Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✎ᝰ Viverri ⍜'ˎ-

ViverridaeSuku mamalia berukuran kecil hingga sedang
- - -
Ngopi © Halu_Project
- - -
Viverri © ChenanTixki
(Shaa/Shacchan)

> Ketika bulan dan bumi bisa mengenali satu sama lain, malangnya, terpisah terlalu jauh. <

-: ✧ :-

Kegelapan ialah bagaikan pagi hari, bagaimana sepi bisa begitu ramai? Itu karena terlalu sunyi. Lantunan malam sudah biasa di sini, kodok dan jangkrik saling bersaut-sautan. Antara sang kodok mendapatkan mangsanya, maupun bunyi-bunyian sepasang jangkrik yang sedang kawin. Ah, aku jadi lapar.

“Malam ini tidak boleh mencuri kopi lagi, lho.”

“Berarti malam besok boleh?”

Sejurus kemudian, ayahku memasang wajah kaku penuh urat-urat wajah yang membesar hingga warnanya jadi kebiruan. Ini sangat berbahaya! Aku tidak suka saat mulutku asal bicara seperti ini! Tapi, yah, aku mewarisi ini dari ayahku. Jadi ini salahnya.

“Ampun, Ayah, Cuma bercanda.”

Ayahku menghela napas—beliau memendam amarahnya. Biasanya ia begini karena sedang lelah atau karena ada hal lain. Iya, hal lain. Seperti kedatangan pelanggan penting yang entah akan sampai kapan karena ayahku telah menunggunya selama seharian sampai jam tutup toko. Dan karena itu juga aku diberi tugas untuk tinggal di toko! Padahal, setiap malam aku selalu ke kebun kopi, penyebabnya gara-gara seorang pelanggan yang tidak bisa mengatur waktu dan melanggar janji.

“Pelanggannya seorang lelaki, begitu dia sampai langsung berikan saja kopinya. Aku benci orang yang terlambat dari janji.”

Ada yang bilang kalau anak perempuan pertama lebih mirip ayahnya daripada ibunya. Sekarang aku mengerti kenapa akhir-akhir ini ayah begitu mendisiplinkanku, seolah ia sedang melihat dirinya yang masih muda, ayah mencoba memperbaiki dirinya yang adalah seorang wanita. Tunggu, aku bukan anak kecil lagi!

Apa yang ayah katakan tadi sama persis dengan apa yang ada di pikiranku. Pokoknya, ini salah pelanggan tak kompeten ini! Aku hanya bisa berharap orangnya cepat datang. Tidur di tengah-tengah kebun kopi di bawah sinar rembulan adalah yang terbaik.

Meski begitu, malam ini juga terasa damai. Pada sore hari, ayah membakar daun-daun kering di sekitar sini—entah berapa banyak yang dibakarnya—asapnya masih mengepul bahkan saat malam hari. Sebenarnya itu berguna untuk menjauhkan serigala dan aku suka malam dengan tanpa adanya lolongan serigala. Hanya bunyi-bunyi alam dan hewan-hewan kecil, itulah kedamaian.

“Bersih-bersih sedikit, deh—”

Aroma ini...

“Ah, apa tokonya sudah tutup? Karena Kau sudah berkemas-kemas, yah..” Suara lelaki.

Perawakannya tinggi. Rambutnya unik, penuh gradasi coklat muda, coklat tua, dan sedikit putih di beberapa bagian. Lalu, matanya berwarna coklat sangat gelap, persis seperti warna biji kopi. Bulu mata dan alisnya hitam pekat. Serta suaranya yang lembut dan entah kenapa terdengar manis. Dan yang terakhir, dia beraroma pandan.

“Apa Kamu pelanggan yang memesan satu lusin bungkus biji kopi hitam?”

“Benar, dan maafkan atas ketelambatanku.”

Keterlambatanmu membuat ayahku kesal, bodoh.

“Sepertinya Kau kerabat dari pemilik toko ini? Apa dia sudah pulang?”

Dia pulang karena kau datang lama sekali, pria sialan, tak tahu diuntung. Aku benar-benar sangat marah, tapi harus kupendam sebagai wajah indah dari kedai kopi ini.

“Aku putrinya, kelak ayahku akan memberikan kedai ini untukku. Jadi, Tuan ...”

“Tolong jangan panggil aku tuan, Nona Aardwolves. Namaku Pierre Rubert.”

“Aku Crescencia. Karena Anda sudah datang, kusarankan kita segera membahas bisnis malam ini.”


>*<


“Jadi, darimana asalmu, Pierre? Karena Kamu tampak terburu-buru untuk membeli 12 kantung kopi luwak dari Kedai Keluarga Aardwolves. Orang kaya?”

Selain punya rasa dan aroma yang khas, kopi luwak punya nilai jual tinggi karena membutuhkan waktu proses kurang lebih dua minggu dari pemberian buah kopi untuk dimakan oleh luwak—musang palem—sampai menjadi bubuk kopi. Namun, orang ini meminta biji kopinya langsung.

“Aku dari benua Latin,” katanya.

“Kenapa jauh-jauh ke Tenggara? Apa Kamu sedang dikejar-kejar oleh sesuatu?” Jelas, ia tampak terburu-buru. Cuma orang nekat dan orang terlewat kaya yang mau membeli kopi luwak sebanyak ini. Terlebih, tanpa dijadikan bubuk dahulu.

“A-apakah aku seperti dikejar-kejar sesuatu?” Pierre menjawab dengan kegagapannya.

Seraya mempersiapkan pesanannya untuk dimasukkan ke kotak supaya ia bisa membawanya dengan mudah, aku berkata, “Entahlah, mungkin majikan yang intoleran jenis kopi tertentu dan hanya bisa minum kopi luwak.”

“Hahaha, Kau lucu. Tapi, sungguh, kenapa Kau bertanya begitu?”
Karena mencurigakan. Bau, tingkah laku, ciri-ciri fisik, semuanya terlalu mudah ditebak bahkan orang awam yang tidak tahu apa-apa pasti masih bisa menebak dari baunya yang khas itu.

Aku menghela napas. “Pierre—jika Kamu tidak sedang dikejar oleh waktu—aku ingin menghidangkanmu makanan yang paling diburu oleh ayahku.”

“Apakah itu makanan yang sangat spesial?”

Jujur saja, tanpa perlu menjadi munafik sedikitpun, ia membuatku tertarik dan aku merasa sangat terhibur bisa bercakapan dengannya. Ia belum mengakui apa-apa, jadi aku hanya perlu mengobrol dengannya seperti biasa.

“Kamu sudah jauh-jauh datang hampir dari belahan dunia lain, tentu aku harus menjamumu, ‘kan?”

“Kamu akan menjamuku dengan bebek.”

Ini hampir terlalu mudah.

“Tebakan yang sangat tepat.” Aku berjalan meninggalkannya menuju dapur. Bebek ini akan menjadi serangan terakhirku agar ia langsung mengakui jati dirinya.

Pierre adalah seorang manusia musang, sama sepertiku. Musang tidak akan bisa hidup tanpa kopi—tak tahu ucapan siapa—kalau dia membeli kopi sebanyak ini maka ada yang salah dengan dirinya.

“Ada sih, tapi..”

Aku dari dapur kembali ke tempat tamu menunggu di kedai. “Tolong, nikmati sebanyak yang Kamu mau, Pierre.” Dan jelaskan rasa apa yang kau rasakan, Pierre Rubert.

Rasa daging bebek yang hanya bisa dirasakan oleh bangsa manusia musang, tapi yang pasti sesuatu yang dibenci musang. Pierre mengambil garpu yang sudah aku persiapkan, lalu menancapkannya ke daging bebek yang sudah aku potong-potong.

“Hm..”

“Ada apa?” Kenapa berhenti? Apa dia sudah sadar? Akhirnya, ia akan mengakui dirinya!

“Sepertinya Kau belajar teknik memasak yang lumayan, tapi masih belum cukup untuk menutupi segudang sari-sari lemon, Luna.”

“Wah, Pandan, jadi Kamu sudah tahu tentangku juga?”

“Aku langganan kedaimu, lho.”

“Oh, ya? Kenapa aku tidak tahu, ya?”

Tidak, bercanda. Aku sudah tahu dari lama. Pierre selalu datang setahun sekali ke kedai keluargaku. Selusin kantung kopi itu pasti persediaannya selama setahun, satu untuk sebulan. Karena aku sering melewatkan kemunculannya, aku hanya mendengar ceritanya dari ayahku dan tak tahu wujudnya. Ini pertama kalinya aku bertemu dengannya, ia... berpenampilan menarik.

“Kau tidak terkejut bertemu denganku?”

“Bau pandanmu itu menyengat sekali, lho. Gara-gara Kamu datang tela, aku jadi tidak bisa ke kebun kopi!”

Sekali lagi, seharusnya pada waktu ini aku sudah ada di kebun kopi untuk mengawasi proses penyerbukan mereka, setiap malam. Itu satu-satunya hal yang saat ini aku tekuni dengan riang gembira.

“Lalu memakan tiap buah kopi yang matang sempurna sebagai gaji butamu?”

“Aku mengawasi dengan sepenuh hati, lho! Kamu harusnya tahu—“

“Daripada mengawasi, lebih masuk akal kalau Kamu membasmi hama kopi.”

“Y-ya, itu maksudku! Aku pun menyembuhkan mereka dari hama yang mengganggu, kok!”

Pierre tertawa begitu lepas, membuat rupanya adalah penyebab dari rona hangat yang bisa aku rasakan di kedua pipiku.

“Jadi, Kamu tidak murni manusia musang?”

“Yang aku inginkan hanya mempertahankan akal sehatku.”

Aku pernah mendengar ini, alasan kenapa Pierre membeli banyak sekali kopi karena dia bukan manusia musang yang sama sepertiku dan ayahku. Aku adalah manusia musang karena aku anak dari ayahku, diturunkan secara keturunan atau disebut genetik. Namun, Pierre adalah manusia sungguhan yang diberikan—aku tidak mau menyebutnya anugerah maupun kutukan—sihir manusia musang.

Pierre membuat sorot mata tak mengenakkan. Ia meraih kotak kopi yang tadi kusiapkan dan menatapku dengan tatapan penuh arti. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

“Sudah mau pergi saja? Bebeknya tidak habis, nih.”

“Aku ingin pemandanganku sedikit berkurang kopinya.”

Kita akan berjumpa lagi ketika lustrum telah berganti lagi. Semoga tahun depan, kita bisa bertemu lagi, Pierre.

Yakinilah dari perspektif mana kau melihat, jika meyakininya dengan sungguh-sungguh, aku yakin kau tidak akan tersesat maupun disesatkan.

-: ✧ :-

Ngaret banget, ya. Udah dari Juli tapi baru terlaksana Desember, mantap👍🏻

Cerpen buat lomba gak jelas maksud inti ceritanya apa, sampai sekarang aku masih mempertanyakan. Kenapa?


Sabtu, 3 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro