Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

₍🕊₎ ..⃗. ꒰ The Little Red Riding Hood ꒱

The Little Red Riding Hood
– a Honkai Star Rail fanfiction

Blade x Sherry (OC)

Honkai Star Rail © Hoyoverse
Story & OC © Rashi-cchi

Warning! Slight OOC dengan selipan komedi, parodi dari The Little Red Riding Hood.

***

"Sherry, boleh bantu aku sebentar?"

Sang gadis yang tengah memakan camilan dan membaca buku digital di ponselnya dengan santai merasa terinterupsi kala mendengar suara lembut kakak perempuannya memanggil dari depan pintu kamar.

Mau tak mau, ia segera beranjak dari posisi damainya, membukakan pintu untuk sang kakak–sembari memandang gadis berambut pirang kecoklatan itu. "Kak Elena? Kenapa?"

"Kalau kamu mau suruh aku panen sayuran lagi, apa kakak lupa kalau terakhir kali aku melakukannya, semua sayurannya hancur–?" Gadis berambut hitam pekat itu terkikik geli, sekaligus miris–lantaran kala itu ia menarik paksa semua sayurannya sehingga semuanya patah dan hancur.

Sang kakak–Elena–hanya menggelengkan kepala sekaligus menghela napas berat. Ia tahu betul adiknya memiliki perangai yang ... sedikit kurang sabaran. "Aku tahu. Aku takkan mengulangi kesalahan besarku lagi."

"Aku mau minta tolong, boleh antarkan wine dan kue ini untuk kak Zariel?" Elena menyodorkan satu buah keranjang yang sudah ia siapkan sebelumnya. "Kemarin dia telpon mau titip belikan wine kalau aku pergi belanja. Sekalian bawakan kue untuknya, ya. Aku baru selesai memanggangnya."

Senyuman di wajah sang adik–Sherry–memudar, kala mendengar permintaan yang diberikan Elena. Ia memutar bola matanya dengan malas. "Ah, ribet."

"Kenapa sih dia tidak datang ke sini saja? 'Kan dia yang butuh. Malas betul dia jadi manusia."

"Heh, jangan bilang begitu." Elena menyentil kening adik perempuannya itu. "Kamu tahu sendiri, 'kan? Kalau ia sedang bekerja, ia tak bisa diganggu."

"Dia sebenarnya kerja apa sih, masa dia harus pergi ke rumah kecil di hutan tiap kali bekerja?"

"Entah? Yang penting uangnya banyak."

"...."

"Kenapa? Zaman sekarang, itu adalah jawaban paling realistis, tahu." Elena menghela napas. "Apalagi setelah ayah dan ibu meninggal ...."

"Sudahlah, ini keranjangnya ya. Tolong cepat antarkan untuk kakak kita sebelum ia marah-marah karena terlalu lama."

Meski dengan setengah menggerutu dalam hati, Sherry pada akhirnya menerima keranjang tersebut untuk diantarkan ke rumah kakak tertuanya. Elena mengantar Sherry sampai ke pintu rumah, sembari membawakan Sherry sebuah tudung merah.

"Pakai tudungnya, matahari terik sekali, takutnya kamu kepanasan lalu pingsan di jalan." Elena memakaikan tudung merah yang manis itu di kepala sang adik. "Hati-hati, ya. Jangan keluyuran. Setelah sampai di rumah kak Zariel, langsung pulang. Kamu masih ingat rumahnya kak Zariel di mana, 'kan?"

"... Oh iya. Aku lupa lewat jalan yang mana, hehe." Sherry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, seraya tertawa canggung.

Elena menepuk kening, baru teringat dalam benak bahwasannya sang adik sangatlah buta arah–bahkan mengikuti peta saja masih bisa membuatnya tersasar 3 kilometer. "Pokoknya, ikuti saja jalan setapak di hutan, lurus saja dan jangan belok ke mana-mana."

"Kamu harus hati-hati, lho. Aku dengar dari tetangga, sekarang ada serigala yang suka mengacau di hutan. Jangan mau diajak bicara dengan orang asing juga."

"Hmm, haruskah aku bawa senapan? Lumayan, nanti serigalanya bisa kita jual."

"Tidak usah ... belum tentu benar, 'kan? Lagipula rumahnya dekat, kok."

"Baiklah, baiklah." Sherry mengangguk paham.

Gadis itu mengencangkan ikatan tali tudung merahnya, kemudian membawa keranjang dan segera melangkah menuju kawasan hutan.

***

"Gawat. Ini di mana, ya?"

Sherry menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari jalan setapak yang tadi ia lalui. Seingatnya, ia sudah sesuai perintah dan mengikut jalan yang diberitahu Elena–tetapi, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja ia sudah tersesat di tengah hutan, tak ada tanda-tanda keberadaan jalan setapak di sekitarnya.

"Ponselku ... sepertinya aku harus menelpon kak Zariel untuk sharelock rumahnya, lebih bagus lagi kalau dia bisa jemput." Sherry merogoh saku celana, tetapi seketika wajahnya berubah pucat kala menyadari saku celananya hanya berisikan bon belanja di minimarket saja. "Eh, ponselku mana–?!"

Ia merogoh saku celana yang satunya, lalu mencari di dalam keranjang. Namun, hasilnya nihil. Sepertinya, ponsel Sherry masih ada di atas ranjang–ia lupa untuk memasukkannya lagi ke dalam saku. Senyuman pasrah terpampang jelas di wajah sang gadis. "Hehe. Mati sudah."

Bayangkan, kurang sial apa nasibnya? Sudah tersasar, tidak membawa ponsel pula. Apa lagi hal buruk yang bisa terjadi? Jangan-jangan nanti ada serigala yang benar-benar akan menerkamnya?

"... Grrr ...."

Sial, sepertinya dewa memang membencinya.

Dari arah depan, Sherry dapat mendengar suara geraman, diikuti dengan semak-semak yang bergerak. Mungkinkah itu serigala yang dibicarakan para tetangga? Tahu begini, Sherry sungguhan membawa senapan untuk proteksi diri.

Kalau sudah begini, ia bisa apa? Betul, pasrah dan memohon ampun pada yang kuasa supaya ia tidak dibuang ke neraka setelah mati nanti.

Suara langkah itu semakin mendekat. Sherry tahu, sang serigala akan segera muncul. Pandangannya menajam, memasang seluruh indra guna memastikan refleksnya akan bekerja jikalau ia diterkam dadakan nanti.

Namun–

"... Sedang apa kau di tengah hutan begini?"

–alih-alih serigala, sosok yang muncul adalah sesosok laki-laki dewasa dengan penampilan yang sangat rupawan, setidaknya menurut Sherry.

Suaranya yang dingin ditujukan pada Sherry. Netra merahnya tampak sangat tajam tetapi indah, memandang lekat-lekat pada Sherry yang masih menganga keheranan.

"... Aku tersesat." Sherry menjawab tanpa ada rasa beban, ia kemudian membuka tudung merahnya, kemudian menyunggingkan senyum pasrah pada laki-laki itu. "Kamu sendiri sedang apa di tengah hutan begini?"

"Aku tinggal di hutan ini." Lelaki itu menghela napas berat. Sepasang netra merahnya memandangi Sherry dari atas sampai ke bawah. "Sudah lama aku tidak bicara dengan orang asing ... biasanya, orang-orang akan lari ketika aku baru saja mendekati mereka."

"Mmm, mungkin kamu dikira serigala?" tebak Sherry. "Soalnya, sedang ada rumor serigala mengacau di hutan, sih."

"Ya, tidak salah. Aku memang serigala. Kau tidak lihat?" Laki-laki itu menggoyang-goyangkan telinga serigalanya yang tampak berbulu lembut.

Sherry yang melihatnya pun berbinar-binar kegirangan. Refleks, ia hendak menyentuh telinga laki-laki itu didorong oleh rasa penasaran.

"Jangan sentuh aku." Sayangnya, sang serigala terlebih dahulu menepis tangan Sherry dengan kasar.

"Aku hanya mau pegang telingamu, boleh?" pinta Sherry dengan sopan. Ia sudah sangat penasaran ingin menyentuh telinga yang lembut itu.

"Tidak."

"Ah. Sebentar, kok. Tiga detik?"

"Aku bilang tidak, ya tidak."

"Kamu pelit sekali, sih. Kutembak sampai mati baru tahu rasa," gerutu Sherry dengan sebal, ia melipat kedua tangan di depan dada dan menatapnya tajam.

Laki-laki itu membalasnya dengan tatapan sinis. "Sebelum kau berhasil menembakku, aku duluan yang akan mencabikmu sampai mati, tahu."

"Lagipula, memangnya kau bawa senapan? Aku tidak lihat kau membawanya, heh~" Seringai licik muncul di wajah sang serigala, kala menyadari sang gadis tak membawa persenjataan apapun.

"... Ketinggalan di rumah, hehe."

"Dasar bodoh."

"Kamu bilang aku bodoh?!"

"Ya, memang. Manusia gila macam apa yang masuk ke tengah hutan tanpa membawa perlindungan diri?" Sang serigala menghela napas berat, kala si gadis di hadapannya sangatlah ceroboh. "Kau beruntung aku hanyalah setengah serigala. Kalau kau bertemu serigala asli, mati sudah."

"Sudah kubilang, aku tersasar. Harusnya, aku langsung sampai di rumah kakakku lalu pulang setelah mengantarkan kue ini, tahu." Sherry memutar bola matanya dengan malas, sudah enggan berdebat dengan serigala yang sangat menyebalkan itu.

"Terserah kau sajalah. Aku tak peduli." Ia menghela napas sekali lagi, kemudian membalikkan badannya untuk mulai melangkah jauh ke dalam hutan. "Ya sudah, aku mau ke dalam hutan. Kau cepat kembali ke jalan setapak, sana."

Saat sang serigala hendak melesat pergi jauh ke dalam hutan, ia dapat merasakan lengan pakaiannya ditarik paksa oleh gadis itu. Kesabarannya sudah setipis kertas, sebenarnya apa yang diinginkan gadis gila itu, sih? Ia tak habis pikir. "Apa lagi?"

"Boleh antar aku ke jalan setapak? Aku ... tersasar dan buta arah, hehe."

Pada detik berikutnya, ia hanya menepuk keningnya dengan frustrasi. Dari sekian orang yang pernah ia temui, gadis satu ini merupakan orang terkonyol dan tidak masuk akal yang pernah ia temui. "Kenapa aku harus mengantarmu? Kau mau hilang di tengah hutan juga bukan salahku."

"Kalau aku tidak kembali, otomatis kakakku akan mencariku, lho." Sherry melipat kedua tangannya di depan dada dengan senyum percaya diri. "Kakak tertuaku, kak Zariel, semisal dia tahu aku hilang di hutan, aku jamin dia akan berasumsi aku mati dibunuh olehmu–serigala, dan dia pasti akan mengejarmu sampai mati."

"Tunggu, tadi siapa nama kakakmu?"

"Kak Zariel. Memangnya kenapa?"

Sherry tampak melihat laki-laki itu tertegun beberapa saat sebelum menghela napas berat. Mau tak mau, laki-laki itu menerimanya. Ia memijat pelipisnya, sungguh sial sekali dirinya hari ini. "Tsk. Ya sudah, aku akan mengantarmu, tapi hanya sampai ke jalan setapak saja."

"Nah, begitu dong~"

***

"Jadi, namamu itu Blade? Unik juga ...."

Sherry tak henti-hentinya berbincang sepanjang jalan, meski sejak tadi lawan bicaranya membalas dengan setengah hati–atau tak jarang juga mereka nyaris sahut-sahutan kata-kata kasar lantaran perkataan yang menyebalkan satu sama lain.

"Unik, kah? Baru kali ini ada yang bilang begitu," ujar Blade sembari terus melangkah.

Sejak tadi, Blade terus memandu jalan dengan memperlambat langkah kakinya–bukan, bukan karena ia ingin berjalan lebih lama dengan Sherry. Hanya saja, tadi ia sempat meleng sedikit dan berjalan duluan, tahu-tahu gadis itu sudah hilang dari pandangan dan tersasar lagi ke dalam hutan. Beruntung, Blade melihatnya dan berhasil menarik gadis itu ke sisinya. Kini, ia memastikan untuk menyamakan langkah dengannya, daripada ia hilang lagi, 'kan?

"Hm, jujur daripada unik, lebih cocok disebut aneh sih."

"Kau ini daritadi minta dihajar ya?"

Tuhan. Dosa apa Blade sampai harus berhadapan dengan Sherry? Jika bisa, ia ingin meninggalkannya saja rasanya. Namun, karena suatu alasan, ia tidak bisa meninggalkannya seorang diri.

"Ya kamu pikir saja, nama Blade itu siapa yang mau pakai, sih? Cuma kamu saja, tahu."

Blade menghela napas untuk kesekian kalinya. Bocah sinting ini memang sangat menguras kesabaran. Boleh tidak, Blade terkam saja dia sekarang? Ia sudah lelah, sepanjang jalan kalau tidak diam ya beradu mulut dengan gadis itu. "Nama asliku bukan itu, tapi banyak yang memanggilku Blade. Jadi, ya sudah. Terjadilah."

"Kalau begitu, siapa nama aslimu, Blade?"

"Kau tidak perlu tahu."

"Ah, kamu sok misterius sekali."

"Berisik. Lama-lama kutenggelamkan juga kau ke dalam sungai."

"Galaknya~"

Blade memilih untuk bungkam dan tidak memperpanjang, jika diteruskan, kesabarannya akan menipis lagi. Jujur saja, kesabaran Blade setipis kertas dan suatu keajaiban baginya karena dia bisa menahan diri untuk tidak mendorong gadis itu ke jurang terdekat.

"Ngomong-ngomong, Blade. Soal serigala pengacau yang dilihat pada warga itu–kamu pelakunya, kah?" tanya Sherry.

Blade melirik Sherry yang tampak antusias dan penasaran. "Itu serigala asli, mereka mencoba keluar dari teritori mereka dan ingin mengacau di teritoriku."

"Yah, aku berhasil membunuh beberapa dari mereka, sih. Lalu, mereka pulang dengan sendirinya."

"Kamu membunuh serigala–?" Sherry mengernyitkan kedua alisnya keheranan. "Serigala itu temanmu, kan?"

"Siapa yang berteman dengan serigala keparat itu–? Karena dia, aku terpaksa jadi setengah serigala." Blade memejamkan mata kala mengingat masa lalunya. "Membunuh mereka saja tidak cukup untuk balas dendam ... padahal, aku hanya ingin hidup damai sebagai manusia."

"Oh ... ternyata kamu dulunya manusia, toh." Sherry mengangguk-angguk prihatin. Ada rasa kasihan yang terpampang di binar mata hitamnya itu. Ia mengusap pelan lengan Blade. "Aku ikut bersimpati."

"Jangan kasihani aku. Itu hanya masa lalu," jawab Blade sebal, ia menepis tangan Sherry kasar.

"Dulu waktu masih manusia, kamu seorang mahasiswa, kah? Atau sudah bekerja?" Menyadari Blade tidak suka dikasihani, Sherry pun mengalihkan topik pembicaraan. "Kalau aku, sekarang aku mahasiswi tahun ketiga."

"Apa ya ... dulu aku bekerja, sih."

"Oh ya? Sebagai apa?"

"Pembunuh bayaran."

Sherry menjauh beberapa langkah dari Blade kala mendengar jawabannya. Menyadari gadis itu menjauh, Blade menarik Sherry untuk kembali mendekat, ia merangkul gadis itu erat-erat. "Heh, jangan kabur. Aku hanya bercanda."

"Aku tergabung dalam militer bersama dengan teman-temanku."

"Teman-temanmu ada yang jadi serigala juga, kah?"

"Sialnya, hanya aku. Dulu tanpa sengaja aku membunuh raja serigala dan berakhir jiwanya mengutukku menjadi setengah serigala begini," jawab Blade dengan nada kesal. "Hm, mereka masih suka mengunjungiku ... Kafka, Silver Wolf, yah–sayang sekali aku diberhentikan dari militer karena kutukan konyol ini."

"Karena itu ya kamu memilih mengasingkan diri di hutan?"

"Kurang lebih begitu. Lama-lama, aku nyaman tinggal di hutan, sampai punya teritori segala."

"Tapi karena ini, kamu selalu sendirian, 'kan?"

"Aku tidak sendiri–oh, hei. Kita sudah sampai di jalan setapak."

Sebelum Blade menyelesaikan kalimatnya, ia memotong sendiri kala mereka sudah keluar dari dalam hutan dan berhasil menemukan satu-satunya jalan setapak di hutan itu. Sherry terlonjak senang, sekarang ia tinggal menyelesaikan tugasnya untuk mengantarkan kue dan wine untuk sang kakak.

"Terima kasih sudah menuntunku sampai ke sini, Blade." Sherry tersenyum manis, kemudian menggenggam erat kedua tangan Blade. "Bagaimana kalau mampir sebentar ke rumah kakakku? Tidak jauh dari jalan setapak, kok."

"Tidak usah. Tugasku sudah selesai." Blade menghela napas pelan. "Aku pergi, ya? Kau tinggal jalan lurus saja, jangan berbelok."

"Kalau sampai tersasar lagi, biar saja kali ini aku takkan menolongmu."

"Iya, iya. Kamu bawel sekali sih seperti kak Elena," gerutu Sherry dengan sebal. Sekali lagi, netra hitamnya dibawa untuk memandang netra merah milik Blade. "Jadi, kita berpisah di sini?"

"Iya."

"Bisa tidak kita bertemu lagi?"

Blade hanya mengacak-acak rambut Sherry sembari tersenyum tipis. "Nanti juga kita bertemu lagi. Jangan khawatir."

Mata Sherry berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis. Meski baru bertemu selama beberapa jam dan sikap Blade tidak terlalu menyenangkan, bagi Sherry momennya bersama laki-laki itu sangatlah berkesan. Ia menghargai tiap obrolan yang mereka bicarakan, meski tak jarang pula mereka beradu mulut.

"Selamat tinggal, Blade ... senang bisa bertemu denganmu."

"Mmm. Sampai jumpa, Sherry." Untuk pertama kalinya, Sherry dapat melihat Blade yang tersenyum, meski sangat samar-samar. Laki-laki itu meraih punggung tangan Sherry dan mengecupnya pelan. "Aku pergi dulu."

Tanpa sadar, Sherry merona. Pada detik berikutnya, Blade sudah pergi terlebih dahulu, meninggalkan Sherry seorang diri.

***

Setelah melalui rintangan kecil–tepatnya, Sherry agak tersasar lagi–pada akhirnya, gadis itu berhasil tiba di rumah sang kakak dalam keadaan selamat tanpa ada luka sedikitpun. Ia mengetuk pintu rumahnya beberapa kali dan memanggil sang kakak, "Kak Zariel! Ini aku, Sherry!"

"Masuk saja. Pintunya tidak dikunci." Suara berat yang khas milik kakaknya terdengar dari dalam sana.

Sesuai perintah, Sherry pun meraih kenop pintu dan kemudian memasuki rumah kakaknya tanpa basa-basi. Buru-buru, ia menghambur masuk dan menghampiri kakaknya yang duduk santai di sofa ruang tengah.

"Kak Zariel, kakak harus tahu kalau hari ini aku bertemu dengan serigala!" Sherry segera duduk di samping sang kakak, kemudian meletakkan keranjang yang ia bawa-bawa sejak tadi. "Jadi aku–"

Zariel terlebih dahulu memotong perkataan sang adik, ia menyentil kening Sherry dengan gemas. "Mana sopan santunmu? Minimal, sapa aku dengan ucapan selamat sore atau apa lah lalu jelaskan kenapa kau datang sesore ini."

"Tsk. Selamat sore kak Zariel yang murah hati dan pengertian, maaf aku datang terlalu sore sebab–aku tersasar, hehe." Sherry menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Ia lalu membuka tudung merahnya. "Jadi, aku sempat tersasar dan aku ditolong oleh serigala."

"Kalau kau tersasar sih memang sudah tidak aneh," kata Zariel tanpa dosa–ia sudah tahu adik bungsunya itu buta arah. "Kau? Ditolong serigala?"

"Iya! Dia tinggi, agak seram tapi sebenarnya baik. Menyebalkan, tapi aku suka saat bersamanya." Sherry menjelaskan dengan nada antusias, seolah-olah ia ingin kakaknya mengetahui semua kisahnya bersama Blade. "Sayang sekali dia keburu pergi. Padahal, aku suka–"

"Harusnya kau bilang kalau kau suka padaku saat tadi masih bersamaku."

Jantung Sherry seolah terhenti ketika mendengar suara khas yang menyebalkan itu. Ia menoleh patah-patah ke belakang, betapa terkejutnya Sherry ketika melihat sosok serigala yang tersenyum angkuh padanya.

"Blade–?! Kenapa kau ada di sini?!" Sherry menatap Blade dengan tidak percaya, kemudian atensinya beralih pada sang kakak. "Kak Zariel! Kenapa Blade ada di rumahmu?!"

"Memangnya aneh aku ada di sini? Lagian, ini 'kan rumahku."

Sebentar, sebentar. Entah Sherry yang terlalu lama berpikir atau memang terlalu banyak informasi yang harus ia gali sekarang juga. Ini sangat membingungkan. Sherry terlalu syok sampai-sampai tidak tahu harus berkata apa lagi.

Zariel hanya menghela napas berat, disusul dengan ia yang berdiri dari sofa dan mendekat ke arah Blade. Ia menepuk bahu mantan rekan kerjanya itu, "Tadinya aku mau mengenalkan adikku padamu supaya kau tidak kesepian amat. Ternyata, sudah kenalan duluan, toh. Pantas kau lama sekali di luar, padahal katamu cuma jalan-jalan."

"Aku mau merokok dulu di luar. Kau ngobrol sana dengan Sherry, dia kebingungan." Zariel menepuk-nepuk punggung Blade pelan, pada detik berikutnya ia mendorong laki-laki itu untuk mendekati Sherry. "Sudah, sana."

"Bawel sekali kau Zariel. Tanpa kau suruh aku juga akan bicara dengan bocah ini," gerutu Blade sebal. Ia tahu Zariel memang seniornya dalam militer dulu, tapi terkadang sikapnya terlalu menyebalkan.

Kendati demikian, bukan saatnya ia menggerutu. Blade memilih untuk duduk tepat di samping Sherry yang masih tampak mencerna informasi yang ia terima.

"Kenapa kau bengong seperti orang tolol begitu?" cibir Blade dengan pedas. "Intinya, ini adalah rumahku. Kakakmu adalah seniorku dalam militer, terkadang ia menginap di sini–katanya untuk menemaniku supaya tidak bosan. Ia sudah bilang adiknya mau ke sini–dan ternyata itu kau. Kebetulan kita bertemu saat aku sedang jalan-jalan di hutan. Sampai sini ada pertanyaan?"

Sherry bergeming, meski disebut tolol oleh Blade ia tak memilih untuk membalas. Ia mencerna informasi yang diberikan oleh Blade, lalu ia bertanya, "Jadi–dari awal kamu sudah tahu kalau aku adiknya kak Zariel?"

"Awalnya aku tidak yakin, makanya aku memastikan dengan bertanya siapa nama kakakmu."

"Lalu setelah kamu tahu aku benar-benar adiknya, kenapa kamu memilih untuk diam? Minimal, bilang dong kalau kamu adalah kenalan kakakku."

"Kalau kubilang duluan, tidak seru. Aku sengaja merahasiakan untuk kejutan di akhir."

"Kurang ajar kamu Blade. Pantas saja tadi kamu bilang 'sampai jumpa', padahal kukira kita akan berpisah tadi!" Sherry mengerucutkan bibirnya, ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menoleh ke arah lain. "Sial ... percuma aku bersedih tadi."

"Kenapa kau harus bersedih? Aku ini hanyalah orang yang baru kau kenal selama beberapa jam." Blade mendekati Sherry, kemudian ia berbisik dengan suara berat tepat di telinga sang gadis. "Jangan-jangan, kau serius menyukaiku? Parah sekali kau, jatuh cinta pada orang asing yang baru kau kenal."

"Heh, jangan dekat-dekat!" Wajah Sherry memanas, rona merah muda mulai menjalar di pipinya bersamaan dengan ia yang mendorong Blade untuk menjauh. "Lagipula, tidak sepenuhnya asing, sih ... kan kamu temannya kakakku."

"Aku anggap kau menyukaiku, kalau begitu." Blade tersenyum penuh kemenangan bersamaan dengan mengusap-usap pucuk kepala sang gadis, lalu ia bersandar dengan santai pada sofa. "Aku juga sama parahnya, kau tahu. Jujur aku masih menganggapmu bocah gila yang menyebalkan–tapi menjelang kita menemukan jalan setapak, perasaan suka ini malah muncul."

"Aku juga! Saat itu aku menganggapmu serigala menyebalkan, tapi mendengar ceritamu dan ... yah, kau ternyata orang yang baik. Tahu-tahu aku jadi suka, deh."

"Kalau begitu, kita sama-sama aneh. Setuju?"

"Setuju."

"Bagus, kita impas."

Keduanya lantas terdiam selama sekian detik. Sepasang netra merah itu beradu tatap dengan netra hitam obsidian. Pada detik berikutnya, mereka berdua tertawa lepas, saling bersandar di bahu masing-masing dengan Blade yang merangkul Sherry erat-erat.

Pada detik berikutnya, Blade memandang gadis di sampingnya itu dengan tatapan lembut. "Sherry. Apa yang kau sukai dariku?"

"Suaramu ... berat, dalam, dan menenangkan."

"Oh ya? Aku bisa memperdengarkan suara ini hanya untukmu, setiap hari."

"Lalu, mata merahmu. Cantik dan sangat indah, aku menyukainya, Blade."

"Sekarang, sepasang mata ini hanya akan menatapmu seorang saja."

"Tanganmu juga. Gagah dan kokoh, rasanya aku betah deh kalau dipeluk olehmu."

"Mmm, kalau begitu, aku akan memelukmu tiap hari."

"Lalu, telingamu yang lucu dan imut–sekarang aku boleh pegang, ya?"

"Aku akan mengizinkanmu menyentuhnya, nanti."

"Dan yang terakhir ...." Sherry melirik bibir Blade yang tampak ... sangat mencuri perhatiannya, sejak kali pertama mereka bertemu. "Ah, tidak jadi. Itu yang tadi saja cukup."

Blade menyeringai, intuisinya yang tajam sudah cukup untuk menebak arah lirikan Sherry padanya. "Bibirku?"

"Tidak–"

"Sshh, jangan berbohong, Sherry~" Sekali lagi, Blade berbisik di telinga gadis itu, hendak menggodanya. "Aku tahu dari awal kau sering memerhatikannya, bukan?"

"Uh–"

"Kau tahu? Dua dari serigala yang kubunuh bilang kalau aku bisa kembali jadi manusia lagi kalau ada seseorang yang tulus mencintaiku mencium bibirku ini."

"Memangnya ada cara melepas kutukan yang konyol begitu?!" Wajah Sherry merona merah, terpampang sangat jelas sampai-sampai Blade dibuat gemas sendiri lantaran melihat sisi imut Sherry. "Itu pasti bohongan!"

"Daripada penasaran, bagaimana kalau kita buktikan sekarang?"

Blade mengusap lembut pipi Sherry, lalu jemarinya ia bawa untuk menopang dagu sang gadis. Jarak di antara mereka semakin menipis, keduanya sudah memejamkan mata.

Perlahan-lahan, mereka dapat merasakan hangatnya napas masing-masing. Jantung keduanya sangat berdebar-debar, mereka semakin mendekat, dan–

"Minimal kalau mau bermesraan, tunggu aku pulang, bisa?"

Suara sang kakak yang entah sejak kapan sudah kembali masuk ke dalam rumah spontan membuat Sherry mendorong Blade sejauh-jauhnya. Wajah Blade memanas, merah karena malu bercampur marah–lantaran momen intensnya dengan Sherry terpaksa diganggu sebab kedatangan laki-laki itu.

"Zariel!" "Kak Zariel!"

Keduanya berteriak berbarengan, dengan penuh emosi dan hasrat ingin memukulnya, sementara si pemecah suasana hanya tertawa-tawa tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Yah, bukan masalah meskipun mereka gagal melepas kutukan. Sebab, ini adalah kisah The Little Red Riding Hood–bukan Beauty and The Beast.

Setidaknya, sekarang sang gadis bertudung merah dan sang serigala dapat berdamai–bahkan saling mencintai satu sama lain, bukan?

End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro