Eumoirous [Part. 1] - [Kotobuki Reiji x Reader]
Requested by hasyahafizhanti
Eumoirous meant as happiness due to being honest and wholesome.
• • •
Gadis itu ketakutan. Takut setengah mati.
Rumah gadis itu kini menampung seorang penghuni lagi.
Sebagai sosok hikikomori--- yang anti sosial dan memilih pasrah dengan keadaan---dan hidup mengurung diri, kehadiran orang baru di dalam hidupnya adalah sebuah perkara besar.
"[Name]-chaaan, apa kau menyukai karaage?" tanya seorang pemuda berambut kecokelatan itu setelah mengetuk pintu.
Tiada jawaban di balik pintu kamar tidur [Full Name]. Sempat menghela napas, pemuda bernama Kotobuki Reiji hendak berbalik badan.
Manik abu-abu Reiji pun mengeruh. Ia merindukan gadis kecil yang semasa kanak-kanak merupakan sosok yang ceria, bahkan tidak segan memeluknya sepenuh hati hingga terasa sesak.
"Apakah aku bisa mengembalikan senyummu seperti sedia kala?" gumam Reiji tanpa sadar telah menyandarkan tubuhnya dengan pintu kamar [Name].
Namun, Reiji perlahan mengetahui bahwa jawaban itu hanya bisa didapatkan dengan usaha.
Eumorious [Part 1]
Uta no Prince-sama (c) Kuruhana Chinatsu, Sentai Filmworks, and Broccoli
Pair: Cook! Kotobuki Reiji x Hikikomori! Reader
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Warning: Age-Gap (pair kali ini memiliki selisih usia cukup jauh. [Name] berusia 19 tahun, sedangkan Reiji berusia 25 tahun).
Mohon perhatiannya, jika tak suka, tinggalkan ;">
By agashii-san
.
.
.
Gadis itu menganggap penghuni barunya sebagai orang asing. Namun, kenyataannya tidak demikian. Reiji memberi banyak pengaruh semasa dirinya masih bersekolah. Mereka kehilangan kontak sejak Reiji pergi demi menimba studi kuliner secara mendalam di perguruan tinggi.
Sementara itu, [Name] menjadi semakin terasing sejak kematian sang bunda karena sakit keras. Hidup gadis itu terasa semakin hampa sejak kedua orang itu pergi. Sekolah bagaikan penjara purnawaktu yang membuatnya lelah dan tertekan. Siswa-siswi tidak segan menindas dirinya karena sulit membuka diri. Dan, ketakutan pun hendak membawanya ke sini; kamar tidur sebagai zona aman.
Sudah nyaris tiga bulan, ia tidak mau bersosialiasi. Untuk biaya hidup, ia menggunakan uang asuransi jiwa dari sang ibu. Dan, bertumpuk-tumpuk surat tagihan bulanan tidak pernah disanggahnya. Akan tetapi, sang ayah bersedia membayarkan tagihan itu sebagai kesepakatan perceraian dengan sang bunda hingga [Name] lulus SMA.
Gadis itu telah merasa terbiasa mengurung diri. Cukup terbiasa walaupun merasa hidupnya tidak pernah lebih baik. Sendirian saja, sudah cukup untuk melalui segalanya yang menyakitkan.
Suatu hari, gadis itu benar-benar merasa terancam. Stok air minumnya kosong melompong. Biasanya, ia akan menyiapkan lima botol berukuran satu setengah liter yang berjejer memenuhi kardus. Biasanya Bibi Kana yang akan mengurus segala keperluan [Name] baik memasak dan mencuci pakaian setiap harinya, tetapi akan langsung pulang jika tugasnya sudah beres.
Namun, gadis itu tahu bahwa situasinya telah berbeda. Berbeda setelah kedatangan Reiji ke rumahnya. Bibi Kana tidak terlihat eksistensinya semenjak pagi ini.
"[Name]-chaaan, makan sama-sama, yuk!" ajak Reiji berseru di depan pintu kamar.
Keringat dingin mengucur deras di sekitar pelipis [Name]. Ajakan itu sebenarnya normal bagi manusia sebagai makhluk sosial, tetapi di mata kaum hikikomori, ajakan barusan bagaikan ancaman. Dia kehausan dan kelaparan. Gejala lumrah yang selalu dirasakan makhluk hidup setiap harinya.
"Aku bisa mendengar suara perutmu, loh! Yakin nggak mau makan?" ajak Reiji sekali lagi.
[Name] refleks meraba perutnya. Perutnya keroncongan.
Reiji menghela napas lalu berkata, "Kau tetap harus mengisi perutmu. Makananmu akan kutaruh di depan pintu."
[Name] pun menarik napas lega karena tidak perlu menemui Reiji secara face-to-face. Sekitar lima belas menit kemudian, tercium aroma ikan goreng yang menggiurkan. [Name] menempelkan telinganya di pintu untuk mendeteksi jejak langkah Reiji. Saat derap kaki Reiji kian tidak terdengar lagi, [Name] membuka sedikit pintu kamarnya dari dalam. Mengambil nampan berisi nasi dan lauk yang disajikan Reiji.
Tanpa gadis itu sadari, sebenarnya Reiji telah menangkap basah [Name] yang sedang mengambil makanan di balik belokan dinding. Kedua sudut bibir pemuda itu tertarik lebar.
"Setidaknya kau mau makan masakanku, [Name]-chan. Tunggu saja siasatku untuk membebaskanmu!" ucap Reiji sedikit berseru karena terlalu bersemangat lalu hendak meninggalkan rumah [Name].
• • •
"Tunggu. Kau bilang, kau serumah dengan cinta pertamamu? Itu gila," timpal Camus menyesap oolong tea di sebuah rumah bento.
Bagi Reiji, itu tidak gila. Ia punya alasan.
Yup, Reiji hendak mampir ke toko bento keluarganya. Camus sering mampir untuk membeli bento. Reiji bisa menganggap Camus sebagai pelanggan tetap yang akrab dengannya (meskipun Reiji dominan mengajak bicara).
"Aku takkan bisa membiarkan gadis itu sendirian, Myu-chan." Reiji menoleh sekilas lalu menuangkan teh dari teko baja ke cangkir porselen yang digunakan Camus. "Dan soal cinta, aku tidak boleh menaruh perasaan seperti itu. Dia masih punya kesempatan meraih masa depan yang cerah."
"Entah aku harus salut kepadamu yang seperti itu atau apa. Yang jelas, berjuanglah," sahut Camus merasa tidak bisa berkata banyak.
"Tentu. Aku takkan menyerah. Ini belum apa-apa." Reiji tersenyum lebar.
Ya, bagi Reiji, usaha mendongkrak sisi gelap [Name] baru saja dimulai. Reiji tidak pernah menganggap jika hal itu semudah membalikkan telapak tangan.
"[Name], nonton tv bareng, yuuuk? Sepi nih," ajak Reiji berada di depan pintu kamar [Name] sambil memeluk bantal hati berwarna hot pink.
[Name] menjambak rambutnya. Ia lelah diajak bicara terus menerus. Seolah ajakan tersebut seperti teror dari sang penjajah perang.
DIAMLAH. NONTON SAJA SENDIRI.
Reiji mengerucutkan bibir ketika menerima kertas yang ditulis dengan bolpoin merah yang berasal dari sisi bawah pintu. Merasa kecewa, Reiji pun menuruni anak tangga. Memandangi layar televisi yang berdebu. Jemari Reiji hendak menyalakan televisi dengan tombol remote. Dengan akal sepintas agar dinotis [Name], Reiji pun menarik napas dalam-dalam lalu mengembus napas perlahan.
Jika tidak dengan ajakan halus, Reiji sengaja membiarkan gadis itu marah langsung kepadanya.
"(We sing)... shinka e no spirit yurugi wa shinai...."
[Name] mendengar dengan jelas suara Reiji, menganggap lantunan itu takkan berlanjut.
"QUARTET SONG! QUARTET BEAT! KAGAYAKI MAE OUR KIIISS~"
Ketika Reiji bernyanyi, rumahnya bagai konser di Tokyo Dome. [Name] membenamkan wajahnya sedalam mungkin dengan bantal. Tidak menyangka Reiji begitu tertarik dengan idol.
[Name] memilih menahan diri untuk tidak keluar dari kamar dan mengomel-omel tidak jelas. Ia akan menahan sumpah serapah yang tidak perlu disampaikan. Ia hanya perlu bersabar hingga Reiji merasa kebosanan untuk mengurusi dirinya.
• • •
Saking kelelahan berseru karena menikmati konser, Reiji sampai tertidur di ruang tamu. Jangankan menerima semprotan amarah [Name], gadis itu bahkan tidak menghampirinya sama sekali. Reiji merasa menggigil. Tangannya terselip ke saku celana, mengambil ponsel yang menunjukkan pukul satu subuh. Ia terlelap selama tiga jam.
"Kenapa... gelap sekali?" Reiji mengucek pelan matanya. Televisi yang menyala pun telah meredup meskipun sebenarnya lupa dimatikannya.
Hal pertama yang dipikirkannya menyadari kegelapan hal ini adalah [Name]. Kakinya berderap kencang menaiki anak tangga.
"[Name]... apa kau baik-baik saja?"
Dari luar pintu, Reiji bisa mendengar isakan kecil dari gadis itu. Reiji selalu tahu gadis itu benci kegelapan yang mencekam. Di mana tak ada sedikitpun titik cahaya yang bisa membiarkannya hidup lebih baik.
"[Name]?" panggil Reiji sekali lagi dengan mengetuk pintu. "Aku ada di sini dan jika kau butuh aku."
Kenop pintu kamar [Name] berputar dari dalam. Dari sanalah, Reiji menyadari [Name] telah keluar. Menghampirinya dengan penampilan kacau balau--- sebuah daster putih yang ronyok, rambut sebahu yang acak-acakan, dan wajah sembap karena banyak menangis. Sesaat jika Reiji lupa ingatan, ia akan menyangka gadis itu sebagai hantu.
Ingin gadis itu merasa tenang, Reiji berdiri di hadapan [Name] sembari mengelus pelan puncak kepalanya.
"Semuanya... akan baik-baik saja," ucap Reiji ingin sekali merengkuh gadis itu. Tak hanya bermodalkan rangkaian kata, tetapi ingin menjaganya. Tekad untuk menebus sekali lagi kesalahannya kembali hadir.
[Name] menepis tangan Reiji. "Aku... membuka pintu karena ingin menyuruhmu pergi dari sini."
Reiji terdiam. Tidak mungkin dirinya tidak sakit hati. Namun, karena ia pernah meninggalkan gadis itu, inilah resiko yang harus ia rasakan. Menelan kegetiran atas tindakan yang tidak bertanggungjawab.
"Aku tidak akan pergi. Kau harus kembali bersekolah. Mengurung diri, menganggap sendirian itu baik-baik saja itu salah."
Terdengar decakan kecil dari bibir [Name]. "Sekolah itu tempat paling mengerikan yang pernah kudatangi. Tak bisakah kau biarkan aku sendiri?"
"Kau boleh memukul, memaki, atau melakukan keduanya sampai puas karena saking kesalnya kepadaku," Reiji menarik pergelangan tangan [Name] tepat di dadanya, "tapi setelah itu kau harus benar-benar kembali seperti biasa. Kumohon, [Name]-chan."
Air mata gadis itu yang awalnya berhenti kini kembali menitik.
[Name] berkata dengan suara parau, "Kau tahu bahwa aku tidak bisa melakukan ketiganya kepadamu! Reiji, kenapa kau curang sekali berbuat seperti ini?"
Reiji tersenyum tipis. Ia ikut hanyut dalam tangis. "Tidak masalah jika ini curang untukmu, [Name]. Asalkan kau bisa kembali tersenyum."
Gadis itu terisak lagi. Lebih deras dan sedikit demi sedikit lebih leluasa menangis ketimbang sebelumnya. Reiji mendekap [Name], membelai puncak kepalanya. Subuh itu, terjadi pertumpahan linangan mata dan hati. Yang penuh makna bagi keduanya.
• • •
Semenjak hal itu, [Name] mulai membuka diri. Terlihat pula kekikukan di antara mereka, tetapi Reiji dengan mudah memecah keheningan dengan lontaran jenaka. Sedikit demi sedikit, sirat dingin [Name] mulai berkurang. [Name] berusaha membuka diri dengan kembali bersekolah. Ia juga menemukan teman-teman baru juga cerita yang dialaminya.
Dari perkembangan seorang hikikomori kembali ke dunia sosial merupakan perkembangan berarti bagi Reiji. Tentunya, Reiji mati-matian berusaha untuk tidak menunjukkannya karena tidak mau [Name] mengurung diri kembali karena tingkahnya yang berlebihan.
"Um, Reiji...."
Reiji menoleh dengan apron merah muda melingkar di tengkuk. "Hm, ada apa?"
"Apa... aku harus membawa bento dengan tampilan seperti ini?"
Sepertinya Reiji luar biasa bersemangat untuk mengemas bekal khusus [Name] saat membayangkan situasi berangsur-angsur akan kembali ke sedia kala.
"Jangan khawatir. Ajak temanmu untuk makan bersama." Reiji mengacak pelan rambut [Name].
Hendak memegang rambutnya dengan kaku, [Name] berkata, "Reiji... kenapa kau suka menyentuh kepalaku, sih?"
Reiji tersenyum simpul. "Karena kau menggemaskan. Seperti adik."
[Name] menautkan alis. Tidak pernah sekalipun ia menganggap Reiji sebagai Kakak. Oleh karena itu, ia merasa kesal. Reiji kini ada di sisinya karena ia mengurung diri. Dan, entah sampai kapan pemuda itu akan bertahan bersamanya. Bukan dilirik sebagai orang yang disukai terasa menyakitkan.
"Aku... nggak mau Reiji menganggapku begitu," ungkap [Name] menggigit bibir. "aku bukan anak-anak lagi. Sebenarnya... aku menyukaimu!"
Reiji terdiam mendengar pengakuan barusan. Entah ia setengah tidur atau apa, kini dadanya berdentum kencang. Ia hanya terbiasa menganggap ucapan seperti itu bagai mimpi yang takkan terjadi.
Dengan malu-malu, [Name] mengambil ranselnya. Meninggalkan rumah dengan berlari tunggang-langgang. Demi apapun, ia menyatakan perasaan untuk pertama kalinya. Kepada orang yang ia taksir nyaris seumur hidupnya.
• • •
"Aku... mungkin sudah mati." Reiji membenamkan wajah di meja restoran bento keluarganya.
Selain Camus, Mikaze Ai senang mampir ke toko bento demi riset pun duduk di hadapan Reiji sembari menopang dagu. "Masih bisa bicara, tuh."
Reiji mengacak rambutnya. Wajahnya memerah karena malu bercampur frustrasi. "Tidak secara harafiah, Aiai. Bagaimana ini?! Kalau ayahnya sampai tahu anaknya naksir dengan tetangga di masa lalu, dia akan menggantungku!"
"Apa kau menyukai gadis itu?" tanya Mikaze.
Reiji menyelipkan helaian rambut kecokelatannya di telinga. "Aku suka. Sangat menyukainya, tapi aku tidak punya hak untuk itu. Dia... tak semestinya menyukaiku."
Pemuda berambut biru kucir tinggi itu menghela napas. "Soal itu, bukankah dia yang memilih? Segala keputusan apapun, bukankah bermula ditentukan dari diri sendiri? Apalagi kalian saling suka, bukankah itu bagus?"
Mendengar komentar dari Mikaze, Reiji seolah tertampar. Ia ingin merasa senang dengan hal itu, tetapi ia masih meragu. Gadis itu sebentar lagi akan ujian akhir, memasuki universitas, dan bisa mendapatkan lelaki pujaan di sana yang sebaya. Jika [Name] mau bersamanya sebagai pria yang berusia seperempat abad, Reiji takut gadis itu melewatkan masa-masa manis kehidupan remaja.
Intinya, Reiji takkan mau keegoisan diri menghancurkan segala masa depan cerah gadis itu. Tidak akan. Mereka juga bukan saudara sedarah dan cepat atau lambat, akan ada banyak pihak yang tidak senang keberadaannya tinggal serumah dengan seorang gadis remaja.
"Maafkan aku, [Name]. Maaf."
Hanya gumaman singkat, tetapi sangat menyakitkan. Sedemikian rumit yang ada di benaknya terasa berat untuk mengucap penolakan.
• • •
[Name] luar biasa gugup. Sebenarnya, pernyataan tadi pagi bisa ia lakukan berkat hasutan teman-temannya di kelas. Ia ingin berterima kasih dengan Reiji. Ia ingin... lebih dekat dengan pemuda itu.
Saking gugupnya, saat perjalanan pulang pun ia langkahkan dengan kaki diseret.
"Tadaima (Aku pulang)...."
Tidak ada suara. Biasanya, Reiji akan sangat berisik melontarkan ocehan ringan diawali dengan'Okaerinasai'.
Rumahnya kini menjadi lebih sepi. [Name] mengecek seisi ruangan, tetapi pemuda itu tidak ada di mana pun.
"Reiji... kau ke mana, sih?" gumam [Name] merasa panik.
Sejejak lembar di atas meja menangkap pemandangannya.
'Selamat tinggal, [Name].'
• To be Continued •
A/N --- atau pojok curcol, yang mau baca dari atas sampai habis, aku salut habis sama kalian:
Sebenarnya, Reiji bukan chara idol top three versi kesukaan agacchi. Namun, karakter ceria milik Reiji itu menarik banget--- salah satu tipe ideal atau yang cocok banget baik dijadiin husbando maupun brother material. Karena aslinya Reiji memang sudah berusia 25/26 tahun gitu, karya ini jatuhnya ke age-gap relationships.
Btw, aku senang banget nulis part ini (terkesan panjang banget, ya), mungkin tipikal relationship yang kayak begini baru kesampaian kutulis--- bahkan jadinya twoshoot lagi (^^;), tapi bukan berarti kusuka kisah oom-oom pedofil naksir bocah gitu. Bedaaa. Kalo pedofil biasanya selisih di atas 15 tahun karena ketertarikan seksual.
Oleh karena itu, segitu aja cuap-cuap dariku dulu (lol).
See ya soon on the next part~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro