
Yon⚘
Happy Reading!
Ting! Ting!
Suara alat makan saling beradu satu sama lain, kebisingan yang sudah wajar saat kegiatan makan terjadi.
"[Name], berhentilah mengaduk-aduk makananmu itu."
Teguran lembut dari seorang ibu menghampiri pemilik nama, sang gadis dengan helai rambut [h/c] tidak menjawab maupun menuruti teguran tersebut. Ia semakin percepat kegiatan itu membuat ibunya menghela napas panjang.
"[Name], apa kamu mendengar Ibu?" tanya wanita berusia 45 tahun dengan lembut.
"Aku mendengarnya, Bu." [Name] pun menjawab pelan, tangannya berhenti mengaduk makanan lalu menyembunyikan tangan di atas pahanya dengan kepala sedikit tertunduk. Ibunya merasa ada yang kurang beres dari anaknya, netra cokelat menatap sang putri semata wayang dengan lembut.
"[Name], apa ada masalah?"
[Name] menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Apa kamu yakin?" tanya sang Ibu sekali lagi untuk meminta kepastian. Gadis itu hanya terdiam membisu, kepala semakin ditunduk membuat sebagian rambut panjangnya menutupi paras cantik.
"Ibu tidak bisa dibohongi. Sekali kamu menutupi kebenaran, suatu saat akan terbongkar." Wanita itu tersenyum lembut, begitupun tutur katanya. "Sehebat apapun kamu berbohong kepada Ibu, itu akan terbongkar jua," petuahnya.
Perlahan tubuh [Name] bergetar seakan menahan gejolak di dalam diri, tangannya mengepal seperti orang sedang bertinju. "Ibu ...." Gadis itu memanggil ibunya pelan, jika didengar baik-baik nada suaranya seperti dingin.
"Iya?"
"Aku ... ingin bertanya sesuatu kepadamu," ucap [Name].
"Tanyakan saja, Sayang," kata sang ibu mempersilakan.
"Menurut Ibu, apakah aku egois?" tanya [Name] dengan dingin. Ibunya mengerutkan dahi, ada apa dengan putrinya sehingga menanyakan hal ini?
"Ibu tidak tahu, Nak." Wanita itu menggeleng pelan. "Ibu tidak tahu jawabannya apakah kamu egois atau tidak karena belum mendengarkan permasalahanmu," imbuhnya sembari bangkit lalu berjalan menuju anaknya dan duduk di sebelah kanan.
"Bisa kamu ceritakan permasalahannya, Nak?" pintanya seraya merengkuh tubuh mungil [Name].
[Name] mengangguk pelan dan mulai menceritakannya dari awal sampai perdebatan mereka kemarin malam, ibu mendengarkan secara saksama. Tangan yang mulai keriput mengelus lengan [Name] dengan lembut.
"Jadi begitu ...." Sang ibu mengangguk paham setelah mendengar ceritanya, mengulas senyuman tipis nan menghangatkan di wajah. "Menurut Ibu, kalian memiliki kesalahan tersendiri."
Mengangkat kepalanya lalu menatap sang ibu dengan tatapan bertanya, "Maksud Ibu?"
"Maksud Ibu, kalian memiliki kesalahan tersendiri. Untuk Iori, kekasihmu itu, memiliki kesalahan atas janji yang belum ditunaikan. Ia terus berjanji kepadamu dan membatalkannya berulang kali, jika sekali atau dua kali, Ibu memakluminya." Beliau masih tersenyum tipis, menatap netra [e/c] milik [Name] lembut. "Membuat janji lalu membatalkannya itu sama sekali tidak baik," imbuhnya. [Name] mengangguk, menyetujui perkataannya.
"Lalu, kamu memiliki kesalahan cukup fatal. Apa yang dikatakan Iori benar adanya, kamu memiliki sifat egois ...." Perkataan sang ibu membuat [Name] menatapnya tidak terima.
"Aku tidak egois, Bu!" bantah [Name] tidak terima. "Aku sama sekali tidak egois! Aku hanya menginginkan dia menepati janjinya, menghabiskan waktu bersama dengannya!" lanjutnya dengan suara meninggi.
Wanita dengan rambut sebahu membelalakan matanya, terkejut akan reaksi dari putri semata wayang. Membantah sembari menaikkan nada bicara, itu sama sekali tidak dibayangkan olehnya sendiri.
"[Name], itu namanya egois. Kamu menginginkan hal tersebut tanpa memikirkan kekasihmu sibuk atau tidaknya. Seharusnya kamu mengerti hal itu," tutur ibunya dengan serius. [Name] masih tidak percaya, dia masih teguh pendirian kalau apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri tidak egois, hal begitu wajar di kalangan kekasih.
"Ibu sama sekali tidak mengerti! Aku hanya menagih janjinya untuk ditepati! Harus ditepati!"
"Ibu paham, [Name]. Tapi mengertilah, setiap orang memiliki kesibukan sendiri. Kekasihmu itu seorang idol, dengan pekerjaan begitu banyak, memiliki waktu bersantai ria tidak banyak seperti orang lain." Sang ibu berusaha memberikan sebuah pengertian untuk anaknya, menggunakan nada rendah dan mengatur emosinya agar tidak meledak. "Dia memiliki jadwal dan permintaan untuk tampil di acara manapun begitu banyak, sehingga tidak memungkinkan untuk pergi menepati janjinya kepadamu. Jika ia memiliki hari libur, pasti digunakan untuk beristirahat dari segala aktivitas," paparnya begitu sabar.
Brak!
Tanpa diduga, [Name] berdiri sembari menggebrak meja makan begitu keras membuat ibunya terkejut setengah mati. Wajah cantiknya memerah padam, mata [e/c] menyalak dengan beberapa bulir air mata berada di pelupuknya. Hatinya bergemuruh hebat laksana diterpa badai dahsyat.
"Aku tidak egois! Aku benci kalian semua!" serunya sembari berlari menuju kamarnya.
Kini hanya tinggal ibunya di ruang makan, beliau memegang kepala saat merasakan nyeri di sana. Tidak habis pikir atas perangai [Name], begitu egois, tidak menerima pendapat orang lain mengenai dirinya. Seakan merasa paling benar di antara yang lain sehingga tidak ingin mendengarkan berbagai pendapat, ibu dengan usia 45 tahun itu menggumamkan permintaan maaf kepada Iori, meminta maaf atas semua perangai anaknya dan berharap ia menyadari perangai buruknya.
To Be Continued!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro