Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🦋 ❛ Envelopes and Letters ༉‧₊˚✧

Kala rangkaian kata menciptakan nestapa dan semesta di antara sang teruna dan puannya.

━━━━━━━━━━━━

Haitani Rindou x You

Tokyo Revengers © Ken Wakui

Story © BadassMochi

Event © Halu_Project

Warning! :: bahasa yang rancu, serta
kalimat yang ambigu

━━━━━━━━━━━

Baskara merangkak naik ke permukaan. Hening mencuri dalam diam. Menyita atensi sang semesta yang tampak niskala. Nabastala menyaksikan meski tak mampu bertutur kata.

Suara pensil yang berantuk dengan kertas mengisi keheningan dalam ruangan itu. Tersiram sinar sang rawi. Beberapa puluh kata serta beberapa belas kalimat telah tertera di atas daluang.

Ditarik kurva melengkung ke atas. Surainya yang menutupi sisi parasnya tidak ia indahkan. Fokusnya hanya tertuju ke arah kertas di hadapannya.

Sang jiwa termangu. Menulis dan terus menulis. Hingga raga tak sadar jika diri telah menghabiskan satu lembar kertas bermotif polkadot itu.

Dilipatnya sang kertas menjadi pesergi panjang yang berukuran lebih kecil. Selipkan di antara pembungkus surat sebagai peristirahatan terakhir. Kurva mengembang. Paras tampak lebih ayu nan elok.

Sang puan memasukkan amplop itu ke dalam tas sekolahnya. Terletak di antara semesta buku-buku pelajaran. Netra mencuri pandang ke sudut meja. Tepat di mana surat lain berdiam.

Diraih salah satunya. Yang terletak di paling atas. Perlahan disingkap lipatan sang daluang. Manik mulai menilik setiap tulisan tangan yang tercantum di atasnya.

Terburu-buru dapat dirasa melalui deretan kata. Bentuknya yang niskala. Harga mencekiknya seriring labium yang menukik tajam ke atas.

Rancu dalam benak, termangu. Netra menyorot teduh pada sang jumantara di balik gegana pethak. Sedang sukma tengah menahan lafaz.

***

"Kau masih saja mengirimkan surat-surat itu?"

Pertanyaan itu dilontarkan begitu saja. Sang kirana masih termangu. Tak ada karsa untuk mengagah si lawan bicara. Hanya sibuk pada senandikanya.

"(Name)."

Asmanya yang disebut membuat sang puan menoleh. Surai pirang terperangkap dalam netra kelabu. Niscaya paham akan ajunnya.

"Um, aku masih mengirimnya setiap lima hari sekali," jawabnya kemudian. Seolah baru tersadar jika dirinya dipanggil.

Dua sukma saling terdiam. Membiarkan daksa bekerja dengan sendirinya. Dibantu oleh heningnya keadaan. Menyapu atmosfer kelas yang tak terlalu bising.

"Mari kita makan, Emma! Istirahat sebentar lagi akan usai."

Kalimat dilemparkan. Si pelakunya tersenyum. Mencabar diri untuk tak membahas hal tadi. Sedang kalbu ketar-ketir menunggu jawaban.

"Um, kau benar," sahut Emma. Menyetujui perkataan si puan.

Kebisingan hirap sejenak. Anantara tak terjadi percakapan. Janardana hening untuk kembali. Tepat tika anila bergerak aksa.

***

Netra menyorot pada barisan tutur kata. Hening meliputi. Citta pun kosong. Hal lain tak mampu singgah dalam kepala. Selain barisan kalimat dalam secarik daluang.

Labiumnya tertutup rapat. Sementara pair jantungnya berdetak kencang. Raga terasa kampa. Yang dilihat merupakan kebenaran, fakta. Jujur, apa adanya.

"Oh, astaga."

Dua kata diucapkan. Tidak semuanya, namun cukup mewakilkan harsanya kala ini. Ditengadahkanlah kepalanya. Tertuju ke arah langit-langit kamar yang bernuansa pethak.

Sukmanya ingin menjerit. Harsa melingkupi diri. Tentunya, labium hanya mampu menutup rapat. Jeritan tertahan menggertak raga. Keluar dalam klandestin, melalui ceruk bibir.

"Aku bisa gila."

Gumam terlahir. Surai disusupkan. Mengacak-acaknya setelahnya. Sebelum manik kembali menyorot ke arah secarik kertas di genggaman.

Telapak kaki mengadu. Permukaan lantai dijadikan korban. Pun getaran yang halus tercipta sebagai akibat. Entitas dari tindakannya.

Bertemulah denganku, (Name). Aku merindukanmu.

Jika memungkinkan, gadis itu sangat ingin mengguncangkan seluruh bentala.

***

Payoda pethak tak hanya diam. Sarayu membawanya pergi. Aksa tak lagi berada dalam genggaman. Baswara tersembunyi di balik mega.

Telapak kaki tak berhenti mengetuk permukaan trotoar. Kepala ditolehkan ke segala arah. Meyakinkan diri tidaklah salah tempat. Pun hasrat ikut hadir.

Recaka terasa tercekik. Diri ingin berperdom. Namun, tak akan selaras dengan durja dahyunya.

Jarum panjang bergeser. Janji temu pun berdentang. Namun, yang ditunggu masih terlihat abstrak.

"Maaf, aku terlambat."

Suara bariton sang teruna menyapa rungu. Raga berbalik. Menciptakan gelombang pada bagian bawah dress yang ia kenakan.

Kedua insan tampak terkejut. Paras ayu ditatap. Pun sebaliknya. Afsun tak dapat disawala. Agah masih belum berpaling. Arkiran keduanya menarik pandangan, aksa.

Tak ada tutur kata yang diucapkan. Hanya tercipta rasa hangat di atas permukaan epidermis. Menjalar dari punggung. Pun deru napas terasa menggelitik pada tengkuk.

"Aku merindukanmu, (Name)."

Kalimat itu. Lelap tak dapat terjadi sebagai akibat. Tertera di atas secarik daluang. Berantakan dan tak tersusun pun tercantum dalam titik lidah. Tak terdapat hal istimewa di sana. Hanya sekedar kalimat biasa yang siapa saja bisa serukan.

Namun, berbeda baginya.

Jika labium sang teruna yang mengujarkan pada dirinya, semua akan terasa alap. Dama anantara masih ada. Dirasakan hal serupa dalam dirinya. Karena nyatanya saat ini ia juga mengumandangkan kalimat yang seirama.

"Um, aku juga merindukanmu, Rin."

Dekapan dieratkan. Kehangatan kian terasa. Pun dikaburkan oleh getaran benda dalam saku. Membubarkan dua daksa yang berpautan.

"Siapa?"

"Seseorang yang kukenal."

Percakapan terjadi. Paras ayu merangsek mendekat. Netra teduh mencuri lirik. Namun, sepi yang ia dapatkan.

"Apa kau penasaran?"

Tindak-tanduknya lantas menyita atensi sang jelita. Ditarik kurva melengkung ke bawah. Derita memiliki kekasih yang solak menggoda.

Geram, jenamanya disebut, "Haitani Rindou."

Tawa terlepas. Mengangkasa ke udara. Menyusup dalam gumpalan kapas. Bergabung di antaranya. Serta merta bena atensi para kaum hawa.

Menjeremba pada sang puan. Manik menyorot teduh. Diri ikut terdiam laksana recaka dalam paru-paru. Diraihnya lengan si teruna. Hangat dalam relung hati. Bak gayung yang bersambut.

"Ingin pergi ke mana?"

"Taman bermain?" sahut sang puan.

Alih-alih merespon, labiumnya justru balik bersoal. Sontak teruna mengagah. Mencuri lirik seraya jiwa termangu. Akan anindya sang kusuma di sisinya.

"Kau tidak salah? Taman bermain? Di usiamu yang sudah bukan merupakan anak kecil?"

Sang puan terkekeh. Menilik ke arah jumantara. Sebelum kembali menyorot pada Rindou. Dibentuk sebuah kurva melengkung. Terbuka ke atas. Tersiram lembayung.

"Tidak ada yang mengatakan jika taman bermain hanya boleh dikunjungi oleh anak kecil." Labium berujar. Menyentak sukma di sisinya.

Dengusan keluar melalui hidung. Bahu hanya mengedik. Diri merasa malas untuk sawala. Pun setuju dikumandangkan.

***

Pagutan terlepas. Jembatan saliva terbentuk. Deru napas pun terputus. Sorot netra teduh saling beragah.

Yang tertunda kembali dilanjut. Lenguh menahan dalam diri. Teruna cumbana sang puan. Janardana diri secara ananta.

"Rin..."

Jenamanya dipanggil. Sedang aksi tak berhenti. Sorot teduh kembali bersitatap. Paras tampan melirik nakal. Menilik kirana dalam diam.

Sang puan mendelik. "Jangan melakukannya di depan apartemenku lagi."

Murka ditunjukkan. Jejak kaki menginjak sepatu sneakers-nya. Diri mengaduh kesakitan. Hanya sesaat sebelum sang teruna kembali melekatkan labium pada kening si puan.

"Apakah itu berarti jika di dalam apartemenmu, aku bebas melakukannya?" tanyanya.

Decak dalam mulut. Sedang netra menyorot jemu tanpa afeksi, masam.

"Bukan begitu maksudku." Napas dihela. "Ah, sudahlah. Lebih baik kau pulang, Rin."

Si pemilik jenama mengangguk. Firasat masih ingin termangu di sana. Nestapa menyeruak dalam diri. Membuncah secara tenrisau. Tanpa mencegah lengan menarik sang puan berlabuh pada dirinya.

Terkejut dalam benak, sesaat saja. Pun lengan melingkari raga. Hangat terasa, sikap berdiam, raga tak mampu berkata.

Relung hati membisu. Pandangan terhalang. Nestapa tak sanggup menguap. Kian menguak ke permukaan.

"Kau tidak ingin pulang?"

Ucapan terlontar begitu saja. Sang raga melepas pautan. Dingin pun kembali menusuk. Menyelimuti dua insan.

Jenaka terselip di perkataannya. "Bagaimana jika aku bermalam di sini saja?"

"Pulanglah, Rin."

Namun, titah tak mampu ditolak. Labium kembali menukik tajam. Senyum miring terbentuk sesaat.

"Baiklah, baiklah. Sampai jumpa esok, (Name). Aku masih merindukanmu."

Diri pun mengucap. Raga saling mendekap sekali lagi. Pun tungkai kaki melangkah setelahnya. Menciptakan aksa di antara, mengeliminasi dekat.

***

Dusta.

Esok kembali menjadi angan-angan belaka. Hanya sepatah kata yang diucap sang raga. Tertutur manis dari bibir, tanpa jaminan.

Netra violet menyorot gelabah. Raga sang puan menjadi objek pandang. Dingin dirasa tatkala lengan menyambut.

Jiwa kembali diam. Menyaksikan wanodyanya yang termangu di sana. Netra terpejam, tertutup rapat. Tak ada karsa untuk dibuka barang sedetik. Sedang nayanika hanya bersembunyi.

"Kapan kau akan bangun, (Name)?"

Asma sang puan dipanggil. Tetapi, sunyi yang ia peroleh. Detik berlalu tanpa asa. Pasti berubah menjadi semoga. Sadrah kembali menyeruak dalam dada. Semata-mata hanyalah cara mengembalikan lara pada dirinya.

Kepala ditelungkupkan. Jari-jemari masih saling bertautan. Beku dirasa sayup-sayup. Elegi berkumandang dalam sunyi. Sedang nuraga dari Sang Pencipta pun gata.

Recaka telah tiada. Detik berjalan lambat. Sandyakala tak mampu disaksikan. Niyanaka perlahan hirap. Diri hanya bisa sadrah.

Kini hanya tersisa raga, sang daksa. Pun sukma niscaya meninggalkan raganya. Tanpa terkecuali, bagi setiap manusia.

Termasuk mereka, keduanya.

━━━━ END ━━━━

Aku gak tau aku ngetik apaan

Btw, aku lagi mencoba diksi baru. Kagak tau dah gimana hasilnya. Sepertinya hanya mengundang kebingungan dari kalian🚶‍♀️

Lagi pula, aku yang ngetik pun perlu mikir dua kali lebih keras. Bagai CPU hape kalian ketika lagi rekam layar.

Aku ngetik apa sih😭👎🏿

Satu lagi; biasanya aku ngetik pake (Y/n), bukan (Name). Tapi, karena keyboard-ku selalu ngajak gelud setiap aku ngetik Lord (Y/n), jadinya aku ganti pake (Name).

Rupanya, terasa jauh lebih enak bagai ketika jawab ngasal ternyata bener

Pokoknya itu sj.

Intinya, sy sangat mencintai angst. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro