₍🕊₎ ..⃗. ꒰ Our New Dream ꒱
-------
" Our New Dream "
• Pair ; E. A. Poe × Nabilah
• Fandom ; Bungo Stray Dogs © Asagiri Kafka & Harukawa Sango
• Written by ; NabilahSyi
• Tales of Parodies Event by ; Halu_Project
• Warn ; Slight ooc, violence, age change to some characters
― Note ; Kalo mau baca ini, saranku kalian siapin cemilan deh. Habisnya ini udah kayak aku literally nge-remake film nya.
-------
• • •
Dahulu kala, setetes sinar matahari ajaib jatuh dari langit dan menumbuhkan bunga yang memiliki kekuatan penyembuhan. Seorang pria bernama Nikolai Gogol menyembunyikan bunga itu dan menggunakan kekuatannya untuk menjadi awet muda selama berabad-abad.
Tetapi pada suatu hari, sekumpulan prajurit dari sebuah kerajaan terdekat, yaitu Kerajaan Aureole, mengambil bunga itu untuk menyelamatkan Ratu mereka yang sedang hamil dan sakit keras. Bunga itu berhasil menyelamatkan sang Ratu yang kemudian melahirkan seorang bayi perempuan berambut putih.
Suatu malam, Nikolai menyelinap ke kastil Kerajaan Aureole, lalu mendapati bahwa rambut bayi tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan bunga yang memiliki sihir penyembuhan itu. Rambut itu berubah warna menjadi hitam dan tidak berdaya ketika dipotong olehnya. Untuk menjaga keajaiban bunga itu, Nikolai pun menculik bayi itu, yang ternyata bernama Nabilah. Kemanapun para prajurit mencarinya, mereka benar-benar tak bisa menemukan Nabilah dan Nikolai dimana pun.
Akhirnya, setiap tahun pada hari ulang tahun putri mereka, sang raja dan ratu beserta semua orang di Kerajaan Aureole akan menerbangkan lentera-lentera langit dengan harapan lentera-lentera langit tersebut akan membimbing sang putri pulang.
Sementara itu, Nabilah dibesarkan oleh Nikolai seperti anaknya sendiri di sebuah menara yang letaknya tersembunyi di hutan, dan itu semua demi menjaga kekuatan sihir penyembuhan dari rambut Nabilah. Setiap malam, Nikolai akan menyisir rambut itu sambil menyanyikan sebuah lagu pendek yang merupakan sebuah mantra untuk menggunakan kekuatan rambut ajaib tersebut.
"Bunga berkilau dan bercahaya... Biarkan kekuatanmu bersinar... Buatlah jam berbalik... Kembalikanlah apa yang dulunya milikku..."
"Bapak, boleh tanya tidak?"
"Iya? Mau tanya apa, nak?"
"Kenapa aku tidak boleh keluar menara? Kenapa hanya bapak yang boleh pergi ke luar?"
Nikolai pun tersenyum selagi masih menyisir rambut Nabilah yang putihnya bagaikan salju itu, "Di luar itu bahaya, nak. Di sana, ada banyak orang jahat yang bisa nyakitin kamu. Kamu gak mau berhadapan sama orang jahat yang berbahaya, kan?"
"Tidak mau!"
"Hehehe, dunia luar itu bahaya, ya. Kau lebih baik jangan pernah pergi dari menara ini, karena itu sama aja artinya kau meninggalkan bapak juga. Nabilah tidak mau meninggalkan bapak, kan?"
"Aku tidak mau meninggalkan bapak! Habisnya... aku tidak akan bisa apa-apa tanpa bapak!"
"Nah, begitu! Это моя девочка!"
"Artinya apa, Pak?"
"Cari tahu sendiri saja, ya."
Yah, Nabilah memang selalu mempercayai sang bapak yang berkata begitu. Namun, meski sudah berjanji bahwa dia tidak akan meninggalkan menara itu, Nabilah tetap saja selalu berharap bahwa suatu hari nanti akan tibalah saatnya untuk pergi ke dunia luar. Satu hal yang membuatnya semakin menginginkan harapan itu menjadi kenyataan adalah impiannya untuk melihat lentera langit berterbangan di hari ulang tahunnya secara langsung.
***
"NABILAH SAYANG! TURUNKAN RAMBUTMU!"
"I-Iya, Pak!"
Gadis itupun menghentikan kegiatan yang sedang dikerjakannya saat itu, lalu bergegas menghampiri jendela dan melemparkan rambut putihnya yang luar biasa panjang itu ke luar untuk membantu bapaknya naik ke menara. Sang bapak, yaitu Nikolai, langsung berpegangan pada rambut itu, yang kemudian ditarik oleh Nabilah.
Begitu masuk ke menara, Nikolai langsung menunjukkan keranjangnya dan memulai kuis yang tak berhadiah apapun. Yah, itu sih karena beliau ini memang sangat suka bermain kuis, entah kenapa.
"Oh, Nabil! Coba tebak bapak bawa apa?"
"Hmm... Buah-buahan, ya?"
"Eits, salah! Coba tebak lagi!"
"Sayur-sayuran?"
"Salah lagi! Ayo tebak lagi! Ini kesempatan terakhir, lho..."
"Eh... Roti?"
"Yey! Benar! Selamat karena telah memenangkan kuisnya! Eh, tapi tidak ada hadiahnya, ya, hehe."
Nabilah menggeleng, lalu mengambil sapu dan melanjutkan kegiatan menyapunya.
"Daripada memberi hadiah kuis, kenapa tidak memberi hadiah untuk ulang tahun ku yang ke-18 nanti saja?"
"Oh, ya? Ada permintaan khusus, ya?"
"Boleh tidak?"
"Eits, bilang dulu, kau mau hadiah apa? Baju baru? Kacamata baru? Buku baru? Alat gambar dan lukis baru? Atau mainan baru untuk Karl? Eh, itu sih untuk Karl, ya, bukan untukmu."
Seekor rakun, yang ternyata adalah Karl, tiba-tiba saja keluar dari tempat persembunyiannya, yaitu dibalik gorden. Karl pun menghampiri Nikolai, lalu memberi isyarat bahwa dia ingin makan. Nikolai pun tersenyum lalu memberi sepotong roti pada Karl, yang beruntungnya menerima roti itu dan langsung memakannya tanpa komplain terlebih dahulu.
Selagi itu, Nabilah menghela napas lalu meletakkan sapu yang tentu saja sebelumnya ia gunakan untuk menyapu. Gadis itupun berkacak pinggang lalu memasang ekspresi wajah datarnya.
"Dasar bapak."
"Loh, memang kau mau apa, nak?"
"Aku mau keluar menara! Aku mau melihat lentera langit! Setiap tahun, lentera langit itu selalu ada di hari ulang tahunku. Nah, tahun ini aku mau melihat mereka diluar menara ini! Boleh, ya, Pak? Kumohon! Aku ingin sekali melihat lentera-lentera itu—"
"Tidak boleh."
Mendengar dua buah kata itu diucapkan dengan dingin oleh sang bapak, Nabilah pun terdiam. Jika nada bicaranya dingin, itu berarti sang bapak serius. Biasanya, jika Nabilah bertanya-tanya soal dunia luar menara, Nikolai akan mengucapkan "tidak boleh" dengan nada yang ceria dan senyum yang manis padahal tidak. Ini pertama kalinya Nikolai mengucapkan "tidak boleh" dengan nada yang dingin dan tanpa senyum.
"Harus berapa kali lagi bapak bilang tidak boleh? Di luar sana itu tidak aman untukmu. Ada banyak orang jahat yang bisa membahayakan mu."
"Tapi, Pak—"
"Tidak ada tapi-tapi. Kau itu sebentar lagi berusia 18 tahun, nak. Mau sampai kapan bapak mengingatkan hal itu padamu seolah kau itu masih bocah?"
"... Bapak tidak ingin aku bahagia?"
Nikolai pun meletakkan keranjang di meja makan. Pria itupun mendekati Nabilah lalu memeluknya.
"Bapak bukannya melarang mu untuk bahagia, tapi lentera langit itu tidak bisa membahagiakanmu. Terutama dunia luar menara yang tidak aman untukmu. Kau itu anak baik, kan? Nah, dengarkan bapak, dong. Bapak selalu tahu yang terbaik untukmu, nak."
Nabilah masih diam, ia tidak bisa membantah jika Nikolai sudah berkata begitu. Ia pun hanya bisa memeluk balik sang bapak dengan ragu-ragu.
"... Iya, Pak."
Sepertinya, Nabilah memang harus melupakan harapannya untuk keluar dari menara itu. Ia tidak akan pernah bisa melihat lentera langit secara langsung sebagai hadiah ulang tahunnya.
***
Sementara itu di tempat lain, terdapat sekelompok prajurit yang dipimpin oleh seorang pria bernama Nakahara Chuuya, yang uniknya saat itu sedang menunggangi seekor harimau jadi-jadian yang aslinya adalah seorang pemuda bernama Nakajima Atsushi. Sementara itu, prajurit yang lain hanya menunggangi kuda biasa. Chuuya dan Atsushi, beserta prajurit yang lainnya itu sedang mengejar-ngejar tiga orang pencuri yang terdiri atas dua orang pemuda dan seorang gadis. Ketiga pencuri itu sudah mencuri sebuah benda yang sangat berharga dari istana Kerajaan Aureole, yaitu sebuah tiara yang sebenarnya adalah milik sang putri kerajaan yang hilang.
"EDGAR ALLAN POE! SINI KAU!"
"Ah, kenapa selalu aku yang disebut, sih?"
"Yah, habisnya kaulah yang lebih terkenal daripada kami berdua."
"Yang benar?"
"Iya, benar. Kau bahkan sudah punya poster buronan mu sendiri sejak lama."
"Oh, begitu- Ah!"
Salah seorang pencuri itu, yaitu Poe, hampir saja terkena bidikan anak panah dari para prajurit yang mengejarnya saat itu. Ia pun mempercepat larinya begitu harimau putih yang paling semangat dalam mengejarnya saat itu semakin dekat dengannya.
"Argh, kenapa aku yang lebih ditargetkan daripada kalian berdua!?" protes Poe pada dua orang rekan pencuri nya itu, yaitu Akutagawa bersaudara yang terdiri dari Ryuunosuke sang kakak laki-laki dan Gin sang adik perempuan.
"Bisa-bisanya masih bertanya." celetuk Gin pelan.
"Lewat sini!" seru Ryuunosuke sambil berlari menuju ke jalan yang sempit.
Gin dan Poe pun mengikutinya, dan beruntungnya mereka berhasil menjauh dari para prajurit. Namun sayangnya...
"... Sialan. Kenapa malah jalan buntu, sih." keluh Poe.
Yah, itu dia. Mereka malah berakhir di sebuah jalan buntu, dan satu-satunya jalan yang ada adalah jalan yang berada di atas tebing yang lebih tinggi dari tanah mereka berpijak saat itu. Poe pun mulai memutar otaknya untuk mencari cara untuk melewati jalan buntu itu.
Begitu mendapat ide, pemuda itupun menjentikkan jarinya, "Kalian berdua! Bantu aku naik duluan, nanti aku akan membantu kalian berdua naik."
Kakak beradik itupun hanya diam, sebelum kemudian Ryuunosuke kembali buka suara sambil menunjuk ke sebuah tas selempang kulit yang dipegang oleh Poe, "Serahkan tas itu pada kami dulu, setelah itu baru kami akan membantumu naik."
Poe langsung memasang wajah datar, lalu menyerahkan tas selempang kulit itu pada Ryuunosuke tanpa ragu-ragu sedikitpun seolah ia tidak berpikir dua kali terlebih dahulu.
"Baiklah kalau itu mau mu. Nah, sekarang bantu aku naik, ya!"
Sesuai kesepakatan, Akutagawa bersaudara pun membantu Poe untuk memanjat tebing itu. Begitu Poe berhasil naik, merekapun menagih kesepakatan itu.
"Hei, ayo bantu kami naik!" seru Ryuunosuke.
"Maaf, ya! Aku tidak bisa membantu kalian naik!" balas Poe sambil tersenyum dan menunjukkan bahwa tas yang tadinya sudah ia serahkan pada Ryuunosuke sudah kembali berada di tangannya.
"Loh!?"
Poe pun langsung berlari pergi meninggalkan kedua kakak beradik yang langsung menjadi geram akan kelakuan liciknya itu. Poe terus berlari dan berlari, dan begitu ia mulai merasa kelelahan, ia pun berhenti sebentar di dekat sebuah pohon.
Oh, betapa terkejutnya ia ketika mendapati bahwa sebuah poster buronan tertempel di pohon tersebut, dan poster buronan itu adalah poster yang dikhususkan untuk dirinya. Tidak, sebenarnya dia bukan terkejut karena ini pertama kalinya ia melihat poster buronan dirinya sendiri, tapi...
"... Ah, bagaimana orang yang membuat poster ini bisa menggambar wajahku seakurat ini? Jujur, aku terkesan! Aku simpan saja, deh, poster ini—"
"Di sana kau rupanya!"
"Sial."
Chuuya dan Atsushi menemukannya, namun prajurit lainnya tidak bersama mereka. Tanpa pikir panjang, Poe pun langsung melanjutkan pelariannya setelah ia mencabut poster buronannya lalu memasukkannya ke tas nya.
"Atsushi! Tambah kecepatan!"
Harimau putih itupun mengangguk lalu mempercepat larinya. Namun, sepertinya menambah kecepatan lari itu tidak cukup untuk menangkap seorang pencuri sepintar Poe, karena dia selalu berhasil melarikan diri dari siapapun yang mengincarnya.
Dengan amat cekatan, Poe pun berbelok dan berpindah jalur menuju ke jalan yang lain. Atsushi kesulitan untuk berbelok karena kakinya yang saat itu sedang sangat amat cepat larinya. Alhasil, ia pun menghentikan larinya, namun siapa yang menyangka bahwa ia malah berhenti dengan sangat mendadak sampai-sampai Chuuya yang sedang menungganginya saat itupun terpental dan tersangkut di dahan pohon.
Chuuya menjerit kaget begitu ia terpental, namun begitu ia tersangkut di dahan pohon yang merupakan tempat ia mendarat, ia tidak langsung meronta-ronta untuk membebaskan diri, ia malah langsung memerintahkan Atsushi untuk meninggalkannya dan lanjut mengejar Poe supaya tidak kehilangan jejaknya.
"Atsushi, tinggalkan saja aku! Cepat kejar dia sebelum jejaknya hilang lagi!"
Harimau putih itupun langsung mengangguk lalu melakukan apa yang Chuuya perintahkan padanya, yaitu meninggalkan Chuuya dan lanjut mengejar Poe sebelum mereka kehilangan jejaknya lagi.
"Duh, mereka benar-benar ingin menangkap ku, ya? Baiklah jika itu yang mereka mau."
Meski rasanya kakinya seperti sudah mau putus, Poe tetap kuat untuk berlari dari hewan buas jadi-jadian yang benar-benar bertekad untuk menangkapnya itu. Tas nya dipegang erat-erat, matanya fokus melihat-lihat ke setiap hal yang ada di sekitarnya, dan napasnya tersengal-sengal.
"... Sial."
Tanpa diduga-duga, Poe menemukan jalan buntu lagi, yaitu sebuah jurang. Lebih sialnya lagi, Atsushi sudah dekat dengannya. Begitu berhadapan dengan pemuda itu, Atsushi pun tanpa ragu langsung menerkamnya. Dengan sigapnya, Poe pun menghindar, namun dia tidak sengaja terpeleset di tepi jurang.
"Oh, tidak!"
Atsushi bermaksud untuk menariknya dengan cakarnya, namun apa yang terjadi malah sebaliknya. Dengan satu tangannya masih menggenggam tas nya erat-erat, dan dengan nekatnya juga, Poe menggunakan tangannya yang satu lagi untuk menarik salah satu kaki depan dari harimau putih itu. Alhasil, Poe pun tidak jatuh sendirian ke jurang itu.
***
Atsushi kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat begitu ia mendarat di tanah setelah jatuh karena ditarik oleh Poe. Begitu ia membuka matanya, pemuda itupun mendapati bahwa ia sudah kembali ke wujud manusianya semula, bukan lagi wujud harimau putihnya.
"Ah... Aku tadi... jatuh karena ditarik olehnya tadi, ya?"
Atsushi yang semulanya terkapar itupun perlahan-lahan bangkit, dan tanpa memedulikan keadaannya sendiri, ia pun langsung berjalan menyusuri hutan itu.
"Aku... harus menemukannya... Aku tidak bisa... membuat Tuan Nakahara kecewa padaku... Aku juga tidak bisa... membiarkan pencuri sialan itu pergi... bersama tiara itu..."
Ya, itu dia. Atsushi tidak mau menyerah. Daripada berbalik pulang ke istana dengan tangan kosong, ia lebih memilih untuk mengorbankan waktunya demi menangkap seorang pencuri yang telah membawa pergi sebuah harta istana yang sangat berharga.
Sementara itu di tempat lain, Poe sedang berjalan-jalan santai menyusuri hutan itu. Tentunya ia masih waspada akan sekitarnya, karena siapa tahu nanti ada prajurit yang akan menemukannya lalu bermain kejar-kejaran dengannya lagi.
"Hehehe, aku beruntung sekali hari ini. Hebat juga, ya, aku bisa mencuri sebuah harta istana yang berupa tiara ini. Hmm, kalau tidak salah, katanya tiara ini dimaksudkan untuk menjadi tiara milik putri kerajaan yang hilang itu? Ah, tidak heran kenapa benda ini sangat berharga dan juga penjagaannya sangat ketat dan menyebalkan."
Poe tiba-tiba menghentikan langkahnya, lalu terdiam di tempat untuk beberapa saat.
"... Aku harus kemana setelah ini?"
Tiba-tiba, Poe menemukan sebuah gua yang ditutupi oleh daun-daun yang menjalar, seolah-olah daun-daun itu adalah gorden berwarna hijau. Berpikir bahwa ia mungkin bisa menemukan sesuatu, Poe pun memutuskan untuk masuk ke gua itu. Namun ternyata, itu bukanlah sebuah gua, melainkan sebuah terowongan yang menuntunnya ke sebuah tempat yang tersembunyi, dimana terdapat sebuah menara yang menjulang tinggi, setinggi air terjun yang ada di sana.
"Oh, menara tersembunyi? Menarik."
Poe pun berjalan menuju menara itu, berpikir mungkin ia bisa singgah di sana untuk sementara. Namun, ternyata tidak ada apapun yang bisa ia gunakan untuk masuk ke menara itu. Pintu masuk? Tidak ada. Tangga untuk naik? Tidak ada.
Sekali lagi, Poe pun memutar otak, mencari cara untuk bisa naik ke menara itu. Ia pun melihat ke dua buah ranting pohon yang ada di dekatnya, lalu tersenyum begitu ia mendapat ide.
"Baiklah, aku akan menggunakan ini."
***
Beberapa saat pun berlalu, dan Poe sudah sangat dekat dengan jendela besar yang sepertinya merupakan satu-satunya jalan masuk ke menara itu. Bagaimana ia memanjat menara itu? Mudah saja. Poe menggunakan dua buah ranting pohon yang dilihatnya tadi sebagai alat bantunya untuk memanjat menara itu. Ranting pohon itu untungnya bisa menancap pada tembok menara itu. Dan, usaha pun tidak mengkhianati hasil, Poe berhasil mencapai jendela besar itu lalu masuk ke dalam menara itu.
"Hah... Akhirnya aku bisa sendirian lagi."
BANG!
Oh, betapa tidak beruntungnya Poe. Baru saja masuk ke menara itu, tiba-tiba saja kepalanya dipukul menggunakan panci penggorengan dengan sangat keras, dan ia pun kehilangan kesadarannya karena itu.
"... Ada orang asing yang masuk dan aku berhasil mengatasinya."
***
Nabilah berhasil menyembunyikan sang pemuda asing yang masih tak sadarkan diri itu di dalam sebuah lemari kosong. Lalu, apa yang sedang dilakukan gadis itu sekarang?
"Bagaimana, sih, caranya memakai benda ini?"
Bersama Karl, Nabilah malah sibuk mencari cara untuk memakai tiara yang ditemukannya dari tas milik Poe. Gadis itu sama sekali tidak pernah melihat sebuah tiara ataupun mahkota dalam seumur hidupnya, makanya ia tidak tahu cara memakainya.
"Disini?"
Nabilah menggunakan tiara itu sebagai gelang tangan, dan Karl pun menggeleng.
"Atau disini?"
Nabilah menggunakan tiara itu sebagai gelang kaki, dan Karl pun menggeleng sekali lagi.
"Bagaimana kalau disini?"
Nabilah meletakkan tiara itu di atas kepalanya, dan coba tebak apa reaksi Karl? Rakun itu malah menganga, lalu menunjuk ke arah cermin. Melihat itu, Nabilah pun langsung menoleh ke arah cermin, dan...
Nabilah hanya diam, ia tidak berkata apa-apa. Gadis itu sepertinya terdiam karena melihat betapa cocoknya tiara yang cantik itu untuknya. Rambutnya yang putih bersih dan luar biasa panjang, iris matanya yang merah, gaunnya yang juga sama merahnya dengan matanya, lalu dipadukan dengan tiara yang batu-batu permata nya memiliki warna yang beragam itu. Seandainya Karl bisa bicara, rakun itu pasti akan bilang "Kau sangat cantik dengan itu!" pada sang majikan.
"Benda ini... namanya apa, ya?" tanya Nabilah pada dirinya sendiri.
Karl tiba-tiba menarik-narik gaunnya untuk mengalihkan perhatiannya. Dan akhirnya Nabilah pun teringat akan suatu hal. Gadis itupun menyingkirkan tiara itu dari kepalanya lalu mengembalikannya ke tempat asalnya, yaitu ke tas milik orang asing yang sudah masuk ke menaranya itu.
"Kau tahu apa, Karl? Dengan orang asing itu, aku akan menunjukkan kepada bapak bahwa aku bisa mengahadapi orang-orang jahat di luar sana! Nah, dengan ini, aku akan minta izin darinya lagi untuk pergi ke luar! Bagaimana menurutmu?"
Karl pun membalas dengan mengangguk-angguk, menandakan bahwa ia setuju dengan rencana itu. Nabilah pun tersenyum lalu mengusap-usap kepala rakun itu dengan lembut.
"Anak baik!"
"Nabilah! Ayo turunkan rambutmu, nak!"
"Baik, Pak!"
***
"Bapak lelah sekali, nih. Sini, bapak ingin menyisir rambutmu."
"Eh, eh, eh, sebelum itu, aku ingin membicarakan sesuatu terlebih dahulu denganmu, Pak!"
Wajah Nikolai yang sebelumnya terlihat berseri-seri itupun seketika menjadi datar. Pria itupun menghela napas, "Apa yang ingin kau bicarakan?"
Nabilah pun tersenyum lembut lalu menepuk tangannya, "Nah, begini, Pak! Soal permintaan ku sebelumnya untuk hadiah ulang tahunku nanti—"
Nikolai malah menyela, "Ah, maaf, nak. Tapi, bisakah kita tidak membicarakan hal ini lagi?"
"Tapi, Pak, dengarkan dulu! Nah, hadiah ulang tahunku ini harus didapatkan dengan membawaku ke luar menara—"
"Nabil, bapak kan sudah bilang—"
"Nah, bapak bilang kan diluar itu ada banyak orang jahat, dan menurut bapak, aku itu tidak bisa membela diri—"
"Nak, dengarkan bapak dulu—"
"Percayalah, Pak! Aku itu sebenarnya bisa melawan orang jaha—"
"NABILAH, SEKALI LAGI BAPAK TEGASKAN, KAU SAMA SEKALI TIDAK BOLEH KELUAR DARI MENARA INI! BAPAK TIDAK AKAN PERNAH MEMBIARKANMU PERGI KE LUAR SANA SAMPAI KAPANPUN! SELAMANYA!"
Nikolai tiba-tiba saja membentaknya, dan Nabilah tersentak karena itu. Gadis itupun langsung terdiam, senyum di wajahnya memudar, dan wajahnya pun kembali terlihat murung. Nikolai menyadari apa yang telah diperbuatnya, lalu memijat pelipisnya dan menghela napas.
"Kau itu terlalu lugu untuk dunia luar. Aku tidak bisa membiarkan siapapun macam-macam dengan mu."
"... Maaf, Pak."
"... Sebagai gantinya, akan aku berikan apa saja yang kau inginkan sebagai hadiah ulang tahunmu, asalkan jangan minta izin pergi ke luar menara hanya untuk melihat lentera langit secara langsung."
"Apa saja?"
Nikolai mengangguk pelan selagi ia masih mencoba untuk menstabilkan emosinya. Nabilah pun menghela napas lalu mencoba untuk tersenyum kecil, "Boleh tidak aku minta buku baru? Tapi buku yang kualitasnya sangat amat bagus. Bapak tahu maksudku, kan?"
"Tapi, nak, jika kau ingin buku yang begitu, itu hanya ada di pulau sebelah. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu selama 3 hari. Kau benar-benar menginginkan buku yang seperti itu?"
Nabilah mengangguk-angguk tanpa ragu sebagai jawaban. Nikolai pun menghela napas sekali lagi dan menyetujui permintaan itu.
Pria itu kemudian mendekati Nabilah lalu memeluknya sekali lagi dan berbisik, "Berjanjilah, kau tidak akan meninggalkan bapak dan menara ini, kan? Tolong juga, jangan pernah minta untuk melihat lentera langit itu lagi."
Nabilah pun memeluknya balik tanpa ragu lalu membalas, "Iya, Pak. Aku janji."
***
Nikolai akhirnya pergi lagi, dan kali ini dipastikan bahwa pria itu akan kembali 3 hari kemudian.
Sementara itu, sang pemuda yang sebelumnya disimpan oleh Nabilah di dalam lemari, sekarang terduduk di sebuah kursi dengan rambut Nabilah yang mengikatnya untuk berjaga-jaga.
Oh, ya, pemuda itu juga masih belum sadarkan diri.
"Rencana kita gagal. Sekarang kita apakan dia, Karl?"
Karl hanya menggeleng, dan Nabilah pun langsung mendapat ide setelah rakun itu menggeleng sebagai jawaban.
"Karl, bangunkan dia. Ayo kita ajak dia bicara dulu. Siapa tahu dia bisa diajak kerja sama."
Karl pun mengangguk-angguk, lalu melompat turun dari pundak gadis itu dan berpindah tempat ke kepala si pemuda asing, dan...
Karl pun menggigit kepala pemuda itu untuk membangunnya.
"AAAHHH!"
Pemuda itupun akhirnya bangun, meski karena dipaksa, tapi, yah, yang penting dia akhirnya sudah siuman. Karl langsung melompat turun dari kepala pemuda itu lalu kembali duduk manis di pundak Nabilah.
"... Apa-apaan ini? Kenapa aku diikat dengan rambut?"
"Untuk berjaga-jaga semisalnya kau akan... Yah, kau tahulah."
Pemuda itu terdiam, lalu memperhatikan Nabilah dari atas kepala hingga ujung kaki. Dan hal pertama yang ia tanyakan mengenai penampilan gadis itu adalah, "Bagaimana rambutmu bisa sepanjang ini?"
"Hah? Kau malah bertanya soal rambutku?"
"Memangnya tidak boleh?"
BANG!
Lagi-lagi si pemuda pun dipukul kepalanya dengan panci penggorengan, namun kali ini ia tidak kehilangan kesadarannya lagi.
"Aw! Ah... Jadi kau, ya, yang sudah membuatku begini?"
"Siapa lagi? Bapakku? Aku bahkan tidak bisa menunjukkan dirimu padanya sebelum dia pergi tadi."
"Kau tidak sendiri disini?"
"Yah, begitulah. Tapi percayalah, memang aku yang sudah memukulkan panci penggorengan ini ke kepalamu sebelumnya."
"Oh, mengesankan. Baru kali ini aku bertemu seorang gadis sepertimu."
"Maksudnya?"
"... Lupakan saja."
Nabilah terdiam lalu mengingat sesuatu, dan ia pun menepuk jidatnya sendiri lalu melanjutkan pembicaraan.
"Eh, ngomong-ngomong... Kau siapa, dan bagaimana kau bisa menemukan menara ini?"
Pemuda itupun memasang wajah datar, lalu membalas, "Aku bersumpah bahwa aku bukan orang jahat yang akan menculik mu. Sebelumnya aku sedang dikejar-kejar dan berakhir menemukan menara ini secara tidak sengaja."
"Oh? Siapa yang mengejar mu? Dan kenapa kau dikejar?"
"Kenapa aku malah diinterogasi begini, sih?"
"... Ya, sudah. Aku akan langsung ke intinya saja."
Nabilah pun melempar panci penggorengan nya itu ke sembarang arah, lalu melanjutkan, "Aku ingin membuat kesepakatan denganmu."
"Hah? Kesepakatan? Yang benar saja. Kita baru bertemu, lho."
"Pertama-tama—"
Nabilah pun mengambil sebuah lukisan yang disembunyikannya dibalik sebuah gorden, lalu menunjukkan lukisan itu pada si pemuda.
"Apa kau tahu ini apa?"
Pemuda itupun memperhatikan lukisan itu, lalu menjawab, "Ah, itu lentera langit yang mereka terbangkan setiap tahun untuk memperingati ulang tahun putri yang hilang itu. Aku dengar juga, itu juga dilakukan dengan harapan lentera langit itu akan membimbing putri yang hilang itu pulang."
"... Putri yang hilang?"
"Iya. Kau tidak tahu?"
"Bapak tidak pernah bilang begitu. Dia hanya bilang padaku bahwa itu semua bukan lentera langit, tapi bintang."
Si pemuda pun tertawa renyah, "Bapak mu lucu juga. Lentera berterbangan malah disebut bintang? Hahahahaha!"
"Ah, lupakan itu. Jadi kau tahu, ya? Nah, baguslah kalau begitu. Baiklah, ini dia kesepakatannya! Kau akan membawaku pergi ke luar menara ini untuk melihat lentera langit itu secara langsung, dan sebagai imbalannya, aku akan mengembalikan tas mu! Bagaimana?"
"... Dimana tas ku?"
"Aku sembunyikan, hehe."
Pemuda itupun terdiam untuk beberapa saat, sebelum kemudian menghela napas.
"Baiklah, aku terima permintaan mu itu. Tapi berjanjilah kau akan benar-benar mengembalikan tas ku, ya."
Nabilah terdiam untuk beberapa saat, lalu berteriak kegirangan, "Yay! Ahaha, terima kasih banyak! Aku sempat mengira kau tidak akan menerima permintaanku..."
Pemuda itupun tersenyum tipis, "Kau tahu, aku rela melakukan apapun demi mendapatkan apa yang aku inginkan. Makanya aku terima saja permintaanmu ini."
Nabilah pun menyunggingkan senyum manis, lalu dengan cekatan melepaskan rambutnya yang mengikat pemuda itu.
"Aku senang kau tidak seperti bapakku. Dia... benar-benar melarang ku untuk keluar dari menara ini dan melihat dunia luar."
Si pemuda pun memasang raut wajah keheranan, "Dimana bapakmu? Apa kau yakin akan baik-baik saja untuk pergi ke luar meskipun bapakmu itu bisa kembali kapan saja?"
"Lupakan dia untuk sementara. Aku sudah membuatnya pergi ke sebuah pulau yang perjalanannya memakan waktu 3 hari. Nah, ayo, ayo! Ayo keluar!"
Dengan semangat, Nabilah pun menarik pemuda itu mendekat ke jendela. Gadis itu benar-benar tidak sabar untuk segera keluar dari menara itu.
"Ah! Apa kita akan turun dengan rambutmu?"
"Tentu saja! Bapak juga selalu naik dan turun dari menara ini menggunakan rambutku, lho! Ah, ngomong-ngomong, aku titipkan Karl padamu sebentar, ya."
Pemuda itupun menoleh ke Karl si rakun yang ternyata sudah berpindah tempat dari pundak si gadis ke pundaknya, entah sejak kapan, tapi dia tidak mau memikirkannya.
"Baiklah, pegangan, ya!"
***
"Ahahahaha! Ini menyenangkan! Ternyata begini rasanya untuk berada di luar menara!"
"Ah... Tapi bagaimana jika bapak tahu akan hal ini..."
"Oh! Oh! Lihat itu! Bunganya cantik!"
"Bapak pasti akan kecewa padaku. Ah, tidak. Dia akan sangat marah padaku."
"Ini adalah hari terbaik dalam hidupku!"
"Aku ini gadis durhaka."
***
Sekarang Nabilah sedang duduk meringkuk di bawah sebuah pohon. Dari tadi, suasana hatinya terus-terusan berubah secara ekstrem sejak ia meninggalkan menara. Sesantai apapun dirinya, gadis itu tidak akan pernah bisa lepas dari yang namanya overthinking atau berpikir berlebihan, karena hal seperti itu sudah mendarah daging untuknya.
Bagaimana dengan si pemuda asing? Ah, jangan khawatirkan dia. Sepanjang perjalanan tadi, selama Nabilah sibuk dengan pikirannya sendiri, dia menghilangkan kebosanan dengan mencoba untuk akrab dengan Karl. Apa mereka berakhir benar-benar akrab? Ya, untunglah mereka bisa akrab tanpa membutuhkan waktu yang lama. Kenapa? Si pemuda ternyata adalah seorang pecinta rakun. Bukti lainnya adalah, Karl betah duduk manis berlama-lama di pundak si pemuda.
"... Bapak benar. Aku seharusnya tidak meninggalkan menara." ujar Nabilah pada dirinya sendiri.
Pemuda itupun duduk di sebelah Nabilah, lalu mencoba untuk mengajaknya bicara.
"Hei. Jika kau mau, kita bisa kembali ke menara itu. Tidak perlu memaksakan dirimu untuk meneruskan perjalanan ini."
"... Tapi aku takut kalau semisalnya tidak akan ada lagi kesempatan untuk pergi keluar menara itu. Bagaimana jika ini satu-satunya kesempatanku untuk melihat dunia luar dan bebas seperti seekor burung?"
"Burung?"
Nabilah pun menghela napas, lalu mulai menjelaskan, "Bapak bilang, kalau dia sangat suka burung. Terutama burung yang bisa terbang bebas tanpa beban apapun. Kalau dipikir-pikir lagi, kami berdua itu sama-sama bagaikan burung. Bapakku itu burung yang bisa terbang bebas, sedangkan aku itu burung yang harus dikurung dalam sangkar."
Si pemuda pun mengerti maksud gadis itu, seketika ia merasa iba padanya. Pikirnya, gadis ini pastinya sudah sangat lama sekali tinggal di menara itu, dan bapaknya gadis itu pasti tidak pernah memperbolehkannya untuk pergi keluar karena sebuah atau beberapa alasan. Tapi yang jelas, menurutnya, Nabilah sebenarnya tidak siap untuk pergi keluar menara itu, meskipun itu demi kebaikan dirinya sendiri, tapi tetap saja itu artinya ia telah melanggar janjinya dengan bapaknya itu.
"Bapakmu itu sangat protektif padamu, ya? Aku sejujurnya mengerti kenapa dia bisa sangat protektif begitu, apalagi mengingat bahwa kau itu satu-satunya anak perempuannya. Aku yakin, pasti dia selalu bilang padamu bahwa di luar menara itu ada banyak orang jahat yang bisa membahayakan mu. Apa aku benar?"
Nabilah membulatkan matanya begitu ia mendengar itu, lalu dengan cepat menoleh dan menatap pemuda itu, "B-Bagaimana kau tahu?"
Pemuda itupun memberi senyum pada gadis itu, lalu mulai menjelaskan apapun yang bisa ia tangkap mengenai situasi si gadis.
"Yah... Aku hanya mencoba untuk mengerti situasi mu berdasarkan logika, fakta, dan juga pemahaman ku sendiri, lalu berakhir membuat deduksi nya. Dari pemahaman ku, seorang orang tua tunggal yang anaknya juga tunggal itu pasti akan melakukan apapun demi anak itu. Kau tahu, tanggung jawab sebagai seorang orang tua itu sangat besar, membesarkan seorang anak itu sama sekali tidak mudah. Dan untuk kasus mu, aku yakin hal yang sama juga berlaku untuk kau dan bapakmu. Hanya saja, sepertinya bapakmu protektif berlebihan padamu begitu karena suatu alasan yang belum bisa ia beritahukan padamu."
"Maksudmu... selama ini, bapak merahasiakan sesuatu dariku?"
"Menurutmu? Coba dipikirkan."
Nabilah terdiam, lalu mulai berpikir. Pemuda itu ternyata benar juga, penjelasannya juga masuk akal baginya. Bapaknya itu pasti memiliki alasan lain untuk mengurungnya di menara itu, bukan hanya karena di luar menara itu ada banyak orang jahat yang bisa saja membahayakannya. Namun, alasan macam apa yang bisa dirahasiakan oleh bapaknya itu?
"Ah! Sebaiknya jangan terlalu dipikirkan, itu hanya akan membuatmu lebih tertekan lagi jika kau berakhir menemukan jawaban dari rasa penasaran mu itu." ujar si pemuda tiba-tiba.
"... Benar juga. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan."
"Sebelum itu, izinkan aku memperkenalkan diri, dong."
"Eh?"
Pemuda itupun meletakkan tangannya di depan dadanya lalu mengulurkan tangannya yang satu lagi pada sang gadis, bermaksud untuk memperkenalkan dirinya.
"Namaku Edgar Allan Poe. Senang bertemu denganmu, Nona Manis. Kau bebas untuk memanggilku apa saja."
Nabilah tersenyum lembut, lalu mengambil tangan Edgar yang diulurkan padanya dan menariknya untuk membantunya berdiri.
"Senang berkenalan denganmu, Edgar. Namaku Nabilah."
Edgar tersenyum balik, "Baiklah, sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan, kan? Ah, tapi sebelum itu, apa kau ingin makan dulu? Aku tahu suatu tempat makan di dekat sini dan aku yakin kau akan menyukainya!"
"Ada tempat makan di tempat seperti ini?"
"Tentu saja ada. Eh, sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai bar, sih. Yah, meski begitu, kau tetap saja bisa memesan makanan juga dari situ! Ayo ikuti aku!"
"Ehehe, alright! Lead the way, Ed!"
Nabilah pun membiarkan Edgar kembali memimpin jalan. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan sebuah bar sebagai tempat pemberhentian mereka berikutnya.
Ah, ngomong-ngomong, mulai dari sini, si pemuda akan kita sebut sebagai Edgar, bukan Poe. Kenapa? Karena Nabilah lebih suka memanggilnya Edgar!
***
"Dia pasti di sekitar sini. Aku yakin sekali."
Sementara itu di tempat lain, Atsushi masih mencari-cari Edgar. Meski dalam wujud manusia, Atsushi tetap dapat menggunakan indra super dari harimau nya. Yang paling dimanfaatkannya untuk saat ini adalah indra penciumannya, karena ia ingat benar akan aroma dari rambut, pakaian, sepatu, dan juga tas milik Edgar.
"Dia seharusnya di sekitar sini..."
Tiba-tiba, Atsushi merasakan keberadaan seseorang di dekatnya. Ia pun menoleh ke arah sebuah semak, yang diduganya sebagai titik pasti dari keberadaan yang dirasakannya itu. Begitu ia mendekat ke semak itu, ia pun langsung mengubah tangan dan kakinya menjadi kaki harimau lalu melompat dari balik semak itu dan menerkam seseorang.
"AAAAHHHH!!!! WEH KALEM DONG KALEM!!"
Ternyata Atsushi salah sasaran, orang yang diterkamnya itu bukanlah Edgar, namun seorang pria berambut putih panjang yang dikepang dan mengenakan penutup mata pada mata kanannya. Dan pria itu tentunya adalah Nikolai Gogol.
"Ah, m-maafkan aku!"
Atsushi buru-buru menjauh dari pria itu lalu membungkukkan tubuhnya dan meminta maaf berkali-kali.
"Maaf! Maaf! Maafkan aku! Aku benar-benar minta maaf! Aku kira kau adalah buronan yang aku cari-cari!"
Nikolai pun tersenyum lalu membalas, "Ah, tidak apa-apa! Santai saja, kok, jangan panik begitu. Aku tidak apa-apa, nak."
"Sekali lagi... aku benar-benar minta maaf, Tuan!"
Nikolai menghela napas, lalu memperhatikan Atsushi dari atas kepala hingga ujung kaki, dan seketika ia pun menyadari siapa Atsushi.
"Dilihat-lihat dari penampilan mu ini... Kau Nakajima Atsushi, ya? Prajurit Manusia Harimau dari Kerajaan Aureole?"
"Ah, ya! Benar, aku Nakajima Atsushi. A-Aku tidak menyangka Tuan akan mengenaliku."
"Oh, begitu, ya... Tampaknya kau sedang memburu seorang buronan. Ah, ngomong-ngomong, apa kau sendirian disini? Dimana teman-teman prajurit mu yang lainnya, Anak Muda?"
"Ah, aku tadi terpaksa berpisah dengan mereka. Jadi, ya... beginilah akhirnya. Kami berpencar. Oh, aku harus pergi lanjut mencarinya! Sampai jumpa, Tuan!"
"Ya, sampai jumpa, nak! Hati-hati dan semoga beruntung!"
Keduanya pun saling melambaikan tangan untuk beberapa saat. Setelah Atsushi benar-benar pergi, senyum di wajah Nikolai pun memudar, dan raut wajahnya pun seketika berubah menjadi raut wajah yang menunjukkan keterkejutan yang luar biasa.
"... Nabilah."
***
"Nabilah!? Nabilah sayang!? Nabilah! Turunkan rambutmu! Nabilah, kau di sana!?"
Berapa kali pun Nikolai berteriak, gadis yang dipanggilnya itu tak kunjung menjawab. Ketakutan pun tampak makin intens pada wajahnya. Dengan buru-buru, Nikolai langsung menyibak sebuah semak yang ternyata menyembunyikan sebuah pintu masuk menara yang ditutup dengan batu-batuan. Butuh waktu cukup lama untuk menyingkirkan semua batu-batuan itu.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Nikolai bisa masuk ke dalam menara lewat pintu masuk rahasia itu yang ternyata mengarah pada ruang bawah tanah dari menara. Dengan sangat tergesa-gesa, Nikolai langsung naik ke menara dan mencari-cari si gadis berambut ajaib.
"Nabilah!? Nabilah, kau dimana!? Nabilah, tolong jawab aku!"
Kemanapun pria itu mencari, sayangnya ia tidak bisa menemukan si gadis. Nikolai pun menutup mulutnya, ia tidak menyangka bahwa hal yang paling ditakutinya itu akhirnya menjadi kenyataan.
Nabilah pergi keluar menara.
Nikolai mengusap keringat yang membasahi pelipisnya selagi mencoba untuk mengatur napasnya. Tiba-tiba, ia melihat ada sebuah pantulan cahaya yang mengarah ke celah pintu sebuah lemari besar.
"Apa itu?"
Nikolai mendekati lemari itu dan membukanya, ia pun menemukan sebuah tas selempang kulit yang asing baginya.
"Tas siapa ini?"
Nikolai pun memeriksa isi tas itu, dan betapa terkejutnya pria itu begitu ia menemukan sebuah tiara dan sebuah poster buronan dari dalam tas itu.
"Tidak... Tidak mungkin..."
Nikolai menatap dua benda itu lekat-lekat, lalu mengambil poster buronan itu untuk membaca semua isinya dengan lebih jelas.
"Oh... Edgar Allan Poe, ya..."
***
"Baiklah, ini dia tempatnya!"
Edgar dan Nabilah akhirnya tiba di bar yang akan menjadi tempat mereka istirahat untuk sementara.
"Oh, bagian luarnya terlihat keren!"
"Tentu saja! Nah, ayo masuk."
Edgar pun membuka pintu masuk bar tersebut, dan mempersilakan Nabilah untuk masuk lebih dulu. Dan begitu masuk...
"... Edgar, kenapa mereka semua memperhatikan kita?"
Edgar pun menelan ludahnya sendiri begitu menyadari bahwa semua orang yang ada di dalam bar itu menatap mereka tajam. Penampilan mereka juga kebanyakan terlihat berbahaya, orang biasa pasti akan bergidik ngeri melihatnya, namun tidak dengan Nabilah yang biasa saja.
"N-Nabilah, aku persilakan kau untuk jalan duluan."
"Oh? Baiklah."
Nabilah pun dengan santainya berjalan masuk lebih dalam ke bar itu sementara Edgar mengikutinya dari belakang sambil membantunya membawa rambutnya. Namun, tidak lama melangkah, tiba-tiba saja Nabilah dan Edgar tertarik ke belakang dan jatuh ke lantai secara bersamaan. Ternyata, ada seorang pria bertubuh besar yang menarik ujung rambut Nabilah yang terkapar di lantai.
"Rambut yang panjang." ujar pria itu.
Nabilah pun bangkit lalu berkacak pinggang, "Hei! Sopan kah begitu? Siapa yang bilang bahwa kau boleh sembarangan menarik rambutku begitu!? Kau tidak pernah melihat rambut sepanjang ini, ya!?"
"N-Nabilah, dengar—"
"Hm?"
Edgar pun mendekatkan mulutnya ke telinga gadis itu dan berbisik, "Belum pernah ada perempuan dengan rambut sepanjang milikmu ini. Makanya mereka... Yah... Kau tahulah."
"Oh, rambut panjang begini bukan hal yang biasa, ya? Baiklah aku mengerti."
"Hei."
Keduanya terdiam, lalu berbalik badan dan mendapati seorang pria bertubuh besar lainnya menunjukkan sebuah poster buronan pada mereka.
"Apa kau Edgar Allan Poe?"
Nabilah sedikit terkejut melihat poster itu, ia pun menoleh ke Edgar, menunggu reaksinya. Edgar juga terkejut melihat itu, lalu dengan tenangnya, ia pun tersenyum dan membalas, "Ah, maafkan aku. Edgar Allan Poe itu saudara kembar ku. Sedangkan namaku itu Edward Albert Poe."
"Yang benar?" tanya pria itu lagi dengan curiga.
Edgar mengangguk pelan lalu menunjuk ke Nabilah, "Kalau kau tidak percaya, tanya saja dia. Aku tidak bohong, kan?"
"Oh... Y-Ya, dia benar! Edgar Allan Poe itu saudara kembarnya!"
"Memangnya kau siapanya dia?" tanya pria itu pada Nabilah sambil menunjuk Edgar.
"Oh! Dia ini tunangan ku, Tuan!" balas Edgar dengan antusias.
"Hah? Tunangan?"
Nabilah membeku di tempat, ia tidak menyangka bahwa Edgar akan berbohong sejauh itu demi melindungi identitas aslinya sendiri. Tapi, ya, jika itu demi kebaikan diri mereka sendiri juga, yah, tidak apa-apa. Jika berikutnya Edgar akan perlu bilang bahwa Nabilah itu istrinya, akan ia biarkan saja itu.
"... Baiklah kalau begitu." ujar pria itu lalu berbalik badan dan pergi meninggalkan mereka.
Edgar pun menghela napas, lalu melihat ke sekitarnya dan menyadari bahwa orang-orang di sana sudah tidak lagi menatap mereka berdua dengan tajam.
Edgar pun memegang tangan Nabilah, lalu berbisik, "Maafkan aku. Tapi, sebaiknya kita pergi dari sini."
Nabilah pun mengangguk lalu membiarkan Edgar membawanya keluar dari bar itu. Begitu mereka tiba di luar, mereka pun serempak menghela napas lega.
"Tolong maafkan aku karena sudah berbohong soal hubungan kita."
"Ti-Tidak apa-apa... Kau... melakukan itu demi kebaikan kita, kan?"
Edgar mengangguk pelan, "Kau... tidak akan memukulku dengan panci penggorengan lagi, kan?"
Nabilah menaikkan sebelah alisnya, "Hah? Memangnya kenapa?"
"... Kau lihat poster itu tadi, kan? Aku ini sebenarnya pencuri. Aku bukan orang baik-baik—"
"Hei, hei, hei! Apa maksudmu kau bukan orang baik? Jika saja bukan, kau pasti tidak akan bersamaku sekarang ini!"
"Hah?"
"Aku tidak peduli akan siapapun kau itu sebenarnya, yang penting... aku merasa sangat berterima kasih padamu karena sudah mau repot-repot membawaku keluar dari sangkar burungku."
Edgar terdiam mendengar itu, ditambah lagi, Nabilah juga memberinya senyum manis, seolah gadis itu benar-benar tulus akan apa yang dikatakannya barusan itu.
Edgar pun tersenyum balik, "Aku senang jika kau berpikir begitu."
Nabilah pun tertawa kecil, "Ehehe, nah, ayo kita lanjutkan saja perjalanan kita! Kita bisa mengisi perut kita nanti saja!"
"Yah... Baiklah— AWAS!"
Tiba-tiba saja Edgar mendorong Nabilah untuk menghindar dari sesuatu yang tiba-tiba saja menerkam mereka.
"Sial... Dia menemukanku."
"S-Siapa?"
Seorang pemuda berambut abu-abu muda, lalu tangan dan kakinya berupa kaki harimau putih, dan ia juga mengenakan seragam prajurit dari Kerajaan Aureole. Ya, tidak salah lagi, pemuda itu adalah Nakajima Atsushi, sang prajurit yang pantang menyerah untuk memburu Edgar.
"... Akhirnya aku menemukanmu."
***
"Apa dia masih mengejar kita!?"
"Ya, dia masih mengejar kita!"
"Kali ini, aku tidak akan kehilangan jejak mu lagi, Edgar Allan Poe!"
Saat ini, Edgar dan Nabilah masih berlarian menyusuri hutan dikarenakan Atsushi, yang sedang dalam wujud harimau nya, mengejar-ngejar mereka. Entah sudah berapa lama mereka berlari, memang melelahkan tapi mereka tidak peduli, yang mereka pedulikan saat ini hanyalah mencari cara untuk membuat Atsushi kehilangan jejak mereka lagi.
Selagi berlari, mereka berdua juga sibuk memikirkan cara untuk mengalihkan Atsushi. Kemudian, mereka menemukan sebuah jembatan kelihatannya sudah sangat rapuh, dan jembatan itu terdapat di sebuah sungai yang alirannya sangat deras. Melihat jembatan itu, mereka berdua seketika sama-sama berpikiran untuk menggunakan jembatan itu.
"Hei, Edgar, kau memikirkan apa yang ku pikirkan, kan?"
"Jembatan itu? Wah, aku tidak menyangka kau bisa memikirkan ide seperti itu juga."
"Ini berisiko, namun setidaknya kita bisa mencobanya."
"Baiklah... Ayo!"
Mereka berdua pun akhirnya menuju jembatan tersebut, dan begitu tiba di situ, Nabilah langsung membiarkan Edgar menggendongnya dan membawanya lari melewati jembatan tua itu. Sementara itu, rambut panjang Nabilah dibiarkan terurai begitu saja di belakang mereka.
Atsushi pun dengan sigap menyusul mereka. Namun, sayangnya ia tidak bisa menangkap mereka karena ia sudah tertinggal terlalu jauh dari mereka. Alhasil, Atsushi pun menggertakkan giginya lalu dengan frustasi mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke arah Edgar.
"Ack!"
Batu itu langsung mengenai pelipis kanan Edgar tepat saat ia menoleh ke belakang untuk melihat Atsushi. Batu itu sangat kasar permukaannya, dan lemparannya pun juga sangat kuat, seketika langsung melukai pelipisnya dan juga membuatnya hilang kesadaran.
"Edgar!"
Di saat yang bersamaan, dikarenakan Edgar langsung lunglai karena hilang kesadaran, itu membuat ia bersama Nabilah dan Karl jatuh ke sungai yang deras itu dan hanyut hingga jatuh ke air terjun juga. Dan sekali lagi, Atsushi pun kehilangan jejak Edgar.
"... Aku akan segera menemukan kalian lagi."
***
Beberapa saat pun berlalu, Nabilah dan Edgar akhirnya keluar dari sungai itu. Nabilah membantu Edgar untuk berdiri dan mendudukkannya di rumput, membiarkannya bersandar pada sebuah batu.
"Karl, kau tunggu disini bersama dia. Aku akan cari kayu bakar karena sebentar lagi matahari akan terbenam."
Karl yang sebelumnya sedang sibuk mengeringkan diri pun mengangguk lalu mendekati Edgar dan duduk di pangkuannya.
"Kau tunggu saja disini. Biar aku yang mengurus semuanya."
Edgar tersenyum tipis lalu mengusap-usap kepala Karl dengan lembut, "... Maaf karena harus membuatmu repot-repot begini."
Nabilah yang sedang mengumpulkan kayu bakar pun menoleh padanya, lalu membalas, "Harusnya aku yang minta maaf."
***
"Orang itu... jika kita berpapasan dengannya lagi, akan ku hancurkan tengkoraknya!"
Di lain tempat, Akutagawa bersaudara sedang berjalan menyusuri hutan, entah kemana tujuan mereka. Namun yang jelas, mereka menaruh dendam pada Edgar atas perbuatannya sebelumnya.
"Hei, anak-anak! Apa kalian mencari orang ini?"
Kakak beradik itupun menghentikan langkah mereka, lalu menoleh ke pria yang tiba-tiba saja memanggil mereka berdua. Pria itu ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah Nikolai Gogol, dan saat itu, ia sedang menunjukkan poster buronan dengan nama "Edgar Allan Poe" terpampang jelas disitu.
Akutagawa bersaudara membelalakkan mata mereka bersamaan begitu melihat poster itu. Ryuunosuke pun membalas, "Ya, kami ingin membalas dendam pada orang itu."
"Kau siapa?" tanya Gin.
Nikolai pun tersenyum lalu melipat poster itu dan memasukkannya ke dalam tas, "Jangan dingin begitu dong, nak. Aku hanya ingin membantu kalian!"
Gin menaikkan sebelah alisnya, "Membantu kami? Kenapa?"
"Oh, jadi begini... Edgar Allan Poe itu... dia sudah menculik putriku!" balas Nikolai dengan dramatis.
"Hah? Orang itu ternyata bisa menculik juga?" sela Ryuunosuke.
"Yang benar?" Gin ikut bertanya.
Nikolai pun mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan menunjukkannya pada mereka berdua, "Yah... sepertinya dia tidak sengaja meninggalkan ini di tempat tinggal ku."
"Tiara nya!? Berikan tiara itu pada kami!" sahut Ryuunosuke.
"Eh, eh, eh, tidak semudah itu! Jika kau ingin tiara ini, kau harus melakukan sesuatu untukku dulu!"
"Apa?"
Nikolai mengangguk-angguk, lalu memasukkan tiara itu kembali ke dalam tas dan mulai menjelaskan, "Nah! Dengarkan aku baik-baik, ya! Pertama-tama, kau akan ku biarkan untuk membalas dendam pada Edgar Allan Poe itu, terserah mau kau apakan dia, kalau kau mau membunuhnya pun aku tidak akan keberatan. Nah, dengan itu, aku akan bisa mendapatkan putri ku kembali! Setelah itu barulah aku akan memberikan tiara ini pada kalian! Bagaimana?"
Ryuunosuke melirik ke Gin yang kemudian meliriknya juga. Setelah diam untuk beberapa saat, Gin pun mengangguk-angguk dan Ryuunosuke pun berkata, "Baiklah, kami terima tawaran itu. Jika kau yang ingkar, maka kaulah yang akan kami bunuh."
Nikolai pun tertawa kecil, "Ehehehehehehe, bagus! Bagus sekali! Nah, sekarang ikut aku! Ku rasa aku tahu dimana mereka berada."
***
Malam telah tiba, dan untungnya Nabilah memiliki cukup waktu untuk mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun.
"Karl, jangan sembarangan memetik buah! Kau tidak tahu apakah itu aman untuk dimakan!" seru Nabilah sambil mengangkat Karl yang hampir saja memetik buah-buahan berwarna merah muda.
Edgar terkekeh lalu membalas, "Hei, itu hanya rasberi! Rasberi itu aman-aman saja, mereka tidak akan membahayakan mu."
"Oh, benarkah?"
"Aku serius, kok."
"Ah, baiklah kalau begitu."
Nabilah pun menurunkan Karl dan membiarkannya untuk memakan rasberi itu. Gadis itupun juga akhirnya memetik beberapa buah rasberi tersebut lalu kembali duduk di sebelah Edgar.
"Kau bilang ini aman untuk dimakan, kan?" tanya Nabilah sambil memberikan beberapa buah rasberi itu pada Edgar.
Edgar tersenyum lalu mengambil semua rasberi itu dan menyimpannya di sakunya, "Kau saja yang makan duluan. Aku bisa nanti saja."
"... Apa itu?"
"Eh?"
Nabilah meletakkan rasberi yang tersisa di sebelahnya, lalu mendekatkan tangannya ke wajah Edgar, "Apa boleh aku melihatnya?"
"M-Melihat apa?"
"Ada darah kering di pipi kanan mu itu."
"Oh? B-Baiklah..."
Perlahan, Nabilah pun menyingkap rambut lebat Edgar untuk memeriksanya, dan ternyata bekas luka dari batu yang ditendang Atsushi tadi membekas di pelipis kanannya.
"Tenang saja, akan aku obati ini."
"Bagaimana?"
"Dengan ini."
Nabilah tersenyum lalu mengambil beberapa helai rambutnya lalu membungkus sisi kanan dari kepala Edgar dengan rambutnya itu.
"A-Apa yang kau lakukan?"
Setelah itu, Nabilah pun menghela napas, lalu menatap Edgar, "Berjanjilah kau tidak akan heboh karena ini."
Edgar tidak mengerti apa maksudnya, namun akhirnya ia lebih memilih untuk diam dan membiarkan Nabilah mengobati lukanya dengan rambutnya itu.
Gadis itupun menutup matanya dan mulai bernyanyi dengan pelan, "Bunga berkilau dan bercahaya... Biarkan kekuatanmu bersinar..."
Rambut putih panjang itu pun seketika bersinar terang begitu sang gadis mulai bernyanyi. Edgar cukup terkejut melihat hal tidak biasa seperti itu. Pemuda itupun melirik ke Karl yang menatapnya seolah mengatakan, "Jangan takut. Kau akan baik-baik saja."
"Buatlah jam berbalik... Kembalikanlah apa yang dulunya milikku..."
Lagu itupun berakhir, dan rambut Nabilah pun berhenti bersinar. Ia langsung melepaskan rambutnya dari kepala Edgar dan mengecek pelipisnya sekali lagi.
Gadis itupun tersenyum kecil, lalu bergumam, "Lukanya hilang."
Edgar pun meraba-raba pelipisnya yang tadinya terluka. Ia bersumpah bahwa beberapa saat yang lalu, pelipis kanannya terasa pedih karena luka. Namun setelah Nabilah bernyanyi dengan rambutnya yang bersinar, luka itu hilang dan sekarang pelipisnya baik-baik saja tanpa ada lecet sedikitpun.
"Terima kasih... Rambutmu ajaib."
"Sama-sama. Dan, ya, aku tahu."
"Sudah sejak kapan?"
"Tentu saja sejak aku kecil."
Keduanya pun terdiam dan suasana menjadi canggung untuk beberapa saat, sebelum kemudian Edgar memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu pada Nabilah.
"Hei... Boleh aku tanya sesuatu?"
"Ya? Apa?"
"Apa kau memang benar-benar tidak pernah keluar dari menara itu sebelum saat ini?"
Nabilah pun menghela napas lalu menggaruk tengkuknya, "Sama sekali tidak pernah. Ini kali pertamanya aku keluar dari sangkar burung itu. Pergi keluar menara dan melihat lentera langit secara langsung itu sudah menjadi impianku sejak kecil dulu."
"Jadi bapakmu sudah melarang mu keluar sejak dulu, ya? Sepertinya sekarang aku sudah mengerti."
"Mengerti apa?"
Edgar mendongak untuk menatap ke langit, lalu mulai menjelaskan, "Bapakmu pasti ingin melindungi keajaiban rambutmu itu. Ada kemungkinan bahwa kau bisa saja akan diburu oleh orang-orang jahat yang sebenarnya untuk memanfaatkan keajaiban yang kau miliki. Dan bapakmu tidak ingin hal itu terjadi padamu."
"Oh... Begitu, ya... Pantas saja bapak selalu menentang keras impianku."
Edgar menyadari bahwa Nabilah mulai terlihat sedih, dengan segera, ia pun memutuskan untuk mencairkan suasana supaya tidak suram.
"Aha! Ngomong-ngomong soal impian... Aku juga punya impian!" ujar Edgar.
Nabilah memiringkan kepalanya dan menatap Edgar dengan penasaran, "Benarkah? Apa impianmu?"
Edgar tersenyum lalu membalas, "Aku ingin menjadi seorang penyair dan berhenti menjadi seorang pencuri."
"Itu impian yang keren! Aku mendukungmu, Edgar! Aku yakin kau akan bisa menjadi seorang penyair suatu hari nanti, atau mungkin besok!"
Edgar tertawa mendengar itu, "Ahahahaha! Terima kasih... karena tidak mengolok-olok impianku seperti yang lainnya. Sebelumnya, kebanyakan orang akan mengolok-olok impianku jika aku ditanya oleh mereka. Jadi... terima kasih."
Edgar berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Ngomong-ngomong, aku lebih suka dipanggil Edgar daripada Poe. Jadi, yah... kau mengerti, kan?"
Nabilah mengangguk-angguk, "Aku merasa sangat senang karena bisa bertemu dengan orang sepertimu, Edgar! Aku bersyukur karena kaulah yang sudah menemaniku sepanjang perjalanan ini..."
Keduanya pun saling tersenyum pada satu sama lain, sebelum kemudian mereka berdua menyadari bahwa api unggun yang ada di hadapan mereka itu sudah mulai mengecil.
"Eh, apinya mengecil."
"Ah, kali ini aku saja yang mengumpulkan kayu bakar! Kau tunggu saja disini."
"Oh, baiklah. Hati-hati, ya!"
Edgar mengangguk lalu bangkit dan pergi untuk mengumpulkan kayu bakar. Nabilah tersenyum manis begitu pemuda itu melambaikan tangannya sebentar.
Karl melompat naik ke pundak gadis itu, kemudian si gadis pun menghela napas dan berkata, "Dia sangat baik, ya, Karl."
"Oh, tentu! Dia itu anak yang sangat baik, ya! Saking baiknya, dia bahkan berbaik hati untuk membawamu keluar!"
Nabilah terdiam, keterkejutan pun tampak jelas pada wajahnya begitu ia mendengar suara yang sangat familiar itu. Gadis itupun menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan, setelah itu ia menoleh ke sumber suara itu dengan amat tenang sambil tersenyum tipis.
"Oh, halo, Bapak! Bapak sedang apa disini?"
"Wah, yang jelas bapak mencari mu!"
Nikolai pun mendekati Nabilah lalu menatapnya lekat-lekat, "Sedang apa kau di tengah hutan begini?"
"Aduh, yang jelas aku mau mewujudkan impianku." balas Nabilah dengan tenang.
Nabilah kemudian melihat ke langit dan melanjutkan, "Dia juga sepertinya menyukaiku, Pak. Dia baik sekali, aku juga menyukainya. Katanya, kau selalu tahu yang terbaik untukku, tapi kenapa Bapak tidak tahu bahwa dia itu baik untukku?"
Nikolai tidak menyangka bahwa Nabilah bisa setenang itu. Sebelumnya ia mengira bahwa Nabilah akan langsung minta maaf diatas materai begitu melihatnya, namun ternyata tidak. Nabilah malah bersikap sangat tenang, seolah ia sudah menduga bahwa Nikolai akan segera memergokinya sedang bercanda ria dengan seorang pemuda di tengah hutan.
Namun kenyataannya, Nabilah sengaja mencoba untuk bersikap tenang, karena ia tahu bahwa Nikolai pasti ingin melihatnya panik dan meminta maaf sambil menangis dan bilang bahwa ia menyesal sudah keluar dari menara. Ia mungkin tampak sangat tenang, namun dalam hatinya, ia sudah panik luar biasa karena hal yang ditakutinya untuk hari itu malah benar-benar terjadi.
Dengan matanya terbelalak, Nikolai pun menyeringai, lalu mulai tertawa-tawa pelan, setelah itu kembali berbicara, "Oh, begitu, ya... Nabilah sudah dewasa, ya... Nabilah sudah bukan anak kecil lagi... Makanya dia sudah berani durhaka ke bapaknya... Oke, aku mengerti..."
"Ya, sudah kalau sudah mengerti. Bapak pulang saja, tidak usah mengkhawatirkan aku. Aku bisa jaga diri. Edgar juga sebenarnya orang baik, dia tidak seperti apa yang bapak bayangkan setelah melihat posternya itu." balas Nabilah.
"Oh, begitu!? Begitu, ya!? Ohohoho, ternyata Nabilah memang benar-benar sudah dewasa! Dewasa tetapi terlalu naif untuk percintaan! Iya! Itu dia! Bapak benar-benar tidak menyangka bahwa Nabilah yang dulunya manis dan amat lemah lembut, malah menjadi seperti ini ketika ia mulai beranjak dewasa!" Nikolai mulai meracau dengan dramatis.
Nabilah terkejut mendengar Nikolai bicara seperti itu, ia pun membalas, "Bapak, jika kau tidak suka dengan kemauanku, kau bisa jelaskan saja alasan yang sebenarnya, kenapa kau tidak menyukainya! Tidak usah merahasiakan apapun! Aku tahu kau pasti merahasiakan sesuatu dariku!"
Nikolai terdiam lalu menatap Nabilah dengan tidak percaya. Perlahan-lahan, pria itupun mengambil langkah mundur.
"Hahahahaha... Iya, ya. Nabilah juga selalu tahu yang terbaik untuk dirinya sendiri. Selama ini, yang selalu benar itu Nabilah, dan bukan aku."
"Bapak, tolong tinggalkan aku. Aku berjanji akan pulang ke menara besok malam."
"... Oh, kau mau bapak pergi? Kau mengusirku, ya? Baiklah. Aku akan pergi."
Nikolai pun menatap tajam gadis itu, lalu menyembunyikan dirinya dengan mantelnya dan menghilang tanpa jejak seolah ia langsung disembunyikan oleh angin. Melihat sang bapak akhirnya pergi, Nabilah pun menghela napas lega, dan melampiaskan kegelisahan yang dirasakannya selama berhadapan dengan Nikolai tadi.
"Akhirnya... Akhirnya dia pergi..."
"Nabilah? Ada apa?"
Tiba-tiba, Edgar kembali memunculkan diri dengan setumpuk kayu bakar untuk api unggun. Edgar pun menyadari bahwa raut wajah Nabilah terlihat seperti sesuatu sedang mengganggu pikirannya.
"Hei, kau baik-baik saja, kan?"
"... Iya, aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat saja."
***
Malam telah berlalu, dan pagi pun telah tiba. Saat itu, Nabilah masih berada di alam mimpinya dengan tenang, namun kemudian ia terbangun karena dikejutkan oleh teriakan minta tolong dari seseorang.
"NABILAH! NABILAH, TOLONG AKU!"
"E-Edgar!?"
Berapa terkejutnya gadis itu begitu melihat ada seekor harimau putih yang menyeret Edgar. Pemuda itu kesulitan untuk memberontak karena harimau itu lebih kuat tenaganya daripada dirinya. Taringnya yang menancap di betis kirinya juga melemahkan nya, sehingga Edgar juga tidak bisa sembarangan menarik betisnya itu supaya tidak terluka parah. Dia sudah mencoba untuk menendang wajah harimau itu dengan kakinya yang satunya, namun mau berapa kali pun ia mencoba, harimau itu tak kunjung melepaskannya.
"Hei, hei, hei! Hentikan! Kau mau membawanya kemana!? Dasar harimau nakal! Lepaskan Edgar! Tanpa dia, aku tidak akan bisa pergi mewujudkan impianku atau bahkan pulang!"
Harimau itupun berhenti, lalu menatap tajam Nabilah. Namun setelah memperhatikan gadis itu untuk beberapa saat, harimau itupun membelalakkan matanya. Dan tiba-tiba saja, harimau itupun melepaskan betis Edgar dari taringnya lalu berubah wujud menjadi seorang pemuda berambut abu-abu muda, yang tentunya adalah Atsushi.
"Maaf, tapi kau ini sebenarnya siapa? Sedang apa gadis sepertimu bersama orang ini? Apa dia menculik mu?" tanya Atsushi pada sang gadis.
Nabilah terkejut begitu melihat Atsushi, begitu juga saat mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Gadis itu pun buru-buru berdiri di depan Edgar dan menghadap Atsushi, seolah-olah dia ingin melindungi Edgar dari Atsushi.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau siapa dan kenapa kau mengejar-ngejar kami kemarin? Dan kenapa kau sangat bersikeras untuk membawa Edgar pergi bersamamu?"
"Ah, namaku Nakajima Atsushi. Aku salah satu prajurit dari Kerajaan Aureole. Dan aku bersikeras untuk menangkap temanmu ini karena dia sudah mencuri harta paling berharga dari istana!"
"Harta paling berharga?"
"Iya!"
"Oh, begitu... Duh, aku terpaksa harus menjelaskannya lagi, deh."
Atsushi menaikkan sebelah alisnya, "Menjelaskan apa?"
Nabilah tersenyum lalu mengacungkan jari telunjuknya dan mulai menjelaskan, "Jadi begini. Aku ini sudah bertahun-tahun dikurung di sebuah menara oleh bapakku dan ini adalah kali pertamanya aku keluar dari menara itu. Sejak kecil, aku memiliki sebuah impian untuk pergi keluar dari menara itu dan secara langsung melihat lentera langit yang setiap tahunnya diterbangkan pada hari ulang tahunku. Nah, Edgar ini sudah berjanji padaku untuk membantuku mewujudkan impian itu! Jadi aku mohon padamu untuk jangan coba-coba untuk membawa pergi Edgar dariku sampai aku bisa mewujudkan impian itu dan pulang ke menara!"
Atsushi mengedipkan kedua matanya lalu memiringkan kepalanya, "Itu saja? Apa ada pembelaan lain yang ingin kau berikan padanya?"
"Oh, tentu saja ada!"
Nabilah menjeda sebentar, lalu melanjutkan, "Edgar punya impian untuk berhenti mencuri! Itu karena dia ingin menjadi seorang penyair! Jadi tolong beri dia kesempatan!"
"... Jadi kau ingin tobat?" tanya Atsushi sambil menatap Edgar.
Edgar mengangguk-angguk sebagai jawaban. Atsushi pun terdiam dan berpikir untuk beberapa saat, sebelum kemudian ia menghela napas dan berkata, "Baiklah, kau akan ku beri kesempatan. Tapi berjanjilah kau akan mengembalikan barang curian mu itu jika kau benar-benar ingin bertobat. Dan juga, mulai dari sekarang ini, aku akan mengikuti dan mengawasi kalian."
Edgar pun menghela napas lega, "Oh, baguslah. Terima kasih banyak kalau begitu. Dan, ya, aku akan mengembalikan barang curian ku itu setelah aku mengantar gadis ini pulang. Nah, Nabilah, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan kita?"
"Nabilah?"
Edgar bermaksud untuk berdiri, namun tidak jadi begitu ia mendesis karena merasakan pedih luar biasa pada betisnya yang digigit oleh harimau Atsushi tadi.
"Tunggu, Edgar, sini aku obati dulu!"
"Mengobatinya? Bagaimana?"
"Ah, terima kasih karena sudah mau mengobati ku lagi..."
"Tidak masalah!"
Nabilah pun mengulangi hal sama yang ia lakukan untuk mengobati luka Edgar seperti semalam, yaitu dengan membungkus luka itu dengan rambutnya, lalu menyanyikan sebuah lagu untuk membuat rambutnya bersinar, dan voilà! Luka itupun hilang tanpa bekas!
"Baiklah, sekarang ayo lanjutkan perjalanan kita! Oh, ngomong-ngomong dimana Karl? Karl! Kau dimana? Oh, ternyata di sini!" seru Nabilah dengan ceria sambil tersenyum pada Karl yang baru saja naik kembali ke pundaknya.
Edgar tertawa kecil melihat tingkah gadis itu, lalu memegang tangannya dan kembali memimpin perjalanan itu dengan Atsushi sebagai teman baru mereka. Sementara itu, Atsushi sibuk memikirkan sesuatu setelah melihat bagaimana Nabilah mengobati luka tadi. Ia hampir tidak bisa mempercayai keajaiban seperti itu, namun bukan keajaiban itulah yang paling ia pikirkan saat ini.
"Mata merah delima... Rambut yang putih bersih bagaikan salju... Dan namanya berinisial N... Apa jangan-jangan..."
"Hei, Atsushi. Kau baik-baik saja, kan?" Nabilah tiba-tiba saja bertanya padanya.
"Eh? Ah! Ya! Aku baik-baik saja! Ti-Tidak perlu mengkhawatirkan aku." balas Atsushi sambil tersenyum canggung.
Nabilah pun memberi senyum lembut pada Atsushi dan membatin, "Ternyata dia tidak begitu menyeramkan seperti dirinya yang kemarin dan harimau nya tadi. Dia juga orang baik!"
***
"Wah! Jadi ini yang namanya Kerajaan, ya, Edgar? Ada banyak bangunan juga disini... Tidak heran kenapa ramai sekali!"
"Ahaha, ya, selamat datang di Kerajaan Aureole, Nabilah! Ayo, ikut aku, aku akan menemanimu melihat-lihat! Oh, jangan khawatirkan keramaian nya juga, kita akan baik-baik saja selama kita menjaga satu sama lain, oke?"
"Oi! Jangan lupa bahwa statusmu itu masih seorang buronan! Jadi jangan sampai prajurit yang lain melihatmu! Teman kecilmu ini tolong diperhatikan juga, jangan sampai dia sembarangan mencuri juga!"
Beberapa saat pun telah berlalu, Nabilah, Edgar, dan Atsushi tiba di Kerajaan Aureole. Bagaikan seorang anak kecil, Nabilah terlihat sangat bersemangat untuk menghabiskan waktunya di Kerajaan itu bersama Edgar.
Tapi sebelum itu, sepertinya mereka harus mengatasi satu masalah kecil terlebih dahulu.
"Aduh! Ah, ah, ah! Duh... Rambutku terus-terusan terinjak, nih!" keluh Nabilah karena rambutnya yang sudah berkali-kali terinjak oleh orang yang berlalu-lalang sejak ia menginjakkan kakinya di Kerajaan itu.
Edgar pun mengambil beberapa helai dari rambut putih itu, lalu mencoba untuk memikirkan suatu cara supaya Nabilah bisa menghabiskan waktunya tanpa khawatir rambutnya akan diinjak-injak oleh orang-orang. Pemuda itupun melihat ke sekitar, lalu menemukan sekumpulan gadis-gadis kecil yang sedang saling mengepang rambut satu sama lain. Edgar pun mendapat ide, kemudian bersiul untuk memanggil gadis-gadis itu.
"Halo! Maaf mengganggu waktunya, tapi apa kalian bisa membantu kami dengan ini?"
***
Beberapa saat pun berlalu, dan rambut Nabilah sekarang sudah tidak lagi menyentuh tanah berkat bantuan dari para gadis kecil yang sudah membantu mengepang rambutnya itu dengan senang hati. Mereka juga mempercantiknya dengan menambahkan beberapa bunga di sepanjang rambut itu. Alhasil, Nabilah menjadi terlihat lebih cantik dengan model rambut seperti itu.
"Wah! Kakak jadi cantik sekali!"
"Rambutmu panjang sekali, kak! Menatanya tadi itu sangat menyenangkan!"
Gadis-gadis kecil itu tidak habis-habisnya mengagumi rambut putih yang telah mereka dandani itu. Nabilah hanya bisa tertawa kecil lalu memberi masing-masing gadis kecil itu satu elusan lembut pada kepala mereka, tidak lupa ia juga berterima kasih pada mereka.
"Terima kasih banyak, ya!"
"Sama-sama!"
Nabilah pun melambai-lambai pada gadis-gadis kecil itu untuk beberapa saat, sebelum kemudian berbalik badan lalu menghampiri Edgar dan Atsushi yang menunggunya.
"Nah, jadi bagaimana penampilanku?" tanya Nabilah.
Edgar menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan. Pemuda itupun menyunggingkan senyum pada Nabilah dan membalas, "You look stunningly beautiful, dear."
Atsushi memberi tatapan malas pada Edgar, atau mungkin bisa kalian sebut juga bombastic side eye criminal offensive side eye. Setelah itu, ia pun menatap Nabilah lalu memasang senyum tipis, "Sangat cantik!"
Nabilah pun tertawa lagi, lalu menarik tangan Edgar dan menyeretnya pergi bersamanya, "Nah, sekarang ayo temani aku melihat-lihat tempat ini! Aku ingin melihat yang di sana terlebih dahulu, ya!"
"Ahahahaha, baiklah, baiklah!"
"Hei, tunggu aku, dong!"
Sepanjang hari itupun Nabilah habiskan bersama Edgar dengan bersenang-senang di Kerajaan Aureole, dengan Atsushi sebagai penjaga mereka untuk sementara. Banyak sekali hal yang mereka lakukan, mulai dari melihat-lihat bangunan-bangunan penting, membaca buku-buku di perpustakaan, dan masih banyak lagi, namun bagian terbaiknya adalah ketika mereka menari bersama beberapa orang di jalan.
Begitu matahari telah terbenam, Edgar dan Nabilah memutuskan untuk menaiki sebuah sampan dan melihat lentera langit dari tengah laut.
"Kau akan menunggu kami disini, kan?" tanya Edgar pada Atsushi.
Atsushi yang sedang duduk di tepi daratan pun mengangguk pelan sebagai jawaban, lalu menatap Edgar malas, "Kau jangan coba-coba untuk malah kabur dariku, ya. Kalau kau kabur, aku akan memburu mu lagi."
Edgar terkekeh, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku nya, dan memberikan sesuatu itu pada Atsushi.
"Ini untukmu."
"Hm? Sebuah apel?"
Melihat reaksi Atsushi, Edgar pun menatapnya datar lalu membalas, "Jangan menatapku begitu. Aku sama sekali tidak ada niat untuk meracuni mu dengan sebuah apel hasil curian yang sebenarnya ku beli dengan uang ku sendiri. Aku tulus untuk ini, lho."
Atsushi menghela napas lalu menerima apel itu dan menggigitnya, "Iya, deh, iya. Terima kasih."
Setelah pamit pada pemuda berambut abu-abu muda itu, Edgar dan Nabilah pun akhirnya pergi ke tengah laut dengan menaiki sebuah sampan, meninggalkan Atsushi yang akan menunggu mereka di tepi daratan.
Selama Edgar sibuk mendayung sampan itu, Nabilah memfokuskan pandangannya pada dua buah lentera langit yang akan ia dan Edgar terbangkan nanti. Dua buah lentera itu mereka dapatkan dari seseorang di Kerajaan Aureole yang tadi memberikannya secara cuma-cuma pada mereka berdua.
"Lentera nya akan diterbangkan sebentar lagi, kan?"
"Iya, seharusnya mereka akan memulainya sebentar lagi. Ah, Karl juga ternyata tidak sabar untuk melihat lentera itu, ya?"
"Ehehe, yah, sepertinya Karl juga memiliki impian yang sama denganku, yaitu melihat lentera langit secara langsung!"
Tidak lama setelah itu, begitu mereka tiba di tengah laut, sebuah cahaya kecil muncul dari gelapnya Kerajaan Aureole malam itu. Sedikit demi sedikit, lebih banyak cahaya pun muncul dan mulai berterbangan di langit.
Ya, semua cahaya itu adalah lentera langit yang sudah ditunggu-tunggu oleh sang gadis berambut putih yang akhirnya menginjak usia 18 tahun.
"Edgar! Lihat itu! Lentera nya sudah diterbangkan!"
Nabilah tersenyum lebar, ia tampak sangat senang begitu melihat semua lentera langit itu. Sedikit demi sedikit pun lentera-lentera itu mendekat ke laut, lalu ke sampan dan seketika menerangi sekitar mereka.
Nabilah merasa sangat bahagia karena akhirnya impiannya itu terwujud. Saat itu, rasanya ia sangat ingin waktu bisa melambat, supaya ia bisa menikmati impian itu selama mungkin. Ditambah lagi, ia juga tidak ingin langsung berpisah dengan Edgar setelah semuanya berakhir.
Lalu bagaimana dengan Edgar saat itu? Pemuda itu tidak bisa mengatakan apapun, ia benar-benar terpana akan betapa indahnya pemandangan yang sedang ia lihat saat itu. Nabilah yang sedang bersamanya pun juga membuat momen itu terasa lebih berarti untuknya.
Ah, suasana saat itu terasa sangat menghangatkan hati bagi mereka berdua. Menyaksikan sebuah pemandangan lentera langit yang berterbangan pada malam itu bersama dengan orang yang berharga untukmu, apa ada hal lain yang lebih baik daripada itu?
Ini benar-benar merupakan sebuah momen yang tidak akan pernah mereka lupakan.
"Edgar."
"Hm?"
Nabilah akhirnya kembali berbicara, seketika perhatian sang pemuda pun teralihkan dari pemandangan indah itu.
Si gadis pun memberikan senyum manis padanya, dan berkata, "Terima kasih banyak untuk semuanya! Aku... benar-benar merasa..."
"Bahagia?"
Edgar membalas senyum itu dengan senyum lembutnya juga, lalu membelai rambut gadis itu, "Aku juga... merasa bahagia karena semua hal yang telah kita lewati, dan untuk yang sekarang juga. Untuk pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini..."
"Ahaha, intinya saat ini kita sama-sama bahagia! Benar, kan?"
Edgar mengangguk pelan sebagai jawaban, lalu menatap Nabilah dengan penuh kasih untuk beberapa saat, sebelum kemudian perhatiannya teralihkan sebentar begitu ia melihat dua sosok tak asing yang ternyata sedang memperhatikannya di seberang. Dua sosok itu tampak menatapnya dengan aura mengintimidasi, lalu berlalu dan masuk ke hutan.
"Hei, ada apa?" tanya Nabilah dengan nada khawatir.
Edgar menoleh lalu dengan canggungnya membalas, "Eh? Oh, bukan apa-apa! H-Hanya saja... ada urusan yang perlu aku selesaikan..."
***
"Tunggu disini, Nabilah. Aku akan segera kembali, aku tidak akan lama!"
"Edgar, kau mau kemana? Hei, tunggu!"
Setelah tidak ada lagi lentera yang terlihat di langit, Edgar langsung mendayung sampan itu dan menepi di daratan seberang, bukannya kembali ke Kerajaan Aureole. Edgar bilang kalau ada urusan yang harus ia selesaikan dengan cepat, setelah itu barulah ia akan kembali. Ingin rasanya Nabilah mencegah Edgar pergi meninggalkannya saat itu karena firasat buruk yang ia dapatkan, namun sayangnya ia tak bisa melakukan itu.
"Edgar... tolong jangan tinggalkan aku..."
Edgar menyusuri tepi daratan itu untuk mencari dua sosok yang mengalihkan perhatiannya tadi. Tidak butuh waktu lama untuk mencari dua sosok itu, Edgar akhirnya menemukan Ryuunosuke sedang duduk santai di atas sebuah batu, terlihat seolah ia sudah menunggu kedatangan Edgar.
Edgar pun mendekati Ryuunosuke lalu mulai berbasa-basi dengan Akutagawa sulung itu, "Hei! Lama tidak berjumpa, ya! Kau sendirian disini? Mana adikmu itu?"
Ryuunosuke pun meliriknya lalu membalas, "Kami sudah tidak butuh tiara itu."
"Hah?"
Edgar terdiam, ia pun mencoba untuk tetap tenang lalu melanjutkan, "Oh, ya? Ini berarti tiara nya sekarang milikku, ya? Ahaha, baguslah kalau begitu! Tapi, kalian jadi mau apa sekarang?"
Tatapan matanya pada Akutagawa sulung itupun menjadi tajam, "Aku yakin, kalian pasti memancingku kesini bukan hanya untuk bilang bahwa kalian sudah tidak butuh tiara itu lagi, kan? Pasti ada hal lain, apa aku salah? Hm?"
Ryuunosuke pun akhirnya tersenyum tipis, "Menurutmu?"
"... Jangan kau coba-coba untuk menyentuh Nabilah." balas Edgar dengan dingin.
Keduanya diam untuk beberapa saat, sebelum kemudian Edgar tiba-tiba berbalik badan lalu menendang kedua tangan dari sosok yang sebelumnya hampir saja memukul belakang kepalanya dengan sebuah batu besar.
Sosok itu ternyata adalah Gin, dan begitu Edgar menendang kedua tangannya sehingga ia menjatuhkan batu itu, gadis itupun dengan sigap mengeluarkan sebuah pisau dari sarungnya dan langsung menyerang Edgar. Edgar dengan cekatannya berhasil menghindari semua serangan dari Gin, namun sayangnya ia lengah karena terlalu fokus pada serangan dari Gin sehingga tidak menyadari Ryuunosuke yang diam-diam mendekatinya kemudian.
"Akh! Sial, aku lengah!"
Sudah terlambat baginya untuk menghindar, celah untuk menghindar pun juga sudah tidak ada karena Akutagawa bersaudara itupun benar-benar mengepungnya saat itu. Alhasil, Edgar berakhir jatuh tak sadarkan diri karena belakang kepalanya dipukul dengan sebuah batu oleh Ryuunosuke.
"Ayo. Siapkan kapalnya."
"Baik, kak."
***
"Edgar lama sekali. Apa sebaiknya kita cari dia, Karl?"
Karl menggeleng cepat, namun itu bukanlah jawaban yang diinginkan oleh si gadis berambut putih.
"Bisa saja sesuatu terjadi padanya, Karl! Ayolah, kita cari saja dia!"
Nabilah tidak mempedulikan apa respon Karl setelah itu. Ia pun meninggalkan sampan bersama Karl, lalu pergi mencari Edgar di tepi daratan itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja mereka dihadang oleh dua orang pencuri yang tidak lain tidak bukan adalah Akutagawa bersaudara.
"S-Siapa kalian?" Nabilah mencoba untuk tetap tenang selagi menghadapi kakak beradik itu.
"Kau Nabilah, kan?" tanya Gin.
"Dan kau kesini untuk mencari pengkhianat itu, kan?" Ryuunosuke ikut bertanya.
"Siapa yang kau maksud pengkhianat?" Nabilah menaikkan nada bicaranya.
Kakak beradik itu tidak menjawab, namun Ryuunosuke kemudian menunjuk kearah laut. Nabilah pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Ryuunosuke, dan menemukan sebuah kapal sedang berlayar menuju Kerajaan Aureole. Seandainya Nabilah tidak mengenakan kacamata, ia pasti tidak akan bisa melihat bahwa sosok yang sedang menaiki kapal itu adalah sosok yang telah menemaninya selama perjalanannya sebelumnya.
"Edgar? Tapi... kenapa?"
"Sekarang, ayo ikut kami."
Karl tiba-tiba melompat turun begitu Gin menarik paksa tangan Nabilah dan bermaksud untuk membawanya pergi, namun dengan sigapnya Nabilah langsung melawan dengan menendang satu kaki Gin sekuat mungkin hingga gadis itupun jatuh terjungkal ke tanah karenanya. Gin langsung bangkit dan di saat yang bersamaan pun Ryuunosuke langsung menahan Nabilah lalu membawanya pergi bersama Gin.
"Lepaskan aku! Kalian mau membawaku kemana!?" sahut Nabilah sambil mencoba untuk melepaskan diri dari Akutagawa bersaudara yang sekarang sedang menahannya.
Karl mengejar mereka dan langsung menempel ke kaki Ryuunosuke, bermaksud untuk menggigit kakinya, namun sayangnya Ryuunosuke langsung menendangnya dengan kuat hingga terpental.
"Karl!? Hei, berani-beraninya kau menendang Karl begitu! Siapapun, tolong! Tolong aku!"
DUAG!
DUAG!
Tiba-tiba saja Ryuunosuke dan Gin jatuh tak sadarkan diri ke tanah begitu seseorang memukul belakang kepala mereka dengan sebuah balok kayu. Seketika, Nabilah langsung berbalik badan dan menjadi sangat terkejut begitu ia menemukan seorang pria yang ternyata adalah orang yang sangat ia hindari sebelumnya. Karl pun juga sangat terkejut untuk melihat orang itu lagi.
Ya, siapa lagi kalau bukan Nikolai Gogol. Tatapan matanya saat itu terlihat kosong, dan aura nya pun terasa tidak bersahabat bagi Nabilah.
"Bapak..."
Nikolai menjatuhkan balok kayu yang dipegangnya itu, lalu memegangi kedua pundak Nabilah dengan wajahnya yang mendadak terlihat cemas.
"Oh, astaga, sayang! Kamu gapapa, kan, nak!? Nabilah? Nabilah, jawab bapak, nak! Nabilah!"
Nabilah diam, ia sama sekali tidak menjawab, ia hanya memandang ke tanah dengan tatapan matanya yang tiba-tiba kosong, dan raut wajahnya juga terlihat murung. Suasana hatinya mendadak suram, sepanjang hidupnya ia tidak pernah merasakan kesuraman yang sangat mendalam itu, ini adalah pertama kalinya ia merasakannya.
"Nabilah? Nak, jawab bapak, dong!"
Dengan tangisan yang tertahan, Nabilah pun bersuara, "Edgar... Edgar... Edgar pergi, pak... Aku... harus apa? Kenapa... Kenapa Edgar pergi? Kenapa dia pergi tanpa bilang apa-apa? Kenapa..."
Karl melompat naik untuk kembali duduk di pundak sang gadis untuk membantu menenangkannya dengan kehadirannya yang selalu terasa nyaman untuknya. Tampak bahwa rakun itupun memasang raut wajah sedihnya karena melihat sang majikan bersedih hati.
Nikolai menghela napas, lalu memeluk gadis itu dan menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkannya, "Sudahlah... Lupakan saja dia. Bapak sudah bilang padamu sebelumnya, kan? Kau itu sudah dewasa, tapi terlalu naif untuk percintaan."
"Tapi, pak... Kenapa dia tidak mengatakan apapun terlebih dahulu sebelum pergi?"
Nikolai melepas pelukannya lalu menyunggingkan senyum tipis, "Sudah Bapak bilang sebelumnya, aku selalu tahu yang terbaik untukmu. Sekarang, kita pulang, ya? Lupakan saja si Ed... Ed... Edward? Edison? Edwin? Edmund? Ah, siapa sih namanya!?"
"... Edgar, pak."
"Oh, iya! Edgar! Nah, lupakan saja si Edgar itu! Ayo, sekarang kita pulang, ya?"
Masih dengan wajahnya yang murung, Nabilah pun mengangguk pelan dan membiarkan sang bapak menggandeng tangannya lalu membawanya pulang ke menara, atau lebih tepatnya, sangkar burungnya.
***
Sementara itu, seekor harimau putih tampak sedang berlari melewati jembatan yang menghubungkan Kerajaan Aureole dengan daratan yang merupakan tempat dimana ia sebelumnya bertemu dengan seorang gadis berambut putih dan seorang buronan.
"Firasat ku benar-benar buruk... Semoga saja... Semoga saja aku masih sempat!"
Sebelumnya, Atsushi sedang duduk di tepi pelabuhan, menunggu Nabilah dan Edgar untuk kembali. Beberapa saat kemudian, mata harimau nya menangkap penampakan sebuah kapal yang sedang berlayar menuju pelabuhan itu, dan satu-satunya sosok yang bisa ia lihat di kapal itu adalah Edgar yang sedang tak sadarkan diri dengan keadaan terikat di dekat kemudi kapal.
Atsushi pun langsung menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada mereka, apalagi ketika ia mendapat firasat buruk begitu sampan yang dinaiki mereka berdua juga sudah tidak terlihat lagi di tengah laut. Begitu ia tiba di tempat yang dicurigainya sebagai tempat dimana Nabilah dan Edgar berpisah, Atsushi pun langsung berubah kembali ke wujud manusianya dan mulai mencari-cari mereka berdua.
"Oi! Nabilah!? Poe!? Dimana kalian!? Oi, jawab aku!"
Tiba-tiba saja, Atsushi jatuh tersungkur ke tanah karena tersandung. Begitu ia bangun dari tanah, alangkah terkejutnya Atsushi begitu mendapati bahwa barusan itu ia tersandung kaki dari seorang pemuda yang ternyata adalah Akutagawa Ryuunosuke. Tepat di sebelahnya, ada juga Akutagawa Gin, yaitu gadis yang tentunya merupakan adik perempuan dari Ryuunosuke.
"Akutagawa bersaudara!? Apa yang mereka lakukan disini? Dan siapa yang telah membuat mereka tak sadarkan diri begini?"
Atsushi melihat ke sekitar, mencoba untuk mencari petunjuk, atau mungkin sisa-sisa jejak yang bisa saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah membuat kakak beradik buronan itu terkapar tak sadarkan diri. Perhatiannya kemudian teralihkan begitu mata harimau nya menangkap penampakan dari kejauhan bahwa kapal yang dinaiki Edgar sudah sangat dekat dengan pelabuhan Kerajaan Aureole, dan yang lebih gawatnya lagi, tampak beberapa orang prajurit sedang berpatroli di pelabuhan itu.
"Sial, semuanya sudah terlambat! Mereka akan langsung menangkapnya dan menjebloskannya ke sel penjara di istana!"
***
Pagi itu adalah pagi yang tidak terasa seperti pagi yang biasanya bagi Nabilah. Pagi hari ini, ia sama sekali tidak merasa bersemangat sedikitpun, seolah tidurnya semalam tidak cukup untuk mengisi ulang energinya.
"Beristirahatlah secukupnya, ya. Aku tahu kau pasti sangat kelelahan karena semua hal yang kau lewati selama di luar menara, nak." ujar Nikolai sambil menyingkirkan bunga-bunga dari rambut Nabilah sambil melepas kepang nya juga.
Nabilah tidak menjawab, ia sudah diam seribu bahasa sejak ia kembali ke menara itu semalam. Di luar ia diam, namun di dalam, ia sedang menangisi perpisahan tak terduga nya dengan Edgar. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Edgar, apalagi begitu mengingat bahwa ia belum memenuhi janjinya pada pemuda itu, yaitu mengembalikan tas nya. Kesampingkan soal itu, Nabilah tidak hanya memikirkan Edgar, namun ia juga memikirkan tentang rahasia apa yang bisa saja disembunyikan oleh Nikolai, yang juga kemungkinan merupakan alasan mengapa Nikolai melarangnya keluar dari menara.
Pikirannya terus berjalan, hingga Nabilah teringat akan suatu hal begitu ia tidak sengaja melirik ke sebuah gambar matahari yang pernah dilukisnya di dinding. Saat ia berjalan-jalan di Kerajaan Aureole kemarin, ia melihat ada banyak sekali gambar matahari di sana. Dari apa yang Edgar dan Atsushi jelaskan padanya waktu itu, gambar matahari itu adalah simbol dari Kerajaan Aureole. Namun, simbol itu juga sebenarnya memberikan dejavu pada Nabilah.
Nabilah kemudian tersadar bahwa selama ini, ia juga selalu menambahkan gambar matahari yang mirip dengan simbol itu pada kebanyakan karya lukisnya. Harus ia akui juga bahwa sebenarnya ia selalu melukiskan simbol matahari itu juga karena itu selalu membuatnya merasa seperti ada yang sedang merindukannya, seolah ia sedang ditunggu untuk pulang ke suatu tempat.
Dan di saat itu jugalah, sebuah kilas balik dari masa lalu tiba-tiba muncul di dalam benak gadis itu.
"Ah... Jadi, aku memang benar-benar bukan anak kandung dari bapak, ya?"
Kilas balik itu hanya berlangsung sebentar, namun Nabilah dapat mengingat setiap detail dari kilas balik itu dengan sangat jelas. Kilas balik itu ternyata berasal dari masa dimana Nabilah masih bayi, dan dari situ juga ia akhirnya ingat akan wajah-wajah dari orang tua kandungnya.
Ayah dan ibunya sama-sama memiliki warna rambut yang gelap, lalu sang ayah memiliki mata berwarna hijau sedangkan sang ibu memiliki mata berwarna magenta. Sang ayah juga memiliki senyum yang terlihat kekanak-kanakan dan manis, dan sang ibu memiliki senyum yang terlihat penuh kasih dan lembut.
Sekarang, Nabilah akhirnya tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
"Nah, sudah selesai! Sekarang, saatnya menyisir rambut indah mu ini—"
Nikolai baru saja ingin menyisir rambut putih panjang itu, namun tiba-tiba saja empunya rambut itu berbalik badan lalu menepis tangannya dengan kasar. Nikolai tersentak karena perlakuan tidak terduga dari gadis itu.
"Nabilah? Apa-apaan barusan itu?"
"Aku ini putri yang hilang."
"Hah? Ahaha, candaan macam apa itu, nak? Aku tidak mengerti—"
"Aku ini putri yang hilang! Dan aku tidak bercanda! Jangan pura-pura bodoh! Aku ini memang bukan anak kandungmu, kan!? Kau menculik ku dari istana dan membesarkan ku disini bagaikan anakmu sendiri!"
Nabilah adalah anak baik yang selalu menjaga bicaranya dengan Nikolai, dan ini adalah pertama kalinya ia berbicara dengan nada suara setinggi itu pada pria yang telah membesarkannya itu. Nikolai terdiam, pria itu benar-benar tidak menyangka bahwa hari dimana rahasianya terbongkar akan tiba tepat setelah gadis itu menginjak usia 18 tahun.
"Selama ini aku selalu percaya bahwa yang jahat itu adalah orang-orang di luar menara, namun siapa sangka ternyata orang jahat yang sebenarnya adalah kau yang sudah membesarkan ku? Ayolah, jujur saja. Kau pasti hanya ingin memanfaatkan keajaiban rambutku, kan?"
Nikolai masih diam untuk beberapa saat. Keheningan itu membuat suasananya terasa mencekam untuk Nabilah, sebelum kemudian sirna begitu Nikolai menyunggingkan senyum sinis lalu mengucapkan sesuatu yang seketika membuat Nabilah merinding sekaligus terkejut begitu mendengarnya.
"Oh, begitu, ya? Kau mau aku yang menjadi orang jahatnya? Baiklah kalau itu yang kau mau. Lagipula, pujaan hatimu itu tidak akan datang kesini untuk menyelamatkan mu. Karena kepalanya akan segera dipenggal untuk membayar semua kejahatannya."
***
"Sial... Sial... Sial... Kenapa ini harus terjadi? Seandainya aku tidak lengah saat itu..."
Edgar merasa bodoh karena gagal melepaskan diri dari para prajurit yang menyeretnya semalam. Sekarang, ia sedang mendekam di penjara istana dengan pikirannya yang kacau. Ia benar-benar tidak tidur semalaman, memejamkan mata pun rasanya sulit untuknya. Bagaimana tidak? Selain mengenai apa yang telah terjadi padanya, Edgar juga mengkhawatirkan Nabilah yang entah bagaimana nasibnya saat ini. Pemuda itu terus-terusan menggumamkan isi pikirannya itu, hingga akhirnya pintu sel penjaranya dibuka oleh seorang pria bersurai oranye, yang tidak lain tidak bukan adalah Nakahara Chuuya sang kapten prajurit.
"Sudah saatnya, Poe."
Edgar menghela napas, lalu dengan pasrah bangkit dan membiarkan Chuuya membawanya pergi bersama beberapa orang prajurit lainnya. Namun, apa ia memang benar-benar menyerah? Mungkin kelihatannya saja seperti itu.
Tidak lama kemudian, setelah melewati beberapa sel penjara, Edgar menemukan satu sel yang diisi oleh Akutagawa bersaudara. Ryuunosuke menyadari tatapan tajam dari Edgar, pemuda itupun melirik ke Edgar, setelah itu ia pun tanpa suara mengucapkan, "Ini semua ulah ayah dari gadis itu."
Edgar dapat mengerti akan apa yang diucapkan Ryuunosuke dengan memperhatikan bentuk mulutnya saat itu dengan teliti. Pemuda itupun membelalakkan matanya lalu bergumam, "Dia dalam bahaya besar..."
Tiba-tiba saja, Edgar pun memberontak dari para prajurit yang lengah akan gerak-geriknya. Dengan kedua tangannya yang masih diborgol, Edgar mencoba untuk melawan dengan menggunakan kakinya, namun ternyata tidak bisa karena ia kalah jumlah.
"Kalian harus dengarkan aku! Ayolah! Putri yang hilang itu sedang dalam bahaya! Tolong dengarkan aku!"
Chuuya menahan pergerakan Edgar, lalu kembali menyeretnya menuju ruang eksekusi, "Hentikan omong kosong mu itu!"
Prajurit-prajurit yang tadinya dihajar oleh Edgar akhirnya bangkit lalu mulai menjadi lebih was-was akan pergerakannya, mereka pun menjaga kedua sisi Edgar dan Chuuya. Tidak lama kemudian, begitu mereka hampir tiba di ruang eksekusi, pintu masuknya tiba-tiba saja ditutup dan dikunci dari dalam. Semuanya sempat keheranan melihat itu, sebelum kemudian terdengarlah suara seorang pria yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
"Hai, hai, semuanya!"
"Dazai!? Oi! Berhenti main-main dan cepat buka pintunya!"
Empunya suara itu ternyata adalah Dazai Osamu, salah seorang prajurit yang paling dikenal oleh kalangan masyarakat Kerajaan Aureole, terutama mereka yang tinggal di istana.
"Fufufu, nah, sebelum masuk, sebutkan kata sandinya dulu, dong!" seru Dazai dengan cerianya.
Dengan kesalnya, Chuuya pun menggertakkan giginya, "Sialan, apa-apaan kau ini!? Cepat buka pintunya!"
"Waktunya cuma 10 detik, ya! Dimulai dari sekarang! Sepuluh!"
Bertepatan dengan saat Dazai menyebutkan angka 10, salah seorang prajurit tiba-tiba saja tumbang, entah karena serangan dari apa, namun sepertinya si penyerang ini tidak terlihat. Prajurit-prajurit lain yang menyadari hal itu, kecuali Chuuya, seketika menjadi lebih waspada akan sekitar mereka. Seterusnya, hal yang sama juga terjadi hingga Dazai selesai berhitung.
"Sembilan! Delapan! Tujuh! Enam! Lima! Empat! Tiga! Dua! Satu! Teng teng! Waktu habis! Kau bisa mencoba untuk masuk di lain waktu setelah kau berhasil menebak kata sandinya, ya, Chuuya!"
Setiap prajurit yang ada telah tumbang satu persatu, bersamaan dengan hitung mundur dari Dazai, dan yang tersisa sekarang hanyalah sang kapten alias Chuuya. Begitu prajurit terakhir tumbang, barulah Chuuya dan Edgar menoleh ke belakang dan menyadari apa yang telah terjadi.
"Hei, apa-apaan yang sedang kau rencanakan kali ini, Dazai sialan!? Buka pintunya! Oi!"
Edgar hanya bisa terdiam di sepanjang situasi itu, ia juga tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Dazai. Namun firasatnya mengatakan bahwa ia bisa saja terlibat dalam rencana ini.
"Apa yang sedang dilakukannya ini?"
"Dazai, kubilang cepat buka pintunya!"
Chuuya semakin naik pitam karena Dazai. Senyum santai yang ditunjukkan oleh Dazai dari balik jendela pintu itu membuatnya merasa sangat jengkel, Chuuya benar-benar hampir kehilangan kesabarannya.
"Ehehe, waktu untuk menebak kata sandinya kan sudah habis, Chuuya! Nah, kau tahu sekarang waktunya apa?"
"Waktunya kau buka pintu itu, Dazai!"
Senyum Dazai yang sebelumnya terlihat berseri-seri itu dengan cepat berubah menjadi terlihat seperti senyum yang merendahkan untuk Chuuya.
"Waktunya tidur siang, Chuuya."
"Hah?"
Belum sempat bereaksi apapun, tiba-tiba saja Chuuya jatuh tak sadarkan diri begitu sebuah pukulan diluncurkan ke tengkuknya, seketika juga membebaskan Edgar darinya. Seseorang tiba-tiba saja menjatuhkan diri dari langit-langit dan mendarat dengan sempurna, hal itu tentunya membuat Edgar tersentak, apalagi begitu menyadari bahwa seseorang itulah yang sudah menumbangkan Chuuya beserta prajurit lainnya.
"Ga-Gadis kecil ini pelakunya?"
Seseorang itu ternyata adalah seorang gadis berusia 14 tahun yang bernama Izumi Kyouka. Rambut biru gelapnya dikonde, lalu pakaiannya juga berwarna serba gelap. Edgar yakin bahwa gadis ini pastinya bukanlah bagian dari prajurit istana, namun sepertinya ia adalah seorang dayang muda yang memiliki kemampuan bela diri.
Gadis itupun melihat ke arah Chuuya untuk beberapa saat sebelum kemudian menggumamkan kata "maaf". Dazai akhirnya membuka pintu masuk dan di saat yang bersamaan, seorang pemuda lain tiba-tiba saja muncul dari belakangnya.
"Hai, Kyouka! Nah, pergilah bersama dia. Sisanya serahkan pada aku dan Tanizaki!"
"Baiklah. Ayo, ikut aku."
Tanpa basa-basi lagi, Kyouka pun langsung melepaskan borgol dari tangan Edgar, lalu menariknya pergi masuk ke ruang eksekusi lalu melewati jalan lain, meninggalkan Dazai dan Tanizaki yang akan mengurus para prajurit lain yang mulai berdatangan.
"Tanizaki, siap?" tanya Dazai pada Tanizaki.
"Serahkan padaku!" Tanizaki mengangguk lalu berubah menjadi tidak terlihat dan berlari keluar dari ruangan itu tepat sebelum prajurit yang lain tiba.
"Dazai! Apa yang terjadi disini!?"
"Oh, halo, Kunikida! Sebelum aku menjelaskan, ayo main tebak-tebakan dulu!"
Sekali lagi Dazai menutup pintu dan menguncinya dari dalam, "Jika kau ingin masuk, silakan sebutkan kata sandinya dulu, ya! Kau hanya diberi waktu 10 detik!"
Sementara itu, Edgar masih bersama Kyouka. Pemuda itu benar-benar keheranan akan apa yang barusan terjadi, hingga akhirnya ia pun memberanikan diri untuk bertanya pada gadis yang sedang bersamanya saat itu.
"H-Hei, jika kau tidak keberatan... apa boleh aku tahu kalian sedang apa?"
Masih dengan pandangannya yang fokus memperhatikan sekitarnya, Kyouka pun menjawab, "Lihat saja sendiri nanti. Tidak ada waktu untuk menjelaskannya sekarang."
Tidak lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah tempat terbuka, yang ternyata adalah balkon istana. Begitu tiba disitu jugalah Kyouka langsung menyeret Edgar dan menyuruhnya untuk berdiri tegap di atas ujung sebuah papan kayu yang formasinya telah disusun seperti sebuah jungkat-jungkit.
"Berdiri tegap, kepal kedua tanganmu, lalu kuatkan kakimu." perintah Kyouka pada Edgar.
Tanpa ragu, Edgar pun menuruti perintah dari gadis itu. Setelah itu, Kyouka pun mengalihkan pandangannya ke balkon yang lebih tinggi, dimana ada dua anak yang sebaya dengannya sudah menunggu di sana.
Kyouka mengacungkan jempolnya dan mengangguk, "Semuanya aman. Lakukan sekarang!"
"Baiklah! Kau siap, Kyuu?"
"Mhm! Aku siap kapanpun, Kenji!"
Mereka berdua pun bersama-sama menghitung mundur dari tiga sampai satu, sebelum kemudian meloncat keluar dari balkon itu dan mendarat di ujung satunya dari papan kayu dimana Edgar berada. Begitu mereka mendarat, seketika Edgar pun langsung terpental ke langit dan berteriak karena terkejut.
"AAAAAAAAAAAAA"
Sebelumnya, Edgar juga sempat mendengar sayup-sayup Kyouka bersama dua anak yang lainnya meneriakkan "Semoga beruntung!" dan juga "Kami mengandalkan mu!". Tidak butuh waktu lama untuk Edgar terbang di langit saat itu, ia akhirnya mendarat dengan sempurna pada punggung dari sosok pemuda berambut abu-abu muda yang sudah tak asing lagi.
"Hei, bagaimana penerbangan mu? Kalau dilihat-lihat, sepertinya kau tipe yang takut ketinggian, hahaha."
Edgar terdiam untuk beberapa saat, sebelum kemudian membalas, "Oke, pertama-tama, aku memang takut ketinggian, namun jangan tanya kenapa aku bisa melompat dari satu atap ke atap yang lainnya tanpa terlihat cemas. Kedua, apa-apaan semua itu barusan!?"
Atsushi menatapnya datar lalu membalas, "Kau seharusnya berterima kasih padaku, dong. Bernegosiasi dengan beberapa orang temanku demi penyelamatan putri yang hilang itu tidaklah mudah."
"Putri yang hilang? Maksudmu..."
Dari kejauhan, Atsushi melihat beberapa orang prajurit yang mulai bermunculan, dan tanpa menunggu lama lagi ia pun langsung menggerakkan kaki-kaki harimau nya dan membawa Edgar pergi.
"Ya, kau pasti tahu kan siapa yang ku maksud? Kalau iya, silakan pimpin jalannya!"
Mendengar itu, Edgar pun tersenyum tipis, "Baiklah, ayo tunjukkan padaku seberapa cepat kau bisa berlari!"
"Oh? Kau menantang ku, ya? Baiklah kalau itu mau mu!"
***
Beberapa saat kemudian, Edgar dan Atsushi akhirnya tiba di menara. Atsushi sempat tercengang melihat betapa tingginya menara itu.
"Nabilah!? Nabilah! Turunkan rambutmu! Kau dengar aku!? Hei, apa kau baik-baik saja di sana!? Nabilah, turunkan rambutmu!"
Berapa kali pun Edgar memanggil, Nabilah tak kunjung menjawab. Mereka berdua pun semakin mengkhawatirkan gadis itu.
"Hei, apa ada cara lain untuk ke atas sana selain menggunakan rambutnya?" tanya Atsushi.
Edgar menghela napasnya lalu meregangkan tubuhnya, "Kau tunggu saja disini untuk berjaga-jaga. Biar aku sendiri yang masuk dan membawanya keluar."
Atsushi menaikkan sebelah alisnya, "Kau yakin bisa naik ke atas sana sendiri tanpa bantuan sedikitpun? Kalau kau mau, aku bisa membantumu."
Edgar yang baru saja ingin memanjat menara itupun seketika langsung berhenti begitu mendengar tawaran dari Atsushi. Ia pun berbalik badan dan membalas, "Yah, selagi kau disini, sepertinya akan lebih baik jika memanjat ini akan lebih mudah."
Atsushi yang sebelumnya sudah mengembalikan wujud tangan dan kakinya menjadi seperti semula kemudian mengubah kedua tangannya menjadi kaki harimau lagi, "Siapa yang bilang kalau aku akan membantumu memanjat?"
"Oh, kau akan melempar ku ke atas, ya? Jika memang begitu, maka aku menolak tawaran mu."
"Ayolah, dilempar bisa lebih cepat daripada memanjat sendiri!"
Tepat setelah Atsushi mengatakan itu, tiba-tiba saja sebuah rambut putih bersih yang panjang dilempar keluar dari jendela besar menara itu. Tidak salah lagi, tentunya itu adalah rambut Nabilah. Edgar pun menunjukkan raut wajah penuh rasa kemenangan pada Atsushi yang kemudian menatapnya datar.
Atsushi menghela napas dan menggaruk tengkuknya, "Ya, sudah, bergegaslah sana. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk memanggilku."
Edgar mengangguk dan kemudian langsung memanjat menara itu menggunakan rambut Nabilah, "Serahkan semuanya padaku!"
"Semoga beruntung!"
Tak lama kemudian, Edgar akhirnya tiba di puncak menara dan langsung masuk ke dalam lewat jendela.
"Nabilah! Aku disini! Kau dima—"
"EDGAR, AWAS DIBELAKANG MU!"
Edgar terkejut begitu ia mendapati gadis yang dicari-cari nya itu sedang dalam kondisi diikat dengan rantai. Edgar juga tidak menyadari bahwa ternyata kedatangannya sudah ditunggu.
"Akh!'
Tiba-tiba saja, seseorang menusuk perut Edgar dari belakang. Edgar pun langsung memuntahkan darah dan tumbang seketika. Ia benar-benar tidak menduga bahwa Nikolai akan menyerangnya secara diam-diam. Sekali lagi, ia merasa bodoh karena sudah lengah meski hanya sebentar.
Bersamaan dengan saat Edgar tumbang, terdengarlah suara tertawa cekikikan dari Nikolai yang kemudian menusuk Edgar lagi di tempat yang sama sebanyak 6 kali, dengan total menjadi 7 tusukan, lalu membuang pisaunya itu ke sembarang arah. Setelah itu, dengan masih tertawa cekikikan, Nikolai menendang dan juga menginjak-injak tempat dimana ia menusuk Edgar sebelumnya, sehingga pemuda itupun mengerang kesakitan karenanya.
Sementara itu, Nabilah hanya bisa membeku di tempat selagi menyaksikan Nikolai menyiksa Edgar. Ingin rasanya ia berteriak meminta Nikolai untuk menghentikan perbuatannya itu, namun rasanya ia tertahan untuk melakukan itu sehingga ia hanya bisa terdiam.
Karl si rakun ternyata tidak tinggal diam. Ia pun mendekati Nikolai lalu menerkam kakinya dan menggigiti nya. Namun sayangnya tidak semudah itu karena setelah itu, Nikolai dengan mudahnya menyingkirkan Karl dengan menendangnya sekuat mungkin hingga terpental ke arah Nabilah.
"KARL!"
Melihat teman kecilnya diperlakukan seperti itu, Nabilah dengan sigap langsung berdiri dan menangkap Karl dengan kedua tangannya yang masih terikat oleh rantai. Gadis itu akhirnya sudah tidak bisa diam lagi karena itu.
"Hentikan! Aku bilang hentikan! Berhenti menyiksanya!"
Nikolai berhenti menginjak-injak perut Edgar, lalu menoleh ke Nabilah dengan seringai yang terlihat menyeramkan, "Kenapa? Kau tidak suka, ya? Padahal ini satu-satunya kesempatanku untuk membunuhnya karena setelah ia menghembuskan napas terakhirnya nanti, aku akan langsung membawamu pergi dari sini ke tempat dimana tidak akan ada siapapun lagi yang bisa menemukanmu."
"Tidak... Tidak... Kau tidak bisa melakukan itu! Kau tidak bisa membuatnya menderita seperti itu! Aku mohon, hentikan!"
Satu injakan yang kuat pun Nikolai berikan pada Edgar, seketika membuatnya menjerit kesakitan. Masih dengan seringai yang menyeramkan, Nikolai pun melanjutkan, "Burung kecil yang diharuskan untuk tinggal di dalam sangkar tidak memiliki hak untuk memerintah burung yang dapat terbang bebas. Kau mengerti?"
Nabilah menghela napas, lalu melepaskan Karl dari dekapannya, "Aku bukannya ingin memerintah mu. Tapi aku ingin membuat kesepakatan denganmu."
Mendengar Nabilah mengucapkan itu, Edgar pun membatin, "Kesepakatan macam apalagi yang akan kau buat?"
Nikolai pun menyunggingkan senyum merendahkan, "Oh, ya? Kesepakatan apa, nak?"
"Biarkan aku menyembuhkannya. Setelah itu, barulah kau bisa membawaku pergi."
"Itu saja?"
"Aku akan selalu mendengarkan setiap perkataan mu, dan berjanji bahwa aku tidak akan pernah pergi meninggalkan mu lagi."
Edgar membelalakkan matanya, lalu dengan suaranya yang serak, ia pun mencoba untuk berteriak, "... Ti-Tidak! Nabilah! Jangan... Jangan membiarkan dia... membawamu... pergi jauh... lagi!"
"Maaf, Edgar. Tapi aku tidak punya pilihan lain."
Nabilah melirik ke Edgar dan menunjukkan raut wajah penuh kesedihannya. Gadis itupun hanya bisa memberi senyum pahit padanya.
"Hmm... Baiklah, kesepakatan mu ku terima. Nah, silakan kau sembuhkan dia."
Nikolai memberikan satu tendangan terakhir ke luka tusuk Edgar, sebelum kemudian menyeretnya untuk disandarkan ke dinding. Setelah itu, Nikolai pun melepaskan rantai yang mengikat Nabilah, lalu menggunakan rantai itu untuk mengikat Edgar.
"Ini hanya untuk berjaga-jaga semisalnya kau berencana akan mengikuti kami begitu kau kembali sehat dan bugar." bisik Nikolai dengan dingin pada Edgar lalu menjauh darinya begitu Nabilah mendekatinya.
"Edgar! Edgar, bertahanlah! Aku mohon, bertahanlah!"
Melihat Nabilah menyiapkan rambutnya untuk menyembuhkannya, dengan seluruh tenaganya yang tersisa, Edgar pun menahan gadis itu dari melilitkan rambutnya pada luka tusuknya.
Edgar menepis pelan tangan gadis itu darinya, "Tidak... Jangan... lakukan ini..."
Melihat tingkah sang pemuda, Nabilah tiba-tiba saja kehilangan kendali atas emosinya sendiri, "Apa maksudnya jangan!? Kau sedang sekarat dan kau tidak ingin aku menolong mu!? Kau tahu ini mungkin adalah kali terakhirnya aku bisa melihatmu sebelum aku dibawa pergi dari sini!"
"Kau juga... sebenarnya tidak ingin menggunakan kekuatanmu... tapi kau malah memaksakan diri untuk menggunakannya... hanya demi aku, kan?"
"Berhentilah berbicara, bodoh. Biarkan aku menyelamatkan nyawa mu."
Melihat raut wajah serius Nabilah, Edgar diam untuk beberapa saat. Namun tak lama kemudian, ia pun bergumam, "Maafkan aku... Tapi... aku rela mengorbankan nyawa ku... jika itu demi dirimu..."
"Eh?"
Nabilah belum sempat menjawab, dan tiba-tiba Edgar langsung menarik tengkuknya dan menahan rambutnya disitu. Dan setelah itu...
"Edgar? Apa yang kau lakukan?"
Dengan pisau yang tadinya digunakan oleh Nikolai untuk menusuknya, Edgar memotong rambut Nabilah secara paksa dengan sekali tebas. Rambut seputih salju yang panjangnya luar biasa itu seketika langsung berubah menjadi rambut yang panjangnya hanya sebatas di bawah bahu dan berwarna hitam gelap.
Nabilah terkejut bukan main, "K-Kenapa?"
Nikolai merasa seolah terkena serangan jantung, pria itu pun langsung panik dan mulai berteriak-teriak, "Tidak... Tidak... Tidak, tidak, tidak! TIDAK! APA YANG TELAH KAU LAKUKAN!?"
Perlahan-lahan, Nikolai mulai merasakan sakit yang luar biasa pada seluruh tubuhnya. Pria itupun dengan tergesa-gesa berlari mendekati sebuah cermin, dan makin panik lah ia begitu melihat bahwa keriput mulai menghiasi wajahnya. Semakin lama, Nikolai mulai berteriak-teriak dengan histeris selagi tubuhnya mulai menyusut dan mulai berlarian tidak tentu arah hingga ia mendekati pinggir jendela. Melihat Nikolai yang mendekati jendela, Karl pun langsung menjatuhkan meja kecil di dekatnya, sehingga Nikolai yang sudah buta arah itupun tersandung meja itu dan terlempar ke luar jendela.
Begitu ia jatuh dari jendela menara, perlahan-lahan Nikolai berubah menjadi abu dengan hanya mantel nya yang tersisa darinya. Mantel itupun diambil oleh Atsushi yang masih setia menunggu di bawah menara.
Atsushi mengendus-endus mantel itu, "Ini bukan aroma dari Poe ataupun Nabilah, yang berarti... ini milik orang lain. Ah, tapi apakah mereka baik-baik saja? Haruskah aku naik dan ikut masuk ke dalam?"
Sementara itu, Nabilah hanya bisa terdiam setelah ia menyaksikan kematian Nikolai. "Apa yang baru saja terjadi?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Perhatiannya pun kembali ia alihkan pada Edgar begitu ia mendengar pemuda itu terbatuk. Gadis itu tahu bahwa kematian Nikolai menandakan bahwa semuanya sudah berakhir, dan ia telah terbebas darinya. Tapi, bagaimana dengan Edgar? Apa yang harus ia lakukan padanya? Ia tidak tahu cara lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang selain menggunakan rambutnya yang sekarang sudah kehilangan keajaibannya.
"Dasar bodoh... Kau bisa saja membiarkan aku menolong mu terlebih dahulu, setelah itu baru kau bisa memotong rambutku." Nabilah mencoba sebisa mungkin untuk menahan tangisnya.
Masih dengan suaranya yang serak, Edgar pun membalas, "Itu sama saja berarti... aku menggunakan keajaiban mu... Aku... tidak ingin keajaiban mu itu dimanfaatkan lagi..."
"Tapi nyawamu ini adalah risiko nya! Apa yang harus aku lakukan sekarang tanpamu!?"
Edgar diam untuk beberapa saat, berbagai kenangan dari masa lalu dan sekarang pun terputar dalam benaknya. Ia tersenyum tipis dan menatap gadis di hadapannya itu dengan penuh kasih.
"Aku hanya ingin bilang..."
Edgar menjeda untuk beberapa saat, kemudian ia membelai lembut wajah sang gadis dengan lembut.
"Kau adalah impian baruku, Nabilah."
Nabilah terkesiap mendengar itu. Ia bisa saja menangis sesenggukan sebentar lagi, namun ia masih bisa menahannya meskipun ia juga tersiksa oleh betapa sesak dadanya saat itu.
Ia adalah impian baru Edgar, yang berarti bahwa pemuda itu memang benar-benar menaruh rasa padanya, persis seperti apa yang ia harapkan. Rasanya pahit sekali untuk mengetahui bahwa perasaannya itu ternyata tidak bertepuk sebelah tangan di saat-saat terakhirnya.
Dengan tangannya yang bergetar pelan, Nabilah pun membelai lembut kepala Edgar, lalu dengan pelan menyingkirkan poni rambut yang menutupi kedua matanya itu supaya bisa terlihat lebih jelas.
"... Kau juga adalah impian baruku, Edgar."
Masih dengan senyumnya itu, Edgar membalas, "Jika kau ingin menangis... menangis lah... Tidak ada... yang salah dengan itu... Kau... tidak harus selalu... menguatkan dirimu... Menangis itu tidak berarti bahwa... kau adalah... gadis yang lemah... Bagiku... kau adalah... gadis yang benar-benar kuat..."
Tepat setelah Edgar selesai dengan ucapannya itu, ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Detik itu, bukan hanya kepergian Edgar, namun perkataan bahwa Nabilah adalah gadis yang kuat juga sukses membuat tangisnya langsung pecah.
Nikolai pernah bilang padanya bahwa banyak menangis itu berarti lemah, itulah yang telah membuat Nabilah selalu menahan dirinya untuk meneteskan air mata sedikitpun. Saking inginnya ia pergi ke dunia luar, gadis malang itu bahkan sampai rela melakukan apapun yang pikirnya dapat membuat Nikolai berubah pikiran, dan mengakui bahwa ia adalah gadis yang kuat dan dapat pergi ke luar menara.
Ada rotan ada duri. Jika ada kesenangan tentu ada pula kesusahan. Begitulah hidup. Hidup terisolasi dari dunia luar selama bertahun-tahun itu... tentunya sangat memilukan hati, kan?
Nabilah tidak pernah menyangka bahwa orang yang mengatakan bahwa dia adalah gadis yang kuat itu bukanlah Nikolai Gogol yang sudah membesarkannya selama bertahun-tahun, tapi cinta pertamanya, Edgar Allan Poe, yang baru ia temui beberapa hari yang lalu.
Seandainya ia bisa menghentikan Nikolai, pasti hidup Edgar tidak akan berakhir seperti ini. Namun nasi sudah menjadi bubur, Edgar telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi untuk selamanya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membawanya kembali.
"Karl... Kita sudah tidak dapat melakukan apa-apa lagi, kan? Dia tidak akan kembali, kan?"
Karl si rakun pun mendekati majikannya itu, tampak bahwa ia juga sangat sedih atas kepergian Edgar, apalagi begitu ia melihat betapa terlukanya Nabilah. Pemandangan seperti itu tak pernah ia lihat sebelumnya, ini adalah pertama kalinya bagi si rakun.
"Se-Seandainya... Seandainya aku bisa menghentikan dia. Tidak, tidak, semuanya sudah terlambat. Dia sudah pergi." Gadis itu terisak-isak sambil memeluk tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
"Edgar... Edgar..." Gadis itu terus menggumamkan nama sang pemuda. Dirinya merasa sangat bersalah karena telah membuat seseorang harus mengorbankan nyawanya hanya demi kebaikannya.
Air matanya pun terus mengalir tanpa henti, sampai-sampai menetes juga ke luka tusuk yang telah mengakhiri hidup Edgar. Suasananya sangat hening, hanya suara tangisan Nabilah yang mengisi keheningan saat itu. Sebelum kemudian, sebuah keajaiban tiba-tiba saja terjadi.
"Eh? A-Apa yang... terjadi?"
Nabilah baru saja menyadari bahwa air matanya ternyata menetes ke luka tusuk Edgar, dan tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja sebuah cahaya berwarna putih pun perlahan-lahan muncul dari luka itu. Tak lama kemudian, cahaya itupun merekah ke sekujur tubuh sang pemuda.
Sang gadis tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi, sebelum kemudian cahaya itupun menghilang setelah bersinar untuk beberapa saat. Dan tanpa diduga-duga, cahaya itu ternyata...
"E-Edgar?"
Tubuhnya pun kembali terasa hangat, napasnya juga telah kembali, dan perlahan-lahan pemuda itupun membuka matanya, seketika mengejutkan sang gadis yang sebelumnya telah putus harapannya.
Nabilah berpikir untuk sejenak, lalu menyadari bahwa ternyata air matanya lah yang telah menyelamatkan Edgar. Ia tidak tahu apakah air matanya itu memang sama ajaibnya dengan rambutnya sejak dulu, namun ia tidak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, karena yang penting...
"... Edgar?"
Dengan lemah, Edgar mencoba untuk memfokuskan pandangannya pada Nabilah yang masih tidak dapat mempercayai apa yang barusan terjadi. Edgar pun tersenyum lembut lalu berkata, "Kau terlihat lebih cantik dengan rambut hitam legam begitu."
"Edgar!"
Dengan mata berbinar-binar, Nabilah tersenyum manis lalu dengan tanpa pikir panjangnya ia pun mencium bibir Edgar dengan cepat dan memeluknya erat. Edgar sempat terkejut karena ciuman itu, dan melihat betapa bahagianya Nabilah untuk mendapatinya kembali sehat, ia pun tertawa lalu membalas pelukan itu.
Karl yang sebelumnya murung pun terlihat gembira melihat keajaiban itu. Dan di saat yang bersamaan, muncullah Atsushi dari jendela menara.
"Oi! Kalian baik-baik saja, kan!?"
Begitu ia tiba, Atsushi langsung disambut dengan pemandangan Edgar dan Nabilah yang sedang berpelukan dengan kebahagiaan terlukiskan di wajah masing-masing. Atsushi sempat tersentak melihat perubahan drastis pada rambut Nabilah, dari yang sebelumnya berwarna putih salju dan luar biasa panjang, menjadi berwarna hitam legam dan panjangnya hanya sebatas di bawah bahu.
Atsushi pun mengerti akan situasinya, lalu menghela napas lega dan menyunggingkan senyum tipis, "Syukurlah, semuanya sudah berakhir, ya. Sekarang, dia bisa pulang."
***
"Sekakmat! Hehe, aku menang!"
"Wahaha, keren sekali, Akiko! Kali ini kau bisa mengalahkan ku!"
"Hm? Kenapa kau bicara begitu? Ah, jangan bilang kau sengaja berpura-pura bodoh dalam permainan kali ini dan membiarkanku menang? Yah, tidak seru, dong, kalau begitu."
"Hehehe. Aduh, malah ketahuan, deh."
"Heh, memenangkan permainan catur dengan kau sebagai lawannya memang mustahil, ya, Ranpo. Tidak peduli mau berapa kali pun aku mencoba, sepertinya aku tidak akan pernah bisa mengalahkan mu."
"Eh, eh, sayang, jangan malah ngambek, dong!"
Sang wanita tidak mendengarkan, ia pun memalingkan wajahnya dari suaminya itu lalu mengambil sebuah buku untuk dibaca. Melihat sang istri yang ekspresinya datar, pria itupun menghela napas lalu menggaruk-garuk tengkuknya.
Pasangan suami istri tersebut adalah Edogawa Ranpo dan Edogawa Yosano Akiko, yang ternyata merupakan raja dan ratu yang memimpin Kerajaan Aureole. Pada pagi menjelang siang di hari itu, mereka berdua sedang menghabiskan waktu bersama di kamar mereka dengan bermain catur.
Ranpo pun melihat ke arah jendela dan memperhatikan langit. Beberapa saat kemudian, ia pun tersenyum tipis dan bergumam, "Seharusnya hari ini adalah harinya."
Akiko mendengar gumaman itu, lalu menutup buku yang tadi sedang dibacanya dan memfokuskan pandangannya pada Ranpo dengan raut wajah serius, "Apa akan ada sesuatu yang terjadi hari ini? Apa lagi yang telah kau prediksi untuk hari ini?"
"Eh? Udah selesai ngambeknya?"
"Hei, aku serius, lho."
Tepat setelah itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan menunjukkan sesosok gadis muda yang ternyata adalah Izumi Kyouka yang kini rambutnya terurai dan juga mengenakan pakaian dayang nya.
"Yang Mulia, mohon maaf jika saya lancang, tapi..."
"Kyouka? Ada apa?" tanya Akiko pada gadis muda itu.
Kyouka menghela napas lalu melanjutkan, "Dia... Dia sudah kembali, Yang Mulia!"
Akiko tersentak mendengar itu, untuk memastikan bahwa ia tidak salah paham, ia pun menoleh ke Ranpo yang tampaknya juga tersentak dengan kedua matanya terbuka.
"Sayang? Apa yang kau maksud sebelumnya itu..."
"... Syukurlah kalau prediksi ku akan kepulangannya kali ini... ternyata benar."
***
Begitu tiba di pintu balkon, baik Ranpo maupun Akiko tidak langsung membuka pintu itu. Kegugupan mereka rasakan untuk beberapa saat begitu mendengar apa yang disampaikan oleh Kyouka sebelumnya.
"Kau yakin... itu benar-benar dia?" tanya Akiko dengan nada khawatir.
Ranpo mengelus pundaknya lalu tersenyum lembut, "Mana mungkin orang-orang akan berbohong jika itu tentang dia. Apalagi aku yang sudah memprediksi kepulangannya hari ini."
Akiko menghela napas, setelah lebih tenang, ia pun akhirnya membuka pintu balkon. Seketika, Ranpo dan Akiko pun sama-sama membelalakkan mata begitu melihat sosok yang telah mereka nanti-nantikan kepulangannya.
Seorang gadis berambut hitam dan bergaun merah, bersama seorang pemuda berambut cokelat gelap dengan seekor rakun di pundaknya.
"Edgar! Karl! Lihat itu! Kita bisa melihat seluruh penjuru pelabuhan dari sini!"
"Ah, kau benar juga. Lautnya pun juga bisa terlihat dari sini, ya."
"Nabilah?"
"Putriku?"
Mendengar dirinya dipanggil, sang gadis berambut hitam pun membalikkan badannya, bersamaan dengan pemuda yang sedang mendampinginya saat itu. Mereka ikut membelalakkan mata begitu mereka akhirnya bertemu dengan orang tua kandung dari sang gadis.
Diikuti dengan Ranpo, Akiko pun menghampiri gadis itu dan memegang wajahnya dengan kedua tangannya, "Kau... Kau benar-benar... Nabilah, kan?"
Sekali lagi, Ranpo mengelus pundak Akiko, "Sayang, ini benar-benar Nabilah. Lihatlah matanya yang bagaikan batu merah delima itu."
Setelah memandangi pasangan suami istri itu untuk beberapa saat, Nabilah pun tersenyum lembut lalu berkata, "Ayah... Ibu... Aku pulang."
Keraguannya pun akhirnya sirna, Akiko mulai menangis bahagia dan memeluk erat anak semata wayangnya itu. Begitu juga dengan Ranpo yang ikut meneteskan air mata kebahagiaannya lalu memeluk istri dan anaknya.
Melihat betapa bahagianya keluarga kecil itu, Edgar hanya bisa tersenyum, apalagi begitu mengingat fakta bahwa dialah yang telah berhasil membawa pulang gadis itu.
Edgar pun menyadari bahwa Akiko sedang menatapnya dengan lembut. Setelah itu, Akiko pun berbisik, "Terima kasih banyak karena telah membebaskannya dan membawanya pulang."
Mendengar itu, Edgar pun mengangguk pelan dan membalas, "It's my pleasure, Your Honor."
Setelah itu, Nabilah pun selesai berpelukan dengan orang tuanya itu, lalu dengan cepatnya ia pun langsung beralih memeluk Edgar, "Aku sangat-sangat berterima kasih padamu, Edgar. Terima kasih untuk semuanya."
Edgar tertawa kecil lalu mengecup kepalanya dengan cepat dan memeluknya balik, "Sama-sama. Aku juga harus berterima kasih padamu, ya. Tanpamu, aku tidak akan berada disini bersamamu pada saat ini juga, Nabilah."
• • •
-------
YEYYYYY SELAMAT KARENA KALIAN SUDAH MENCAPAI ENDINGNYA HSHDHSHS
Gak banyak yang mau aku omongin disini, tapi aku cuma mau bilang, ini event udah sukses bikin aku beneran gila 🙏
Hehe
Oke sudah saatnya aku kabur, sekian terima kasih untuk kalian para penumpang kapal NabilahPoe yang udah meluangkan waktu buat baca ini :D
Words: Hitung sendiri aja ya .g
-------
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro