an imaginary future - masunaga kazuna
Dulu, ibu sering terlambat menjemputku sepulang sekolah. Oleh karena itu, aku sering bermain rumah-rumahan. Bertindak layaknya ibu rumah tangga idaman.
Tapi ....
Tiada yang bersedia menjadi suami virtualku. Wajar saja, sih. Laki-laki umumnya akan senang bermain sesuatu yang menantang; sepak bola. Setelah melihat gelas mainan pasti sudah menatap jijik. Kemudian mengolok-olok.
Hari itu, aku main sendirian. Semua temanku telah dijemput oleh orangtua mereka. Lama-lama jadi bosan bila sendirian.
"Ano ... aku boleh ikut bermain? Sepertinya seru," tanya seorang pemuda berambut jingga.
Iris hijaunya meneduhkan. Sempat dibuat terpesona, aku hanya mengangguk kaku.
"Boleh."
Terukir senyuman lembut. "Namaku Masunaga Kazuna. Kalau begitu ... peranku apa?"
Aku menggaruk tengkuk. "Jadi s-suami. Dan um, namaku [Full Name]."
Dia pasti takut.
Dia ... pasti langsung enggan bermain denganku.
Gumaman itu terucap berkali-kali dalam batinku. Aku telah terbiasa mendengar skenario terburuk dari banyak lelaki. Alhasil, aku sering kali berpikir negatif.
"Yosh, baiklah. Istriku, [Name], yoroshiku onegaishimasu."
Aku menganga lebar saat uluran tangan itu terarah kepadaku.
Kazuna--- satu-satunya lelaki yang mau bermain rumah-rumahan denganku.
an imaginary future - masunaga kazuna
× × ×
Momotaro's part:
I can't forget about you
Don't leave me alone
Kazuna's part:
Wherever let you go
Please come back again
[Opening part of Summer Mermaid]
× × ×
"Gaun pernikahan ini pasti cocok untukmu."
"A-ah masa?"
"Yakinlah. Kau cantik bila mencobanya. Apalagi ...."
"Um ...?"
"Bila kau bersedia mengenakannya untukku."
b-project (c) MAGES
Rate: T+
Inspired song: Summer Mermaid - MooNs
by agashii-san
.
.
.
Kalau diingat-ingat, hobi bermain rumah-rumahan adalah satu dari sekian kenyataan yang paling memalukan. Lagi-lagi, aku memimpikan Kazuna versi duduk di bangku sekolah dasar. Tidak bisa kuelakkan. Dia sangat menggemaskan dalam khayalan.
Teman sejak kecilku.
Aku merutuki masa lalu itu. Kazuna berpisah denganku sejak SMP kelas dua. Jadi, kalau diingat-ingat, kami berteman sekitar tujuh tahun. Tapi dia diharuskan pindah ke sebuah sekolah elite yang tidak akan pernah tergapai oleh kaum jelata--- itu aku.
Sejak saat itu, aku dan dia resmi putus kontak.
Keakraban di dunia nyata sebenarnya sangat dipengaruhi jarak. Memang renggangnya jarak tidak selalu memisahkan. Tapi realita sering kali berkata buruk; kami tidak pernah berbicara lagi.
Kazuna versi dewasa itu ... seperti apa, ya?
Sebenarnya, aku tidak kolot teknologi meski berandai-andai seperti tadi. Globalisasi semakin merajalela. Media sosial seakan menguak jejak siapapun selebar mungkin.
Kalau perlu, aku bisa saja mengetik nama "Kazuna" di mesin pencarian google. Tapi tentu saja aku tidak senekad itu dalam mencari identitas seseorang. Kecuali kalau aku telah menggila. Syukur saja, aku masih sehat secara jasmani dan rohani.
Namun, hingga kini, aku terlalu takut untuk mencoba. Bila berhasil mendapat jejak Kazuna, tetapi tidak sengaja menekan tombol hati merah di posting-an fotonya. Atau bila akun Kazuna diprivat, maka saat ingin tahu fotonya berarti aku harus mengajukan permintaan "mengikuti".
Dan artinya; aku akan tertangkap basah karena masih ingin tahu tentang hidupnya. Ketahuan bila aku diam-diam ingin tahu karena menyukainya. Layak penguntit ilahi.
"Oh, si [Name] ternyata masih nggak bisa move on dariku, ya? Gadis malang."
HIEEEEEY!
Atau ... haruskah aku membuat fake account?
Mungkin pemikiran ini semakin tidak logis; sepertinya sedang dehidrasi.
Kuteguk air mineral yang telah terisi penuh sebelumnya dari dispenser ke dalam tumbler-ku.
Jadi itulah yang kuantisipasi terlebih dulu. Agar tidak sampai terjadi--- bila tidak, kiamat siap merundung kehidupan seorang [Full Name].
Selain itu, aku tidak akan berpikir kelewat naif.
Tentu saja setelah tiga sampai empat tahun berpisah, pasti dia punya satu atau dua mantan. Hidup sebagai lelaki yang ramah. Sering ditunjuk sebagai pemimpin. Pasti menonjol dan mudah disukai.
"Selamat siang."
Aku segera bangkit dari kursi. Sepasang kekasih yang berbahagia datang kepadaku. Ada aura binar imajiner di sekitar mereka.
Interior serba putih yang disusun begitu elegan yakni besutan dari sang Bibi. Aneka gaun dari tradisional hingga internasional khusus pernikahan bertebaran dalam sebuah ruang berdinding kaca. Selain itu, beragam manekin memajang busana bermodel mermaid disuguhkan untuk menarik perhatian.
"Siang, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sembari memegang notes.
"Kami ... akan melangsungkan pernikahan. Dengar-dengar, di sini bisa melakukan seluruh persiapan." ucap calon mempelai pria.
Aku mengangguk mantap. "Tentu. Akan kupanggilkan atasan agar bisa membahas lebih rinci."
Atasan--- sang bibi. Pasalnya, aku ditugaskan sebagai frontdesk. Tapi karena sejumlah pegawai yang berhenti bekerja, tugasku jadi bertambah. Usai menghubungi Bibi, mereka dihadapkan ke ruangan konsultasi.
Saat melihat pasangan itu mengeratkan gandengan penuh kasih sayang, hatiku menghangat seketika. Mereka menebarkan benih-benih harapan. Yang sekaligus berujung meninggalkan jejak iri.
Masa depan itu. Seperti gadis-gadis pada umumnya. Menikah. Lalu menjalani rumah tangga. Aku ingin juga.
× × ×
Pasangan itu ternyata setuju; memercayakan penyelenggaran pernikahan kepada Bibi. Mulai pemotretan pre-wedding, tata rias, kartu undangan, hingga acara resepsi. Biasanya, sejumlah pasangan hanya meminta salah satu bantuan. Mungkin mereka tidak ingin repot berpindah-pindah lokasi.
"Perhatian. Mereka mengeluarkan banyak uang untuk segala persiapan ini. Misi kita kali ini cukup berat," tutur Bibi mengumpulkan seluruh staf yang nyaris perempuan.
Aku meneguk ludah. Biasanya, Bibi selalu berkata-kata dengan nada santai.
"Deadline kita pas satu bulan. Karena kita butuh banyak tenaga, kali ini ada satu lagi rekan yang menemani kita. Kazuna, masuklah."
Mataku langsung membola penuh. Apa karena tadi aku terlalu lama melamunkan pemuda itu? Yang tadi pasti hanya salah dengar. Ada yang salah dengan pendengaranku, mungkin.
"Siang, semuanya," sapa pemuda bersuara ramah. "Masunaga Kazuna, siap bekerja dalam tim. Mohon bantuannya."
Ternyata tidak salah lagi. Memang dia. Tuhan, semoga jantungku tetap baik-baik saja. Saat mendengar marganya, aku tidak kuasa lagi mengelak.
"Mari saling memperkenalkan diri. Yang ini keponakanku, [Full Name]," tutur Bibi menepuk bahuku.
Kazuna terlihat bergeming sejenak. Tak lama, ia segera tersenyum. "Begini ... kami sudah saling kenal. Dulu pas masih SD, [Last Name] manis sekali saat bermain rumah-rumahan."
Bibi terkekeh, "Wah, benarkah? Kalau sudah saling kenal pasti lebih baik. Kebetulan [Name] sering kutunjuk sebagai wedding organizer."
Aku meneguk ludah penuh frustrasi. Kenapa tepat di bagian "rumah-rumahan" dari sekian kejadian bertahun-tahun lamanya?
Salah satu pegawai mengusap dagu. "Heh? [Name]-san ternyata dulu suka bermain yang seperti itu, ya?"
"[Name], karena Kazuna masih baru, dia akan jadi bawahan yang harus dibimbing. Mengerti?"
Aku mengernyitkan dahi, tapi tidak bisa menolak permintaan Bibi. "Baiklah."
Sebelum pemuda itu melontarkan sesuatu yang semakin menghancurkan reputasiku, aku memegang pergelangan tangannya.
"Bi, aku pinjam dia sebentar, ya!" sergahku lalu membawanya pergi.
× × ×
Napasku terengah-engah. Kami berada di halaman belakang gedung bridal. Aku tahu rambutku yang tergerai sudah berantakan akibat tiupan angin.
"[Name] ... masih nggak berubah, ya."
Aku mengelap peluh yang bercucuran di pelipis.
"Pokoknya, kau tidak boleh menceritakan kejadian apapun. Kita hanya teman lama. Tidak lebih."
Kazuna menyentuh anting hitam yang tersemat manis di telinga. "Begitu, ya? Padahal aku tidak menganggap hubungan kita seperti itu. Nggak sesimpel itu."
Alisku tertaut, tidak paham.
Tunggu.
Jangan-jangan maksudnya ... dia tidak suka berteman denganku?
Tuh kan, aku bertingkah naif lagi.
"Kita hanya bersama karena tim," ucapku pelan lalu berbalik badan. Mendahului Kazuna yang berada di belakangku.
"Apa tidak bisa?"
Aku menoleh. "Eh?"
Kazuna tersenyum kaku. "Bukan apa-apa. Mari bekerja."
× × ×
Meski begitu, sepertinya ucapanku ke Kazuna tidak merenggangkan jarak sama sekali.
Lusa kemudian, kartu undangan sudah didatangkan dari percetakan. Isinya lumayan berat--- telah ditampung sebanyak tiga kardus. Jumlah kartu undangan dari pasangan lusa lalu ternyata amat banyak disebarkan; sekitar lima ratus.
Biasanya pegawai sering membiarkan pekerjaan ini terbengkalai. Mereka lebih senang melakukan fitting gaun atau merencanakan lokasi pre-wedding. Jadi, aku yang membawa kardus itu.
"Sini, aku yang bawa," ujar Kazuna mengangkat kardus itu dari tanganku.
"Masih ada dua dus di sana. Nggak usah," tuturku menunjuk arah kardus di sudut pintu.
"Kalau dilakukan berdua akan lebih cepat. Mau ditaruh ke mana?" tanya Kazuna.
"Lantai dua," jawabku, "taruh saja di dekat meja kerja."
Mengiakan, Kazuna sudah menaiki anak tangga. Aku menyusul di belakang sambil membawa kardus lain.
Kalau dilihat-lihat, ternyata bahu Kazuna ... lebih lebar dariku.
"[Name], tangganya sudah nggak ada lagi."
Kakiku mengudara. Pantas saja ada yang tidak beres. Ini karena aku keasyikan melihatnya terlalu lama.
"Ah ... tidak terasa, ya. Ahahahaha."
Kazuna menggeser kursi putar di dekat meja lalu diarahkan kepadaku. "Duduklah."
"Masih ada sekardus lagi."
"Biar aku yang ambil. Sepertinya kau kurang tidur. Sekalian kuantarkan secangkir kopi."
Sebelum mendengar bantahanku lagi, Kazuna sudah menuruni anak tangga. Aku menggeserkan diri dengan sekali dorong menuju laci meja. Mengambil pisau cutter untuk membuka kardus.
"Tidak baik menganggur di saat semuanya sedang bekerja!" kataku bermonolog lalu membongkar kartu dari kardus.
Tidak lama, semilir aroma kopi menguar.
"Douzo," ucap Kazuna menghentikan aktivitasku sejenak. "Kalau terlalu pahit, tersedia krimer bubuk di dalam kantong."
Aku memegang gelas yang menunjukkan kepulan asap. "Arigatou."
Kazuna mengambil kursi lipat lalu duduk di sebelahku. "Kartu ini akan diapakan?"
"Dicek kembali nama sesuai dengan data fotokopian. Kalau sudah, nanti siap diantar ke alamat mempelai pria dan wanita untuk disebarkan secara personal," kataku.
Kazuna mengangguk paham. Aku menyerahkan fotokopian data serta stiker barisan nama tamu yang siap ditempel. Sekitar belasan lembar. Kami berdua saling diam akan kesibukan. Sesekali menyesap kopi.
"Pernikahan itu sesuatu yang sangat sakral, ya?" gumam Kazuna menempel stiker.
Aku mengangguk pelan. "Begitulah. Yang semestinya terjadi sekali seumur hidup. Menjadi hari yang membahagiakan."
Kazuna menumpuk kartu yang sudah selesai ditempel. "Apa kau juga mengingini pernikahan itu. Tidak dalam waktu dekat, tapi suatu saat di masa depan?"
Tersenyum tipis, aku mengangguk. "Tentu. Tapi ... nggak ada calonnya. Jadi, sejauh ini pernikahan hanya akan jadi angan-anganku."
Kenapa rasanya seperti mengalami déjà vu?
"Kalau sudah ada calon, bagaimana?"
Aku memiringkan kepala. "Eh? Memangnya ada? Siapa?"
Kazuna menggaruk tengkuk. "Aku."
Terhenyak, stiker tamu yang kucongkel berhasil mengudara.
"Aku menyukaimu, [Name]. Apa aku boleh terlibat dalam angan-anganmu itu?"
Jadi ... yang tadi itu?
Yang di halaman belakang itu ...?
Apa maksudnya, dia--- Kazuna menyatakan perasaannya kepadaku.
Meski aku langsung menampar pipi kiri, tapi pipi kananku justru terasa panas.
Tidak bermimpi rupanya. Pipiku sakit.
"[Name], aku serius," tutur Kazuna.
Aku langsung bangkit dari kursi. Hal pertama yang kulakukan: tertawa sekaku-kakunya.
"Masunaga-san, kau pasti hanya terbawa momen. Jangan menggodaku setelah membahas rumah-rumahan waktu itu. Ini nggak lucu," elakku.
Kazuna membuang muka. Ucapanku tadi sepertinya memberikan efek terpukul kepadanya.
"Selama ini sulit sekali mencarimu."
Aku mengusap lengan. "Kenapa kau harus mencariku? Kita hanyalah dua orang yang terjebak momen waktu itu."
Meninggalkan lelaki itu dalam kesendirian, stiker yang dikumpulkan berakhir tercecer. Menapaki anak tangga yang membawaku pergi. Ia tidak memanggilku. Tidak menyusulku. Baguslah.
Karena ... aku tidak tahu cara menghadapinya.
× × ×
Saat aku kembali membenahi daftar tamu undangan, Kazuna tidak lagi ada di sana. Akan tetapi semua data sudah dirapikan dalam kardus. Dia pasti marah kepadaku. Tapi aku terlanjur kabur tadi.
Setelah itu, dia tidak bertugas di dalam ruangan. Bibi sering menyuruhnya bekerja di lapangan. Jadi, aku melanjutkan kesibukan lain. Manikku tidak sengaja menangkap manekin gaun putih mengembang penuh kemekaran.
Kartu ucapan, fitting gaun dan jas, pemotretan, dan pemilihan lokasi resepsi sudah dibereskan. Masih ada beberapa tahap yang harus diselesaikan. Hari pernikahan yang direncanakan tersisa dua minggu lagi.
"Kue bertingkat? Mewah sekali," takjubku saat Bibi mendapati kertas desain itu.
"Kertas ini jangan sampai hilang. Minggu depan, kita sudah harus menghubungi spesialis kue. Kisaran penyelesaian akan memakan waktu empat sampai lima hari."
Aku mengangguk paham. Konsep pernikahan yang direncanakan kali ini berlatar elegan, hangat, dan manis. Karena jumlah tamu sangat banyak, lokasi resepsi dilangsungkan di taman--- zona outdoor.
"Di hari itu, mereka ingin kita bergabung juga ke pesta itu. Sepertinya memang sengaja diadakan besar-besaran."
Manikku melebar. "Kita ... ikut berpesta juga?"
Bibi mengangguk. "Kau tidak tahu? Saat itu, kenakanlah gaun termanismu ke sana. Siapa tahu, kau dan Kazuna segera menyusul."
Aku langsung terdiam sebentar dalam keadaan pipi merona. "Kok jadi bahas Kazuna?!"
Bibi terkekeh. "Semuanya sudah tahu kalau ada 'apa-apa' di antara kalian."
Memegang kedua pipi, aku menggerutu, "Bibi, jangan menggodaku. Kami tidak ada apa-apa."
"Tapi ... kulihat Kazuna terlihat muram. Apa karena aku sengaja membiarkannya tidak menemuimu, ya?"
"BIBIIIIIII!" seruku histeris.
× × ×
Tim bekerjasama dengan baik. Setelah dikejar waktu dan mempercepat aktivitas, kesibukan semakin menipis. Baik aku dan Kazuna masih tidak berbicara satu sama lain. Kalau ada, itu pun hanya seputar pekerjaan.
"Hari ini tepat pemberkatan pernikahan," ucap Bibi. "[Name], temanilah Kazuna ke gereja."
Aku menunjuk diri. "Kenapa ... aku? Siapa yang nikah memangnya?"
"Tamu kita yang waktu itu, tepatnya, mempelai wanitanya adalah kakak sepupu Kazuna. Kazuna, ada bawa mobil, kan?"
Kazuna mengambil kunci mobil. "Bawa. Tapi kalau [Name] keberatan, saya bisa pergi sendiri."
"Ck, tidak boleh. Ikemen sepertimu bahaya kalau pergi sendirian. Nanti bisa-bisa babak belur disikat cewek nakal."
Hubungan kalian tidak bisa dibilang baik. Tidak buruk juga. Karena tidak mau menimbulkan kesan mencurigakan, aku tidak bisa menolak lagi.
"Aku pergi," jawabku singkat. "Sebagai bodyguard-mu. Aku tak mau bawahanku pulang dalam keadaan bonyok."
Kazuna bertanya, "Sungguh?"
Aku mengangguk. Usai pamit dengan Bibi, aku hendak mengekori Kazuna. Sebuah sedan putih terparkir rapi di depan gedung. Kazuna masuk lebih dulu. Disusul denganku yang duduk di jok sebelah pengemudi.
Kazuna bergeming sejenak. Tiba-tiba ia mendekatiku. Jantungku kembali berdesir aneh. Menahan napas. Setelah beberapa detik berlalu, ternyata dia memasangkan sabuk pengamanku.
"Te-terima kasih," cicitku tidak sadar sudah menyelipkan rambut ke sisi telinga.
Kazuna memegang setir. "Tidak masalah."
Suasana kembali sunyi. Kecanggungan kembali menyelimuti atmosfir di antara kalian. Aku memandangi jalanan penuh dilalui kendaraan roda empat.
"Maaf membuatmu takut waktu itu. Hari ini aku resmi berhenti bekerja di bridal."
Kata-kata Kazuna seakan menohok jantungku.
Aku menunduk, tanpa sadar mengeratkan sabuk pengamanku.
"Apa alasannya karena pembicaraan kita waktu itu? Apa karena aku menyebalkan? Atau karena kau membenciku?"
Dalam sekali tarikan napas, ternyata mataku sudah basah. Ah, aku tidak mau ketahuan menangis saat bersamanya. Tapi semua pemikiran itu bocor begitu saja.
Kazuna menghentikan mobilnya sejenak. "[Name] ... bukan itu alasannya."
"Lalu kenapa? Aku ... minta maaf karena tidak jujur dengan perasaanku sendiri."
Kazuna menyela, "Perasaanmu?"
"Bolehkah aku menaruh harapan kepadamu?"
Tersenyum, Kazuna mengusap air mataku.
"Aku bekerja sementara karena kakak sepupuku."
Aku membersitkan hidung, yang segera sigap diberi tisu oleh Kazuna. "Begitu, ya ...."
Kazuna memegang jemariku. "Tapi mulai saat ini, izinkan aku menetap di sisimu. Menjadi bagian dari angan-anganmu."
Hei, apa aku sanggup menolak permintaannya?
× × ×
o m a k e
× × ×
Seisi gereja berada dalam keadaan hikmad. Tak jarang, pengunjung yang menyaksikan pemberkatan pun menangis haru. Aku kembali menangis lagi--- karena bahagia. Apalagi ketika mendengar sumpah pernikahan yang membuat hati terenyuh.
Meski singkat, hatiku dibuat hangat sepanjang waktu. Kazuna kembali mengantarku ke bridal. Kukira dia langsung pulang, tetapi malah menemaniku yang sedang merapikan gaun yang dipilih tamu lain. Aku kerap menyuruhnya pulang, tetapi dia bersikeras tetap tinggal.
Kazuna membantuku, tetapi malah memungut sebuah gaun putih bermodel A-Line.
"Gaun pernikahan ini pasti cocok untukmu."
"A-ah masa?" gumamku malu-malu.
"Yakinlah. Kau cantik bila mencobanya. Apalagi ...."
"Um ...?" tanyaku saat Kazuna menempelkan gaun itu di tubuhku.
"Bila kau bersedia mengenakannya untukku."
• fin •
words: 2409
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro