Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✎ᝰ Delusi ⍜'ˎ-

❝ Tentang ia, yang enggan terima realita. ❞

𖤘 ⋆ ࣪. ───────

. . . 𝐓𝐚𝐤𝐚𝐬𝐡𝐢 𝐌𝐢𝐭𝐬𝐮𝐲𝐚 x 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐞𝐫 . . .
Tokyo Revengers © Ken Wakui
ᴡʀɪᴛᴛᴇɴ ʙʏ: Sacharozie_
𝙚𝙫𝙚𝙣𝙩 𝙣𝙜𝙤𝙥𝙞: Halu_Project

─────── . ࣪ ⋆ 𖤘

"Kamu masih tetap sama kayak dulu, ya."

Sang puan mendongak, tatap lurus si pemuda yang barusan bicara dengan suara serak. Kelereng cerahnya mengerjap, dalam diam ia menatap, meminta penjelasan lebih atas satu kalimat yang tadi terucap.

"Maksudnya?"

"Kamu masih tetep lucu."

Tak ayal ia tersedak, buat sebuah kekehan terdengar dari celah labium sang satria. Panas hinggapi pipi, kedua tangannya lantas mengambil secangkir kopi, dalam diam berusaha mengatur debaran hati yang tak kunjung berhenti.

"Apa sih...," gumam adiratna pelan. Permata cerahnya melirik, kala pandangan keduanya saling bertemu ia terburu mengalihkan pandang ke arah lain.

"Tuh kan, kamu lucu," anak adam itu kembali bersuara. Menggoda, buat sang lawan bicara gelagapan tak tau harus berbuat apa.

"Diem, ya!"

Waktu yang menyenangkan. Kepulangan sang gadis ke Jepang tak disia-siakan oleh sang teruna. Ia tunggui sang puan di bandara selama hampir setengah jam, namun tak apa, penantiannya terbayar kala [Name] setuju untuk habiskan waktu semalaman dengannya.

Ditemani secangkir kopi, berbagai macam kisah pun dibagi. Hingga tak terasa, fajar beberapa puluh menit lagi akan tiba. Namun anehnya sang puan tak merasa mengantuk sedikitpun, apa ini efek dari kafein yang ia minum?

Entahlah, bersama Takashi Mitsuya membuatnya tak pernah merasa lelah sedikitpun. Tak merasa pegal ketika terus bicara mengenai kehidupannya di tempat nun jauh di sana.

Apa jatuh cinta memang selalu seperti ini?

"Hei, [Name]."

"Hm?"

Memang susah nampaknya untuk mengesampingkan- barang sejenak- fakta bahwa Mitsuya itu tampan. Mau berapa kalipun dilihat, [Name] akan selalu jatuh pada pesonanya.

Surai light lilac nya yang nampak lembut, manik lavender nya yang memancarkan kehangatan, dan bibir tipisnya yang menyunggingkan senyum tipis menenangkan. Segala hal tentang Takashi Mitsuya itu sempurna, dan kerena itulah [Name] ingin sekali memilikinya.

Apa Tuhan mengizinkan?

"Mau dengar cerita nggak?"

[Name] yang tengah menyesap kopi menaikkan kedua alisnya, tertarik. Mitsuya hendak menyampaikan cerita apa? Kedengarannya menarik, [Name] lantas mengangguk mengiyakan.

"[Name], kamu juga tau kan, kalau di dunia ini nggak ada yang abadi? Semua yang ada di dunia ini, pada akhirnya pasti hilang, kembali ke pangkuan Sang Pencipta."

[Name] tidak mengerti arah percakapan ini. Meski begitu kedua telinganya tetap setia mendengarkan. Kepala Mitsuya yang meneleng ke kiri membuat surainya ikut bergoyang pelan. Entah sang gadis yang salah lihat, atau memang wajah pemuda itu terlihat seperti kelelahan.

"Tapi nggak sedikit orang yang nggak bisa nerima kenyataan. Mereka menyangkal, mengabaikan fakta kalau sebenarnya orang yang mereka sayang itu udah nggak ada."

Kemudian tiba-tiba Mitsuya mengarahkan pandangan padanya. Bibir tipisnya memang tersenyum, namun itu bukanlah senyum yang biasa dilihat oleh [Name]. Manik lavender nya entah mengapa terlihat dingin, padahal biasanya kelereng indah itu memancarkan kehangatan.

Suasananya mendadak terasa canggung, [Name] merasa tidak nyaman. Ia menunduk menatap cangkir kopinya dengan sebuah senyum gugup. Atmosfer diantara keduanya terasa berat, sesak. Ada apa ini sebenarnya?

"Maaf, maaf, kalimatku aneh ya?" ucap Mitsuya diakhiri sebuah kekehan kecil. "Nggak usah dipikirin [Name]. Kayaknya kebanyakan ngonsumsi kafein bikin pikiranku agak ngaco."

[Name] tersenyum tipis. "Mau tambah lagi nggak kopinya?" tawarnya.

Senyum lembut itu sudah kembali lagi ke bibir tipis si pemuda. "Boleh, tolong yaa."

Mentari telah hendak muncul menyapa dari ufuk timur. Semburat hangatnya perlahan menguar keluar, dengan malu-malu ia mengintip dunia dan seisinya. Suasana hati [Name] amat sangat bagus saat ini. Ia senang karena bisa mengobrol banyak dengan Mitsuya.

"Boleh tidak kita bertemu lagi nanti?" tanya adiratna, tersenyum lembut.

Sang satria menggeleng. "Nggak boleh."

Hatinya terasa mencelus. Tanpa bisa menahan diri ia mencetus, "Kenapa?"

"Karena kamu harus belajar melupakanku, [Name]."

Lengang untuk sesaat. Sang puan terdiam tatap penuh tanya pemuda di hadapannya. Mengapa [Name] harus sampai melupakan Mitsuya? Apa maksudnya?

"Apa maksudmu, Mitsuya?"

Sang satria tersenyum, kelereng cerahnya meredup, sendu. Suasana menjadi bertambah aneh kala ia justru terkekeh. Kepalanya lantas menggeleng pelan, dan ia menjatuhkan pandangan ke arah secangkir kopi yang telah tandas isinya di genggaman.

"[Name], aku ini kan, udah nggak ada."

Gadis bersurai lembut itu sepenuhnya terdiam, kedua maniknya terbelalak lebar, diiringi dengan pupil matanya yang bergetar.

Lantas tiba-tiba semuanya terlihat lebih jelas saat ini. Di hadapannya tak ada siapa-siapa, tak ada Mitsuya—karena memang dari awal pemuda itu sudah tidak ada di dunia. Hanya ada [Name] sendiri, ditemani dua cangkir kopi yang sudah kosong tak berisi.

Bak habis dihantam sesuatu yang amat keras, dadanya seketika diliputi rasa sakit, juga sesak. Air matanya yang sudah menggenang akhirnya tumpah, jatuh ke punggung tangannya yang kini meremat kuat cangkir kopi miliknya.

Ah, entah sudah berapa kali gadis ini telah bersikap seperti ini. Bersikap seolah Mitsuya masih ada di dunia, padahal nyatanya pemuda lilac itu telah meninggal karena sakit yang ia derita. Sudah berpuluh kali [Name] berilusi bahwa Mitsuya masih ada bersamanya.

Karena ia tak ingin terima realita, tak ingin terima fakta bahwasannya Mitsuya telah pergi tinggalkannya.

Semuanya terlalu tiba-tiba dan [Name] tidak siap untuk menerimanya. Ia masih belum siap untuk kehilangan sosok Mitsuya dari sisinya.

"Mitsuya... Belum mati," ia terisak pelan. "Dia masih ada, di sini, di hadapanku."

Kepalanya yang tertunduk kembali terangkat, tatap pasrah kekosongan di hadapan matanya. Namun dengan jahilnya akalnya kembali buat sebuah ilusi, berupa sosok Mitsuya yang tersenyum hangat padanya.

"Lihat. Mitsuya ada. Dia ada bersamaku."

Matahari telah sepenuhnya terbit menyapa dunia lima menit yang lalu. Sinar hangatnya menerpa tubuh ringkih [Name] yang bergetar pelan berusaha redakan tangis. Air matanya masih mengalir, namun perlahan sebuah senyum lebar tersungging di bibir.

Hari ini adalah ketiga belas kalinya [Name] mengalami delusi seperti ini. Ia tau—sangat tau—bahwa Mitsuya sebenarnya telah tiada, namun ia menutup mata, dan malah menciptakan sendiri delusi yang menyiksa diri. Mau ditolong pun memang bagaimana? Ia menolak keras semua orang yang datang hendak membantunya.

[Name] terperangkap dalam siksaan buatannya sendiri.

Alarm ponsel sang gadis berbunyi dengan ribut kala dirinya tersenyum lebar dengan sorot mata kosong pada benda kosong di hadapan. Ada _Mitsuya_ di sana, tersenyum padanya dengan penuh kelembutan.

"Pagi, [Name]."

— end

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro