21. Tsundere!
3000++ kata gaEz.
btw, halohaaa~
kali ini naru bawa fanfic wansud collab!
ugHHHH.
Siapa sih diantara kalian yang nggak tau Mauschen? pasti taulah~
nah, naru collab sama kajei alias hoonxian
(maloe sumpa, walau kadang kakak malu maluin kalau d grup tapi nda apa kajei author senpai yg keren! respect!)
Makanya gaya typingnya juga kita agak nyatu dan ngga formal amat(?) jadi cem semi baku?
but gaes,
enjoy.
.
Si vis amari ama; kalau lo mau dicintai, ya mencintai juga, dong!
♕
"Jangan serakah dong, pencetan senter!" Donghan cuma bisa menggeleng sambil menahan tawanya, tatkala Jihoon meluapkan emosinya sambil memandang jengkel ponsel yang kini ada di bawah pandangannya.
Di sampingnya, Jihoon sedang menopang dagu sambil mengerucutkan bibirnya. Sepasang matanya masih terus menatap jengah layar ponselnya yang masih menyala. Hanya menatapnya, sampai akhirnya cahaya pada layar tersebut mulai padam secara perlahan.
Donghan ikut-ikutan menopang wajahnya dengan satu tangan, sengaja menghadapkan wajahnya pada Jihoon yang masih aja misuh-misuh sambil mengetuk jengkel layar datar ponselnya.
Donghan terkekeh, lalu tangannya terangkat untuk menepuk gemas puncak kepala Jihoon. "Marah-marah melulu nih, gendut. Kenapa sih?"
Jihoon menoleh, disusul dengan kerlingan malas sepasang bola matanya saat mendapati Donghan sedang menatapnya dengan gemas.
"Nggak tau ah, kesel! Udah sana, mendingan lo mesen makanan buat gue. Hush... Hush..."
Donghan tersenyum kecil, lalu beranjak dari duduknya. Ditepuknya sekali lagi puncak kepala Jihoon, lalu ia benar-benar melangkah menjauh untuk memesan makanan spesial untuk si manis.
"Mba, Big Mac nya dua, Double Cheeseburger nya satu, Chicken Snack Wrap nya satu, kentang goreng yang large tiga, McFloat yang cola nya satu, sama Iced Coffee nya satu, ya."
Donghan menyebutkan satu persatu menu makanan langganannya pada mbak-mbak kasir yang sedikit kaget karena pesenan Donghan ini banyak banget, padahal mbak-nya tau kalau Donghan masuk ke restoran cepat saji ini tuh cuma berdua sama temannya yang sekarang lagi duduk di pojokan.
Karena nggak mau dibilang kepo, mbak-nya pun diam aja sambil mulai menghitung total yang harus dibayar sama Donghan setelah sebelumnya sudah menyebutkan daftar pesanan Donghan ke bagian kitchen.
"Totalnya jadiㅡ"
Donghan mengangkat jari telunjuknya, lalu ia letakkan jarinya itu di depan mulut. Mulutnya Donghan, ya. Bukan mulut mbak-nya. Si mbak yang mengerti sama kode yang lagi diperagain Donghan pun cuma bisa ngangguk, lalu memutuskan untuk diam. Sedangkan Donghan, pemuda itu mulai sibuk merogoh saku celana jeans hitamnya, mengambil dompet kulit dengan sticker pokemon dari sana.
"Nih, mba. Ambilnya sesuai total ya, saya udah miskin nih, maklum derita anak kost." ucap Donghan sambil mengulurkan sebuah benda tipis berbentuk persegi panjang sedikit agak lebar kepada mbak kasir yang lagi senyum-senyum sambil menggeleng di depannya.
Mbak kasir pun mulai melakukan transaksi dan meminta Donghan untuk memasukkan nomor pin kartu atm-nya, dan menandatangani struk transaksi. Begitu Donghan selesai melakukan transaksi dan menerima kembali kartu atm-nya, seorang pegawai lain pun datang sambil membawa semua pesanan Donghan.
Donghan pun menerima semua pesanannya dan mulai melangkah kembali ke mejanya setelah mengucapkan terima kasih kepada mbak kasir tersebut.
Kali ini, Donghan nggak lagi duduk di samping Jihoon. Pemuda dengan kulit berwarna putih bersih nyaris menyerupai porselen itu memilih untuk duduk di bangku seberang, alias berhadapan sama Jihoon yang ternyata masih aja sibuk manyun sambil nusuk-nusuk layar ponselnya kayak orang bener.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Donghan mulai menyusun makanan-makanan yang tadi ia pesan di atas meja. 2 Big Mac, 1 Chicken Snack Wrap, 2 kentang goreng berukuran large, dan 1 McFloat rasa cola untuk Jihoon, dan 1 Double Cheeseburger, 1 kentang goreng berukuran large, dan 1 Iced Coffee untuk dirinya sendiri. Lalu, Donghan kembali menatap Jihoon yang sepertinya belum menyadari keberadaannya. Donghan menggeleng, lalu menarik ponsel Jihoon dan berhasil membuat pemuda manis itu mendongak sambil memicingkan salah satu alisnya.
"Balikin nggak, tusukan gesper!"
Sial, Jihoon kalo lagi cursing gini kenapa lucu banget, sih? Untung aja ya, untung banget nih, Donghan sadar kalau Jihoon ini adalah calon adik iparnya, alias Jihoon ini adalah kekasih dari adiknya sendiri. Kalo nggak, yeu udah kalap kali nih ikan cupang.
Donghan menggeleng sambil menekan belah bibirnya, lalu jari-jari panjangnya mulai sibuk bermain di atas layar sentuh ponsel pintar milik Jihoon.
"Lu juga sih, udah tau adek gue sebelas dua belas sama papan penggilesan, masih aja diterima cintanya!" kata Donghan masih sambil mengotak-atik ponsel Jihoon. Donghan melirik Jihoon sebentar, "kenapa bengong? Udah, makan sana!"
Jihoon mendesah malas, ogah juga mau nanggapin Donghan, bisa-bisa mereka berdua adu cursing yang ada. Jadi, Jihoon pun mulai menyibukkan diri dengan menyantap makanan-makanan berlemak jenuh pesanan calon kakak iparnya itu.
"Tuh gue balikin. Jelek hape lo." si anjir, ya untung Tuhan masih mengingatkan Jihoon kalau Donghan ini setahun lebih tua dari dia dan statusnya itu adalah kakak kandung dari pacarnya. Jadi, Jihoon cuma bisa menerima ponselnya kembali sambil mengutuk Donghan dengan sejuta sumpah serapah yang cuma berani dia jabarin dalam hati.
Keduanya pun terdiam, sama-sama sibuk sama makanan masing-masing dan sama-sama nggak ada niatan untuk ngomong satu sama lain. Maaf ya, Jihoon itu penganut 'kalo makan tuh nggak boleh ngomong' makanya, dia nggak ngajak Donghan ngomong sama sekali.
Drrttt, geter dulu,
oppaya~ naega jinjja johahaneun sarami saenggyeoseo honja kkeungkkeung alhdagaㅡ
"Anjir, bocah banget ringtone lo!"
ㅡ bunyi ringtonenya muncul belakangan.
Jihoon melempar tatapan tajam pada sang kakak ipar, "Eh anjir, ini yang masang adek lo, malin!" kan, ujung-ujungnya si Jihoon pasti ngatain Donghan. Ngeselin banget emang nih mpok indun.
Donghan cuma bisa cengengesan sambil kembali mengunyah kentang gorengnya. Gila, bucin amat ya si Jihoon sampai disuruh pake ringtone bocah kayak gitu aja nurut.
"Bucin banget sih lo, ishh, nggak nyangka gue." cerca Donghan, padahal mulutnya masih penuh sama kentang goreng.
"Nggak usah banyak omong lo, karpet welcome!"
Karpet welcome si anjir. Dah, iya, Donghan mah cuma bisa ngelus dada aja sampe bolong.
Daripada ngegodain Jihoon lagi, mendingan dia lanjutin makan deh.
Ah, Double Cheeseburger, abang datang!
"Eh sumpah, tusukan cilor! Lo ngirim apaan anjir ke Guanlin?" belum sempat tuh burger mahal masuk mulutnya Donghan, Jihoon udah keburu narik makanan tersebut dari jangkauan Donghan. Jihoon meletakkan double cheeseburger milik Donghan di atas piringnya (piring Jihoon, bukan piring Donghan), lalu mulai menatap Donghan dengan tatapan sinis, menuntut penjelasan.
Donghan menghela nafas sejenak, lalu meneguk Iced Coffee miliknya yang masih utuh.
"Alin, aku lagi pacaran sama Donghan. Kamu nggak usah jemput, oke? Gitu doang kayaknya, sih. Seinget gue, ya." balas Donghan, enteng banget sial kayak ngangkat ember tapi kosong nggak ada isinya.
Jihoon merubah tatapannya menjadi tatapan bengis, "hadeh, lo kemaren kayaknya baru menang undian otak eh sekarang otak lo ilang lagi?" tanya Jihoon.
Donghan terkekeh geli, "Guanlin tuh harus digituin. Kalau nggak, dia bakal seterusnya kayak gitu sama lo. Emangnya lo betah apa pacaran sama orang cuek kayak gitu?"
"Cuek cuek gitu, dia adek lo anjir." balas Jihoon.
Donghan mengangkat salah satu alisnya, "iya, sekaligus saingan gue." sambung Donghan.
Jihoon mengambil satu kentang goreng miliknya, lalu melemparnya dengan penuh nafsu ke arah Donghan.
"Kita tuh dulu pacaran jaman smp ya, gagang kipas angin. Stop it, udah tau adek lo ngambekan. Ah elah, ngurusin bayi deh gue abis ini."
Donghan berdecak, "emang bales apaan si Guanlin?"
Jihoon menyodorkan layar ponselnya pada Donghan. Dengan acuh tak acuh, Donghan memajukan sedikit tubuhnya dan mulai membaca isi dari balasan yang dikirim sang adik beberapa menit lalu.
GPS jangan dimatiin. Aku udah dijalan.
"JIAHAHAHA rasain lo!"
Astagfirullah, nggak boleh ngatain. Nggak boleh ngatain. Tapi pengen ngatain. Anjㅡ nggak boleh ngatain.
"Susah anjir ya ngomong sama bungkusan lumpia basah. Kakaknya ngeselin, adeknya ngambekan. Ampun dah gue."
"Tinggal ngambekin balik susah amat. Lo bukannya tadi lagi ngambek juga sama Guanlin? Gara-gara dia cuma ngeread spam chat lo?"
Lah iya, bener.
"Menurut lo, cuekkin balik apa jangan?" kata Jihoon yang kembali melanjutkan kegiatan suci dia, makan.
"Serah lo kali. Palingan ntar ambeknya juga nggak lama. Kalau si Guanlin agak bener, mungkin dia bakalan bujuk lo. Kayak biasanya."
Jihoon mengangkat alisnya puas akan jawaban Donghan, "Tumben pinter lo, pantat panci."
Anjir lah Hoon.
Sekitar 10 menit kemudian, Guanlin datang dengan wajah garangnya. Tapi kalau kalian telisik, jauh dimatanya ada emosi khawatir dan cemburu justru lebih mendominasi.
"Pulang cepet," titah Guanlin nggak nyopan meski ada sang kakak.
Jihoon diem sambil liatin Guanlin dengan tatapan juteknya. Donghan sebenernya udah mau ketawa sekalian sambil koprol kalau bisa. Tapi... kasian Jihoon kalau dia ngacauin ini.
Guanlin mendekati mereka berdua dengan perlahan dan meraih lengan Jihoon lalu mengangkatnya, mengajaknya pulang.
"Nggak mau, Guan!"
"Park Jihoon,"
Mam to the pus.
Mampus.
Jihoon udah tau, kalau Guanlin udah manggil dia pake nama lengkapnya berarti ya, ah sudahlah. Jihoon harus ngalah daripada ngadepin setan jejadian yang menjabat sebagai kekasihnya ini.
"Iya, iya pulang ayo," ucap Jihoon lalu berdiri dan menarik-narik kaus hitam yang Guanlin kenakan.
Mereka berdua pergi meninggalkan Donghan yang cuma bisa senyum miris, sendirian pula.
Duh, nasib jomblo ya gitu.
♕
Ini udah jam 9 pagi, tapi Jihoon masih asik bergelung di balik selimutnya. Mungkin, masih asik ngehabisin beberapa bungkus cokelat di alam mimpinya. Sebenernya, Jihoon ada jadwal bimbingan skripsi jam setengah 8 pagi. Tapi, karena masih kesel sama Guanlin, gara-gara semalem, jadinya Jihoon sengaja matiin alarm hape dia biar nggak usah bangun pagi sekalian. Nggak usah bimbingan. Mau tidur aja.
Ya abis, gimana nggak kesel. Semalem pas Guanlin nyeret dia pulang tuh, Jihoon malah didiemin. Dicuekin. Nggak diajak ngomong sama sekali. Jihoon juga udah sengaja mau mancing pacarnya itu, dengan bilang kalau dia tuh ditraktir makan besar sama Donghan. Diajak nonton sebelum makan. Dan lain-lain. Bermaksud untuk manas-manasin Guanlin, eh bukan Guanlin yang meledak malah Jihoon yang kebakaran. Pasalnya, Guanlin selama perjalanan tuh malah diem, cuma fokus sama jalanan dan setir kemudinya, dan lebih memilih untuk nyalain radio daripada dengerin cerita rekayasa Jihoon yang dihiperbolain banget bahasanya.
Jadi kesel lah si Jihoon.
Yaudah, makanya Jihoon lebih memilih untuk bener-bener nyuekin Guanlin. Nggak nyuruh Guanlin untuk mampir dulu semalem, langsung nutup pintu, dan langsung non aktifin hapenya, biar Guanlin nggak bisa ngabarin dia.
Ceklek
"Astaga."
Karena merasa janggal, Jihoon sama sekali nggak koar-koar minta dijemput jam 6 tadi, Guanlin pun memutuskan untuk datang ke apartemen Jihoon. Untuk mastiin, kenapa Jihoon sama sekali nggak ngerusuhin line dia pagi-pagi. Padahal ya, biasanya Jihoon selalu ngebom chat room Guanlin cuma karena minta dijemput. Nah ini, tumbenan. Padahal Jihoon ada jadwal bimbingan. Bareng lagi sama Guanlin.
Sekarang, Guanlin cuma bisa mendesah berat saat tangannya baru aja berhasil menurunkan knop pintu kamar Jihoon. Kepalanya menggeleng pelan, saat matanya menangkap sembulan rambut Jihoon dari balik selimut tebalnya.
Guanlin melirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, udah jam 9 pagi lebih 15 menit, tapi Jihoon masih enak-enakan ngeringkuk di dalam selimutnya. Perlahan, Guanlin mulai memasuki kamar Jihoon, menuntun sepasang kaki jenjangnya untuk berdiri tepat di sisi ranjang. Guanlin menarik pelan ujung selimut yang menutupi seluruh tubuh Jihoon sampai ke dahi, sampai wajah bantal Jihoon kini terpampang di depannya.
Lagi, Guanlin menggeleng pelan, dan dalam satu gerakan ia berhasil menarik selimut tersebut sampai lepas dari tubuh Jihoon yang terbalut dengan piyama ultramen merah ngejreng kebanggaannya. Guanlin bergeser ke sisi ranjang yang lain untuk melipat selimut Jihoon, sambil matanya terus memandang ke arah Jihoon yang mulai menggeliat sambil meracau.
Tanpa sadar, ujung bibir Guanlin sedikit terangkat saat mendapati Jihoon mengangkat kedua tangannya seolah sedang merenggangkan otot-ototnya. Setelah selesai melipat selimut Jihoon, Guanlin kembali melangkah ke sisi ranjang yang langsung menghadapkan tubuh tinggi semampainya dengan tubuh Jihoon yang kembali meringkuk menghadap ke arah kiri.
Guanlin menekan belah bibirnya, menahan desisan tawa yang siap menyeruak saat melihat tangan Jihoon berusaha untuk menarik-narik sesuatu di bawah sana.
Desisan pun tak dapat Guanlin hindari saat garis kerutan mulai timbul di dahi sang kekasih. Dengan mata yang berusaha untuk membuka, Jihoon berdecak sambil terus berusaha untuk meraih entah apa ituㅡ di bawah sana.
"Mana sih selimutnya, ish!"
Merasa nggak ada lagi selimut yang menutupi tubuh berisinya, Jihoon pun membuka pejaman matanya dengan cepat. Matanya langsung menyipit sempurna saat mendapati sosok Guanlin yang sedang berdiri di depannya sambil bersila dada.
Jihoon menggeleng pelan, "kebanyakan halusinasi nih gue. Ya kali si jutek ada disini pagi-pagi," racaunya pelan, yang tanpa sadar berhasil membuat Guanlin tersenyum kecil.
Jihoon mengalihkan pandangannya pada jam digital yang ada di atas nakas, di samping ranjang. 9:25, h-h-h-hah?!!
"Mati deh gue bisa dicincang abis nih sama pak Jisung!"
Ya iya sih, emang tadinya Jihoon males banget buat bimbingan karena lagi ngambek sama Guanlin. Ya tapi kan ... cuma bercanda doang, nggak seriusan!! Pak Jisung tuh galak banget, woy? UDAH TELAT INI GIMANA DONG!!!
Jihoon langsung mengubah posisinya menjadi duduk, dan nggak berselang lama Jihoon langsung beranjak turun dari ranjang untuk mandi. Tapi, sebelum berhasil menyeret langkah kakinya ke kamar mandi, sebuah tarikan pelan hinggap di lengannya.
Jihoon berbalik, sambil memicingkan salah satu alisnya, "Kamu ngapain disini?" tanya Jihoon.
Sekarang, gantian Guanlin yang memicingkan salah satu alisnya. "Kamu baru sadar kalau aku ada disini?"
"Y-y-ya, aku pikir aku cuma halusinasi, abisnya kamu nggak biasanya dateng kalo belom aku teriakin di line."
Guanlin berdecak, lalu tangannya yang lain terangkat untuk menyentil pelan dahi lebar Jihoon.
"Emangnya nggak boleh aku inisiatif jemput pacar aku yang manis ini?"
Ck, cih. Jangan gampang baper, Hoon. Inget, semalem dia nyuekin lo abis-abisan. Tahan, tahan. Paling lidahnya cuma keseleo aja sampe bisa ngomong manis kayak gini ke lo.
Dengan pelan namun pasti, Jihoon melepas pegangan tangan Guanlin dari lengannya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Jihoon melangkah menuju kamar mandi. Tekadnya udah bulat, walaupun telat dia tetap harus bimbingan. Biarin deh kalau nanti dikhotbahin sama pak Jisung, ntar tinggal disodorin risol bihun juga pak Jisung diem.
"Ck, dasar," keluh Guanlin, saat tubuh Jihoon mulai menghilang di balik pintu kamar mandinya.
Guanlin melirik ranjang Jihoon sekali lagi, dan memilih untuk merapikan bantal, guling, dan juga seprei yang masih berantakan. Setelah selesai, Guanlin langsung beranjak keluar kamar dan menuju ruang tengah.
♕
"Udah siap?" tanya Guanlin, saat mendapati Jihoon baru aja keluar dari kamar sambil ngeringin rambutnya yang basah pakai handuk.
Guanlin berdiri dari sofa yang udah hampir setengah jam ia duduki, memandang pada Jihoon yang mengabaikannya dan terus melangkah menuju dapur. Guanlin memutuskan untuk mengikuti sang kekasih, lalu memposisikan tubuhnya untuk bersandar di ujung meja dapur. Kedua tangannya terangkat untuk dilipat di depan dada, sedangkan matanya terus menatap Jihoon yang sedang menenggak air mineral dingin yang baru diambilnya dari kulkas. Jihoon berbalik tanpa menatap Guanlin sedikitpun, melangkah menuju wastafel dan meletakkan gelas yang baru dipakainya disana. Setelah itu, Jihoon kembali melangkah melewati Guanlin dan masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Guanlin, pemuda tampan itu masih tak bergeming dari posisinya.
Ceklek
Pandangan matanya terangkat saat mendengar pintu kamar Jihoon yang terbuka. Dengan posisi yang belum juga berubah, Guanlin terus menatap Jihoon yang mulai sibuk membuka gorden ruang tengah dan beranjak mendekati rak sepatu yang ada di dekat pintu utama. Salah satu mata Guanlin menyipit saat mendapati Jihoon yang sudah rapi mulai berdiri dan bersiap untuk membuka pintu utama.
Tanpa pikir panjang, Guanlin langsung beranjak meninggalkan posisinya dan melangkah mendekati Jihoon yang tangannya sudah mendarat sempurna di atas knop pintu.
Guanlin menarik tudung hoodie abu-abu yang dikenakan Jihoon, membuat pemuda manis itu nyaris terjengkang dan berujung membalikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Guanlin.
Jihoon berdecak, "Apaan, sih?"
"Kamu yang apaan."
Jihoon memutar bola matanya dengan malas, lalu kembali berbalik dan benar-benar ingin segera berangkat karena nasibnya udah beneran ada di ujung tanduk. Tapi, lagi-lagi Jihoon harus menghentikan langkahnya saat tarikan lain kini hinggap di bagian samping hoodie yang sedang dipakainya.
Tanpa berbalik, Jihoon menepis tangan Guanlin dan merapikan kembali tataan hoodie abu-abunya. Dan tanpa mengucapkan sepatah katapun, Jihoon kembali berusaha untuk meraih pintu utama namun lagi-lagi sebuah tarikan kembali harus membuatnya berhenti. Bukan lagi tarikan di hoodie, tapi tarikan yang kini menahan tas ransel kecil yang menggantung di punggungnya.
Jihoon menyerah, dan akhirnya ia berbalik untuk menatap pacarnya yang wajahnya udah mulai sangar. Jihoon mendesah berat, "Aku mau bimbingan dan aku udah telat, oke? Sekarang lepasin."
Guanlin mendengus sebal, "Kamu bimbingan bareng aku. Berangkat sama aku."
Jihoon menggeleng cepat, "Aku udah minta dijemput sama Donghan. Dia udah di depan. Kamu jalan sendiri aja, ya?"
Guanlin terdiam. Pegangannya pada tas ransel kecil Jihoon pun terlepas, lalu ia menggerakkan dagunya pertanda bahwa ia mempersilakan Jihoon untuk pergi. Tanpa mengucapkan salam pamit, Jihoon kembali berbalik dan kali ini benar-benar pergi meninggalkan Guanlin yang masih berdiri mematung di depan pintu apartemennya.
Setelah mematung beberapa detik, Guanlin pun beranjak meninggalkan apartemen Jihoon. Wey, dia juga harus bimbingan. Dan Guanlin juga paham betul, pak Jisung itu galak. Jadi, daripada mikirin Jihoon mendingan sekarang dia berangkat ke kampus. Karena ya, well, dia juga udah telat.
♕
Rejeki mah emang nggak kemana, lur. Pak Jisung ternyata lagi berhalangan hadir, jadinya semua mahasiswa yang punya jadwal bimbingan sama pak Jisung hari ini bisa bernafas lega dan bisa berleha-leha.
Termasuk Jihoon yang sekarang lagi ngaso di kafetaria sambil minum es teh manis, termasuk juga Guanlin yang sekarang lagi duduk sambil bengong di bangku panjang yang ada di taman.
Nggak ngerti lagi, udah berapa kali Guanlin menggeleng sambil mendesah berat hari ini karena kelakuan pacar manisnya itu. Jihoon bener-bener ngediemin dia, which is, nggak ngewaro dia sama sekali. Ke kafetaria sendirian, nggak ngajak Guanlin. Kenapa, sih? Bukannya yang seharusnya ngambek itu Guanlin, ya? Jelas-jelas Jihoon tadi pagi lebih memilih untuk berangkat ke kampus sama Donghanㅡ kakaknya, sekaligus mantan dari Jihoon, daripada berangkat sama Guanlin yang jelas-jelas statusnya adalah pacar Jihoon.
Yaudah lah, biarin aja.
"Guanlin,"
Guanlin mendongak, dan matanya sedikit membulat saat melihat Jihoon kini berdiri di depannya. Guanlin menegakkan posisi duduknya, hendak mengangkat tangan kirinya bermaksud untuk menyuruh Jihoon untuk duduk di sampingnya, namun sesuatu yang diulurkan Jihoon malah berhasil merebut perhatiannya.
Guanlin mengerutkan dahinya, "Ini apa?"
Jihoon mengangkat kedua bahunya, mendesah pelan saat Guanlin tak kunjung mengambil benda yang kini diulurkan Jihoon di hadapannya.
Guanlin mengangkat tangan kanannya untuk meraih pergelangan tangan Jihoon, namun Jihoon lebih dulu memundurkan tubuhnya selangkah.
"Cepetan, Lin. Aku laper, nih."
Deg.
Lin.
Jihoon nggak pernah manggil dia pakai nama 'Lin'. Dari jaman baru kenal dan pdkt juga, Jihoon udah manggil dia dengan 'Guan', which is it sounds cute bagi Guanlin dan emang favorit Jihoon banget.
Guanlin berdiri dari duduknya, memposisikan tubuh tingginya tepat di hadapan Jihoon.
"Bu Kahi nitipin ini tadi. Aku nggak sengaja ketemu bu Kahi di koridor. Ini, Guanlin. Cepet, ishh. Aku ditunggu Donghan di kafetaria, makanan traktiran dia belom aku abisin."
Ck, Donghan lagi Donghan lagi.
Guanlin masih diem, dan itu bener-bener bikin Jihoon kesel.
Akhirnya, Jihoon memilih untuk meletakkan amplop putih titipan bu Kahi di bangku yang tadi Guanlin duduki.
"Balikan aja sana sama Donghan."
Jihoon kembali pada posisi tegaknya, lalu menatap datar pada Guanlin. Jihoon terdiam, menunggu Guanlin untuk melanjutkan kalimatnya.
"Apa-apa Donghan, semua-muanya Donghan, kamu mau balikan sama dia?" tanya Guanlin.
Anjayyyy, idenya si kaleng sarden berhasil juga.
Jihoon menyunggingkan seulas senyum miring di bibirnya, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.
"Boleh?" tanya Jihoon.
Guanlin menekan belah bibirnya, lalu kembali duduk di bangku yang sebelumnya ia duduki. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah taman, dan sama sekali tak berniat untuk mengarahkannya kembali pada Jihoon.
"Makasih buat amplop titipan bu Kahi, kamu boleh pergi."
Guanlin mendesah pelan, "Akuㅡ"
"Ngambeknya manis banget, sih!!" tanpa pikir panjang dan tanpa ragu, Jihoon langsung naik ke atas pangkuan Guanlin dan memeluk leher jenjang kekasihnya itu dengan senang.
Wajahnya sengaja ia usak-usak di perpotongan leher Guanlin, sambil hidungnya berusaha untuk menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh kekasihnya ini.
Guanlin yang masih bingung sama apa yang terjadi sekarang pun cuma bisa diam, sampai akhirnya Jihoon melepas pelukannya dan menangkup gemas wajah tegasnya.
Jihoon mengusap lembut pipi Guanlin, lalu menundukkan sedikit wajahnya untuk mengecup sudut bibir sang pujaan hati.
"Aku bercanda doang, ih." lirih Jihoon, yang bibirnya masih terus mengecupi sudut bibir Guanlin.
Guanlin mendorong pelan dahi Jihoon yang berada tepat di samping pipi kirinya, membuat wajah Jihoon kini kembali berhadapan dengan wajahnya.
"Maksud kamu?"
Jihoon tersenyum kecil, lalu kembali berhamburan memeluk Guanlin dan kini ia menopangkan dagunya di bahu kiri Guanlin. Sedangkan jari-jari mungil Jihoon mulai bermain jahil di sepanjang bahu dan leher sang kekasih.
"Kamu cuek banget kayak bebek. Jelek. Aku sebel. Donghan ngasih aku saran buat ngerjain kamu, biar kamu sadar biar kamu nggak kelewat cuek lagi. Yaudah, aku nurut aja, dan... Berhasil, 'kan? Hehehe..."
"Berhasil apanya?" tanya Guanlin.
"Kamu cemburu, 'kan, aku deket lagi sama kakak kamu? Tenang, itu cuma rekayasa, kok." balas Jihoon, yang masih asik menggerakkan jari-jarinya di sepanjang bahu jenjang Guanlin.
Guanlin berdecak, "Siapa yang cemburu? Biasa aja, tuh."
Jihoon kembali menegakkan posisi duduknya, lalu tangannya terangkat untuk menampar pelan pipi tirus Guanlin. Oh, jangan lupakan bibir manyunnya dan juga sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca.
Guanlin terkekeh, lalu tangannya terangkat untuk membingkai wajah Jihoon. Guanlin memiringkan wajahnya, dan berhambur untuk mencium bibir ranum sang kekasih.
Setelah tiga menit berlalu, Guanlin melepas ciumannya. Tangannya beralih untuk mencubit gemas hidung Jihoon, membuat yang dicubit meringis menahan sakit.
"Punya aku,"
"Bukan punya Donghan, apalagi punya orang lain."
.
.
.
.
END
gimana?
uGh yeoksi author mauschen ceritanya emng uGh(?)
jangan lupa baca karya hoonxian yang Meile!
next collab sama siapa ya~
tertanda,
naru kiyowo yang setia sama micoci as always.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro