadar. "Ih, boong!" Kau menyalakan aplikasi kamera hendak merekan video senam olahraga. Mau tidak mau kau berangkat ke taman yang pencahayaan terang. Kaus lecek belum disetrika, celana piyama bergambar kartun, penampilan sekacau kapal pecah, kau sepedenya keluar.

Suasana mentalmu sama buruk saat tersapa, "Ohayou." Parahnya kau dipanggil orang yang kau temui kemarin. Bukannya lega mendapatkan pemandangan lelaki tampan, kau marah apalagi masih suntuk. "Kita bertemu, hm?"

Tiba-tiba semuanya bermunculan berpegangan manja. "Kucel amat." Kecuali Sukuna. Perkataannya terbalas pukulan pelan di dahi.

Telapak Yuuji merah merona perih. "Kuna, gak boleh! Nee san tetap imut, kok!"

"Halah. Umur 5 tahun, kok genit ke cewek?"

Tidak ingin kalah, Yuuji menggembungkan pipi. "Kamu sendiri malah jaat! Sok ganteng banget."

"Kita, kan kembar! Kalau aku jelek, ya kamu juga."

Manik cokelat Yuuji berkaca-kaca menangis. "MIYOYING!" Hatinya lembut sekali, berbalikan Sukuna yang sekeras batu artefak.

Choso memisahkan pertengkaran mereka. "Yang benar, tuh mirroring... artinya ngaca." Kembali dia mengajakmu bersalaman. "Kita tetangga barumu. Semoga kita bisa akrab."

───── ❝ 𝐖𝐞𝐥𝐜𝐨𝐦𝐢𝐧𝐠 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐡𝐚𝐨𝐬 ❞ ─────

Hari H kalian resmi bertetangga.

Hujan mengguyur. Derasnya air menimpa jalanan meluapkan saluran selokan. Banjir menggenangi negara.

Wangi tanaman tersirami bagaikan parfum alam. Rintik jatuh membasahi dedaunan, menciptakan hasratmu bermain di bawahnya. Merasakan kulitmu terkena gerimis dengan risiko dingin memicu flu. Ah, menyenangkan, bukan?

Bergegas kau menyeduh teh. Bumbu mie instan kau taruh ke mangkuk. Selagi orangtuamu pergi, kau mengambil takhta kekuasaan untuk bermalas-malasan. Lupakanlah menyapu, mengepel, kau menuangkan rebusan ke makanan berharum soto.

Indomie beserta pelengkapnya terhidang. Lezatnya tiada tara seiring kau kunyah menggunakan garpu. Quality timemu terasa spesial sampai guntur mengejutkan jantung. Lampu, televisi, listrik seketika padam menyisakan kegelapan menakuti.

Tidak, kau berani sendirian. Terbayang munculnya hantu menggelitik bulu kudukmu. Berusaha tenang, kau merangkak ke teras. Malahan semuanya tumpah megguyur lantai, bahkan merusak rencanamu bersembunyi. Teledor kau mencari lap.

Mana sempat kau menggunakan senter. Justru kau terbengong saking paniknya. "Simulasi menderita panic attack." Terlintaslah di pikiranmu.

Isakan misterius mengecoh. Asal kau tahu, tiada siapa pun di sampingmu. Kau sendirian.

Awalnnya kau hendak membacakan doa. "Takutnya aku yang terbakar." Jangan heran, pola imajinasimu memang unik.

Samar-samar kau menangkap namamu tersebut. Jelas kau merinding. "[Name]."

Pagar tergedor. Teror jenis apa menargetkanmu? "Astaga, tinggalkan aku..." gumammu berkeringat dingin. Bergemetar kau bertindak, gigi menggertak, mengigil, kau nekat melawan. "Tolong minggir!"

Firasat buruk merutuk. Ketidaknyamanan meraup negative thinkingmu berulah. Segala cerita mistis bukan favoritmu. Entah siapa dahulu menciptakan genre horror. Perlahan bayangan sesosok jangkung terpantul ke lemari samping. "[Name]."

Gerakanmu tercegat serak berat. Setetes bening menyelusuri wajah, ketahuan sekali kau menangis. Meringkuk menempelkan dahi ke ubin, kau memohon ampun, "Berhenti ganggu aku!"

Terlontarlah ricauan, "Nee san! Yuuji di sini!"

"Hah...? Adek, ya?!" batinmu terheran. Kau mendongak mencari keberadaan Yuuji. Nyatanya dia bersama Sukuna diiringi Choso berderet depan rumahmu. "Ah, ada apa?" Berakting polos lah kau supaya mereka tidak bergidik adanya hantu.

"Daritadi Cho nii chan panggil, lho... sibuk, ya?"

Ternyata sedari tadi kau mengindari Choso, bukan dedemit, atau jin. Bingung menghadapi mereka, lenganmu menyilang menutup paras. "Uhm... aku malu."

Lucunya Yuuji menghiburmu. Terus-menerus dia melompat melewati lubang intip, mengecek apakah kau terluka sebagainya.

Sebaliknya, Sukuna tertawa remeh. "Bongsor gitu masa camen? Dia dewasa, Ji."

Ingin kau hantam kepala Sukuna. Namun bersabar, kau anggap saja ujian mental. Tunggu mereka beranjak legal 17, barulah kau seret mereka ke pengadilan.

Kemarahanmu mereda kala Yuuji membelamu. "Kamu, tuh! Yuuji janji jaga nee san!" Kau menyimpan soft spot khusus untuknya. "Lagian Kuna bacot!" Kau mematung mendengar umpatan 'bacot'.

Choso terdiam pula. "Kau... Yuuji, kok kasar?" Beda cerita Sukuna yang aslinya nakal luar dalam.

"Eh... kasar, ya? Gomenne... adek gak tau! Nii chan gak kesel, kan? Gak ngambek? Gak benci Yuuji, kan?" heran Yuuji menunduk sedih, termenung bak memelas.

Langkahmu mendekat. Jarak kalian terhapus kian meter kau maju. Melupakan bengkaknya mata usai menangis ria, kau mengelus pucuk Yuuji. "Jan cengeng, ah."

Tercengang, Choso menyeletuk, "Kata manusia yang bercucuran air karena salah paham doang." Irismu berpindah menatap Choso seolah kau mengerti.

Punggung Yuuji terdorong tamparan keras. "Tuh, kubilang apa. Kukasih tau cara bantah preman kalo kamu dipalak." Kau amati sebentar, lalu menyadari Sukuna sebenarnya protektif sekaligus dalang di balik Yuuji mengumpat.

"Preman? Di sini mana ada. Halu, nih anak..."

Lelaki bersweater putih geram. Choso namanya. Dia bersalah tidak berhasil mendidik tersayangnya ke arah benar. "Di mana letak kesalahanku mengajari mereka?" Beban tanggung jawab Choso bertumpuk.

Yuuji kau gendong erat. "Cho nii chan, adikmu menunggu, lho. Coba nasehati mereka, kau kakak mereka! Ayuk beri ketegasan!" Budak di pelukanmu menaruh dagu ke sisimu selayaknya nyaman.

Mentari bersinar meniadakan hujan. Separuh tubuhmu tersorot cahaya oranye. Kau, dan Choso bertukar pandang sebelum bernasehat, "Yuuji, gak boleh ngomong sembarangan, ya. Nii chan udah kasih tau, kan? Wah... nii chan sedih. Kamu diajarin siapa?"

Sukuna mengacungkan jempol bangga. "Aku!"

Mengastaga, kau sok ceria. "Ingin kucubit jantungmu, ya dek." Walau kau mulai menyukai mereka. Para berandalan kecil itu mengisi kesepian melalui ricuh mereka. "Kalian gak usah susah payah belajar gitu... lapor ke aku. Nee san bisa bantai preman." Sabuk ikat pinggang Ayahmu setia mencambuk.

Telunjuk Choso menyentil dahimu. "Kebiasaan."

Anehnya kau tidak kesakitan, justru menyeringai senang. Bukan karena kau masokis, melainkan kau bahagia mendapatkan teman menyenangkan. "Hehehe." Kau membuka pintu mempersilahkan mereka masuk rumah.

"Oh ya, kau siswi [School's Name], kan?"

Kau mengangguk pelan. "Kenapa? Kamu daftar jadi guru?" selidikmu waspada.

Langsung Sukuna sekerennya menyahut, "Bukan. Eso nii kakak kelasmu."

Bergiliran Yuuji menjawab, "Kebetulan banget, ya."

Diikuti Choso mengiyakan adiknya, dia memeringati, "Akrab-akrablah kalian."

"Ya ampun... kalian saudara berapa kakak adik, sih?" bingungmu pasrah, "Welcome, chaos."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro