Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

my next door - onzai momotaro

Aku--- seseorang yang tidak seperti gadis feminin pada umumnya. Yang bila jatuh hati malah mengejar seperti balap mobil. Atau yang meminta peruntungan percintaan dengan jimat atau dicomblangkan.

Akan kubongkar sebuah rahasiaku. Kepada siapa pun yang membaca laman ini.

Siapakah sosok yang tidak bisa kulupakan setelah keluargaku?

Bingo.

Hanya dia. Teman sejak kecilku.

My next door - onzai momotaro

"Kau bebas pakai apa saja."

"Eh? Sungguh? Kau tidak malu?"

"Kalau hanya itu alasannya, kita tetap bisa dekat seperti dulu. Mika bahkan bilang aku cemas seperti itu karena ...."

"Karena?"

"Dia bilang, aku jatuh cinta kepadamu."

Inspired song:
1. Summer Mermaid - MooNs
2. Panorama - MooNs

b-project © MAGES

osananajimi © agashii-san

Rate: T+


.

.

.

Aku mencintai musim panas. Meskipun terik. Sensasi panas yang membakar kulit. Tapi saat itulah waktu bermain-main bisa dinikmati sepuasnya. Tinggal di pondok dekat pantai sangat menyenangkan. Pondok milik nenek.

Oke, kisah hidupku sepertinya tidak perlu begitu menarik. Sepertinya kalian ingin sampai ke bagian ehem-ehem-ya?

Oh ya, jangan berpikiran kotor, kumohon.

Akan kubuka sedikit jejak demi jejak "dirinya". Teman sejak kecilku. Kami bertemu di pantai yang sama.

Berambut merah seperti bintang laut, tetapi lebih cerah. Dianugerahi sepasang manik yang berlainan warna. Dia unik di mataku, meskipun orang-orang mengiranya mengalami kelainan.

Awalnya, aku mengira ia datang sendirian. Namun, syukurlah, dia bersama Mikado, teman karibnya. Kalau ditanya kadar kedekatan, aku sudah pasti kalah.

Pagi itu, aku mendapati keduanya pergi bersama. Hunian pemuda itu sekitar tiga blok dari rumahku. Aku mengintip dari jendela, omong-omong. Tidak menegur. Hanya melihat dari kejauhan. Aku suka melihat bahunya.

Tidak kusangka, sepasang manik milik Momotaro menoleh ke atas--- tepat ke arah jendela lantai dua rumahku. Syok, aku langsung terpengarah--- menutup tirai kamar. Ya Tuhan, jantungku hampir copot. Kudapati tadi Mikado ikut melihat-lihat ke arah yang sama dengan tatapan heran.

Tidak bisakah dia memberitahu kalau dirinya akan melirik ke arah sini?

Tentu saja tidak mungkin.

Aku saja telah melihatnya lebih dulu diam-diam. Jadi, mana mungkin dia akan memberitahu dari sana seperti ini; "Hai, cantik. Aku melihatmu."

Copot kata "cantik" sekali pun juga tetap tidak mungkin. Kecuali kalau dia menjelma menjadi makhluk narsistik. Tapi posibilitas yang terjadi kurang dari satu persen. Terlepas bila dia amnesia.

Kenapa aku tidak berani mendekatinya seperti dulu?

Alasannya hanya satu. Aku tidak mau menemuinya sejak menyadari satu hal yang bisa ditertawakan siapa saja.

Tinggi badanku.

×××

Berkat silsilah keluarga yang menurunkan generasi, seisi penghuni rata-rata bertubuh semampai. Dua bulan lalu, tinggiku mencapai 165 sentimeter. Itu artinya, aku dan Momotaro hampir sama tinggi. Selisih empat sentimeter.

Sejak saat itu, aku menghindari sepatu jinjit tinggi. Ibu bersikeras membujuk bahwa aku akan terlihat lebih elegan dengan itu, tapi mengenakan benda itu sama saja menghina Momotaro. Kalau sampai terjadi, Momotaro akan memusuhiku. Memberi tatapan jijik. Seakan aku menghinanya, padahal tidak.

Duh, karena khawatir, aku jadi ingin gigit bantal. Bercanda, tidak akan kulakukan sebagai manusia yang budiman. Meski jarak rumah kami hanya beberapa meter, tapi kini aku dan dia seolah hidup dalam radius bermil-mil. Aku selalu malu bila bertemu langsung dengannya.

"[Name]-chan, berikan jeruk ini kepada keluarga Onzai," pinta ibuku dari dapur.

Aku langsung bangkit dari kursi. "Ha? Untuk apa diberikan jeruk segala?!"

"Ck, kita sudah berkenalan begitu dekat. Tidak baik bersikap sombong," tegur ibu memotong bombay. "Sudah, cepatan. Di atas meja sana, bawa kantong itu."

Kupegang kantong itu dengan tangan yang telah berkeringat. Gugup? Jelas. Kalimat pembuka apa yang harus kuucapkan lebih dulu? Aku tidak pandai berbasa-basi. Apa aku langsung taruh saja di depan pintu rumah? Tidak, itu bukan ide brilian.

Setiap langkah yang kulalui seolah menuju kandang macan. Aku berharap tidak perlu sampai. Perasaan ini apa? Padahal aku hanya pergi ke rumah teman kecilku. Hanya itu. Sesederhana itu.

Namun, kakiku melangkah lebih cepat daripada keluh kesah suara hatiku. Aku sudah berada di depan pintu. Sebuah tombol bel rumah tersedia di sana. Seolah menggoda agar ditekan dan tibalah puncak keteganganku.

Jari telunjukku maju-mundur --- penuh kebimbangan. Tekan, tidak, tekan, tidak?

Lima menit pun berlalu. Kira-kira rumah Momotaro dipasang CCTV tidak, ya? Kalau ada, bisa-bisa aku dianggap penguntit atau perampok. Padahal, aku sedang mengumpulkan tenaga dalam--- coret, yang benar adalah keberanian.

"[Name]?"

Jantungku seolah melorot ke tanah. Apa aku begitu sering memikirkannya? Suara itu terdengar begitu jernih. Yang lebih anehnya lagi, suara itu bukan dari dalam!

Aku menoleh ke belakang. Kantong yang kupegang langsung jatuh. Mencecerkan jeruk yang sudah menggelinding asal.

Momotaro ternyata berada di belakangku!

"H-hai, Momo-kun," sapaku lalu berjongkok. Memungut jeruk itu.

Ia ikut berjongkok memungut jeruk itu.

"Ti-tidak usah memungut. Biar aku saja," tukasku menepis tangan Momotaro.

Momotaro menyela, "Tidak apa. Jatuhnya juga di rumahku."

"Maaf," sahutku mengikat kantong setelah mendapati jeruk telah terkumpul sepenuhnya. "Ini ... untuk keluargamu. Dari ibuku."

Kuberikan kepada Momotaro. Langsung saja aku berpikir untuk kabur sesegera mungkin, tetapi pergelangan tanganku ditahan. Aku meringis ngeri. Maunya apa?

"Tidak mampir ke rumahku?" ajak Momotaro.

Aku menggeleng cepat. "Tidak usah. Aku cuma mau mengantar jeruk-jeruk ini."

"Sungguh, tidak mau mampir?"

Aku mengangguk optimis. "Iya. Selamat malam!"

Genggaman itu melemah. Momotaro berkata, "Begitu. Hati-hati. Selamat malam."

Terdengar deretan kunci yang saling berbenturan saat Momotaro memutar arah kenop pintu. Dalam beberapa detik, ia tidak lagi terlihat di mataku. Aku menarik napas. Tadi pinggir bibirnya sedikit terangkat.

Mungkinkah ... mungkinkah tadi ia tersenyum kepadaku?

×××

Keluargaku punya rencana hidup yang tidak bisa ditebak. Aku bersyukur tidak mengiakan ajakan mampir rumah-Momo-meskipun-itu-tawaran-menarik. Seisi penghuni rumah berkumpul, seolah menungguku setelah bertahun-tahun lamanya merantau agar bisa bersama-sama.

"[Name] dan kakakmu, dengarkan Ayah dan Ibu. Ini PENTING," ucap Ayah menekankan kata terakhir di ruang keluarga.

Tidak biasa intonasi Ayah begitu serius. Biasa raut riang yang menghiasi wajah. Aku duduk fokus sambil melahap apel kelinci potongan Ibu.

"Dua minggu lagi, kita pindah dari rumah ini. [Name] pasti suka sama rumah nenek yang dekat pantai itu!" Ibu memberitahu penuh antusias.

Potongan apel yang kugigit seketika melambung ke bawah. Lupa kukunyah. Pindah rumah. Itu sama saja meninggalkan kenangan. Kenangan yang setiap hariku; melihat Momotaro dari jendela kamar setiap hari.

"Kalian ... bercanda, 'kan? Wah, ini nggak lucu," elakku tertawa kaku.

"Kalau sudah dilabeli penting, kurasa tidak," sanggah kakak perempuanku, "sudahilah perasaanmu, [Name]."

Pipiku merona, tetapi kusahuti dengan tatapan sebal. "Perasaan? Tidak juga, tapi itu artinya ... aku harus berpisah dengan teman-temanku."

"Rencana ini sudah disepakati sejak setengah tahun lalu. Biaya hidup di Tokyo terlalu berat," ungkap Ayah, membuatku tidak enak hati.

Mengiakan keegoisan sama sekali juga tidak bisa membahagiakan. Yang kulakukan kini hanya menundukkan kepala. Tidak pernah kusangka kalau selama ini menjaga jarak kepada Momotaro juga membuang sisa waktuku di sini. Akan tetapi rasa gengsiku memenangkan semuanya.

"Kita masih ada waktu di sini. Berbenah-benahlah perlengkapan yang perlu sampai hari itu tiba," saran Ibu yang kujawab dengan anggukan.

Pembicaraan itu diakhiri oleh Ayah yang pergi ke kamar tidur. Ibu kembali menyusul Ayah. Kakak perempuanku masih duduk di sebelah kiriku.

"Mungkin ini bukan pilihan buruk, [Name]. Mungkin ... kau bisa perlahan-lahan melupakan Momo. Kau hanya terobsesi dengannya."

Aku berdecak singkat sambil membenamkan wajah di bantal sofa. Kakakku begitu mudah berkata demikian karena mungkin sudah bosan menanggapi curhatanku. Namun, melupakan pemuda itu tidak mudah. Sejenak aku tertegun mendengar kalimat terakhir.

Mungkinkah ...  kakakku memang benar?

×××

Hari berlalu. Aku tidak mau menangis, tetapi air matanya malah meluncur sendiri. Begitu membuka mata, tirai kamarku melambai lembut tertiup angin. Seolah menggoda untuk kusibak. Memperlihatkan pemandangan harian.

Kini, kebiasaan itu menyakitkan hati. Jangankan mengabari kepindahanku, berbicara kepada Momotaro saja sudah gagap. Bagaimana jika Momotaro memilih mengacuhkanku? Atau tertawa? Atau menyampaikan salam perpisahan dengan raut datar.

Yang paling logis terjadi adalah bayangan ketiga. Daripada diberi salam yang setengah hati, lebih baik aku pergi diam-diam saja! Toh, kami sudah jarang bercengkrama sejak SMA. Bisa saja dia tidak akan menyadari kalau aku ... tidak lagi tinggal di sebelah rumahnya.

"[Name], buang sampah, sana," suruh kakak sedang asyik melahap keripik kentang.

Pekerjaannya kini sebagai ilustrator freelance. Tidak terikat waktu, ia jadi malas bergerak dan lebih tertarik berkutat di layar monitor.

Pintu kamarku terbuka paksa. Refleks, aku terbelalak, seketika menyingkirkan selimut. "Baru saja bangun. Sadis."

"Hanya mengurung di dalam kamar saja sepanjang waktu. Ck, ck, tidak produktif," ledeknya membuatku segera melempar bantal, tetapi terelakkan, "cepatan."

Aku memberenggut. "Setidaknya biarkan aku berganti pakaian."

"Oke, tiga puluh detik dari sekarang," jawab kakak memandang jam dinding kamarku.

Berkat desakan kakak, mau tidak mau, aku mengenakan kaus hitam yang diambil asal dari lemari. Celana pendek abu-abu. Dan sepasang sandal jepit biru tua. Tapi membuang sampah tidak perlu berpenampilan rapi.

Aku membopong dua kantong sampah yang sudah dikelompokkan--- organik dan anorganik--- yang siap ditampung di tempat pembuangan terdekat. Bercermin ala kadarnya, kuikat rambut model ekor kuda. Tampang kusut di pagi hari. Persetan.

"Buang sampah, ya? Pagi," sapa Momotaro.

Mataku yang sayu langsung membola. Momotaro tengah menyiram tanaman depan rumah. Aku membuang muka sekilas. Selalu saja ia mendapatiku dengan tampang memalukan.

Aku terkekeh kaku. "Begitulah."

Kukira Momotaro malah mengangguk dan kembali berkutat dengan kesibukan, tetapi ia malah menghampiriku. Jangan. Jangan mendekatiku.

Tapi Tuhan tidak mendengar doaku kali ini.

"Tunggu."

Selang penyiram yang digunakan tanpa sadar membasahi bajuku.

"Ah, ternyata airnya belum kuhentikan."

Kusahuti dengan kekehan kaku.

Terima kasih, Momotaro.

Antara berupa sarkas dan harfiah--- fisikku jadi lebih segar karenanya--- dan secara tidak langsung, ia menegurku agar seharusnya mandi saja sekalian.

"Maaf. Akan kupinjamkan baju ganti. Sampah itu ditaruh di sini saja dulu," kata Momotaro langsung mengambil kedua kantong sampah rumahku.

Sebelum otakku mencerna semua perlakuan pemuda itu, tanganku digenggam. Membawaku ke rumahnya. Momotaro menawarkan kaus ungu pucat miliknya. Sembari disuruh mandi, ibu Momotaro bersedia mengeringkan bajuku yang basah dengan mesin cuci.

Kutatap seisi kamar mandi yang simpel. Bukannya fokus membenahi tubuh, malah salah fokus dengan aroma sabun cair yang digunakan Momotaro. Aroma maskulin yang tidak menusuk, tetapi memberi efek menenangkan. Kalau kupakai, berarti kami jadi memakai sabun yang sama.

Aku segera menampar pipiku sendiri.

Apa yang kaupikirkan, [Name]?!

"Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Momotaro dari luar kamar mandi--- sepertinya mendengar tamparanku barusan.

"Iya! Tadi ada nyamuk di kamar mandi!" sahutku penuh penyangkalan lalu menyalakan shower untuk meredamkan suara.

Tujuanku tadi hanya semata demi membuang sampah!

×××

"Momo-kun, terima kasih, ya," ucapku mengenakan baju miliknya---untuk sementara, hingga bajuku kering.

Momotaro menyahut, "Yang tadi itu murni salahku, jadi aku minta maaf."

Aku menggeleng cepat. "Sungguh, kau tidak perlu repot-repot. Rumahku kan dekat."

Bantal sofa itu segera didekap Momotaro. "Dekat bukan jaminan kau akan menyapaku lagi."

Alisku tertaut. Momotaro menggeserkan posisi duduknya. Jemari kanannya menepuk sisa sofa yang masih lapang di sebelah. Aku masih menatap gamang dirinya.

Tunggu.

Dia--- menyuruhku duduk di sisinya? Yang benar saja?

"Aku berdiri saja," tolakku cepat.

"Tamu tidak seharusnya berdiri. Duduk."

Malu-malu, aku duduk di sebelahnya. Tidak begitu rapat, tetapi lumayan dekat. Aku takut ia bisa mendengar debaranku. Berbahaya.

"Apa kau membenciku?" Tahu-tahu, Momotaro bertanya demikian.

Aku menunduk. "Mana mungkin bisa begitu."

Momotaro memeluk lutut. "Lalu kenapa kau hanya melihatku dari jendela?"

Karena aku menyukaimu, ucapku dalam hati.

"Aku bukan melihatmu, kok. Hanya perasaanmu," bantahku menggaruk tengkuk.

Momotaro bangkit dari sofa. Meninggalkanku bersama televisi yang sedang menyala.

Apa dia marah?

"Kaa-san, aku dan [Name] pergi keluar sebentar. Pergi buang sampah," izin Momotaro ke dapur.

Aku menyela lalu segera memungut kantong, "Tidak usah. Itu sampah rumahku."

Momotaro membantah, "Tidak apa. Aku memang mau menemanimu. Semua ini ... kesengajaan."

Mulutku tahu-tahu sudah melongo--- dia melontarkan "kesengajaan" yang tidak bisa kupahami.

Momotaro menambahkan, "Tadi aku sengaja membasahi bajumu supaya kita bisa mengobrol lebih lama."

Oke, dia jahat karena ia menimbulkan kerepotan ini. Tapi ... motifnya di luar dugaanku. Sekarang, aku tidak tahu ingin merespons apa. Marah? Tapi tidak juga. Senang? Tapi aku masih tidak mengerti.

Satu kantong yang digenggam olehku telah terambil olehnya.

"Kita ... tidak bisa berbicara lebih lama lagi, toh, aku akan segera pindah," ucapku menghela napas.

Momotaro menyahut, "Ke mana?"

Ternyata dia tidak memberi salam perpisahan.

Kami tiba di tempat pembuangan. Saat berdua ternyata berlalu lebih dekat. Kutaruh sesuai jenis sampah. Begitu pula dengan Momotaro.

"Rumah nenekku. Di dekat pantai yang ... jadi tempat kita bertemu sejak kecil," ujarku membersihkan tangan di wastafel umum terdekat.

Saat itu, kudapati sudut bibir Momotaro terangkat. Dia ... bisa tersenyum. Meski hanya sepersekian sentimeter.

"Aku bisa bertemu denganmu lagi di sana nanti. Lalu kita bisa jalan-jalan di sana," ajak Momotaro.

Aku membelalak, tidak berpikir sampai ke sana. "E-eh?"

"Aku tidak mungkin melupakan teman kecilku."

× × ×

O m a k e

× × ×

"Sebenarnya ... ada alasan kenapa aku tidak berani menemuimu langsung," ucapku pelan saat berjalan pulang.

Momotaro menanggapi, "Kenapa?"

Mungkin setelah berinteraksi lebih lama, aku mulai memberanikan diri. Setidaknya, ia perlu tahu.

"Aku takut kau malu karena tinggi badanku yang sebentar lagi menyamaimu. Tapi aku tidak akan pakai heels saat bersamamu, kok!"

Momotaro menyelipkan helaian rambut merah ke telinga. Saat mentari menerpa dirinya, ia kembali tampak memesona.

"Kau bebas pakai apa saja."

Aku mengerjap bingung. "Eh? Sungguh? Kau tidak malu?"

"Kalau hanya itu alasannya, kita tetap bisa dekat seperti dulu. Mika bahkan bilang aku cemas seperti itu karena ...."

Tanpa kusadari, usai jeda darinya begitu mampu mendiamkanku.

"Dia bilang, aku jatuh cinta kepadamu."

• Fin •

Words: 2113

A/N:

Karakter minim emosi itu ... unik yha/ (UvU)
Momo itu diam-diam menghanyutkan, hehe. Thanks for reading~~~

With love,
Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro