-S A U D A D E-
🍁ᴀ ɴᴏꜱᴛᴀʟɢɪᴄ ʟᴏɴɢɪɴɢ ᴛᴏ ɴᴇᴀʀ🍁
ᴀɢᴀɪɴ ᴛᴏ ꜱᴏᴍᴇᴛʜɪɴɢ ᴏʀ ꜱᴏᴍᴇᴏɴᴇ ᴛʜᴀᴛ ɪꜱ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴛ, ᴏʀ ᴛʜᴀᴛ ʜᴀꜱ ʙᴇᴇɴ ʟᴏᴠᴇᴅ ᴀɴᴅ ᴛʜᴇɴ ʟᴏꜱᴛ; "ᴛʜᴇ ʟᴏᴠᴇ ᴛʜᴀᴛ ʀᴇᴍᴀɪɴꜱ"
ᴮʳⁱⁿᵍ ᶠᵉᵉˡⁱⁿᵍˢ ᵒᶠ ʲᵒʸ ᵇᵉᶜᵃᵘˢᵉ ʸᵒᵘ ʰᵃᵛᵉ ᶠᵉˡᵗ ˡᵒᵛᵉ, ᵃⁿᵈ ᵇʳⁱⁿᵍ ᶠᵉᵉˡⁱⁿᵍˢ ᵒᶠ ˢᵃᵈⁿᵉˢˢ ᵇᵉᶜᵃᵘˢᵉ ʸᵒᵘ ʰᵃᵛᵉ ˡᵒˢᵗ ⁱᵗ
🍁□●□●□●□●□●□●□●□🍁
[Suna Rintarou x Majima Yuuko]
╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌╌
Matahari sekarang tengah berada di atas kepala, sinarnya yang panas bercampur padu dengan angin musim gugur yang dingin, memberikan perasaan hangat bagi siapapun yang baik berada di luar maupun di dalam.
Seorang gadis bersurai pirang tengah duduk di salah satu bangku taman rumah sakit sambil memandang kosong ke arah depan, tenggelam dalam pikiran, dan tak memperdulikan sekitar, kakinya pun ikut diayunkan guna mengurangi rasa bosan.
"Boleh aku duduk di sini?"
Sebuah suara yang terdengar asing memasuki indra pendengarannya, membuatnya kembali ke dunia semula, "Ah, silahkan," jawabnya sambil sedikit bergeser, mempersilahkan sosok yang tak dapat dilihatnya itu duduk.
"Terima kasih."
Yuuko hanya mengangguk tanpa melihat ke arah suara. Arah pandangan matanya kembali ia luruskan ke arah depan, hanya untuk kembali memandang kegelapan, serta tenggelam dalam relung pikiran.
Keheningan dengan setia menyelimuti, hanya ada angin semilir, yang seolah berbisik menyuruh membuka topik. Namun diabaikannya, tidak terlalu peduli dengan hal tersebut.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Baiklah, Yuuko tidak tahan dengan kesunyian yang menemani. Ia menarik napas dalam-dalam, kedua bibirnya terbuka hendak mengucapkan kalimat-kalimat yang sekiranya bisa memulai obrolan. Sebelum⸻
"Ngomong-ngomong, langitnya hari ini cerah, ya? Sepertinya langit sudah tidak bersedih lagi."
⸻dirinya tersentak lantaran sosok yang ia yakin berada di sebelahnya ini memulai obrolan terlebih dahulu
Yuuko menenangkan dirinya dari keterkejutan sementaranya sebelum bertanya, "Sedih?" Dia menoleh ke arah suara sambil mengerutkan kedua alisnya ke atas, pertanda tidak paham dengan kalimat yang baru saja di dengarnya.
"Iya, kemarin 'kan hujan, itu artinya langit sedang menangis. Dia pasti menangis karena ikut merasakan kesedihan milik orang-orang yang ada di dunia ini," Suara orang tersebut entah kenapa terdengar sedih.
Yuuko hanya ber-oh ria mendengarnya, masih tidak bisa menangkap maksud ocehan dari sosok di sampingnya. Ia menengadahkan pandangannya ke atas, namun yang dapat dilihatnya hanyalah kegelapan dan kegelapan. Menghela napas pendek, dalam hati ia berharap dapat kembali melihat hamparan biru yang dihiasi oleh corak putih nan menenangkan itu.
"Ah, sepertinya pohon maple yang ada di taman rumah sakit ini juga ikut merasa sedih. Lihat, daun-daunnya berguguran, padahal musim gugur baru saja dimulai," Sosok tersebut kembali mengoceh, membuat Yuuko sedikit terkekeh karena mendengar kalimatnya yang terdengar seperti ocehan anak kecil berusia lima tahun.
"Benarkah daun-daunnya sudah berguguran?" tanya gadis bermarga Majima itu sambil tersenyum kecil, tak tahu kalau pertanyaannya itu menimbulkan tanda tanya di benak sang lawan bicara.
"Maksudmu? Kau ini tidak bisa melihat? Atau kau hanya berpura-pura tidak bisa melihatnya?"
Yuuko mengerjapkan kedua matanya pelan, sebelum sebuah senyuman sedih terukir di wajah Yuuko begitu mendengar pertanyaan tersebut, "Benar, aku ini seorang tuna netra," Yuuko mengangguk kecil, tanda mengiyakan, "Lebih tepatnya 5 hari yang lalu dokter mengatakan bahwa aku mengalami kebutaan permanen," lanjutnya.
"Ah, maaf."
"Tidak, tidak, tidak usah dipikirkan."
Keheningan yang telah pergi kembali menyelimuti, membuat Yuuko menghela napas dan berniat untuk beranjak pergi. Sepertinya kalimatnya tadi membuat suasana menjadi canggung.
"Apakah itu karena kecelakaan yang melibatkanmu?"
Yuuko menarik kembali niatnya untuk beranjak pergi, "Bagaimana kau tahu?" tanyanya lagi, penasaran bagaimana sosok tersebut tahu penyebab kebutaannya.
"Eumm, karena aku bisa melihat banyak perban melilit tubuhmu?"
Yuuko tertawa kecil, "Haha, kenapa nadamu terdengar seperti tidak yakin seperti itu?"
"Ah, tidak, karena aku bisa saja salah soal itu," jawab sosok tersebut sambil mengusap belakang tengkuknya yang tidak gatal.
"Haha, baiklah, baiklah," Gadis bersurai pirang itu merasa gemas mendengar nada yang digunakan oleh orang yang menjadi lawan bicaranya saat ini.
"Oh," ucap Yuuko tiba-tiba, ia lupa belum menanyakan siapa namanya, "Aku Majima Yuuko, masih duduk di bangku kelas 2 menengah atas. Dan... siapa namamu?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah tempat sosok tersebut berada.
"Suna, Suna Rintarou. Kita seumuran, jadi santai saja, ya?" jawab lelaki yang mengaku bahwa dirinya bernama Suna Rintarou sambil menjabat tangan Yuuko, tak lupa sebuah senyuman yang turut menghiasi wajahnya.
"Baiklah, salam kenal. Hmmm, Suna-kun? Boleh aku memanggilmu begitu?"
"Tentu saja, kenapa tidak," jawab Suna sambil tersenyum lembut, pandangannya kembali menerawang ke depan, menikmati angin semilir yang seolah memijit wajah pelan.
Keduanya kemudian saling bercakap, membiarkan waktu berjalan, sambil membicarakan hal acak yang sekiranya bisa menarik mereka berdua keluar dari lubang kesedihan. Sampai tak terasa, bahwa sang surya sudah bersiap untuk mengucapkan selamat tinggal. Keduanya pun memutuskan untuk berpisah sambil melambaikan tangan, berjalan menuju arah masing-masing tanpa melihat ke arah belakang.
🍁□●□●□●□●□●□●□●□🍁
"Loh, Majima-san? Apa yang kau lakukan di sini malam-malam?"
Yuuko yang tengah meminum sekaleng jus buah dengan tenang tiba-tiba saja tersedak, begitu mendengar suara yang dikenalnya tadi siang memasuki gendang telinganya.
"Eh? Suna-kun? Kau di sini?" tanyanya sambil menengok ke kanan-dan kiri, memastikan keberadaan sosok yang tadi memanggilnya.
Dirinya masih merasa sedikit terkejut karena tidak menyangka masih ada orang lain yang berkeliaran di rumah sakit pada tengah malam seperti ini.
"Iya, aku ada di sebelah kirimu," jawab Suna sambil menekan tombol vending machine di depannya. Begitu sekaleng susu kesukaannya keluar, tangannya langsung terulur untuk mengambilnya lalu mendudukkan di samping Yuuko.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Suna sambil membuka susu kalengannya, lalu buru-buru meneguknya.
"Pertanyaan?" bukannya menjawab, Yuuko malah membeo.
Suna berhenti meneguk susu kalengannya, "Iya, aku tanya, apa yang kau lakukan di sini malam-malam? Sekarang 'kan jam pasien di sini untuk tidur dan tidak berkeliaran di luar kamarnya," jawab Suna, mengulangi pertanyaan yang telah diucapkannya awal.
"Oh, aku hanya tidak bisa tidur karena merasa sedikit cemas, lalu memutuskan untuk jalan-jalan sebentar," ucap Yuuko sambil kembali jus buahnya.
"Apa yang membuatmu cemas?" tanya Suna lagi.
"Entahlah, aku juga tidak tahu," Pandangan Yuuko kembali mengarah ke arah depan. Sementara Suna hanya mengangguk kecil sambil berdehem sebagai tanggapan, tidak ingin terlalu ikut campur.
"Ah," Gadis bersurai pirang itu tiba-tiba teringat sesuatu, "Lalu kau sendiri kenapa berkeliaran? Apakah kau ini memang sedang menjenguk seseorang? Atau.... salah satu keluargamu bekerja di sini dan kamu memutuskan untuk ikut menemaninya sampai pulang?" tanya Yuuko bertubi-tubi, sudah menjadi kebiasaannya apabila dirinya sedang penasaran, ia secara tidak sadar akan langsung mengeluarkan semua pertanyaan yang berkumpul di benaknya.
"Eh, kau itu bicara apa? Tentu saja aku ini pasien di sini. Dan juga sama sepertimu, aku tidak bisa tidur," jawab lelaki bermaga sipit itu dengan nada yang agak kesal.
"Ohh," Yuuko membulatkan mulutnya, lalu hanya ber-oh ria karena memang sama sekali tidak mengetahui tentang hal tersebur. Lagipula Suna juga tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya, bukan?
"Sudah berapa lama kau dirawat di sini?" Yuuko bertanya untuk yang kesekian kalinya.
Suna mengeluarkan suara dengungan pelan, "Hmm, mungkin delapan tahun? Entahlah, aku tidak yakin."
Yuuko hampir saja tersedak untuk yang kedua kalinya begitu mendengar perkataan lelaki di sampingnya ini. Tangan kirinya yang bebas digunakannya untuk memukul-mukul dadanya, berusaha menenangkan dan meredakan batuk yang terus keluar.
"Huh? Apa? Delapan tahun?" tanya Yuuko dengan nada tak percaya, netra ocean blue-nya yang sedikit redup memandang lurus ke arah kirinya.
"Yah, begitulah. Aku sudah ada di sini sejak kecil," Suna menenggak kembali susu kalengannya sampai habis, "Dan hanya diperbolehkan keluar selama beberapa minggu saja," lanjutnya sambil melempar susu kalengnya yang sudah kosong ke tempat sampah.
Yuuko mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, rasa penasaran dalam dirinya masih bergejolak, berusaha mendorongnya untuk bertanya lebih jauh agar rasa penasarannya sirna.
"Karena?"
"Leukimia, tentu saja."
Netra Yuuko membulat, rasa tidak percayanya kembali menyelimuti dirinya, "Le-Leukimia?" Suna berdehem pelan, "Sudah selama itu dan kau belum terbebas dari penyakitmu?"
"Tentu saja belum, bodoh. Kalau sudah, mana mungkin aku masih berada di sini," jawab lelaki itu dengan sedikit kesal. Tidak mengerti dengan pertanyaan Yuuko yang jelas-jelas ia sendiri bisa menjawabnya.
"Terkadang aku iri dengan orang-orang yang sehat di luar sana. Tentu saja iri karena mereka bisa merasakan bagaimana rasanya hidup dengan normal."
Yuuko terdiam, tenggorokannya terasa tercekat, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata, hatinya terasa tertusuk sebuah panah begitu mendengar penuturan lelaki di sisinya.
"Aku takjub karena kau masih bisa bertahan sampai sekarang. Maksudku, hidup dengan bergantung pada alat dan obat-obatan pasti tidak mudah, bukan?"
Suna menoleh ke arah gadis tersebut, membuat netra asparagus-nya bertemu dengan netra ocean blue milik sang gadis sekilas karena ia buru-buru mengalihkan kembali pandangannya.
"Yah, aku sendiri juga merasa heran dengan diriku sendiri."
"Huh? Kenapa begitu?"
"Jujur saja, sedari dulu aku sudah merasa siap untuk menemui kematian. Tapi entah mengapa tubuhku malah terus berjuang, padahal aku sudah ingin menyerah."
Yuuko mengerutkan keningnya, "Siap menemui kematian?" Dirinya lagi-lagi dibuat bingung dengan perkataan lelaki tersebut.
Suna mengangguk, "Kenapa kau kelihatan bingung seperti itu? Aku rasa hal ini wajar karena setiap orang yang ada di dunia ini hanya tinggal menunggu waktu bagi mereka untuk pergi," jelasnya dengan nada percaya diri.
Sementara Yuuko hanya diam, tidak berani membantah karena apa yang dikatakan oleh Suna barusan adalah sebuah fakta menyakitkan yang mungkin tidak bisa diterima oleh sebagian orang.
Lalu akhirnya terjadi lagi, keheningan yang sama seperti tadi siang kembali menyelimuti. Hanya ada suara derap langkah serta roda berjalan yang mencoba mengusir rasa sunyi.
Tunggu.
Derap langkah dan roda?
Yuuko menajamkan pendengarannya, mencoba memastikan apakah dirinya salah dengar atau tidak. Namun ternyata tidak karena suara tersebut semakin lama, semakin dekat ke arahnya.
"Ssshh, diam. Mereka sedang membawa orang yang sudah meninggal menuju kamar mayat," ucap Suna tiba-tiba sambil mendekatkan tangannya ke arah mulut Yuuko. Seolah berusaha menutupnya agar tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sementara gadis bersurai pirang itu langsung terkejut begitu mendengar pernyataan Suna barusan. Bagaikan program yang sudah terancang, dengan otomatis, Yuuko langsung memeluk sesuatu yang paling dekat dengan dirinya. Yang tak lain dan tak bukan adalah lengan Suna sendiri.
Tubuhnya bergetar, kedua tangannya memeluk lengan kanan sang lelaki dengan erat, sementara kedua matanya tetap ditutup rapat-rapat walaupun dirinya tahu ia tak perlu melakukan hal tersebut.
Perasaannya mulai melega begitu mendengar bahwa suara derap langkah serta roda tadi perlahan menghilang, menandakan bahwa mereka telah jauh darinya. Tangannya terangkat untuk menghapus sedikit peluh yang tercipta, dirinya tidak menyangka akan bisa berada sedekat ini dengan mayat yang berada di rumah sakit. Padahal dulu ia hanya bisa melihatnya lewat film atau drama yang pernah ditontonnya dulu.
"Sampai kapan kau akan memeluk lenganku?"
Keterkejutan langsung membanjiri tubuh mungil gadis itu kala ia disadarkan oleh suara berat barusan bahwa dirinya masih memeluk lengan sang pemilik suara. Seketika semburat merah tipis menghiasi pipinya, gadis berkulit putih itu langsung merutuki dirinya sendiri karena telah berbuat hal bodoh seperti tadi.
"A-Ah, maaf," ucapnya dengan gugup, takut bahwa sang empu malah memarahinya. Tak lupa ia segera melepaskan kedua tangannya, sementara pikirannya terus berusaha melupakan hal memalukan barusan.
"Tidak apa, santai saja," jawab Suna tenang, menganggap kejadian tadi bukanlah apa-apa.
Sementara Yuuko masih merasa malu, ia menundukkan kepalanya ke bawah sambil berusaha menahan rona merah yang semakin menjalar ke seluruh wajahnya.
"Yuuko!"
Sebuah suara yang terdengar lembut menggema di lorong rumah sakit tersebut, membuat Yuuko maupun Suna menoleh ke arah datangnya suara tersebut.
"Majima-san, apakah itu ibumu?" tanya Suna sambil menunjuk ke arah seorang wanita paruh baya yang tengah berjalan sedikit cepat ke arah mereka berdua.
"Sepertinya iya karena aku mengenal suara barusan, tapi hanya untuk memastikan, bagaimana ciri-cirinya?"
"Rambutnya hitam lurus sebahu dan mengenakan seragam wanita kantoran. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena di sini remang," jelas Suna sambil memicingkan kedua matanya agar dapat melihat dengan jelas.
"Oh, benar itu ibuku. Aku yakin dia baru saja pulang dari kantornya."
"Yuuko! Astaga, nak!" seru wanita tersebut yang memang benar adalah sang ibu sambil berhambur memeluk Yuuko, membuatnya kesulitan bernapas karena pelukannya yang terlalu erat.
"Ka-Kaa-san, lepaskan, aku tidak bisa bernapas," ujar Yuuko sambil berusaha melepaskan diri.
"Memangnya siapa yang menyuruhmu untuk pergi keluar kamar tanpa pamit di tengah malam, huh?" omel ibu dari Yuuko itu sambil menyentil pelan hidung putri semata wayangnya.
"I-Itte, habis aku tidak bisa tidur, makanya aku keluar dari kamar," jawabnya seraya memegangi hidungnya tadi terkena sentilan.
"Dasar," Terdengar helaan napas pendek yang keluar dari mulut ibu Yuuko.
"Ah," Tiba-tiba wanita paruh baya itu melihat ke arah Suna, membuat Suna sedikit bingung.
"Kau pemuda yang bernama Suna Rintarou?" tanya wanita itu sambil mendekati Suna, sementara Suna hanya menggangguk sebagai jawaban, merasa bingung kenapa wanita itu mengetahui namanya.
"Haha! Ternyata dugaan putriku benar bahwa kau ini tampan! Dan juga, terima kasih karena telah menjaga putriku hari ini!" Tangan sang wanita mengambil tongkat milik Yuuko yang berada tepat di sebelahnya.
Wajah Yuuko langsung memerah sempurna begitu mendengar penuturan sang ibunda, kedua tangannya terangkat untuk menutupi seluruh area wajahnya, bertanya-tanya mengapa ibunya harus mengatakan hal itu dari sekian banyaknya bahasan mereka. Bagus, sekarang ia merasa sangat tidak enak pada Suna. Ia yakin sekali bahwa sekarang, pemuda di sampingnya ini tengah merasa terkejut sekaligus bingung.
"E-Eh, iya, sama-sama."
Wanita bersurai hitam itu tersenyum senang, "Kalau begitu, sampai jumpa lagi. Yuuko, kau harus kembali ke kamarmu," ujarnya sambil menarik lengan Yuuko yang masih berusaha mengusir rasa malu yang datang.
"Sampai jumpa, Suna-kun. Maaf untuk yang tadi, ya?" bisik Yuuko pelan sebelum kembali melangkah pergi bersama sang ibu.
Meninggalkan Suna yang menatap ke arah ke mana mereka pergi dalam diam. Begitu kedua sosok tersebut menghilang dari pandangan, lelaki bernetra asparagus itu segera berdiri lalu ikut melangkah pergi.
Hanya dalam beberapa hari saja, mereka berdua sudah menjadi dekat layaknya orang yang sudah saling mengenal sedari dulu. Tak jarang mereka akan saling berkunjung ke kamar satu sama lain hanya untuk sekedar mengusir rasa bosan yang menemani. Walaupun sebenarnya Suna lah yang paling sering mengunjungi kamar milik Yuuko dengan alasan tidak mau membiarkan gadis itu terlalu banyak bergerak.
"Hei, pikirkan kondisi dirimu sendiri!" Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh Yuuko ketika mendengar alasan konyol milik Suna.
Sementara Suna hanya menjawab dengan enteng, "Aku baik-baik saja, kenapa kau khawatir begitu?"
Dan hal tersebut berakhir dengan sesi mereka yang sibuk adu mulut.
Saat ini dua insan tersebut tengah duduk bersama di atap rumah sakit. Merasakan hangatnya suasana senja seraya menikmati angin semilir. Keduanya diam, tidak ingin mengusik ketenangan yang tercipta.
Sebenarnya Yuuko ingin sekali bertanya mengapa tumben sekali Suna mengajaknya ke atap rumah sakit, padahal biasanya mereka akan menghabiskan waktu di taman atau kamar milik salah satu dari mereka. Tapi biarlah, lagipula ia sendiri menikmati suasana ketika berada di sini.
Angin musim gugur tiba-tiba berhembus sedikit kencang, menerpa wajah mereka berdua lalu memberikan sensasi yang tak biasa mereka dapatkan pada musim lain. Yuuko menarik napas panjang, mencoba menghirup aroma musim gugur yang dirindukan.
"Musim gugur hari ke-dua puluh empat, dan tidak ada yang berubah, semuanya masih tetap sama. Sedikit bosan rasanya, karena aku hanya bisa melihat kegelapan yang sama setiap saat," oceh Yuuko sambil diselingi oleh kekehan kecilnya, "Ah, aku penasaran, apakah pemandangan musim gugur tahun ini sama seperti tahun kemarin?" Ia meneruskan ocehannya sambil sesekali menunjuk ke arah depan, ke arah cakrawala yang kian menguning seiring waktu berjalan.
Sementara Suna menatap penuh makna wajah gadis tersebut dari samping dalam diam. Membiarkan gadis bersurai pirang itu mengeluarkan semua bebannya. Suna sengaja membawanya ke tempat ini karena tahu, bahwa akhir-akhir ini gadis tersebut tidak seceria biasanya. Perasaan khawatir luntur begitu saja begitu melihat Yuuko secara perlahan kembali ceria seperti biasa.
Memang benar tempat ini adalah tempat yang bagus untuk mengeluarkan beban bagi seseorang, pikirnya polos begitu otaknya memutar kembali salah satu memori yang masih tersimpan rapi.
Memori di mana ia yang masih berusia sekitar empatbelas tahun berusaha kabur dari jadwal kemoterapi yang akan segera dimulai lalu memilih berlari ke atap, dan malah menumpahkan semua air mata serta bebannya di sana.
Pandangan matanya beralih ke arah cakrawala yang mulai menggelap, kedua sudutnya ditarik ke arah atas, sehingga membentuk sebuah senyuman yang sekiranya cerah.
"Ayo kembali."
🍁□●□●□●□●□●□●□🍁
Malam hari di hari ke-tiga puluh di musim gugur, seorang pemuda yang cukup tinggi tengah sibuk mengendap-endap di dalam kamarnya agar bisa keluar tanpa sepengetahuan sang ayah yang tengah tertidur lelap di sofa kamar rawatnya.
Begitu berhasil keluar dari sana tanpa menimbulkan suara sedikitpun, pemuda itu melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana vending machine berada. Namun belum sampai di tempat tujuan, ia malah merubah arahnya menuju ke kamar tempat gadis yang ditemuinya beberapa minggu yang lalu berada.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu diciptakannya, kakinya bergerak gusar menunggu sang penghuni membukakan pintu. Kemudian diketuknya sekali lagi begitu dirinya tak kunjung tak mendapat jawaban.
Masih tidak ada sahutan maupun tanda-tanda pintu akan dibuka, Suna pun dengan perlahan membuka pintu yang ternyata tidak dikunci tersebut. Kegelapan seketika menyambutnya, menandakan bahwa sang penghuni telah mematikan lampunya. Mungkin agar tidurnya terasa lebih nyaman?
Tangannya yang akan kembali menutup pintu tersebut langsung terhenti begitu melihat cahaya yang datang dari arah jendela. Netranya seketika membola begitu menyadari bahwa sosok yang dicarinya sedari tadi tengah berusaha menaiki jendela tersebut.
Dengan cepat, kakinya berlari untuk menghampiri lalu memegang pinggang sang gadis, mencegah agar hal yang buruk tidak terjadi.
"Majima-san! Apa yang kau lakukan?!" teriak Suna dengan keras, dirinya tak habis pikir mengapa gadis yang sedang memberontak padanya ini berniat mengakhiri hidupnya.
"Lepas! Jangan menghalangiku, Suna-kun!" ronta Yuuko sambil terus berusaha melepaskan diri dari pegangan Suna. Air mata mengalir deras dari pelupuk matanya, menandakan bahwa pertahanannya kini telah rubuh seketika.
"Kenapa kau berniat mengakhiri hidupmu sendiri, hah?!" Suna menarik tubuh gadis itu turun dari jendela tadi dengan sekali tarikan.
"Aku lelah! Aku sudah tidak tahan dengan kegelapan yang selalu aku lihat selama ini! Jadi biarkan ak--"
"Bodoh! Di saat orang lain sedang berjuang untuk bertahan hidup, kau malah dengan semudah itu berniat mengakhiri hidupmu?!"
Yuuko seketika terbelalak begitu mendengar suara Suna yang terdengar sangat marah. Ia hanya tidak menyangka bahwa hal itu akan semenyeramkan ini. Sekarang yang ia lakukan hanyalah diam dan mendengarkan, tidak mau membuat emosi pemuda yang memegang pergelangan tangannya ini bertambah.
"Apakah kau tidak memikirkan perasaan orang-orang sebelum melakukan niatmu itu, hah?! Bagaimana perasaan keluargamu ketika tahu kau meninggal karena hal konyol seperti bunuh diri dengan melompat dari lantai empat?! Bisa-bisanya kau tidak memikirkan hal ini. Haha," Suna tidak tahu, mengapa ia merasa begitu marah dengan gadis yang baru dikenalnya selama beberapa minggu ini sampai-sampai ia mengeluarkan air mata yang membuat pandangannya menjadi buram.
Yuuko yang dapat mendengar suara isakan Suna, seketika langsung merasa bersalah, "Sun--"
"Diam. Aku akan pergi, berbuatlah semaumu karena aku tidak akan peduli lagi," ucap Suna dengan nada yang penuh penekanan setiap katanya. Ia melepaskan genggamannya lalu berjalan keluar dan menutup pintu kamar tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Meninggalkan Yuuko yang masih terisak di kesunyian dan kegelapan malam. Sepeninggalan Suna, dirinya langsung memeluk kedua lututnya, terisak dengan rasa bersalah sekaligus menyesal yang teramat sangat. Terus merutuki kebodohannya sendiri karena dengan mudah berniat ingin bunuh diri.
Sementara Suna, berjalan dengan langkah gontai menuju kamar rawatnya kembali. Ia merasa sedikit bersalah karena telah mengatakan hal yang amat kasar pada gadis bersurai pirang itu. Dengan lemah, ia mengetuk pintu kamarnya kemudian langsung membuka pintu tersebut tanpa harus menunggu jawaban. Tidak peduli dengan fakta bahwa ia bisa saja membangunkan sang ayah.
"Rintarou?"
Suna mendongak begitu mendengar seseorang memanggil namanya, ia buru-buru menghapus bekas air matanya begitu mendapati wajah khawatir kedua orang tuanya yang langsung berhambur memeluknya.
"Kau ini! Bukannya istirahat malah berkeliaran!" omel sang ibunda sambil menatap lamat-lamat wajahnya.
"Maaf," ucap Suna hampir berbisik dengan kepala yang masih menunduk.
"Sudahlah, yang penting kau tidak kenapa-napa," ujar ibunya selembut mungkin. Mimik wajahnya berubah begitu menyadar ada yang salah dengan putra semata wayangnya.
"Apa yang terjadi padamu? Kau menangis?" Tangan lembut milik sang ibu terangkat untuk mengusap pipinya yang dingin.
"Tidak, aku hanya-- ugh--" belum sempat melanjutkan kalimatnya, darah tiba-tiba mengalir deras dari hidung Suna. Membuat lantai serta pakaian rumah sakitnya kotor ternodai oleh merahnya darah.
"Rin! Ya Tuhan! Bertahanlah!" pekik wanita berumur kepala 3 itu begitu melihat putranya akan segera ambruk. Kedua tangannya sibuk memberikan kain serta menahan tubuh putra semata wayangnya agar tidak ambruk ke tanah.
"Aku akan segera memanggil dokter!" seru sang ayah tak kalah panik sambil berlari menuju tombol panggilan di samping ranjang lalu menekannya dengan segera.
Pemuda bermata sipit itu telah kehilangan kesadarannya begitu sang dokter datang untuk memberikan pertolongan pertama.
🍁□●□●□●□●□●□●□🍁
Hari telah berganti, namun Yuuko sama sekali tidak memiliki tenaga untuk beranjak dari ranjangnya. Rasanya, semua tenaganya telah hilang lantaran kejadian semalam yang terus saja terbayang.
Ingin rasanya ia menemui Suna kembali namun perasaan bersalah terus menghantui. Jujur saja, sebenarnya ia masih belum berani menemui sang lelaki karena takut bahwa amarahnya belum mereda. Maka dari itu Yuuko memutuskan untuk diam dan tidak melakukan apapun. Membiarkan gravitasi menarik dirinya kembali menuju lubang penderitaan.
Tiga hari sudah berlalu, namun Yuuko masih belum sama sekali memiliki keberanian untuk menemui Suna. Dirinya juga masih menganggap bahwa sang lelaki masih merasa marah karena tak kunjung menemuinya. Niatnya untuk pergi ke luar kamar terhenti begitu mendengar suara sang ibu yang terdengar terengah-engah.
"Kaa-san? Ada apa?" tanyanya bingung sambil berusaha untuk turun. Sebelum merasakan adanya sepasang tangan yang menahan bahunya, seolah menuntutnya untuk diam dan tidak bergerak.
"Kaa--"
"Kita sudah mendapatkan donor kornea untukmu!" seru sang ibu sambil memeluk Yuuko erat.
Dapat dirasakannya, bahwa pakaian rumah sakitnya sudah basah terkena air mata kebahagiaan dari sang ibunda. Netranya membulat tak percaya begitu mendengar apa yang disampaikan oleh ibunya itu.
"Be-Benarkah..?" tanyanya tak percaya, dan kini air mata sudah berumpul di pelupuk matanya.
"Iya! Lusa, kau sudah bisa melakukan operasinya!" seru wanita tersebut sambil menatap wajah sembab milik putrinya.
"Ah, hahaha. Syukurlah..." gumam Yuuko pelan, masih tidak percaya bahwa ia akan segera terbebas dari kegelapan yang selalu dilihatnya.
Tiba-tiba, sosok Suna muncul begitu saja dipikirannya. Ia bertanya-tanya, apakah harus memberitahukan kabar ini padanya atau tidak?
Menggelengkan kepalanya pelan, dalam hati ia memutuskan untuk memberitahukannya ketika ia sudah selesai melakukan operasi tersebut. Semacam kejutan, siapa tahu juga apabila hari itu amarah Suna padanya juga sudah mereda.
Hari yang ditunggu oleh Yuuko akhirnya tiba. Sedikit merasa sedih karena akhirnya Suna tak kunjung datang menemuinya. Sebelum bius yang diberikan mulai bekerja untuk menghilangkan kesadarannya, dirinya membisikkan harapan kecil agar dapat melihat pemandangan musim gugur bersama Suna.
🍁□●□●□●□●□●□●□🍁
Tiga hari setelah dilakukannya operasi, akhirnya perban yang menutupi kedua mata Yuuko sudah diperbolehkan untuk dilepas. Perasaan senang dan tak sabar menyelimuti dirinya begitu helai demi helai perban dilepaskan oleh dokternya.
"Sekarang, cobalah untuk membuka mata anda secara perlahan."
Yuuko menggangguk paham, dengan perlahan, ia mengangkat kelopak matanya, membiarkannya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang datang.
Dan kini, kegelapan yang selama ini dilihatnya akhirnya pergi menghilang untuk selamanya. Pandangannya mengedar menganalisis suasana sekitar, mendadak berhenti begitu pandangannya menangkap beberapa sosok figur yang begitu dikenalnya. Seluruh keluarga kecilnya, serta beberapa teman satu sekolahnya berada di sana. Hanya untuk mengucapkan kalimat selamat sekaligus turut senang atas kesembuhannya.
Senyuman Yuuko yang semula mekar mendadak luntur karena menyadari bahwa orang yang selama ini ditunggu kehadirannya olehnya sama sekali tidak terlihat di sana. Kepalanya sedikit menunduk, masih merasa bersalah soal kejadian malam itu, yang menyebabkan kerenggangan hubungan.
Sebuah sentuhan pada pundaknya membuyarkan lamunannya, ia mendongak, dapat dilihatnya ekspresi wajah ibunya yang terlihat sedih. Mengerutkan alisnya bingung, matanya pun menangkap tangan sang ibunda yang menyodorkan sepucuk surat kepadanya.
"Untukku?" Ibunya menggangguk pelan, tangannya pun terulur untuk mengambil surat tersebut lalu dibukanya secara terburu-buru. Penasaran dengan isi surat tersebut sekaligus siapa pengirimnya.
Sementara semua orang yang tadinya berada di kamar tersebut langsung pergi ke arah luar, memberikan privasi bagi Yuuko agar bisa membacanya.
🍁
Bagaimana? Apakah menurutmu pemandangan musim gugur tahun ini sama seperti pemandangan musim gugur tahun lalu?
Oh, iya. Jangan khawatirkan aku, oke?
Tenang saja, aku sudah terbebas dari penyakitku, kok.
Aku sudah merasa sehat kembali begitu berada di sini.
Jangan coba-coba menyusul atau aku akan menciummu.
Haha, bercanda.
Dan terakhir, jangan lupa menjaga dan menggunakan pemberianku dengan baik.
PS : mari bertemu di kehidupan selanjutnya walau dalam wujud yang berbeda.
- S.R
🍁
Mata Yuuko memanas, kedua alisnya mengkerut ke atas memandakan kesedihan. Perlahan, butiran demi butiran air mata jatuh layaknya daun maple yang berguguran. Ia memeluk surat tersebut seerat-eratnya, seolah selembar kertas itu merupakan sosok berharga dalam hidupnya yang tak akan pernah ia lepaskan begitu saja.
Dalam kesunyian ia menangis, andai kata waktu dapat diputar kembali. Ia pasti sudah merengkuh erat sang lelaki, dan berjanji tidak akan melepaskannya barang sedikit.
Karena dirinya tidak akan pernah ingin, merasakan yang namanya kehilangan untuk kali kedua.
Fin-.
☆ : 31.10.20
~ Rahel
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro