Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Phobia

"Jihoon, tolong beli yang ada di list ini ya! Ibu mau ke rumah sakit,"

Jihoon yang berada dikamarnya keluar dan memberikan tatapan penuh tanya pada ibunya yang berada di ruang tamu, terlihat sedang sibuk.

"Ibu mau nganter si kecil, dari sore nangis terus. Uangnya ada dideket dispenser. Pakai motor ayah aja oke? Dah!" ucap Ibu Jihoon setelah menggendong bayi-adik Jihoon, lalu bergegas keluar menggunakan mobil keluarga.

"Jihoon nyusul jangan, bu?" teriak Jihoon.

"Nggak usah! Jaga rumah aja!" balas ibunya sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan rumah.

Jihoon hanya menatap daftar belanjaan tersebut dengan wajah murungnya. Sebenarnya ia ingin santai saja dirumah. Namun, apadaya. Jika ia tidak belanja, kemungkinan ibunya akan memotong bekalnya dan ia sebagai pelajar yang hanya mengandalkan uang jajan, tentu tidak mau hal tersebut terjadi.

Dengan motor milik ayahnya, ia segera bergegas menuju sebuah toserba yang cukup jauh dari rumahnya. Lagipula hanya tempat ini yang paling dekat dari rumahnya.

Meskipun jam telah menunjukkan sepuluh malam. Sepertinya toserba memang tetap buka untuk orang-orang tengah malam bukan. Jihoon yang hampir membeli seluruh makanan yang ada pada daftar, memutuskan santai sedikit selagi mencari seledri, lada hitam dan makanan bayi. Ia menuju ke tempat dimana banyak makanan ringan dan memilih untuk dirinya sendiri. Ia melihat ada makanan kesukaannya, hanya tersisa satu dan berada ditempat teratas.

Jihoon memasang wajah naasnya melihat betapa tinggi tempat makanan tersebut berada. Ia berjalan melihat-lihat untuk meminta bantuan. Untung saja ada remaja lelaki cukup tinggi yang lewat. Ia meminta bantuan kepada remaja tersebut untuk mengambilkan makanan tersebut. Namun saat kembali, makanan ringan tersebut telah hilang entah kemana.

"Tadi... ada...," ucap Jihoon dengan putus asa kepada lelaki tersebut.

Lelaki tadi tertawa lalu membalas, "Jikalau kau menemukannya lagi panggil saja aku. Aku ada di tempat daging, Oke? Aku Seungwoo."

"Aku Jihoon," ucapnya pelan dan tidak bersemangat.

Lelaki tadi hanya bisa tertawa kecil dan kembali melanjutkan belanjanya. Sedangkan Jihoon mencoba sabar dan memutuskan untuk membeli minuman. Oleh karena itu ia pergi ke tempat dimana minuman berada.

Sesampainya Jihoon melihat lelaki bertubuh tinggi (ia heran kenapa banyak lelaki tinggi sedangkan dia tidak.) dengan makanan ringan yang Jihoon tadi incar ditangannya.

'Ternyata dia!' batin Jihoon.

'Apakah aku perlu memintanya atau... biarkan saja?'

'Aku sangat ingin makanan tersebut.'

'Astaga aku jadi lapar memikirkannya'

Jihoon melamun, sehingga ia tak sadar lelaki tersebut sudah berada didepannya.

"Eum, halo? Kau yang disana? Tidak apa-apa?" ucap lelaki tersebut.

"Aku? Lapar. Ah! Tidak, maksudku-IBU!"

Lampu tempat ini mati total. Entah memang kesalahan generator atau ketentuan dari Pemerintah.

Jihoon, yang mengidap phobia akan kegelapan, secara refleks memeluk lelaki yang berada didepanya, si pengambil makanan ringan miliknya.

"Ibu maafkan aku, maafkan aku, ibu, ibu ibu," ucap Jihoon sangat cepat seraya masih memeluk lelaki didepannya dengan erat.

"Hey? Maaf aku bukan ibumu," ucap lelaki tersebut sedikit risih namun tetap tidak ingin menyakiti lelaki didepannya ini.

"Aku tahu bodoh, tapi tolong...," Jihoon berucap semakin pelan. Ia terisak pelan.

"Aku phobia gelap," cicitnya.

"Astaga! Maafkan aku," ucap lelaki tersebut seraya mengusap punggung Jihoon perlahan.

"Jihoon," cicit Jihoon pelan.

"Maaf, apa?"

"Namaku... Jihoon," ucapnya yang masih tidak berani melakukan apapun dan hanya memejamkan matanya dalam pelukan lelaki yang baru ia temui.

"Aku Guanlin, dan Jihoon, apa yang dapatku lakukan? Untuk membuatmu tidak ketakutan hingga-astaga kau berkeringat banyak sekali," ucap Guanlin selagi menyeka keringat yang berada dipelipis Jihoon.

"Pulang?"

"Baiklah kita pulang oke?" Guanlin mencoba mengajak Jihoon jalan keluar dari toko ini. Namun, Jihoon tidak bergeming. Guanlin menghela napasnya pelan lalu memeluk pinggang Jihoon dan mengangkatnya dari depan.

Koala Hugs.

Jihoon yang terkejut sempat melonggarkan pelukannya terhadap Guanlin saat ia telah berada dalam gendongannya. Dengan posisi seperti ini, Jihoon dihadapkan langsung pada wajah Guanlin. Meskipun tadi ia sempat melihat Guanlin, ia tidak memerhatikan wajahnya (ia terlalu fokus pada makanan ringannya.) dan sekarang, meski dalam gelap ia dapat melihat pandangan khawatir dan tentunya wajah Guanlin yang ia rasa cukup tampan. Merasa malu, ia menutup wajahnya dengan tangannya.

"Hey? Kenapa menutup wajah? Jangan menangis," ucap Guanlin mencoba menjahkan tangan Jihoon dari wajahnya. Meskipun itu cukup sulit, karena ia masih menggendong Jihoon.

"Aku hanya ingin pulang."

"Baiklah, peluk leherku. Jihoon-ssi," ucap Guanlin mendekatkan kepala Jihoon pada bahunya. Agar ia lebih mudah membawa Jihoon.

Jihoon melakukan apa yang diperintahkan, ia tak mau lebih merepotkan tapi ia teringat sesuatu.
"Bagaimana dengan belanjaanku?"

.

.

.

Mereka berdua akhirnya telah berada diluar, didekat motor milik ayah Jihoon. Tentunya tanpa belanjaan mereka.

"Kita tidak mungkin menaiki motor seperti ini Jihoon-ssi, turunlah sebentar oke?" Ucap Guanlin tenang dan menurunkan Jihoon.

Jihoon yang masih ketakutan hanya bisa segara memeluk Guanlin dari samping seraya bergumam betapa ia membenci malam, kegelapan dan berbagai hal lainnya yang bisa membuat Guanlin tersenyum pelan.

Mereka berdua akhirnya berangkat menuju rumah Jihoon. Sepanjang perjalanan, entah kenapa Jihoon kembali menangis. Itu membuat Guanlin kewalahan dan Ia hanya bisa mempercepat kecepatan motor agar mereka segara sampai di rumah Jihoon.

Sesampainya, Jihoon masih menangis, cukup keras. Guanlin tidak tega dan kembali menggendongnya seperti Koala dan membawanya masuk setelah sebelumnya mengambil kunci rumah Jihoon dari Jihoon sendiri dan memastikan motor ayah Jihoon telah aman.

Guanlin mendudukan dirinya di sofa dengan Jihoon dipangkuannya, masih menangis.

"Hey, tenang. Aku disini. Aku tahu ini masih gelap. Tapi tenang sedkit, aku akan menemanimu," ucap Guanlin menghapus air mata Jihoon.

Guanlin tersenyum kecil melihat betapa lucunya Jihoon dengan pipi gembul dan hidungnya memerah karena nangis. Ia menangkupkan wajah Jihoon dengan tangannya, sehingga Jihoon menatap kearahnya. Ia tak tahu apa yang ia lakukan, tapi ia mendekat dan mengecup kening Jihoon lama. Sebelum akhirnya mencium kedua mata Jihoon.
Jihoon hanya bisa mengerjapkan matanya yang masih basah dan melihat kearah Gualin dengan pipinya yang semaki memerah-karena malu.

"Kau tahu, Kita baru kenal beberapa jam yang lalu dan aku hanya tahu nama, alamat dan phobiamu. Tapi aku tak suka melihatmu menangis. Jadi berhentilah menangis seperti ini. Untukku, bisakah?"

Jihoon sempat membeku sebelum akhirnya menanggukkan kepalanya berulang kali.

"...aku coba," lirihnya.

Jeda hening. Guanlin hanya menatap Jihoon dengan pandangan lembutnya. Seperti saat ia memandang ibunya, atau mungkin peliharaan tersayangnya. Tatapan menyayangi yang sangat dalam. Sedangkan Jihoon menatap kebawah dengan bibir yang ia gigit agar tak ada satupun isakan yang lolos dari bibirnya.

Berhasil.

Jihoon berhenti menangis.

Jihoon mendongkak melihat Guanlin dan memberi tatapan seperti anak kecil yang berhasil meraih juara kelas dan sedang memberi tahu pada ibu mereka. Guanlin hanya bisa tersenyum simpul dan mengacak rambut Jihoon.

"Anak pintar," ucap Guanlin dengan nada luar biasa lembut. Jihoon yang biasanya tak suka diperlakukan atau disebut anak kecil (dia adalah seorang lelaki dan anak pertama) merasa jikalau pujian Guanlin begitu hangat.
Jihoon hanya mengangguk pelan dan membuat Guanlin terrtawa tak habis pikir.

'Lucu sekali'

Cup!

Satu ciuman sederhana Guanlin berikan tepat pada bibir Jihoon dan berhasil membuat Jihoon memerah. Guanlin tak menyangka ia sendiri akan mencium ihoon, tapi ia tak menyesalinya. Hanya saja wajahnya menjadi sedikit merah. Iapun malu atas tingkahnya sendiri.

"Jihoon-ssi, ta-"

"Jihoon saja," ucapan Guanlin dipotong oleh Jihoon.

"Jihoon, tak apa? Yang tadi?"

"Uh, aku? Um, Kau tadi... Aku... Oke? Aku rasa," cicit Jihoon lalu menundukkan wajahnya.

"Benarkah?" Guanlin mengangkat wajah Jihoon yang telah memerah.

TIK.

Rumah Jihoon kembali cerah.

Jihoon dan Guanlin kembali bernapas lega namun tidak kunjung mengubah posisi mereka.

END

14/07/2017
Lunar.

Gimana pasti aneh ;A;
tapi bomat lah ya. Nikmatin aja(?)

ini fanfic Wannaone pertama(?) wkwkw.
Sebenernya lunar penggemar NielWink.
(adakah NielWink shipper?)
Tapi Panwink juga lucu.
2Park juga
WinkBugi juga.
OngWink juga(?) wkwkwk
OngWink emang ada?

selanjutnya mau yang kaya gimana ya :3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro