keep in touch - kaneshiro goushi
Kemenangan atau kekalahan bukan ambisiku. Selama hidupku tenang, semua akan mengalir dengan nyaman. Mungkin pemikiran sisi tenang lahir dari keturunan ibuku. Jika teman-temanku datang bermain ke rumah, mereka bisa menemukan sebuah lemari kaca transparan yang memajang beragam piala. Hasil kemenangan dari permainan puisi antologi.
Hyakunin isshu. Sebuah antologi berjumlah seratus puisi yang digunakan dalam karuta. Permainan kartu bertuliskan sajak puisi yang diambil ketika dibacakan. Peserta yang berhasil memungut kartu terbanyak dianggap sebagai pemenang.
"[Name], segera pelajari karuta."
Ayah sudah pensiun sebagai pemain kartu. Prestasinya amat gemilang. Ia punya harapan agar paling tidak anaknya bisa seperti itu. Karena aku anak tunggal, ia memiliki ekspektasi tinggi terhadapku.
"Aku tidak mau," jawabku menghela napas.
"Jadi kau lebih mengutamakan rebahan?"
"Apakah salah jika ingin beristirahat? Ini 'kan musim dingin!"
"Justru musim dingin harus lebih banyak beraktivitas. Tubuhmu akan kaku dan menggendut jika diam terus di rumah."
"Biar saja! Toh ini sudah dekat musim libur!"
Bunyi hentakan di atas meja makan mendiamkan kami sejenak. Ternyata ibu menaruh sepiring ikan goreng mengepul. Ia menarik kedua sudut bibir dengan mata terpejam.
Ah, sepertinya ibu marah.
"Kalian sudah bisa tenang? Anata, anakmu pasti akan melakukan karuta jika dia ingin. [Name], ayahmu menjadi tegas agar kau bisa menjalani hidup yang lebih berwarna."
Ibu memang lebih banyak diam, tapi dia sangat peka dengan situasi perdebatan kami. Aku menghela napas usai menerima semangkuk nasi. Mungkin aku memang egois. Kebanyakan orangtua tidak senang jika buah hati mereka tumbuh menjadi pasif. Mungkin, belajar karuta adalah satu-satunya jalan untuk membahagiakan mereka.
"Akan kucoba, tapi tidak berjanji bisa memenangkan kompetisi karuta seperti ayah."
Ayah mengangguk mantap. "Baiklah. Setidaknya masuk tiga besar."
Ambisi ayah tetap saja ada. Ia masih berusaha menuntut. Baginya, kemenangan adalah sesuatu yang patut diperjuangkan dalam hidup. Seakan jika kalah ... akan dicap pecundang.
"Aku belum punya dasar apapun."
Ayahku menunjukkan kontak ponsel seorang laki-laki yang amat kukenal.
"Goushi bisa mengajarimu."
Tidak, siapa saja boleh mengajariku, tapi jangan dia. Laki-laki yang paling kutakuti. Walaupun dia bukan orang asing, melainkan anak dari kenalan ayah.
Tuhan, semoga pilihanku memang jalan yang tepat.
keep in touch - kaneshiro goushi
"Sepertinya karuta adalah bagian dari hidupmu."
"Begitulah. Apa kau tak suka karuta?"
"Bukan begitu, tapi ... sepertinya aku mulai paham prinsip ayah. Kemenangan bukan segalanya, tapi sesuatu yang dicapai dengan perjuangan."
"Walaupun tidak bermain karuta, tetaplah bersamaku."
B-project © MAGES
Story © agashii-san
Rate: T
.
.
.
Aroma bunga melati tercium lembut. Suasana ruangan tampak menenangkan. Angin berembus hangat, pelan, dan lembab. Walaupun penjabaran tadi menunjukkan kedamaian. Namun, situasi kini terasa mengintimidasi.
"Silakan diminum tehnya," ucap wanita paruh baya— ibu Goushi— mengarahkan gelas keramik kepadaku.
Sambil menyesap teh, aku memandang kedua pria paruh baya yang bersahabat itu bersulang cangkir sake. Seakan dunia hanya milik berdua. Awalnya, aku yakin Goushi tidak akan setuju akan hal ini. Apalagi, kami sudah jarang berjumpa karena beda sekolah.
"Goushi masih sering ikut kompetisi karuta?"
"Tentu saja! Dia baru memenangkan peringkat pertama tingkat prefektur."
Walaupun teman kecilku menjadi objek perbincangan, tapi eksistensinya tak muncul hingga kini. Aku lebih berharap jika ia tak bisa datang dengan alasan apa saja. Asalkan tidak hari ini.
Aku tidak siap, walaupun selama apa pun jika diberikan waktu rasanya takkan pernah siap. Kami memang tidak bermusuhan— dalam artian bertengkar, tapi aku merasa jika dia membenciku. Dalam kenangan masa lalu, aku selalu menyusahkan Goushi. Aku selalu terlihat payah dan penakut bila di dekatnya.
"Aku baru saja pulang. Jadi, apa yang perlu dibahas?"
Nada serak itu memompa pacu jantungku lebih cepat. Pembawaan Goushi masih tak berubah— to the point. Aku membelakangi Goushi. Padahal teh masih hangat, tapi jemariku bagai menggenggam es batu.
"Lusa sudah libur musim dingin, 'kan?" tanya ayah Goushi mengedarkan zabuton di sebelahku.
Dan saat itu juga, Goushi duduk di sebelahku. Manik kami saling bertemu.
"Lalu?" Goushi langsung membuang muka, tampak acuh tak acuh. Menyapa kata "hai" pun tidak, layaknya aku miniatur kokeshi.
Aku memang tidak berharap Goushi akan ramah kepadaku. Tapi ... paling tidak, seharusnya dia tidak mengabaikanku sedingin ini.
"Kami ingin kalian mengikuti turnamen umum untuk pasangan kompetisi hyakunin isshu. Deadline-nya masih satu setengah bulan lagi."
Goushi melirikku sinis. "Dia masih awam."
"[Name] pernah kuajari tentang dasar puisi antologi. Dia juga punya ingatan yang baik, tapi dia belum mencoba berkompetisi," tutur ayah yang menurutku setengah berbohong, setengah jujur. Ingatanku tak selalu bagus, tapi aku memang pernah mempelajari sedikit tentang karuta.
"Mengajari kebaikan tidak merugikan, kok. Goushi pasti setuju," kata ayah Goushi menepuk anak tunggalnya.
Laki-laki itu hanya diam saja. Aku tahu, Goushi pasti tidak mau. Namun, ia tidak punya pilihan.
"Yo-yoroshiku onegaishimasu."
***
"Terlalu lambat!"
"Salah!"
"Kerahkan lagi kekuatanmu dalam meraih kartu."
Walaupun baru berlatih selama dua jam, tapi aku merasa sudah berlatih seharian. Goushi benar-benar spartan dalam mengajar. Yah, sejujurnya aku tidak berekspektasi ajaran yang ramah nan lemah lembut, tetapi dia terlalu barbar!
"Istirahat 120 detik."
Alih-alih mengeluh karena waktu yang diberikan terlalu sedikit, aku memilih berbaring sejenak. Persetan jika ia akan mengomel. Aku memastikan kartu di sebelahku tetap tertata rapi.
"Apa kau sudah tidak sanggup?" tanya Goushi, tanpa nada sarkas atau berkeinginan mengomel. Dia bahkan menyempatkan berbaring di sebelahku.
Aku menoleh, menghadap lelaki itu. "Masih. Tapi aku tidak yakin bisa langsung menang. Apalagi ini adalah permainan perdanaku."
Goushi menyanggah. "Kedua."
Aku mengerjap bingung. Dulu, aku memang pernah diajari karuta, tetapi tidak merasa pernah bermain dengan siapapun. Lantas Goushi berucap demikian dengan begitu yakin.
"Sebelumnya ... aku pernah?" tanyaku ragu-ragu. Aku ingat hanya menjadi pembaca puisi.
"Dulu kita pernah, tapi kau pasti sudah lupa. Dan janji itu, tapi sudahlah."
Aku merasa ada pecahan memori yang tidak terekam jelas di masa lampau. Tapi ucapan Goushi mulai memunculkan jejak penasaran terhadap batinku.
"Soal apa? Beritahu aku, onegai," ucapku memandang lekat-lekat, tanpa sadar sudah meraih pergelangan tangan Goushi.
Kedua sudut bibir Goushi tertarik. Iya, laki-laki itu tersenyum. Pemandangan yang terbilang teramat sangat langka, tetapi tidak memberikan efek menyenangkan bagi yang melihatnya. Lebih mirip seringai.
"Akan kuberitahu kalau kau sudah lebih terlatih. Waktu sudah lewat, ayo latihan."
Jahat sekali.
Kenapa dia tidak memberitahuku?
***
"Apa kau baik-baik saja?"
Hari diselenggarakan kompetisi semakin dekat. Goushi berusaha memantapkan kemampuanku. Tapi dia masih juga kerap menyemprotku kalau salah-salah mengambil kartu.
"Tenang saja, bu. Aku akan pulang lebih awal."
"Kalau tidak bisa, jangan dipaksakan. Ayah pasti juga mengerti." Ibu tampak khawatir.
Sudah sejauh ini. Aku tidak bisa menyerah semudah ini. Sesulit aku berusaha menemukan kartu puisi yang sejujurnya mulai kusukai. Kalimat baku yang umumnya terdapat makna romantis, lebih indah ketimbang gombalan receh semata.
Memutuskan pergi ke rumah Goushi seperti biasa, langkahku terhenti sejenak.
"Hei."
Aku mengerjap bingung. Goushi sudah berdiri di depan rumahku.
Hidungnya agak memerah, tetapi ia masih mengenakan setelan jaket jeans cokelat tebal bulu di bagian kerah atas. Ia memegang sebuah helm sambil duduk di atas jok sepeda motor.
"Ka-Kaneshiro-san?"
Kalau aku tidak mengenal lelaki itu, sejujurnya dia seperti pemalak uang tetangga.
"Kita belajar di tempat lain. Tidak di rumahku."
"Pergi dengan motormu?" tanyaku masih tidak yakin.
Goushi mendengus. "Jalan kaki. Memang motorku cuma jadi pajangan? Kenakan ini dan duduklah di belakangku."
Aku terkekeh; sudah biasa akan sarkas candaan Goushi. Saat tanganku berusaha menggapai helm, Goushi sudah lebih dulu memakaikan pelindung kepala itu. Untukku. Tanpa kuminta. Tak lupa, ia mengaitkan bagian dalam penyangga dagu agar helm tetap terpasang kokoh.
Tentu saja, aku hanya bisa terdiam. Akan perhatian kecil yang tidak ingin kusalahartikan.
"Terima kasih," kataku sembari motor Goushi telah melaju perlahan. Aneh. Hari ini, dia datang menjemputku. Biasanya aku selalu pergi sesuai jadwal dan kesepakatan dari ayah. Sering berdua dengannya juga biasa tak menyenangkan — Goushi, dia dan sisi yang kerap kuanggap menyebalkan karena sifat spartan. Namun, ia juga yang memberikan perasaan sederhana yang menyenangkan.
Aman.
Perasaan yang bagiku tidak mudah datang dari laki-laki selain ayahku.
"Bolehkah aku bertanya?"
Aku bertanya ketika kami berhenti saat rambu lalu lintas berganti merah. Goushi diam, tetapi aku yakin itu artinya dia mengizinkanku.
"Apa kau terbebani mengajariku?"
Goushi menoleh sedikit. Kepulan uap air dari embusan napasnya menguar dengan semilir aroma peppermint. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Aku terkejut karena dia tidak menjawabku, lantas dia malah bertanya kembali.
"Karena aku payah. Aku tidak memiliki prestasi segemilang ayahku dan kau. Tapi ayahku malah menyusahkanmu. Mempertemukan kita, padahal kau sudah menemukan kesibukan yang lebih berarti."
"Jangan merendahkan dirimu dan berpikir sedangkal itu. Dan, aku tak merasa terbebani dengan permintaan ayahmu."
Suara serak basah Goushi membiarkanku terhenyak sesaat. Tak peduli butir demi butiran salju yang telah mendarat. Perlahan menggenangi daratan. Goushi memang tidak pandai bercanda, tetapi ucapan sarkasnya tidak ada yang bisa menandingi. Tapi dia juga yang terang-terangan memberikan bantuan dengan tindakan yang tidak setengah-setengah kepadaku.
Seiring waktu berlalu, motor Goushi telah membawa kami berada ke sebuah perumahan tradisional. Goushi mengetuk pintu kayu tersebut, lalu disambut oleh seorang kakek. Sang kakek tersenyum ramah.
"Masuklah."
Aku melangkah sepelan mungkin di belakang Goushi. Sang kakek sudah paham maksud kedatangan kami ke sini, jadi langsung berjalan menuju ruang tengah. Dengan inisiatif, Goushi dan aku bersama-sama merapikan posisi kartu. Semua karena keinginan ayah. Walaupun kedatangan kami sebagai tamu, tentu saja aku adalah pihak yang paling membutuhkan bantuan mereka.
"Ini pertama kalinya Goushi membawa seorang perempuan ke sini."
Goushi menyilangkan kaki, lalu menopang sebagian wajah. "Kubawa dia ke sini karena ini satu-satunya tempat belajar karuta yang paling tenang dan aman."
Kakek itu tersenyum hangat. "Begitukah? Boleh kutahu namamu siapa?"
"[Full Name]. Mohon bantuannya."
Kakek itu bertutur, "Hyakunin Isshu adalah permainan yang memerlukan ketangkasan dan ingatan tajam akan puisi. Apa kau masih tertarik sejauh ini?"
Aku mengangguk mantap. "Sebenarnya aku tidak yakin bisa menang, tapi karena sudah seberusaha ini dan didukung oleh banyak orang, tentu saja aku tidak boleh mengecewakan mereka."
"Semangat yang bagus, [Name]. Goushi, kau jangan terlalu keras kepadanya. Bagaimana pun juga dia juga seorang perempuan. Dasar, puisi antologi kebanyakan tentang cinta, tetapi dia malah tidak peka."
Pipi Goushi merona. "Pe-peka apaan? Dasar kakek s*alan."
Kakek itu menjitak rambut hitam Goushi. "Kau! Tidak sopan! Syukur kau masih kuanggap seperti cucu sendiri."
Aku terkekeh lepas. Interaksi mereka terlihat hangat dan bersahaja. Aku tahu mereka baru saja bercanda. Goushi selalu blak-blakan, seperti yang kuketahui.
"Akan kulakukan yang terbaik. Terima kasih."
***
Sehari sebelum kompetisi, kami berlatih kembali memungut kartu dan secara bergilir membacakan puisi. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tibalah hari pertandingan. Tentu saja aku berbohong jika tidak merasa gugup. Karena ini pertandingan pertamaku, ibu membuatkan setelan merah bercorak floral merah sebagai atasan dan bawahan senada.
"Cantik!" puji ibu melihatku telah mengenakan kostum untuk kompetisi esok.
Aku tersenyum kikuk.
Saat aku hendak mengangkat sedikit bawahan sepanjang mata kaki ke atas, kurasakan jejak nyeri pada pergelangan tangan kananku. Aku meringis kecil.
"Ada apa?"
Aku menggeleng pelan. "Mungkin karena tanganku terlalu kaku. Aku butuh pemanasan sepertinya, ahaha."
Tak hanya ibu, ayah juga melihatku. "Mungkin sedang grogi. Kau pasti bisa lakukan yang terbaik."
Kukira ayah akan mengingatkanku agar tetap gigih menjadi peringkat pertama. Namun, ia lebih mengkhawatirkan kondisi tanganku. Memang ada sedikit lebam di bagian telapak tangan. Sepertinya karena tanpa sadar ketika memungut kartu-kartu puisi.
Dering bel kediamanku berbunyi. Ayah membukakan pintu. Tak lama, aku menemukan Goushi yang datang sebagai tamu. Ia tak berucap sepatah kata pun, lantas menatapku dari atas sampai bawah. Aku mengernyitkan dahi karena bingung ditatapi seperti itu.
"Aneh?" tanyaku tak berani memandang mata merah Goushi. Jarak pandangku hanya jatuh sebatas kedua bahunya.
"Tidak. Kau terlihat menarik," ujar Goushi juga mengalihkan pandangan.
Aneh. Dia bisa memujiku, ya.
Sadarlah [Name], ini karena kostum.
Ibu terkekeh melihat kami. "Sebenarnya ibu juga membuatkan satu pasang dengan warna yang nyaris identik dengan milik [Name], tetapi tidak bercorak floral. Tapi kalau tidak ingin memakai yang senada juga tidak masa—"
"Saya ingin memakainya sekarang, boleh?" Tanpa berbasa-basi, Goushi tidak merasa keberatan. Ia memang belum mengenakan kostum sepertiku, masih lengkap dengan kemeja hitam dan celana panjang cokelat.
Tersenyum lebar, ibu meraih sebuah kantong kertas yang digantung tepat di belakang pintu. "Kutanyai ibumu soal ukuran badanmu, jadi seharusnya ini pas."
Tak lama kemudian, Goushi sudah mengenakan kostum itu. Senada denganku. Entah kenapa, jantungku lagi-lagi berdegup lebih kencang. Rasanya ... kami kembaran seperti pasangan.
Ya, Tuhan. Pikiranku kenapa kacau begini?
Setelah bersiap-siap, kami memutuskan untuk berangkat menuju gedung pertandingan. Walaupun ini kelas umum, penontonnya tetap ada. Kebanyakan dihadiri penonton dewasa dibandingkan remaja dan anak-anak. Ada tiga babak untuk masuk semi final.
"Ambil yang kaubisa. Kita menangkan kompetisi ini," tutur Goushi.
Aku mengangguk. Seharusnya pergelangan tanganku tidak akan membebani kompetisi ini. Namun, firasatku tidak nyaman. Seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Mungkin hanya prasangka semata membayangi benakku. Satu setengah bulan berlalu akan percuma kalau dihabiskan untuk pikiran seperti ini.
Pertandingan pertama berlalu dengan lancar. Kami menang dengan memungut kartu lebih banyak dari tim lawan. Namun, mimpi buruk yang tidak pernah kuinginkan ternyata menjadi kenyataan. Pada babak kedua, kami kalah. Tangan kananku berdenyut nyeri, terasa semakin sulit untuk mengambil kartu yang sedikit lebih jauh dari jangkauanku.
"Hei, tanganmu ...," kata Goushi langsung meraih pergelangan tanganku ketika diberikan waktu sejenak oleh pembaca puisi. Manik merahnya mengeruh ketika melihat sisi yang membiru pada telapak tangan.
"I-ini cuma memar ringan," jawabku langsung menepis genggaman Goushi.
"Pergilah menghadapi unit kesehatan. Aku akan melawan mereka."
Aku meraih lengan pakaian Goushi dengan tangan kiri. "Tidak. Kita akan didiskualifikasi jika kekurangan pemain."
Goushi berdecak. "Memangnya masih sanggup dengan tangan luka seperti itu?"
"Tentu saja! Aku masih punya tangan kiri, walaupun gerakannya tak seefisien tangan kanan."
Usai embusan napas panjang, Goushi berucap, "Ambil yang memang sesuai dengan jangkauanmu. Akan kuambil kartu lebih banyak."
Jejak kelegaan menyusuri batinku. Sesuai ucapan, Goushi mengambil kartu lebih sigap dan banyak. Kadang-kadang, aku merasa bahwa jiwa intimidatifnya kini "berguna" walaupun agak licik, tetapi kami berhasil memenangkan babak ketiga. Dengan skor yang tipis. Selisih satu kartu.
Tinggal satu babak yang paling dinantikan, final. Pemenang pertama yang diincar oleh seluruh peserta kompetisi hyakunin isshu. Namun, sebelum pertandingan final dimulai, Goushi langsung beranjak dan meraih lenganku.
"Kami tidak akan mengikuti final," kata Goushi kepada pembaca puisi.
Manikku terbelalak. "Kaneshiro-san, aku masih bisa ...."
"Kalian akan otomatis menjadi pemenang kedua, tidak masalah?"
Goushi berucap penuh keyakinan, "Tidak masalah. Dibandingkan dia harus menyakiti tangannya lebih lama lagi."
Karena aku, kami gagal menjadi pemenang pertama. Namun, aku merasa dia memenangkan sesuatu. Hanya seseorang.
Hatiku.
◦ Omake ◦
Mengetahui pertandingan harus usai begitu saja, penonton melontarkan beragam ekspresi. Ada yang kecewa, tetapi lebih banyak merasa tersentuh. Aku hanya mengikuti lelaki itu di belakang. Unit kesehatan ternyata sepi, bahkan tidak ada petugas sama sekali.
Goushi berdecak. "Saat dibutuhkan malah petugasnya tidak ada. Cih, unit kesehatan cuma disediakan sebagai formalitas."
Aku tersenyum kaku. "Tanganku bukan sakit parah, kok. Ini cuma cedera ringan."
Lelaki itu meraih salep pereda nyeri dan kain kasa. Sepertinya ia lebih senang bersibuk memakaikan obat luar itu ke pergelangan tanganku.
"Ternyata sudah berlalu, ya," kataku memandangi jendela yang berembun. "Sepertinya karuta adalah bagian dari hidupmu. Terima kasih sudah memperkenalkanku sampai di sini."
"Begitulah. Apa kau tak suka karuta?"
"Bukan begitu, tapi ... sepertinya aku mulai paham prinsip ayah. Kemenangan bukan segalanya, tapi sesuatu yang dicapai dengan perjuangan."
"Tidak hanya karuta, kau juga termasuk bagian hidupku. Janjiku memberitahu karena kau sudah jauh lebih terlatih. Kita pernah bermain bersama saat kecil. Sudah lama sekali. Hanya bermain iseng-iseng, bukan dengan peraturan seperti ini. Lalu ...."
"Lalu?" tanyaku penasaran.
Sejujurnya aku menyesal karena hanya mengingat gaya spartan belajar karuta karena didikan ayahnya. Lambat laun, aku tidak datang karena merasa telah mengganggunya. Kemudian, jarak kami pun merenggang.
"Kau mengarahkan satu kartu kepadaku. Saat kuambil kartu itu, aku telah berjanji akan selalu menjagamu. Setidaknya, jika kita akan dipertemukan lagi dengan cara yang sama. Dan terjadilah saat ini."
Usai Goushi berucap, perban pada tanganku sepenuhnya terpilin rapi.
"Walaupun kau tidak bermain karuta, aku akan tetap memenuhi hal itu," kata Goushi mengembalikan salep itu ke posisi semula.
Teringat sudah masa laluku menyadari Goushi yang bersemangat ketika belajar mengenali jenis-jenis puisi antologi. Dia yang terlihat bersinar dan mau berjuang. Dan itu adalah masa-masa ia terlihat sangat berkarisma.
"Jadi, tetaplah bersamaku." Goushi menoleh ke arahku, tapi aku refleks sudah memeluknya dari belakang.
"Iya. Mulai saat ini."
Pilihan hidup yang tidak menyenangkan bisa saja membawamu menuju sebuah akhir yang sebaliknya. Menghadapi bagian proses dalam kehidupan akan keyakinan dan perjuangan. Berbanding saat tak dihadapi dengan penyesalan.
• fin •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro