₍🕊₎ ..⃗. ꒰ A Cat's Curiosity ꒱
A Cat's Curiousity
Written by AnneAvalanche
"aku tidaklah diisi oleh sepi. Sebab, orang mati tidak bisa kesepian."
.
.
.
.
Rumah itu besar, seperti sebuah mansion. Dikelilingi parit yang entah untuk apa. Bangunan itu walau dimakan lumut, tetaplah kokoh. Ada di barat daya sebuah bukit tidak terlampau tinggi. Bukitnya hijau, tetapi jadi sedikit jingga karena cahaya matahari senja. Nakahara Chuuya pikir dia akan senang betul kalau dia bisa main ke luar. Sekedar berjalan atau berlari sedikit demi membuang bosan.
Sebab sudah tiga bulan setengah ia terkurung di sini. Di rumah yang besarnya agak bukan main tapi isiannya hanya ada barang tua. Antik dan itu indah, Chuuya suka-suka saja dengan itu semua. Tapi, bukan berarti dia tidak akan bosan. Pemuda kecil dengan surai jingga senada senja itu mendengus. Seolah ingin menyampaikan putih bosan yang datar di hati tapi rasanya kalau secara vokal penuh itu sia-sia saja jadi dia tidak bicara apapun jua. Toh, di sini hampir tidak ada siapapun selain para pelayan—mereka juga acuh pada Chuuya.
Sebab pemuda dengan surai berkobar layaknya lembayung itu tidak lebih dari seorang budak. Manusia—eh tidak termasuk 'sih .. manusia tidak bisa dibeli, tetapi Nakahara Chuuya ini seumpama keberadaan kosong belaka yang tidak signifikan, jadi dia bisa ditukar dengan beberapa keping emas saja (malahan harganya termasuk murah untuk ukuran budak).
Lima bulan yang lalu seorang saudagar kaya berusia paruh baya dengan nama Dazai Osamu—dia orang Jepang—entah buat apa, datang ke pasar budak dan memilih Chuuya setelah lama menatap malas pada semua tawaran. Entah ini manik sebab genangan biru seumpama laut indah yang dalam milik Chuuya yang bagaimana caranya, sanggup memikat si saudagar kaya pemilik manik jelaga itu—menarik atensinya lalu mengajaknya menari pada misteri samudera dalam dari kepingan biru sendu si pemuda kecil.
Tidak tahu untuk apa dia dibeli, tapi Chuuya tidak akan protes barang sekata 'pun jua. Toh, menyenangkan juga hidup di rumah besar ini tanpa melakukan hal-hal berat selain—dikala pemuda dengan rambut gelap itu kambuh, dia akan meminta Chuuya memakai pakaian pelayan wanita sembari melakukan pekerjaan rumah macam menyapu atau mengelap debu dari mebel-mebel antik. Agak gila tapi oke, sebab Dazai tidak pernah melakukan lebih dari itu.
Sisanya dihabiskan dengan rutinitas monoton yang tidak pernah gagal membawa bosan bagi si pemuda kecil yang entah bagaimana wajahnya malah cenderung cantik itu. Biasanya, pemiliknya itu akan pergi dalam rentang waktu yang tidak ditentukan untuk urusan bisnis. Lalu, dia akan meninggalkan Chuuya di dalam tanpa izin untuk keluar. Dikala pertama kali diperintahkan ia cuma mengiyakan tanpa tahu alasan lebih lanjut. Karena, aturan tidak tertulis bagi seorang budak adalah tidak boleh bicara kecuali diperintah, terutama tidak boleh mempertanyakan lebih lanjut apa harkat dari sebuah perintah.
Jadilah hari-hari si mata biru itu diisi bosan dikala Dazai sedang pergi. Agak hampa, tapi cukup tenang dibandingkan saat Tuannya ada di rumah—dia biasa mengganggu si rambut jingga dengan segala tingkah konyol dan bodohnya.
Kini Chuuya masihlah dilanda bosan walau pemandangan di luar sana sudah berganti jadi gelapnya malam. Langit dengan taburan bintangnya itu memanglah indah, tapi sudah puluhan atau bahkan ratusan kali mata biru itu menatap. Karena hatinya diliputi jengah tiada usai, pemuda dengan marga Nakahara itu bangkit dari posisinya dan mulai mengambil langkah.
Ia mengelilingi isian rumah, menelusuri lorong dengan karpet mahal. Lalu, sesekali singgah di beberapa ruangan dengan permadani mewah demi mengagumi beberapa lukisan apik. Dazai acap kali pulang dengan beberapa lukisan dan benda-benda seni, katanya sebab Chuuya suka. Rasanya agak gombal tapi Chuuya tidak mau pakai perasaan, biarlah ia anggap itu sebagai kebaikan dari Tuan kepada budaknya dan tiada lebih. Rasa nyaman hanya akan jadi belenggu dan itu menghambat, biarlah Chuuya membuang semua itu jauh-jauh dikala kenyamanan itu masih semuda tunas.
Hatinya puas mengagumi, matanya selesai memancarkan binar untuk tiap-tiap lukisan yang terpajang. Tapi bosannya belom usai jua, Dazai 'pun tiada tanda-tanda akan kembali dalam waktu dekat. Maka dari itu, ia melangkahkan tungkainya dan lanjut berjalan menelusuri lorong-lorong panjang. Pikirnya ia akan berkeliling sebentar lagi seperti biasanya lalu saat lelah mulai memeluk, ia akan kembali ke kamar sempitnya yang ada di sudut. Ruangan itu tidaklah kecil, tapi jika dibandingkan dengan ruangan lain di rumah ini, tentu itu jadi terlihat tidak signifikan—benda-benda di dalamnya juga terlihat biasa betul tapi lebih dari cukup untuk si kecil yang memang sebatas budak.
Nakahara Chuuya menuruni tangga dengan perlahan, langkahnya ini agak dinaungi gelap, sumber penerangan sedaritadi memanglah sebatas cahaya obor yang ditempel pada dinding dengan cara tersendiri agar tidak membuat kebakaran. Sapuan pelan diberi pada lengannya sebab dingin mulai menyelimuti. Ah, sepasang bongkah safir itu menangkap bahwa di luar akan hujan, itu mendung dengan kumulus tebal, sekilasan putih petir bisa tampak dengan netra telanjang. Gemuruhnya menyusul.
Chuuya pikir, dia akan langsung ke kamarnya saja setelah ini—kebetulan kamarnya memang ada di lantai bawah. Berganti baju lalu bergulung dengan selimut putih polosnya yang nyaman, rasa empuk dari bantal dan ranjang itu akan menarik ia dari ujung kaki sampai kepala dalam tidur yang lelap. Jadi ia berusaha mempercepat langkahnya, berusaha melihat lebih jeli dalam remang sebab jika tidak, dia akan—
brukk ..
"Ow .." Chuuya meringis, hatinya merutuk sebab bisa-bisanya ia tersandung lipatan karpet yang kurang rapi di ujung tangga itu lalu ia jatuh menggelinding. Semua inci tubuhnya nyeri, macam pegal-pegal habis menggarap sawah seharian penuh dan hanya dapat makan roti apak setengah jamuran satu kali sebagai pengganjal perut belaka. Chuuya adalah budak, tentu dia pernah bekerja kasar begitu. Sekali lagi, Nakahara Chuuya yang manis dengan helaian seumpama kobaran lembayung ialah budak. Dia tidak boleh bicara tanpa disuruh, apalagi mengeluh atau mengajukan protes. Maka dari itu, biar semenyebalkan apapun kejadian barusan, semengesalkan apapun pelayan yang entah sengaja ceroboh atau tidak, dia akan diam saja.
Ia mengusap beberapa bagian tubuh yang jadi titik sakit sejenak, lalu bangkit kembali. Hendak melanjutkan jalannya menuju kamarnya, ia yakin tubuhnya akan jadi lebih baik kalau-kalau ia bisa berbaring di ranjang. Tetapi, untuk seterusnya pun dia masih terjatuh. Kedua pergelangan kakinya sakit diperkirakan karena terkilir, lengan-lengan kurus itu mungkin jadi memar sekarang ini sebab dijadikan tumpuan dan berkali-kali menghantam lantai.
Sekian kali Chuuya terjatuh—dia tidak menghitung ada berapa kali—sampai .. ia terjatuh tepat di hadapan pintu kayu jati warna gelap dengan ukiran agak eksentrik khas seorang malaikat jatuh sedang menangis yang pernah sekilas didengar ceritanya dikala Chuuya melewati gereja untuk pekerjaannya dulu. Manik seumpama samudera itu dalam, seolah menilik dan menelan semua informasi yang bisa dilihat demi sebuah kesimpulan.
Ini pintu dari ruangan yang ada di arah timur. Ruangan yang katanya tidak boleh dimasuki siapa-siapa mau seperti bagaimanapun alasannya. Hendaklah Chuuya berusaha bangkit dari posisinya dan tidak berlama-lama di depan pintu aneh itu, hatinya digedor rasa janggal yang keruh jadi rasanya ia mau lari saja. Tetapi 'kan ia terkilir, jadi dia berusaha merangkak pelan-pelan. Semuanya akan baik-baik saja, Chuuya pikir. Sebab dia tidak akan melanggar apapun atau mencoba untuk melakukan pelanggaran barang satu kali atau dua kali, sampai—
aneh ..
.. sialan, apa itu tadi??
Chuuya menggenggam, berusaha meraih lebih banyak apa yang tidak sengaja ia sentuh barusan. Teksturnya agak kasar, seperti jerami. Ada indikasi cairan yang mengering, jadi agak lengket. Jijik betul astaga. Tapi, rasa penasaran adalah apa yang tumbuh dan membesar, lalu mengakar kuat pada hati Chuuya. Maka dari itu ia menarik segumpal dari benda aneh dalam genggam, berusaha mendekatkan itu pada wajahnya guna mendapatkan pengelihatan lebih jelas.
bajingan, ini amis betul .. macam ikan sarden busuk
tunggu ..? Apa?! Amis ..?? Aneh ..
Sekilas pikirnya ingin mengasosiasikan dengan aroma Tuannya yang memang macam bau ikan bercampur antibiotik. Tapi, tuannya tidak pernah punya sesuatu seperti jerami. Barang dagangan pun tidak ada jerami. Oh, hei .. _jerami_ ini warnanya hitam. Bentuknya agak panjang seperti ijuk dengan beberapa bagian agak lengket. Sekilas ada pergerakan. Chuuya agak didobrak kejut karenanya, ia sedikit mundur. Genggamnya dilepas, manik birunya kini fokus pada sela bawah pintu besar. Jerami-jeramian hitam bergerak macam melata, sebagian masuk ke dalam ruangan. Ini hanya berarti satu hal.
Napas Chuuya melambat, jantungnya mulai berpacu dengan ujung-ujung jari yang mendingin. Entah sebab hujan sudah turun deras atau karena ia merasa merinding, suhu rasanya jadi lebih dingin. Ia bergerak mundur dengan bantuan tangannya sekuat yang ia bisa, niatnya ialah melupakan sakitnya lalu berlari secepat mungkin ke kamarnya dan melupakan hari ini. Tetapi, ketukan samar itu mengalun bagai penyusup dalam telinga Chuuya diantara sela suara hujan dan angin yang buas menerpa daun.
Asalnya dari dalam ruangan. Sepasang pintu jati tidak lebih dari sebatas pemisah. Jaraknya tidaklah jauh, tidak sampai satu kaki, diperkirakan tebalnya hanya satu inci makanya ketukan-ketukan pelan itu bisa mengalun sampai pada Chuuya. Napasnya di atur, otaknya memuntahkan satu kesimpulan kasar yang mentah, tenggorokannya serasa diganjal batu. Rasa penasaran kini sudah mengakar terlalu dalam pada relung hati Chuuya, ketakutan tidaklah jadi parasit yang menghalau penasaran itu buat tumbuh, malah jadi semakin besar dan kini mengganggu betul. Itu membuahkan sesuatu berupa tindakan nekad.
Dengan nyali seadanya yang boleh didapat dari hasil mengais-ngais dalam relung hatinya yang tandus, ia menggerakkan tangan kurusnya. Meraih pada gagang pintu berlapis perak yang cantik. Sesuatu yang jahat seolah menunggu dari dalam, berusaha menjangkau Chuuya lalu meraih dan menelan pemuda kecil itu dengan mentah. Orang bilang, rasa penasaran akan membunuh sang kucing.
Nakahara Chuuya ialah kucing kecil yang begitu penasaran. Dia seolah dibutakan oleh penasaran hingga jadi naif. Hatinya jadi mati rasa dan tuli hingga bisik-bisik sapa mengerikan dari rasa takut dan was-was tidak bisa menjangkaunya. Chuuya sudah berlalu begitu jauh, dia tidak bisa lagi diraih maupun dihentikan oleh apapun. Rasanya seperti dia tidak akan kehilangan apa-apa atau sebab memang tidak pernah memiliki, jadi ia tidak bisa lagi gentar. Ia bersiap dengan mengatur napasnya.
Dan lalu pintu itu terbuka, menyuguhkan pada pemuda Nakahara itu sebuah dunia yang baru. Dunia lain menghampar dengan vulgar sejauh safirnya menyorot. Merah gelap ada di mana-mana, juga hitam yang sudah kering di lantai. Ia masihlah terduduk pada posisinya sebab ia tidak bangun untuk membuka pintu yang anehnya tidak dikunci walau kata Dazai ia dilarang untuk membuka.
Bertumpuk-tumpuk tubuh itu seolah jadi statistik belaka, sesuatu yang tidak cukup berarti untuk diingat atau dikenang. Mereka hanya akan jadi angka, sepertinya. Mungkin memang diniatkan begitu—hipotesis Chuuya mengarah pada Dazai sebagai pelaku. Tadinya ia hendak mengeluarkan asumsi mentah bahwa ini palingan cuma bangkai para budak yang sebelumnya dibeli Dazai Osamu. Tapi tidak, mustahil. Asumsi itu ialah sebuah kemustahilan kosong sebab mayat-mayat yang ada di sini semua memakai pakaian mewah, lengkap dengan aksesori mereka. Hal yang tidak mungkin dipakai budak. Jikapun Dazai memang memberi pada budak, untuk apa? Ia memang bereksperimen menghabisi mereka dengan bervariasi cara. Dazai bisa langsung lakukan itu, kenapa repot-repot memberi perhiasan sebanyak itu dan mendandani mereka? Nyawa budak tidaklah signifikan, tidak akan ada yang mencari atau menangisi kematian mereka. Memberi mereka hadiah dan perhiasan ialah kesia-siaan hampa belaka. Juga, desas-desus soal gadis-gadis yang menikah dengan Dazai semuanya meninggal tanpa kejelasan.
Sudahlah, Chuuya akan menganggap hari ini tidak pernah ada. Memori ini akan disaring dari benjana benaknya. Jadilah ia berusaha sebaik mungkin untuk bangkit sejenak dan bertumpu lutut demi menutup kembali pintu yang menghubungkan dia dengan hal yang begitu kontras dengan segala yang baik dan indah di rumah ini. Nakahara Chuuya tidak takut, sebab walau begitu dia tetap tidak akan kehilangan apapun jua.
Pintu itu sudah menutup satu, yang sebelahnya lagi akan menutup sepenuhnya juga. Tidak ada yang menghentikan Chuuya jika saja—
"Chuuya .."
Panggilan dengan suara berat itu memanglah familiar, Chuuya beku di tempat. Hawa dingin jadi lebih menusuk, sedikit banyak menembus kemejanya yang memang tipis memperlihatkan lekuk tubuh. Tungkainya jadi lebih lemas dari sebelumnya, pun lutut yang jadi tumpuan rasanya ingin buyar dan berhenti menopang batang tubuhnya.
"Chuuya-ku yang manis, belum tidur?" Sekarang, Chuuya bisa merasai pemuda itu ikut bertumpu lutut tepat di belakangnya, tubuh mereka agak menempel. Jemari Dazai meraih helaian di kepala merah Chuuya, mengusapnya pelan. Sesekali memainkan sejumput dua jumput rambutnya.
"Chuuya sudah jadi anak nakal 'ya?" Si manik legam berkata tepat di samping telinga, nadanya ringan seolah dia tidak marah atau merasai hal negatif dalam bentuk apapun. Tapi itulah dia, ambigu, si kecil jadi tidak tahu kira-kira akan diapakan dia selanjutnya. Napasnya dihela seolah dengan harap rasa kaku dan sejumput takutnya sirna bersama dengan embusan itu. Ia pasrah untuk apa yang terjadi kedepannya.
"Maaf .." Dazai jadi mengulas senyum tipis lalu tertawa dengan nada rendah, tangan kanannya meraih pinggang Chuuya untuk peluk. "Tuh 'kan, Chuuya sudah jadi anak yang nakal, nakal sekali. Itu buruk."
Bertele-tele betul, Chuuya benci keambiguan, sejujurnya. Jadi ia akan melakukan sesuatu yang memang hasil buah nekad satu kali lagi. "Iya, lebih buruk mana, aku yang melanggar perintah tuanku, atau kau yang membunuh istri-istrimu?" Jika setelahnya Chuuya dibunuh maka biarlah, toh hanya mati belaka.
Dazai tertawa lagi, kali ini nadanya sedikit lebih tinggi. "Wah .. itu sungguh pernyataan yang berani, Chuuya .. lalu, Chuuya-ku sekarang ingin apa?" Ia menjadikan bahu si mungil itu tumpuan, sesekali mengendus helaian jingga nya.
"Entahlah .. menurutmu? Kau 'kan tuanku .. jadi kau coba tentukan buatku, sebaiknya aku melakukan apa .." tidak ada noda takut yang mengiringi intonasi itu. Chuuya berusaha tetap tenang. Nyawa seorang budak, sepenuhnya milik sang tuan sejak awal. Chuuya tidaklah penting, jadi jika ia mati sekarang itu tidak akan mengubah apapun.
"Hmm ..?" Dazai sepertinya memikirkan sesuatu, manik jelaga itu keruh oleh kekelaman, menilik jauh pada hal-hal yang tidak bisa diterka. "Mungkin, melaporkanku? Agar kau juga bisa bebas?" Pemuda yang tubuhnya lebih besar itu tahu betul, kebebasan ialah apa yang jadi harta karun paling berharga.
"Buat apa ..? Buat apa aku bebas dengan cara begitu, rasanya seperti aku tidak tahu terimakasih padahal sudah diperlakukan dengan baik oleh ia yang sama nestapanya dengan aku." Kalimat terakhir itu memercik sesuatu dalam relung Dazai yang berlubang dan diisi hampa tidak berujung.
"Oh ..?"
Chuuya terkekeh pelan. "Kau pikir aku tidak tahu? Semata-mata kau melakukan ini demi mengusir sepi, iya? Aku tidak tau apa yang terjadi padamu sedari kau kecil hingga sekarang. Tetapi, satu hal yang pasti, kau tidak lebih dari pengecut yang diliputi ketakutan tidak wajar dan itu mengikis nalarmu, iya?" Pemuda Nakahara memetik asumsi untuk kalimat terakhirnya dari mayat yang ada semuanya adalah mantan istri dan gadis-gadis bangsawan yang lemah jadi tidak bisa melawan. Status mereka akan jadi alibi untuk memutar fakta dan melindungi diri.
"Dan, ketakutan seperti apakah yang aku miliki, Chuuya?" Alis coklat gelap itu naik sebelah, dari nadanya mungkin ia menantang agar si kecil memberi jawaban yang harus bisa memuaskannya bagaimanapun cara yang diperlukan.
"Kau hanya takut ditinggalkan. Kau takut oleh rasa sepi yang entah sejak kapan jadi parasit. Maka dari itu kau membunuh mereka semua agar mereka bisa abadi dalam status pernikahan denganmu dan tetap berada di sini. Kehangatan dari keberadaan mereka—itulah yang membuat engkau begitu mencari. Rasa nyaman dari hubungan antar manusia, tapi kau begitu remuk redam sebab dikalahkan oleh rasa takut keintiman dengan orang lain. Kau takut pada jalinan ikatan yang ambigu."
Dazai tidak menjawab sepatah dua patah katapun jua. Malahan, dia mencengkeram bahu Chuuya, membalik tubuhnya yang masih agak rapuh sebab sakit bekas jatuh. Dengan cepat ia membaringkan pemuda mungil itu ke lantai, sepasang bongkah safir Chuuya menyorot dengan kerlipan memantul yang kilaunya ditelan habis oleh jelaga Dazai yang kelam tiada berujung. "Kau—"
"Ya?" Chuuya terlihat tenang. Malam ini sekalipun, dia tidak merasa akan kehilangan apa-apa.
Dazai mengatur napasnya, senyuman miring kini tergurat pada belah bibirnya. "Lalu, bagaimana denganmu? Aku tahu, engkau sebegitu mendamba pada kebebasan dan kesempatan untuk sebuah kehidupan baru. Tapi, di sinilah engkau, begitu terkurung dengan semua batasan-batasan tidak manusiawi yang pastinya mengikis nalarmu. Dikala manusia begitu jauh dengan apa yang diinginkan sebab tembok kemustahilan ialah penghalang, mereka akan meledak lalu jadi agak gila tanpa batasan. Sepertimu, benar?"
"Ya." Chuuya masih tenang di bawah kurungan lengan Dazai. Biar sorotan dari manik obsidian itu tajam pada safirnya, Chuuya bergeming dengan seribu tenang. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Aku budak yang buruk sebab melanggar aturan dan memberi jawaban yang sepertinya menyinggung tuanku ini. Maka dari itu, hukuman seperti apakah yang akan tuanku berikan?"
Dazai mendekatkan wajahnya pada Chuuya yang masih bergeming. Si helai senja mengatur napasnya sedikit sebab ini terasa aneh. Tuannya berhenti di samping telinga yang disampiri beberapa kumpulan rambut yang jadi seperti tirai tipis. "Matilah untukku, Chuuya."
Belum sempat menjawab, lisan tuannya kembali membuka, mengalunkan sebuah perintah yang malah terdengar macam ajakan. "Ah .. tidak. Matilah bersamaku, Chuuya. Sebab hidup memang tidak ada artinya. Hidup itu sampah, biar bagaimanapun kita memberontak dari kekang yang membatasi dalam nama keinginan bebas. Biarmana sekeras apapun kita berusaha membuktikan bahwa kita masihlah manusia, pada diri sendiri, kita tidak punya kemampuan untuk itu, kecuali dengan satu jalan ini."
"Chuuya .." ia menyebut nama si budak dengan nada rendah, jika dari jarak biasa itu tidak akan terdengar. "Chuuya .. Chuuya-ku yang manis .. tidakkah kau lelah ..?"
"Hidup ini terasa membuat aku mati perlahan-lahan. Ini membakarku." Dazai lanjut bicara. "Begitu juga dengan hidupmu yang sedari awal tidak ada harganya bagi orang-orang. Kau benar, aku nelangsa. Kau dan aku, kita sama-sama celaka dan dibinasakan oleh yang namanya hidup itu sendiri. Aneh 'ya ..?" Pemuda dengan helai gelap itu tertawa pelan di akhir pertanyaannya seolah itu memang lucu seperti candaan gelap angin lalu belaka.
Perintah dari tuan ialah segalanya bagi seorang budak. Itu mutlak seumpama titah raja walau kini Chuuya tidaklah tahu apakah sistem kerajaan masih digunakan dan relevan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro