his caring side - sekimura mikado
ADA pepatah yang berkata bila pertemanan mencapai tujuh tahun bisa dinyatakan abadi.
Selalu ada?
Kekal?
Entahlah, aku dan dia hanyalah teman sejak kecil. Sikap laki-laki itu tidak semanis gula kapas yang dijual tukang gerobak. Namun, tidak juga sepahit sayur pare yang dimasak ibu.
Jadi...
Bagaimana aku mendeskripsikan perasaan ini?
his caring side - sekimura mikado
"Bagi stik matcha-mu satu."
"Nggak mauuu! Ini kesukaanku!"
"Kalau ditukar dengan sepuluh kupon pelukan gratis dariku, bagaimana?"
"... A-HO!"
B-project © MAGES
osananajimi © agashii-san
.
.
.
Teman kecilku--- Sekimura Mikado--- memasang kacamata sepanjang waktu, nyaris seumur hidupnya. Banyak perlakuan stereotip terhadap tampang; pendiam, kaku, pintar, dan susah bersosialisasi. Tapi berbeda untuknya. Dia ribut. Sangat ribut, melebihi ibuku sendiri. Aku bisa menjamin seluruh tabunganku untuk membuktikan hal itu--- meskipun tidak seberapa, tetapi... aku tidak berbohong. Sungguh.
Mikado itu menempati bagian hatiku, hehe.
Ah! Yang tadi itu rahasia alam, rahasia ilahi.
Padahal nyaris seumur hidupku, hanya Tuhan dan aku yang tahu.
×××
Orangtuaku menyuruhku les biola. Di kursus, banyak sekali violinis yang berbakat. Meski baru belajar setengah tahun, tapi tetap saja aku merasa kemampuanku tidak seberapa. Katanya, aku masih kecil jadi tidak masalah. Aku akan berkembang, terus berkembang bila belajar.
Senar yang kugesek mengeluarkan bunyi mengerikan. Apalagi jika kumainkan di atas pukul delapan malam. Adikku akan segera melempar bantal lalu mengomel dengan sumpah serapah. Sudah pasti.
Apa yang salah, ya?
Mungkin aku yang tidak kunjung mahir memainkannya?
Seharusnya sudah sesuai berdasarkan instruksi tutorku. Apa seharusnya kubilang ibu agar aku berhenti les saja? Lagi pula tidak ada kemajuan. Tapi berpisah dengan biola? Tidak.
Beberapa anak laki-laki sekitar komplek senang mengejekku. Mereka bahkan tidak tahu membedakan kunci nada yang bermodalkan empat senar itu. Tapi aku tidak mau bermain biola di rumah. Dengan suasana alam, sepertinya alunan musikku bisa menyatu.
Tutor les biola melarangku mengganti senar. Tapi karena aku nekad maka sudah kubeli diam-diam. Enak saja diremehi begitu. Dia belum tahu seberapa tangguhnya diriku. Pernah aku mendapati senior mengganti senar. Dan hanya dengan melihat, aku sudah hafal caranya.
Aku tersenyum bangga.
Siapa bilang kalau anak berusia belia hanya bisa duduk manis?
"Hei, coba kau lihat? Dia bermain benda aneh itu lagi."
Aku menggembungkan pipi. Balas dendam yang terbaik bukan dengan serangan fisik, melainkan pengakuan mental. Jadi, aku tetap diam saja dan membiarkan anak-anak geng kelasku itu seperti burung berkicau. Bagaikan orang bodoh.
Seharusnya sekarang aku tidak sendirian. Akan ada laki-laki aneh yang menemaniku. Mikado. Iya, tapi kurasa dia sedang bermain masak-masakan di rumahnya. Aku akan menagih Fondant Chocolat darinya, tentu saja.
Beberapa pasang mata anak yang menjahiliku memberi tatapan meremehkan. Ternyata didiamkan tidak kapok juga. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Hanya secara verbal dan aku hanya perlu menahan semua ini hingga senarku terpasang kembali. Aku tetap menunggu Mikado dan bertindak sebagai anak baik.
Namun, semakin lama kekehan itu terdengar menyebalkan. Dugaanku salah. Salah satu senar baruku diambil. Biolaku direbut-rebut semau mereka. Aku terus meronta. Mengharapkan bantuan siapa-saja-terkecuali-anak-anak-jail-ini. Tapi percuma. Kejailan mereka berhenti begitu saja ketika jariku tertusuk senar. Dan mengucurkan darah yang awalnya setetes demi setetes menjadi aliran.
Wajah mereka langsung panik. Memandang satu sama lain dan menuduh biang perkara. Aku sendiri saja merasa kaget, tetapi mulai merasakan jariku berdenyut perih. Takut-takut, mereka mulai lari. Kabur dari masalah.
Kekanakkan sekali.
Apa mereka maunya begitu?
Membuatku terluka baru menghilang?
Aku memang bukan gadis supel. Keluargaku selalu mutasi ke luar kota karena pekerjaan ayah. Tapi ayah berjanji bahwa ibu kota negeri Sakura yang menjadi penantian akhir dari semua perpindahan ini. Tempat ini. Aku sudah terbiasa menerima semua ini, tetapi tidak bisa dipungkiri.
Duh, hatiku jadi sakit.
"[Name]-chan?"
Bibirku masih bungkam. Seperti pahlawan kesiangan, dia datang di saat yang sangat tidak keren. Siapa lagi yang akan mendatangiku selain dia, Mikado?
"Pergi sana. Aku tidak kenal siapa yang duduk di sampingku," sanggahku menunduk.
Kutahu dia masih duduk di sebelahku. Semilir aroma black chocolate membuatku tergiur. Tapi bukan saatnya perutku keroncongan. Seandainya dia datang lebih cepat, maka luka ini tidak akan terjadi kepadaku. Tapi dia masih menepati janjinya. Datang menemuiku.
"Jangan judes begitu. Aku tidak akan pergi. [Name], kau kenapa, sih?" tanya Mikado begitu khawatir, mengguncang bahuku.
Ketika ditanya-tanya seperti itu, bendungan hatiku seakan jebol begitu saja. Dia seenaknya menerobos, sengaja ingin menghancurkan pertahanan diriku. Mikado ikut menunduk. Mendapati ekspresiku saat ini yang setengah mati kusembunyikan. Mataku sudah tergenang. Kalau kukedip sedikit saja, pasti akan basah dan melinangi kedua pipi.
"Ada apa, [Name]? Kau tidak suka fondant chocolat? Mungkin ada kue-kue lain yang kausuka?" tanya Mikado mengernyitkan dahi.
Aku menggeleng. "Bukan, tapi jariku...."
Mikado refleks melihat jari telunjuk yang kutimpa dengan jemari kiri. Begitu tahu ada yang salah, manik hijaunya terbelalak. Aku langsung menyeringai kaku, menyembunyikan lagi jariku yang terluka.
"Jariku cuma lecet karena tertusuk senar. Ada plester?" ucapku terkekeh pelan.
Kudapati alisnya bertaut tajam. "Katakan kepadaku, siapa pelakunya?" Mika memegang kedua bahuku.
"Tidak sengaja tertusuk," sangkalku tidak berani memandangnya.
Alis Mika tertaut. Dia bukan seseorang yang mudah dibohongi. Ya, aku memang bodoh. Seheboh-hebohnya manusia ini, dia termasuk peka. Temanku satu-satunya di sini setelah berpindah-pindah. Dia tetap diam. Memeluk kue itu erat-erat bagaikan balon hijau yang bisa meletus kalau tidak dijaga.
"Kalau memang tidak sengaja, kenapa kau tidak mau melihatku?"
Manikku membola. Ah, memalukan. Tapi aku kalah saing. Aku hanya sendirian tadi. Kalau adu fisik pun tidak seberapa. Maka, lebih baik menyerah saja, bukan?
"Karena...," tukasku tidak ingin berhenti, tetapi tidak bisa berkata-kata lagi. Aku kalah.
"Sini," panggil Mikado. Aku menoleh. Mendapati Mikado mengambil sebuah plester bermotif mahou shoujo dari saku celananya.
Sejak mengenalnya, kutahu dia selalu suka sesuatu yang seperti itu--- pendekar wanita fiksi asal dua dimensi--- dengan kekuatan super heroik yang bisa menyelamatkan dunia.
"Aku tidak mau memakai benda itu di jariku," elakku menyeringai ngeri.
Mika mengerucutkan bibir. "Ini plester kesayanganku satu-satunya. Rimitiddo edishon (pelafalan Jepang dari limited edition), benar 'kan?"
Aku tidak akan bisa marah lama-lama kepada laki-laki ini. Cengiran bodohnya meluluhkan hati. Curang sekali. Namun, kali ini kubiarkan dia mengobatiku. Menambal sedikit hatiku yang sakit karena tingkah menyebalkan dari sekumpulan anak nakal barusan. Sebelumnya, dia menghentikan pendarahan di jariku dengan sapu tangan. Tidak banyak, tetapi cukup meninggalkan noda di kain kuningnya.
Mungkin banyak yang mengira sapu tangan tidak lagi berlaku karena sudah diciptakan tisu-sekali-pakai, tetapi mungkin orangtua Mikado masih mewajibkannya membawa ke sekolah. Dan terlihat berfaedah karena bisa ia pergunakan meskipun di luar kondisi kesehatan dirinya sendiri. Terkadang yang sederhana, tetapi tahan lama jauh lebih berharga daripada elegan, tetapi dalam waktu singkat terbuang begitu saja.
"Cepat sembuh, ya," ujar Mikado mengusap plester ke jari telunjukku. Memastikan bahwa sudah terekat dengan rapi tanpa terbuka celah sedikit pun.
Aku masih diam saja.
"Sudah, jangan sedih lagi," Mikado membujukku, tapi aku hanya menatap nanar jemariku.
Aku tidak tahu harus berkata dari mana. Ia terlambat datang juga bukan berarti jariku tetap aman-aman saja. Tapi dia berusaha menemaniku. Menepati janjinya meskipun sekarang sedang musim panas. Siapa saja yang didera mentari musim panas akan lebih senang bersemayam di bawah pendingin ruangan.
"Ah, aku tahu! Makan stik matcha saja. Kau pasti tidak akan menolak, 'kan?"
Uh, dia menggodaku. Aku selalu menyukai stik manis dengan rasa teh hijau itu.
Mikado berdiri lebih dulu. Mengulurkan tangan. Karena tidak tega melihat raut antusias di wajahnya, kujabat pula. Kami berjalan bersama menuju kombini. Letaknya sekitar tiga ratus meter dari taman. Tanpa ragu-ragu, Mikado mengambil sekotak stik matcha kesukaanku. Kami segera mampir ke kassa untuk melakukan transaksi. Namun, laki-laki itu juga yang membayarkan makanan kesukaanku.
Kami berjalan ke sana hanya untuk sekotak stik matcha.
Mungkin petugas kassa diam-diam menggelengkan kepala, tetapi persetan, kami hanyalah bocah yang memiliki kehidupan petualang. Sebenarnya titel itu cocok untuk Mikado yang memulai hal ini duluan.
"Nih, aku bayar," kataku merasa tidak nyaman karena mendapatkan makanan cuma-cuma.
Mikado menggeleng cepat. "Membayar atau tidak jadi temanku lagi? Aku ikhlas, kok!"
Kembali ke taman, Mikado memberikan kotak stik itu kepadaku. Aku segera membuka isinya. Kalau Ibu tahu, ia pasti akan mengomeliku. Maka aku harus segera menghabiskan stik-stik ini sebelum tertangkap basah. Kukira Mikado akan berceloteh proses pembuatan fondant chocolat yang ia buat, tetapi ia justru malah menatapku.
Aku mengernyitkan dahi. "Kau kenapa?"
Mikado mengulurkan tangan dengan tatapan penuh harap. "Bagi stik matcha-mu satu."
Langsung saja kusembunyikan kotak stik di belakang tubuhku. Menjulurkan lidah. Barang yang sudah diterima tidak boleh dikembalikan. Salahnya tadi tidak mau menerima bayaranku.
"Nggak mauuu! Ini kesukaanku!"
Masih tidak menyerah, Mikado mengetuk dahi beberapa kali. Posenya sedang berpikir sangat menggemaskan. Juga menarik. Tapi aku tidak akan segera menyerah begitu saja hanya karena tampang. Aku bersikeras memilih memandang angkasa, meskipun melihat laki-laki itu beratus-ratus kali lipat lebih menarik.
Sebuah bohlam lampu imajiner tampak menghiasi benaknya. Manik hijau Mikado terpancar, berseri-seri. Dia sepertinya seolah menemukan ide brilian yang mengungguli penemu lampu pijar. Tapi tentu saja sehebat apapun idenya, aku sudah meyakini untuk tidak luluh. Semoga idenya tidak gila.
"Baiklah, ada bayaran maka ada barang," ucap Mikado, "kalau ditukar dengan sepuluh kupon pelukan gratis dariku, bagaimana?"
Yang jelas, Mikado memang gila. Teman kecilku. Menawarkan dengan wajah seolah tidak melakukan dosa apapun. Wajahku merah. Merah padam seperti buah tomat yang kubenci. Tetapi tidak dengan perasaanku.
Desiran aneh ini membuatku dilema. Sepintas terbayang; akankah ia berani memelukku? Aku ingin tahu. Tapi akal sehatku bekerja lebih utama daripada suara hatiku. Aku tidak mau pingsan di tempat.
"... A-HO!" seruku menjitak kepalanya.
Ia meringis kesakitan, tetapi tetap memasang cengiran. "Atau ditukar dengan kueku!"
Sekali mengingini sesuatu, ia tidak menyerah. Tetap menagih-nagih stik matcha kesukaanku. Senar biola yang menyakiti jari segera terlupakan. Tidak perlu banyak orang di sisi, tetapi kehadirannya seolah cukup untuk melengkapi. Dia tetap teman kecilku.
Mikado--- pengalaman termanisku, semasa duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.
- OMAKE -
Hingga kini pun, seorang Sekimura Mikado tetap saja teman kecilku. Yang eksentrik dan memakai kacamata. Selain itu, sang otaku yang mencintai mahou shoujo asal dua dimensi. Tidak banyak hal yang berubah di antara aku dan dia. Hanya saja fisik karena pubertas. Menjadi remaja yang duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Kau tahu, hari ini Mamirin meluncurkan kostum terbarunya, loh!" seru Mikado penuh antusias.
"Mika, kau...," ucapku memijat dahi, "Aho."
Mikado merapikan letak kacamatanya. "Heee? Apa salahku?"
"Bukan apa-apa," tukasku berjalan beberapa langkah lalu mendahuluinya.
Tangan Mikado terulur. Memegang pergelangan tanganku. Ia memasang senyuman cerah. Senyuman yang selalu kusukai. Dulu, bahkan kini sekali pun.
"Bagaimana jika kita berbagi stik matcha hari ini?" ajak Mikado.
Tertarik, aku menyahut, "Oke. Yang kalah harus membayar! Jan ken pon!"
Penuh semangat, kami melakukan permainan secara bersamaan. Tanganku meluncurkan kepalan yakni berupa batu sedangkan Mikado tetap pada posisi lima jari terbuka. Ah, aku kalah. Biasanya aku jago dalam peruntungan seperti ini. Karena sudah ditetapkan, aku akan mengalah.
"Baiklah, aku tidak merebut stik matcha-mu," kata Mikado begitu melihat raut sedih terpancar di wajahku. Mungkin dia tidak tega. Bagus.
Aku mengerjap bingung. "Terus tadi jan ken pon demi apa?"
Mikado tampak memikirkan sesuatu. Sebuah jentikan memecahkan keheningan di antara kami.
"Kalau ditukar dengan sekali kencan denganku, bagaimana?" tawar Mikado tampak antusias, "sekalian temani aku beli asupan Mamirin."
Menggembungkan pipi, aku berkata, "Hmph! Terserahmu saja, AHO!"
Demi Mamirin, sepertinya perjuanganku menggapai hatinya masih panjang. Tapi tidak apa-apa. Aku masih punya harapan, bukan?
- FIN -
words: 1906
A/N:
Akhirnya kelaaar~! Ini asupan khusus untuk adique yang kupungut secara tidak berdosa bernama runasaki (balasan dari G-Project dan asupan mz tomo). Semoga suka. Maap sering nggak sempat rp-an ;')))) ///
Ke depannya, semoga ketiga belas karakter dengan titel osananajimi bisa terselesaikan di tahun 2017!
With love,
Agachii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro