9. With You
typo dan segala kekhilafannya salahin ka aji.
heeeheheeheheh.
.
.
.
.
.
BAM!
Suara bantingan pintu berbunyi sangat keras.
Gualin—sang pemilik kamar, mengacak rambutnya, frustasi. Nafasnya memburu,ia merasa marah. Kilatan matanya telah berubah. Pancaran hangat sekaligus teduh yang biasanya terasa pada matanya kini telah berganti dengan tatapan tajam menyiratkan emosi dan amarah yang cenderung kearah ..., kecewa.
“Argh! Kurang ajar kau!” Guanlin membantingkan sebuah vas dirumahnya. Ia mendorong seluruh benda yang ada pada meja belajarnya.
“Keparat! Bajingan!” Guanlin berteriak dengan emosinya. Ia meninju cermin hingga tangannya luka, berdarah. Ia terduduk, memerhatikan tangannya lalu tertawa layaknya orang gila.
Guanlin merasa lelah dengan ini semua. Paru-parunya terasa lebih sesak dan nyeri dibandingkan luka tangannya. Tangannya tak berhenti bergetar karena gugup dan emosi yang meletup-letup. Ia menitikkan pelan airmatanya.
“Haruskah aku bertahan atau pergi?” ucapnya parau pada angin sendu. Ia menatap daun kecoklatan yang melepaskan diri dari dahannya. Membebaskan dirinya karena sudah merasa tak pantas bersanding dengan pohon yang kokoh.
“Tetapi aku masih mencintainya...”
Cinta yang ia rasakan sekarang pada sang kekasih tidak seperti yang lain. Ia merasa kekasihnya adalah poros hidupnya, tempat dimana ia berpulang, tempat dimana ia mencurahkan segenap kasih sayang yang ia punya. Tak pernah ia membayangkan hidup tanpa kehadiran sang kekasih.
Banyak yang telah bilang padanya agar meninggalkan sang kekasih yang mereka anggap telah menyia-nyiakannya. Ia hanya bisa tertawa saat itu. Mengejek mereka, bahwa mereka selama ini salah.
Namun, cinta membuatnya buta. Ialah yang salah. Cinta yang membuatnya jatuh pada sang kekasih tanpa memandang kesalahan yang telah sang pujaan hati lakukan. Sesakit apapun ia sebelumnya, ia tetap saja mempertahankan sang kekasih dengan bodohnya.
Terkadang, cinta memang selucu itu.
“Park Jihoon, apa sebenarnya maumu...” Guanlin dengan serak berkata sebelumakhirnya menutup matanya lelah.
.
.
.
.
.
“Lai Guanlin...” ucap Jihoon pelan kepada angin senja yang menemaninya.
Jihoon menatap kosong pemandangan didepannya. Ia perlahan menitikkan airmatanya. Ia merasa bodoh, karena telah menyia-nyiakan orang sehebat dan sepengertian Guanlin. Namun, ia sadar telah terlalu telat baginya untuk berharap Guanlin kembali padanya.
“Aku ingat bagaimana pertama kali kau memelukku,”
Team Laji menang.
Ini pertama kalinya bagi seorang Jihoon memenangkan pertandingan basket. Ia memeluk partnernya, Lai Guanlin si anak baru dari Taiwan.
Guanlin terasa begitu hangat dan auranya sangat lelakimeskisifatnya jahil dan kekanakkan.
Jihoon merasa dipeluk kembali oleh ayahnya.
“Aku masih mengingat wangi tubuhmu saat itu, Citrus segar dan pepohonan. Betapa aku menyukai segala hal darimu, Guan...”
Jihoon menoleh kearah kanannya. Disana terdapat sebuah mobil berisikan remaja, seumuran dirinya. Ia terkekeh sedih. Matanya kembali menerawang.
“Betapa aku rindunya sifat tenangmu walau saat kau cemburu,”
Jihoon baru saja pulang dari sekolah dengan Jinyoung. Didepan rumahnya terdapat Guanlin yang sedang tertidur—ia terlelap karena kelelahan menunggu Jihoon.
“Guan?”
“Sayang? Kau tak apa? Pulang dengan siapa? Kenapa tak membalas? Apakah kau sakit? Apak-”
“Aku tak apa, Guan. Aku pulang dengan Jinyoung tadi.”
Guanlin terdiam, sesungguhnya ia menahan rasa cemburu dalam hatinya. Tangannya telah ia kepalkan. Namun melihat Jihoon yang tersenyum manis kearahnya membuat tangannya merenggang. Ia menarik kedua sudut bibirnya dan berkata, “Aku senang kau selamat dan bahagia.”
“Jihoon-ah. Tak apa?”
“Eum? Aku hanya butuh waktu untuk sendiri Jinyoung-ah!”
Jinyoung tersenyum padanya lalu kembali berbicara kepada teman-temannya yang lain.
Ya, Jihoon ingat. Jinyoung adalah faktor utama Guanlin diam-diam cemburu padanya. Menahan amarah dan hanya menampilkan senyuman menenangkan dan tatapan teduhnya pada Jihoon.
Jinyoung mengacak rambut Jihoon pelan. Jihoon tertawa dengan nada kenakkannya. Sungguh, mereka berdua terlihat seperti memiliki hubungan khusus.
Terlihat dari bagaimana Jinyoung menatap Jihoon, skinship mereka saat bersama dan yang terpenting, betapa selalu bahagianya Jihoon saat berada disekitar Jinyoung, seseorang yang bukan kekasihnya.
Semua orang tentu sadar akan hal itu.
Termasuk Guanlin, kekasih Jihoon.
Jihoon menangis perlahan. Kenapa saat itu ia memilih Jinyoung daripadan Guanlin yangjelas-jelas selalu ada untuknya. Ia mengingat saat mereka beradu mulut pertama kalinya.
“Park Jihoon! Kemari,” ujar Guanlin dengan nada kelamnya. Ini seperti bukan Guanlin yang Jihoon kenal.
Jihoon berjalan dengan bergetar,ia perlahan terisak—takut akibat tatapan mata Guanlin.
Merasa bersalah, Guanlin memeluk tubuh ringkih Jihoon. Ia mengecup keningnya perlahan dan membisikkan,”Aku memaafkanmu, Jihoonie.”
“Bodohnya engkau. Selalu memaafkanku.” Jihoon terisak. Ia sudah tidak peduli pada orang lain yang mungkin akan melihatnya. Ia hanya ingin melampiaskan emosinya.
“Jihoon-ah, ayo,” ucap Jinyoung yang datangi Jihoon dengan Woojin dan Sungwoon.
“Jinyoung-ah... Guanlin... Jinyoung-ah. Gu-AH!”
Woojin memukul Jihoon dengan keras. Iameraih kerah Jihoon lalu kembali membanting badannya. Leher Jihoon ia cekik lalu ia angkat.
“Brengsek sekali kau Jihoon. Masih bisanya kau menyebut nama Guanlin, huh?” desis Woojin.
Jinyoung ingin sekali melerai mereka, namun ia tahu, ia tak punya hak disini. Woojin sendiri ialah saudara kembar dari Jihoon sekaligus sahabat terbaik Guanlin. Sedangkan Sungwoon, sejujurnya jika bukan Woojin yang menghajar Jihoon. Mungkin, ia telah maju. Bagaimanapun Guanlin adalah adik kesayangannya.
Jihoon tertawa seraya menangis. Bahkan kembarannyapun benci karena tingkahnya yang mempermainkan orang lain.
“Bisakah kau bunuh aku saja, Woojin-ah? Agar aku tenang sep-”
Kata-kata Jihoon terhenti karena Woojin memeluknya. Woojin menatap mata sembab Jihoon dan berbisik, “Jangan berkata seperti itu. Kumohon.”
Jihoon hanya bisa menganggukan kepalanya.
.
.
.
.
Mereka semua berangkat ke suatu tempat. Selama perjalanan Jihoon menutup matanya dan menyederkan kepalanya pada sang kembaran. Ia tak bisa tenang, terlebih mengingat pertemuannya sebagai kekasih dengan Guanlin untuk terakhir kalinya.
“Park Jihoon, aku mencintaimu!”
“Guan? Guan!”
“Park Jihoon! Mengapa kau tidak membalas perasaanku!”
“Guan, kumohon!”
“Park Jihoon! Kau sungguh keparat!”
“Iya kau benar aku memang salah! Kumohon Guanlin!”
Guanlin—dengan matanya yang seakan kosong, tak beremosi. Dengan lengkungan senyum yang justru membuatnya terlihat gila. Seperti masokis. (Seseorang yang senang tersiksa.)
Dengan nada luar biasa tenang dan lembut, ia berkata, ”Park Jihoon, tetaplah bahagia,” sebelum akhirnya ia terjun. Mengakhiri hidupnya.
Jihoon dan yang lain telah sampai pada pemakaman Guanlin. Sungguh rasanya Jihoon ingin ikut Guanlin saja. Mungkin disana lebih tenang.
“Woojin?”
“Hm?”
“Bolehkah aku ikut Guanlin saja?”
“Sudah kubilang, kala- Astaga! Jihoon!” Woojin menangkapJihoon yang terkulai lemas. Ditangannya terdapat sebuah luka menganga. Darah dari lengan Jihoon mengucur begitu saja.
“B-biarkan.. Kakakmu yang bodoh ini menyusul Guanlin,Woojin-ah.”
.
.
.
End.
Malem malem galau, baper dan gila. biarin.
salam sejahtera panwink,
naru, pacarnya micoci.
a bit of epilogue.
Disaat Woojin sedang terisak akan kepergiannya. Jihoon—yang telah meninggalkan tubuhnya,merasa terpanggil. Ia menoleh kebelakang dan menemukan Guanlin merentangkan tangannya. Ia menghamburkan dirinya pada pelukan Guanlin.
“Aku kembali padamu, Guanlin.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro