Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❈Ni

Happy Reading!

"Tadaima."

Suara datar terdengar dari arah ruang tamu bersamaan dengan langkah kaki tak bergairah.

"Okaeri, [Name]."

Sahutan lembut berasal dari ruang keluarga, begitu lembut sehingga ingin mendengarnya lagi. [Name] yang baru saja pulang langsung melangkah ke ruang keluarga untuk pergi menaiki tangga menuju lantai dua, kamarnya. Tangannya perlahan melepaskan syal yang ia kenakan.

"Habis dari mana, [Name]?"

Sebuah pertanyaan membuatnya menghentikan langkah, [Name] menoleh ke arah kursi keluarga, melihat seorang wanita berusia 45 tahun dengan rambut hitam sebahu sedang menatap balik dirinya.

"Dari kafe, Bu," jawab [Name] datar.

"Sendiri?"

Gadis itu menggeleng pelan seraya membalas, "Sama Iori-kun, Bu."

Wanita itu-ibunya-mengangguk mengerti. Dirasa tidak ada percakapan lagi, ia pamit untuk pergi ke kamarnya. Menaiki satu persatu anak tangga, berjalan menuju kamarnya yang terletak di seberang tangga sebelah kiri. Meraih kenop pintu lalu membukanya, masuk dan kembali menutup secara pelan.

[Name] perlahan melepaskan jaket, membuka lemari dan meletakkannya di sana. Syal perak dilipat lalu diletakkan di atas meja riasnya. [Name] kembali berjalan sebentar menuju tempat tidur, duduk di sana lalu perlahan berbaring. Netra [e/c]-nya menatap plafon kamar dengan pikiran melalang buana, memikirkan sebuah perdebatan di kafe satu jam yang lalu.

Satu jam yang lalu, di kafe.

"Jadi kau membatalkan semua rencana dan janji karena adanya kegiatan mendadak?" ulang [Name] dibalas anggukan pelan dari Iori. "Gomennasai, Fuyuki-san," ucapnya meminta maaf.

[Name] mendengus, alasan itu lagi. Alasan yang hampir sama setiap membatalkan rencana maupun janji. "Haruskah aku memercayai alasan klasikmu itu?" tanyanya dengan sinis. Iori mengerutkan dahi, alasan klasik?

"Alasan klasik katamu?"

[Name] mengangguk yakin, kedua tangannya dilipat depan dada, bersidekap. "Tepat! Alasanmu itu terlalu klasik, membuatku jengah saat mendengarnya. Apa kau sama sekali tidak memiliki alasan lain?" sinis gadis itu.

"Apa maksudmu? Aku mengatakannya dengan jujur." Iori menajamkan tatapannya, apa-apaan gadis ini? Dia menuduh dirinya sebagai seorang pembohong?

"Oh ya?" tanya gadis netra [e/c] sembari menaikkan sebelah alisnya, tidak percaya. "Kau selalu membatalkan janji denganku dan alasannya masih tetap sama, sedangkan dengan orang lain, kau menyanggupinya. Apa itu yang dikatakan jujur?" lanjutnya begitu sinis dan dingin.

"Itu karena tidak ada jadwal yang mendadak, Fuyuki-san!" Nada bicara ia tinggikan, perasaan kesal atas pernyataan tidak mengenakkan dari [Name]. Raut wajahnya mulai mengeras, menahan amarah yang akan meledak. "Jika tidak ada hal seperti itu, pasti aku akan melaksanakan rencana yang telah dibuat beberapa waktu silam," tampiknya.

"Bohong!" seru [Name]. "Kau pasti berbohong! Aku sama sekali tidak memercayaimu, Iori-kun!" Tangannya menunjuk-nunjuk wajah laki-laki di depannya.

Iori mengusap wajahnya dengan kasar, frustasi dan lelah bercampur menjadi satu. Dalam benaknya, kapan tidak ada perdebatan di dalam hubungan ini?

"Fuyuki-san, berhentilah memperdebatkan hal ini." Iori memohon kepada gadis di depannya. "Aku lelah, tolong jangan memperdebatkan hal ini dan berhentilah bersikap egois," tandasnya.

"Aku sama sekali tidak egois!"

"Kau egois, mementingkan diri sendiri dibanding orang lain." Iori memicingkan matanya, mata kelabu berkilat marah. "Kau selalu mendesak aku untuk menghabiskan bersama, tanpa memedulikan sibuk atau tidaknya," sambungnya dingin.

[Name] tidak membalas perkataannya.

"Jika terus seperti ini, lebih baik kita akhiri saja hubungan ini," tutup Iori seraya pergi dari kafe, meninggalkannya seorang diri.

"Ck, menyebalkan," gerutu [Name] dengan posisi masih sama, berbaring dengan pandangan lurus ke plafon. Tangan kirinya meraba tempat tidur, mencari sebuah bantal untuk dipeluk. Setelah mendapatkannya, ia segera memeluk. Deru napasnya tidak teratur, masih ada rasa jengkel dan marah di dalam diri.

"Egois? Memangnya aku seperti itu?" gerutu gadis itu, tangannya menggenggam bantal begitu erat. "Aku sama sekali tidak egois, aku hanya ingin dia menghabiskan waktu bersama denganku kala senggang. Apa itu termasuk egois?" tanya [Name] seorang diri.

Gadis itu terus menggerutu, mengatakan bahwa dirinya tidak egois. Dilanjut dirinya mengatakan sebuah ketidakpuasan atas apa yang telah dilakukan oleh Iori, tidak menepati janji kepadanya itulah alasan utama.

"Dia itu selalu saja mengatakan sebuah janji, entah janji untuk berwisata di taman bermain, menonton film atau sebagainya. Namun, tidak ada satupun janji yang ia tepati, maunya apa sih?" celetuk [Name] kesal.

[Name] terus menggerutu akan kesalahan yang diperbuat kekasihnya, mengomentari segala hal sekaligus menjelek-jelekkan dirinya. Dia tidak tahu bahwa apa yang dikatakan Iori memang benar adanya, sifat egois. Sifat itu membuatnya seakan menuntut atas segala keinginan dan harus dipenuhi, tanpa memedulikan Iori sedang sibuk atau tidak.

Satu jam telah berlalu, tidak ada gerutuan lagi di ruang kamar minimalis berwarna [f/c]. Pemilik kamar tertidur, dengan raut wajah tidak mengenakkan.

To Be Continued!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro