Two Souls, One Body - [Shinomiya Natsuki x Reader]
Requested by Wizardcookie a.k.a Penyihir Kukis :3
Semoga suka ya, maaf lama dirilis ♡
Laki-laki itu spesial untukmu.
Memiliki senyum menawan dan pembawaan hangat.
Menjadi penyemangat.
Dan kau, menaruh hati kepadanya.
Hanya saja, terdapat batas penghalang yang besar di antara kalian.
Yaitu kepribadian lain di dalam raganya.
Two Souls, One Body
Pair : Shinomiya Natsuki x Psychiatry!Reader
Warning : OOC, typos, AU
By agashii-san
.
.
.
"
[Name]-chan,"
Kamu menoleh, mendapati pemuda berambut kuning ikal berjalan menghampirimu. Kau tersenyum, berhenti menggores-gores aksara dengan pensil mekanikmu.
"Ada apa?"tanyamu yang langsung disahuti oleh tarikan kursi dari bangku sebelah yang kosong dan Shinomiya memilih duduk di depanmu. Berbatasan dengan mejamu, tentunya.
"Apa kau sudah mengisi prospek masa depanmu? [Name]-chan ingin menjadi apa?"
Awalnya, kau telah mencoret berkali-kali dengan penghapus. Kau mendesah. "Aku bingung harus menjadi apa. Semua tawaran masa depan begitu luas."
Shinomiya mengangguk, "Sou ka. Kenapa tidak dilihat dari hal-hal yang kau sukai?"
Kau melihat remah-remah penghapus yang berceceran lalu memandangnya. Pemuda ramah itu selalu menjadi orang yang menolongmu di saat sulit. Kau ingin berterima kasih kepadanya, tentunya sekadar kata telah kau ucapkan berkali-kali.
"Shinomiya-san, kau kenapa?"tanyamu terfokus ke sudut bibirnya yang membiru.
Pemuda itu meringis pelan, "Entahlah. Tadi aku tertidur di pelajaran olahraga dan ketika siuman aku malah berada di halaman belakang. Ketika aku pergi ke toilet, bibirku sudah sedikit sobek membiru seperti ini."
Ia berkata seolah hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi. Bagaikan misteri ilahi namun sebenarnya terjadi di luar kendali jiwanya sendiri. Kau tahu, pemuda itu selalu tersenyum walau menahan derita jiwanya yang lain. Akibatnya, kau sadar dari sekian orang yang memilih menjauh, hanya kau yang mau bersamanya.
Kau langsung mengambil bolpoin dalam kotak pensil.
"Sudah tahu mau jadi apa?"
Kau mengangguk sebagai respon terhadap pertanyaannya.
"Tetapi kalau pakai bolpoin tidak bisa dihapus lagi, loh? [Name]-chan yakin?"Shinomiya menautkan alisnya, ketika kau telah asyik menuliskan alasannya.
Pekerjaan di masa depan yang kau impikan -- psikiater. Dengan menjadi psikiater, kau yakin menyelami jiwanya akan terasa lebih mudah.
☆ ☆ ☆
Setidaknya, di masa lalumu berkata demikian. Untuk studi psikologi yang telah kau jalani selama empat setengah tahun, ini pertama kalinya kau menjalani magang kerja di sebuah rumah sakit.
Bagaimana nasib Shinomiya?
Pemuda itu menjadi sosok yang begitu jauh dari duniamu -- seorang idol.
Kontak kalian berakhir sejak tahun lalu. Segalanya benar-benar berubah. Kau mengira Shinomiya juga telah melupakanmu, selain itu juga mungkin kepribadian lainnya telah menghilang.
Tetapi itu tidak menurunkan tekadmu sebagai psikiater. Masih banyak pengidap gangguan kejiwaan yang harus kau tangani. Hanya saja belum pernah kau temui pasien DID selain dia.
"[Name]-san!"
Kau menoleh, mendapati rekan magangmu berlari membawa papan data.
Dengan napas terengah-engah, ia berkata, "Ini benar-benar gawat. Kali ini kita menerima pasien baru dan ia ditempati di ruangan VIP."
Kau mengernyitkan dahi. Rekanmu yang merupakan teman magang didera panik berlebih -- bahunya berguncang dan jemarinya bergetar.
"Di mana ruang pasien itu?"tanyamu menepuk bahunya pelan.
"Ruangan 1103."
Kau langsung berlari menuju ruangan tersebut. Penasaran, apa yang membuat rekan magangmu begitu takut. Padahal rekanmu itu laki-laki yang cukup mandiri menjalani tugasnya.
Prang!
Dari dalam ruangan itu, terdengar bantingan piring yang bertemu lantai porselen. Dan kau jamin, piring itu telah pecah berkeping-keping.
"Keluar! Bebaskan aku dari sini! Tempat busuk macam apa ini?"
Kau menganga langsung memegang kenop pintu. Suara pemuda yang berseru barusan kau rasa begitu familier. Dan kau mengintip suasana di dalam dari kaca mini yang tersemat di pintu ruangan pasien.
"Segera suntik obat penenang untuk menenangkannya!"
"Siap!"
"Argh!"
Kau langsung mendobrak. Mendapati seluruh pihak memandang ke satu arah -- dirimu yang berdiri di depan pintu.
"[Name]-san? Tenang saja, akan kami urus!"kata dokter senior menenangkanmu, tetapi kau menggeleng cepat.
"Jangan suntik dia dengan apapun. Aku yang akan menghadapinya,"pintamu menghampiri pemuda itu, Shinomiya.
Shinomiya yang kau jumpai berbeda 180 derajat ketimbang di masa lalu. Jangankan menemui senyum ramah bak malaikat, yang ada kau disambut oleh seringai gelap penuh arti.
"Aku seperti pernah melihatmu, tapi di mana ya?"
Kau menahan diri untuk tidak menamparnya. Kau sadar, pemuda versi kepribadian lain tidak mengenalmu.
"Kita tidak pernah bertemu,"ungkapmu.
"[Name]-san, kau urus pasien lain saja. Aku yang tangani,"sela dokter senior namun kau menggeleng.
Sebelum kau berlutut di hadapannya, kau berbisik kepada dokter senior. "Izinkan aku merawatnya. Dia itu temanku."
Dokter senior itu datang karena rekanmu tidak mampu menyelesaikan tugas ini dan sepenuhnya kasus ini kau yakini masih menjadi bagian dari tugas magang.
"Terserahmu saja. Jangan meminta bantuanku kalau ada apa-apa,"ucapnya mendesah lalu merapikan jas putihnya sebelum keluar dari ruangan pasien.
Kau mengembuskan napas lega. Kepribadian lain Shinomiya yang kau temui menjadi 'reuni'.
"Jadi namamu itu [Full Name]? Dan profesimu itu psikiater? Wah, ini buruk. Sangat buruk bagi relasi di antara kita,"
Kau mengernyitkan dahi. "Maksudmu apa?"
"Kau akan membunuhku,"sahutnya cepat.
Kau melipat kedua tanganmu, "Dokter itu bertugas menyembuhkan pasiennya. Bukan membunuh."
Terlihat seringai di balik senyum getirnya sambil menyentuh dagumu. Jarak pandang kalian semakin dekat, diikuti manik kalian yang saling bertemu.
"Kau akan membunuhku. Kau akan membiarkan 'dia' yang hidup, 'kan?"
Deg. Jantungmu seolah lepas dari posisinya. "Kau dan Natsuki adalah orang yang sama."
Pemuda itu mendecih. "Walau aku cukup tertarik denganmu, kau tetap berbahaya."
Kau mencubit kedua pipinya kuat-kuat. Ia mengaduh setelah merasakan cubitanmu yang berakhir memberi efek berdenyut. Namun kau berusaha tak ambil pusing soal 'tertarik'.
"Berhentilah bercanda. Tanganmu luka,"ucapmu memegang tangan kanannya yang berdarah.
Ia menopang dagu tanpa melirikmu, "Ya sudah, cepat obati aku sana."
Kau mengangguk. Melakukannya dalam diam. Kau berandai bila ucapan barusan adalah Natsuki yang mengatakannya. Iya, hati kecilmu berharap demikian.
☆ ☆ ☆
"[Full Name]?"
Kau baru saja selesai pendataan pasien lalu kembali ke ruangan Shinomiya.
"Natsuki-kun?"
Dia, pemuda yang kau rindukan. Pemuda itu telah mengenakan manik bundar. Senyum ramah yang selama ini tak pernah berubah terukir dari kedua sudut bibirnya.
"Aku sudah tahu apa yang terjadi. Aku mengidap DID, 'kan?"
Dengan berat hati, kau mengangguk.
"Bagaimana pendapatmu tentang Satsuki? Kau pasti takut, ya?"ucapnya menunduk, memeluk kedua lutut.
Kau menggeleng. "Aku sudah tahu sejak awal. Bahkan ketika kita masih sekolah. Jadi, aku tidak takut. Aku yang akan menolongmu sekarang."
Pemuda itu terbiasa tersenyum untuk segala kondisi. Namun tidak untuk kali ini. Jiwanya merapuh, membutuhkan dukungan. Dan kau bersedia menolongnya. Sejak saat itu, hari-harimu sebagai dokter magang menjadi lebih sibuk.
"Pasien 1103 kabur!"
Kau berlari mencari pemuda itu. Kau mendecih. Setengah jam kau berkutat mengelilingi seisi rumah sakit dan ternyata pemuda itu baru saja kembali dari mini market, sambil menikmati es krim. Kesal, kau membunyikan sendi-sendi jemarimu.
"Oh, [Name]? Ka-- ow!"
Yap, kau menjambak rambutnya. Dengan kedua tangan. Ia berusaha menarik diri selagi kau masih menjinjitkan kakimu.
Ia meringis. "A-aw! Cepat lepaskan tanganmu! Ini menyakitkan!"
Kau menggeleng. "Ini sanksi karena mengerjaiku! Aku akan membuatmu mengalami kebotakan dini!"
Ia menjulurkan lidah. "Oh, begitu? Berarti Natsuki juga akan botak!"
Teringat oleh sebuah jiwa di raga yang masih tertidur, refleks kau melepas cengkramanmu.
"Curang,"katamu membuang muka lalu berbalik badan.
Satsuki berjalan di belakangmu selagi kalau melangkah sambil membaca data pasien. Kau tahu hal itu, tetap membiarkan pemuda itu seperti 'bodyguard'. Namun langkah beriringan itu terhenti ketika pemuda itu menarik pergelangan tanganmu.
"[Name],"panggilnya terdengar lembut, meskipun kau tahu raga itu kini dikendalikan Satsuki.
Kau menunduk tanpa menatapnya, masih berkutat dengan lembaran putih itu. "Ada apa? Aku masih harus memeriksa pasien la--,"
"Aku ingin kita berdua, bukan, maksudnya aku ingin kita pergi! Intinya, aku mau jalan-jalan dan aku tidak mau sendirian,"
Terlihat seringai di sudut bibirmu. Kau mengetuk dagumu, terlihat berpikir keras. Belum satu menit berlalu, pemuda itu berdecak.
"Jangan sok mikir. Kau yang tentukan tempatnya! Jam sepuluh malam nanti,"seru Satsuki meninggalkanmu lebih dulu, tentunya ke ruangan pasien.
Kau mengerjap. Kencan? Kau tak ingin mengiyakan namun tetap saja tak bisa tak berasumsi demikian. Manikmu mengarah ke lantai yang basah oleh ceceran es krim vanila milik Satsuki yang perlahan meleleh.
☆ ☆ ☆
"[Name], kau mau pergi?"
Kau mengenakan blus dan celana panjang [Favorite Color]. Jas putihmu telah kau simpan dalam loker. Pemuda itu masih terjaga tetapi jiwa itu berbeda dengan yang kau temui tadi siang.
"Sudah mau pulang, sih. Boleh temani aku ke taman kota?"
Pemuda itu mengiyakan, "Tentu. Aku tidak bisa tidur juga."
Kau yakin tidak akan terjadi hal yang buruk jika kalian pergi bersama-sama ke taman. Lokasi itu cukup ramai, selain itu kau akan memastikan ia akan baik-baik saja. Dan memang, malam itu, masih beberapa orang menghabiskan waktu di sana untuk sekadar bercengkrama.
"Natsuki, mau kopi?"tawarmu menyodorkan sekaleng kopi yang sebelumnya telah kau beli dari vending machine milik rumah sakit.
Pemuda itu mengangguk. Ia membuka kaleng itu. "Terima kasih, [Name]. Ngomong-ngomong, kau pasti kerepotan mengurusku, 'kan?"
Kau terkekeh. "Sisi jiwamu yang satunya lagi benar-benar ekstrim. Dia nekat kabur dari rumah sakit tadi siang."
Pemuda itu menunjukkan wajah muramnya, membuatmu ingin mendekapnya. Namun akal budimu menahan diri dan akhirnya kau hanya berdiri di sebelahnya.
Manikmu terfokus ke air mancur yang berpendar oleh lampu beraneka warna. "Kau jangan sedih. Aku akan berusaha agar Satsuki akan menyatu dalam dirimu."
"Kalau begitu, [Name] juga akan menerimaku apa adanya meskipun dia tak ada, kan?"
Kau mengangguk yakin. "Tentu saja. Karena aku menyukaimu!"
Keceplosan, kau membekap mulutmu. Berbalik badan. "Se-sebagai teman kecilku, maksudnya."
Pemuda itu mengacak puncak kepalamu lalu memegang jemarimu. "Selain itu juga tidak apa-apa. Karena aku juga menyukaimu. Aku bersyukur [Name] menyukaiku, meskipun aku mengidap DID."
Hatimu terasa hangat oleh pernyataannya.
"Terima kasih Natsuki, kembalilah ke rumah sakit. Aku juga sudah mau pulang,"pintamu membuang kaleng kopi.
"Aku akan mengantarmu sampai ke stasiu--" Natsuki menggeleng tetapi ia memegang puncak kepalanya yang terasa nyeri.
Pandangannya terhadapmu meredup. Saat itu pula, kesadaran dirinya menghilang pula. Ia pingsan dalam kondisi memelukmu. "N-Natsuki?"
☆ ☆ ☆
"[Name], membawa pasien kabur seenaknya itu tindakan yang membahayakan. Apa kau tak tahu?"
Dokter senior kini mengomelimu terhadap kejadian semalam. Telingamu terasa panas akan setiap lontaran kata. Di balik ruangan, Satsuki memandang serta mendengar pembicaraan itu.
Kau menatap arloji setelah mendengar omelan itu lalu menuju ruangan Natsuki. Kau menemukan pemuda berambut ikal kuning itu sedang duduk menghadap jendela dalam diam.
"Bagaimana kondisimu?"
Pemuda itu terkekeh, "Itu pertanyaan untukku atau Natsuki?"
Kau berkacak pinggang, "Untuk kalian berdua, lah!"
Satsuki sadar bahwa [Name] dimarahi karena kesalahannya. Seenaknya mengajak gadis itu keluar. Kau bahkan terancam kehilangan pekerjaan karena eksistensinya yang bahkan perlahan terombang-ambing.
"[Name], kau itu curang ya,"ungkapnya melihat seekor burung masuk ke dalam melalui jendela.
Kau mengernyitkan dahi, "Maksudmu?"
Pemuda itu berbalik badan, maju ke arahmu. Sedangkan kau melakukan sebaliknya dan terjebak bersandar di dinding.
"Kau mau apa?"tatapmu bingung.
"Apa kau suka denganku?"
Kau mendesah menghadapi raga sama walau berbeda jiwa seperti ini.
"Kalian adalah sosok yang sama. Kepribadian kalian seharusnya menyatu. Bukankah itu jalan yang terbaik?"
Tangan kanan pemuda itu mengekangmu, "Akankah kau melupakanku?"
Kau menggeleng, "Aku mengenal sosok kalian hampir semasa hidupku, jadi--"
PLETAK.
Dahimu disentil olehnya. Kau mengerang kesal.
"SATSUKI! SAKIT WOE!"
Namun kau tersenyum, "Jangan pernah membenci dirimu. Kurasa, ada begitu banyak orang yang mencintaimu. Terlepas kepribadian gandamu ini."
Dan pemuda itu tersenyum. Seolah ucapanmu adalah penenang dari segala kebingungannya.
OMAKE
Sebulan setelahnya, kepribadian ganda Natsuki seolah tak pernah lagi ada. Agensinya mengizinkan pemuda itu kembali beraktivitas. Kau tetap sibuk menjalani keseharianmu sebagai psikiater.
Seorang perawat menepuk bahumu. "Dokter [Name], ada yang mengirim pesan."
"Dari siapa?"
"Entahlah tadi si satpam yang menerima. Katanya untukmu,"ucap perawat itu kembali menuju meja resepsionis.
Kau pun membuka amplop itu. Terdapat foto Natsuki yang tersenyum tengah menjalani training, tak lupa ada pesan singkat dan tanda tangan.
Terima kasih telah mengajarkanku untuk mencintai diri sendiri. Aku akan berusaha yang terbaik.
Natsuki
Kau merasa hari-harimu pun berwarna setelahnya.
- Fin-
A/N:
HUWEEE MAAP KALO JELEK (MEWEK).
Awalnya mau nulis zat anestesi yaitu propofol -- jadi ditulis obat penenang (lol). DID itu Dissociative Identity Disorder alias kepribadian ganda.
Akhirnya aku comeback (?) dengan membawa ke-OOCan karakter yha :"3
Sempat bingung mau diakhiri gimana jadinya begini deh. Thanks buat requestnya, kie! :3
Sekarang requestnya open lagi ya :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro